Helsa memandang jalanan rumahnya dari atas balkon kamar, ditemani segelas coklat hangat gadis itu menikmati dinginnya hujan malam ini.
Satu bulan sudah Akmal pindah ke SMA Diaksa, dan selama itu juga Akmal tidak pernah menjemputnya. Akmal juga hanya membalas sangat singkat chat darinya.
Apa mungkin Akmal sedang sakit?
Helsa mendengus pelan, dia merindukan kekasihnya. Bahkan untuk berbicara via ponsel saja susah. Memang selama satu bulan ini pemuda itu disibukkan dengan latihan futsal karena September nanti akan ada pertandingan antar sekolah Menengah Atas.
Entah bagaimana bisa kekasihnya sudah tergabung dalam team futsal sekolah barunya.
Saat hendak masuk kembali ke kamarnya, suara klakson motor yang sangat dikenali menyeruak ke telinganya. Helsa memandang ke arah gerbang rumah, dan benar saja pemuda itu disana.
Akmal basah-basahan diluar sana. Apa dia tidak memiliki mantel hujan?
Terlihat pemuda itu melambaikan tangan pada Helsa. Dengan cepat Helsa masuk, tidak lupa menutup pintu balkon kamarnya.
Helsa turun kebawah, membuka pintu utama rumahnya. Betapa terkejutnya ketika Akmal sudah berada di hadapannya sekarang.
"Akmal," sebutnya lirih.
"Sayang, mandi hujan yuk!" kata Akmal.
Helsa terkesiap, "kamu kesini cuma mau ngajak aku mandi hujan?"
"Aku kangen, mumpung besok libur."
Helsa tersenyum tipis, kemudian dengan sedikit berjinjit gadis itu mengecup pipi kekasihnya.
"Bawah aku," bisiknya tepat di wajah Akmal. Akmal terkekeh, membalas ciumannya pada kening Helsa.
Sebelum keluar, Helsa memberitahu mbak Ana terlebih dahulu. Dia juga mengganti piyamanya dengan pakaian santai, tidak lupa ponsel dan slingbag waterproofnya.
Akmal tersenyum sumringah melihat Helsa datang padanya, digenggam tangan mungil itu dan berlari keluar rumah. Sebelumnya Helsa sudah mengunci pintu tersebut dan tidak lupa membawa kunci serep.
"Siap basah-basahan diatas motor, tuan putri?"
Helsa mengangguk antusias. Wajahnya yang sudah basah membuatnya terlihat menggemaskan.
Diatas motor dengan guyuran hujan yang sangat besar itu keduanya terlihat bahagia. Apalagi Helsa, gadis itu seperti anak kecil yang diizinkan orang tuanya untuk mandi hujan.
Malam ini Akmal memang ingin menghàbiskan malam minggu bersama Helsa, sudah lama mereka tidak bertemu. Akmal merindukan Helsa, satu bulan rasanya setahun.
"Akmal, kamu lupa besok hari apa?" tanya Helsa sedikit berteriak. Derasnya hujan mengharuskan dia sedikit berteriak, meskipun Akmal tidak mengenakan helm
"Apa? Aku nggak dengar!" Akmal terkekeh pelan, dari spion dia mendapati wajah kekasihnya yang tekuk.
"Sa... Mau makan nggak?" tanya Akmal, motornya perlahan berhenti tepat di gerobak tukang lontong sate ayam.
"Boleh, tapi kita dilayani basah kayak gini?"
Tanpa menjawab pertanyaannya, Akmal mendekat ke gerobak tersebut dan memesan dua porsi lontong. Hujan masih sangat awet bahkan semakin deras, mereka akhirnya berteduh dibawah tenda sembari menunggu sate yang dipesan.
"Seruh nggak mandi hujan malam gini?" tanya Akmal, dia melepaskan jepitan rambut Helsa dan menggeraikan surai panjang basah gadis itu.
"Seruh banget, tapi dingin," jawabnya dengan bibir yang bergetar akibat dingin.
"Hujannya makin deras," ujar Akmal. Dia memeluk Helsa, memberikan sedikit kehangatan walaupun dia sendiri juga dingin.
Setelah menunggu beberapa menit, dua porsi lontong sudah tersedia. Dengan lahap keduanya makan bersama, terkadang Helsa mengambil punya Akmal karena pikirnya sate punya cowok itu lebih nikmat.
Ah, ada-ada saja gadis ini.
"Rakus banget. Belum makan?" tanya Akmal, mengusap saus kacang yang tertinggal pada sudut bibir Helsa.
"Mungkin karena dingin jadi aku lapar lagi," jawab Helsa, "kamu cepat banget makannya."
Akmal terkekeh, "aku bukan kayak kamu yang makannya berabad-abad."
Kebiasaan itu masih melekat dalam diri masing-masing. Akmal yang selalu makan dengan cepat, dan Helsa yang makan sangat pelan dan lama.
Bertolak belakang dari segi apapun kedua pasangan yang sama-sama kehilangan ini. Tentang Akmal, Helsa masih selalu mengingat kebiasaan buruk dan baiknya sampai saat ini. Entah bagaimana dengan pemuda itu, apa dia sudah tidak mengingat Helsa dan semua yang mereka lalui bersama?
Tapi, bagi Helsa, Akmal tidak perlu mengingatnya. Cukup mengingat laki-laki kecil yang saat ini bersamanya, itu sudah lebih dari cukup.
***
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Akmal dan Helsa baru saja tiba di rumah pemuda itu dalam kondisi basah dan Helsa yang sudah sangat pucat karena dingin.
Akmal menghentikan langkahnya saat tahu bahwa Helsa masih tetap diatas motornya.
"Ayo turun, sayang. Ngapain disitu?!"
"Gendong," rengeknya sangat manja, "dingin Akmal."
Astaga, wajah memelas itu sangat menggemaskan. Dengan siap dia menggendong kekasihnya masuk ke rumah.
Suasana rumah ini sama seperti terakhir Helsa kesini. Tidak ada yang berubah.
Akmal menurunkan Helsa tepat di pintu kamar mandi, dan menyuruh gadis itu segera mandi dengan air hangat.
"Akmal," cicitnya sangat pelan.
"Apa sayang?" sahut Akmal, "mau mandi bareng?"
"Dasar mesum!" tanda Helsa. "Aku habis mandi bajunya mana?"
"Pakai punya aku, kan mau-maunya kamu," jawab pemuda itu dengan santai.
"Pakaian dalamnya gimana? Kamu aja pakainya boxer."
Lihat, Helsa menyebut kebiasaan buruk Akmal yang tidak pernah mau memakai celana dalam dan hanya mengutamakan boxer. Kata Akmal, miliknya terasa geli ketika mengenakan itu. Aneh kan?
Setelah berpikir lumayan lama, Akmal punya ide bagus. Kenapa tidak dari saja nama itu terlintas dalam pikirannya.
"Sekarang kamu mandi. Jangan keluar sampai aku datang," finalnya kemudian beranjak dari hadapan Helsa.
Huh, mau kemana buaya darat itu. Dengan terpaksa Helsa ditinggal sendiri. Deru motornya terdengar keluar pekarangan rumah.
***
"Akmallllll!!!!!"
Helsa berteriak kencang saat memasuki kamar pacarnya, Akmal sudah bersantai diatas sofa tanpa mengenakan baju pula. Santai sekali dengan camilan dalam toples dan dgn earphone pada telinga. Entah apa yang sedang ditonton laki-laki itu.
Helsa datang dengan kaos oblong yang kebesaran milik Akmal. Matanya menatap intimidasi pacarnya yang tertawa melihat tingkahnya.
"Akmal, pakaian dalam siapa yang kamu kasih ke aku? Kamu selingkuh? Perempuan siapa, bajingan keparat!"
"Iya, selingkuh sama anak komplek sini."
Helsa mendelik, bisa-bisanya pemuda itu menjawab pertanyaan sesantai itu. Padahal Helsa sudah sekuat tenaga memarahinya.
"Aku serius, Akmal Malik anaknya bapak Andriano yang paling ganteng sekomplek Nacari."
Akmal tertawa gemas mendengar pernyataan Helsa begitu panjang.
"Punya si Ranaya," jawab Akmal.
Lagi, lagi Helsa mendelik. "Kamu-"
"Itu pakaian dalam yang masih baru, dan belum dipakai sama sekali tapi sudah dicuci, sayang. Reaksi kalian berdua sama ya ternyata."
"Pakaian dalam lo, gue pinjam. Yang masih baru, dan belum lo pakai."
"Astaga, Akmal. Lo mesum banget, sialan. Gue aduin lo sama Helsa."
"Aduin sana. Yang penting lo pinjamin dulu."
"Mau lo kasih buat siapa, hah? Nggak usah ngada-ngada, Malik."
"Helsa nginap di rumah gue. Tadi kita mandi hujan, tapi dia lupa bawa pakaian ganti. Makanya nama lo tiba-tiba terlintas di pikiran gue."
"Lo nggak usah aneh-aneh sama Helsa. Lo nggak boleh tidur seranjang sama dia."
"Iya. Bacot banget sih. Cepetan! Bini gue udah kedinginan disana, Ranaya."
Akmal menceritakan perdebatan antaranya dan Ranaya di rumah gadis itu. Ya, memang rumah mereka hanya diselingi enam rumah saja, jadi tidak terlalu jauh.
Helsa tergelak mendengar cerita pacarnya, dia bisa membayangkan ekspresi wajah Ranaya saat Akmal meminta barang ini padanya.
"Kamu tahu nggak didalam paper bag isi apa aja?" tanya Helsa.
"Aku nggak lihat, barang cewek. Haram," jawab Akmal.
"Selaian pakaian dalam, ada deodorant, parfum, dan body lotion."
"Lengkap banget Ranaya ngasihnya."
"Ya pasti dia tahu aku nggak bawah apa-apa kesini," kata Helsa.
Ranaya memang seperti itu. Selalu peduli pada siapa saja. Apalagi Helsa yang berstatus sahabatnya sendiri.
Ah, terima kasih Ranaya Kazila.
Helsa merampas camilan dalam genggaman Akmal, enak saja dia memakannya sendiri.
"Nonton apa sih?"
"Mau nonton?" tawar Akmal.
Helsa mengangguk antusias, dipasangnya sebelah earphone pada telinga dan wajahnya memerah seketika mendengar apa yang menyeruak ke telinganya.
Akmal menonton film blue. Sialan!
Helsa menjambak surai hitamnya dengan kasar, mengumpat pacarnya itu habis-habisan.
Akmal tertawa seraya menjauh dari Helsa, rambutnya acak-acakan dibuat kekasihnya.
"Akmal, hapus nggak!"
"Sa, jangan dong." Akmal memasang wajah semelas mungkin agar Helsa tidak memaksanya.
"Ihh, mesum emang dasar," tanda gadis itu.
"Dari pada aku minta sama kamu," celetuk Akmal melirik sekilas pada Helsa.
"Aku kasih. Tapi nggak sekarang," balas Helsa.
"Aku mintanya sekarang, gimana?"
Helsa mendelik tak suka, lalu segera berlalu meninggalkan Akmal. Ia naik ke atas ranjang dan berbaring disana. Langi-langit kamar ini menjadi objeknya saat ini.
"Kita nggak boleh melebihi batas," jawab Helsa sambil memejamkan matanya.
Hari senin adalah hari malas-malasan bagi kebanyakan orang. Salah satunya adalah Helsa. Hari ini juga ia harus terlambat masuk sekolah dikarenakan pacarnya yang menjemput terlambat. Tidak mengikuti apel bendera, dan sebagai imbasnya tidak mengikuti jam pertama pelajaran. Helsa harus kemana jika seperti ini? Oh jelas saja ia harus ke perpustakaan, untuk apa berkeliaran di halaman sekolah disaat jam pelajaran seperti ini. Apalagi guru piket hari ini adalah pak Darwin. Perpustakaan sangat sepi, hanya ada salah satu stafnya yang sedang berjaga. Gadis itu berjalan menyusuri setiap baris rak buku yang menjulang tinggi, mencari novel yang bagus untuk dibaca. Helsa memang suka membaca novel. Satu novel bergenre fantasi sudah ada ditangannya, Helsa mengambil tempat dekat sudut perpustakaan. Gadis itu tampak sekali larut dalam bacaannya, sampai sebuah tangan menyodorkan coklat diatas lembaran novel. Dia cukup terkejut mendapati siapa pemilik coklat tersebut. Ja
Benci. Satu kata yang menggambarkan perasaannya beberapa tahun ini. Pandangan itu tidak luput dari gadis dihadapannya, seolah ingin menerkam sekarang juga. Senyum itu bukan yang diinginkannya, kebahagian tidak boleh gadis itu rasakan. Selalu berdecih jijik dalam diam setiap kali melihat kemesraan mereka.Suasana kantin SMA Harapan hari ini jauh dari kata ramai, jam istirahat sudah berjalan lima menit. Helsa dan kelima sahabatnya sudah asyik bercanda di kantin sembari menunggu bakmi pesanan mereka."Semalam Akmal ke rumah gue, Sa," ujar Bella."Ngapain?" dahinya mengkerut, Helsa ingin tahu."Dia mau jemput lo, cuma datangnya telat.""Oh gitu. Nggak sekolah dia hari ini," kata Helsa sembari menyeruput orange jus milik Ranaya.
Semenjak hari kemarin saat Helsa kehujanan di jalan, Akmal tidak pernah absen untuk pergi dan pulang bersama pacarnya, meskipun jam pulang dua sekolah itu sedikit berbeda, tidak pernah cowok itu melewati tugasnya.SMA Diaksa masih sepi, beberapa murid baru berdatangan. Parkiran sekolah pun sama sepinya seperti hati author. Saat hendak keluar dari sana, tangan halus mencekal pergelangan tangannya. Akmal tersentak saat mendapati Rania di belakangnya."Gue minta nomor ponsel lo," kata Rania dengan gaya angkuhnya."Mau ngapain?" sikap Akmal sangat dingin, dia tidak suka dengan perempuan agresif seperti Rania. Sejak malam pertemuan pertama mereka, Akmal selalu berjaga-jaga.Rania tersenyum jenaka, "mau pacaran.""Sinting." Akmal m
Perpustakaan SMA Harapan siang itu sangat sepi. Biasanya akan sangat ramai saat jam istirahat seperti ini. Setelah selesai makan, Helsa berpamitan pada sahabat-sahabatnya untuk ke sini. Seperti biasa, novel yang ia baca tempo hari belum selesai. Di setiap lorong yang disekat rak buku itu Helsa tidak menjumpai novel itu, padahal sudah disimpan pada tempatnya. Dengan berat hati, gadis itu membatalkan acar bacanya. Namun seseorang datang dan memberikan novel itu. "Lo suka novel bergenre fantasi?" tanya Dito. Ardito. Kenapa Helsa harus berhadapan lagi dengan dia? Dua hari yang lalu, Dito menitipkan tas Helsa pada Bella. Meskipun satu sekolah, Helsa tidak ingin bertemu dengan sosok yang satu ini. Gadis itu takut kalau sewaktu-waktu Akmal mengetahui keberadaan mantan pacarnya ini, apalagi Helsa tidak pernah menceritaka
Pagi sekali Akmal menjemput Helsa di rumah, seperti biasa mereka selalu berangkat bersama. Dalam perjalanan, hanya ada keheningan. Helsa dengan pikirannya, dan Akmal pun seperti itu, dia masih memikirkan perihal laki-laki yang membuat pacarnya menangis. "Al, kata Arjun, pembukaan piala bergilir Diaksa nanti sekolah kamu dan sekolah aku lawan ya?" tanya Helsa memecahkan keheningan. "Iya, futsal sama basket. Kamu nonton kan?" sahut Akmal. "Kalau aku nonton futsal, aku jadi dilema harus dukung siapa. Team yang satunya sekolah aku, yang satunya lagi ada pacar aku." Akmal terkekeh, "dukung sekolah kamu aja." "Kamu nggak apa-apa kalau nanti aku teriakin namanya Arjun atau yang lainnya?" tanya Helsa.
"HAPPY BIRTHDAY ECHA!!!" Suasana tengah malam ini begitu riuh di dalam kamarnya. Helsa yang memang belum tidur dibuat terkejut dengan kedatangan kelima sahabatnya, dan juga orang tuanya. Kedatangan Yuda dan Renata tidak diketahuinya. Helsa tertawa sembari menangis melihat kejutan yang sama sekali tidak terpikirkan olehnya. Masalahnya dengan Akmal yang sudah tidak bertemu selama lima hari ini membuatnya sampai lupa bahwa hari ini ia berulang tahun. 05 Agustus. Hari kelahirannya, hari ini gadis itu memasuki usia ke tujuh belas tahun. Kedatangan mereka membuat Helsa merasa lebih baik. "Kok nangis anak Papa? Ayo dong kasih permohonan dan tiup lilinnya," ujar Yuda menyemangati peri kecilnya yang sudah beranjak remaja. Mengusa
"Nanti malam aku ke rumah," ujar Akmal. Tangannya mengusap lembut pipi Helsa, "masih sakit, hm?" tanya Akmal. Helsa tersenyum, meraih tangan kekar itu dari pipinya, "udah mendingan kok. Kamu habis dari sini mau kemana?" tayanya. "Ke rumah tante Dilah lagi. Urusan sprei di kamar tadi belum kelar," jawab Akmal. "Kenapa tadi pas mandi nggak sekalian sih, kan harus kamu sendiri." "Tidak masalah, sayang. " "Ya udah, aku langsung masuk," kata Helsa. Sebelum melepas Helsa masuk ke rumah, cowok itu menyempatkan diri mengecup kening gadisnya. Hal itu membuat keduanya mendapat tatapan kagum dari beberapa orang yang lewat di jalanan komplek perumahan. Sangat romantis.
"Hai, Helsa." Gadis bersurai panjang itu tersentak saat mendapati Dito dihadapannya. Ia selalu khawatir saat mantan pacarnya itu menyapa. "Mau ke kantin? Bareng gue kalau gitu," ujar Dito. Koridor lantai dua sedang ramai, karena memang jam istirahat pertama baru saja dimulai. Sebenarnya Helsa tidak sendiri, masih ada Ranaya dan lainnya sudah menunggunya di kantin. Gadis-gadis genit itu memang selalu meninggalkannya sendiri. "Gue udah ditunggu sama teman," balas Helsa. Dito menyerngit, "lo masih marah kejadian di perpustakaan waktu itu? Gue kan udah minta maaf, Sa." Helsa diam, ia terus berjalan menuruni anak tangga.
Lima hari sudah Adryan tidak kembali ke rumah. Kata Bunda, pria itu sedang berada di apartemen. Bunda sudah memberikan kotak berisi testpack padanya. Entah kenapa, tidak ada reaksi apapun dari pria itu.Setelah pulang mengantarkan Devan ke sekolah, wanita yang kini berbadan dua itu mampir kesana. Kebetulan letak Cafe itu tak jauh dari sekolahan anaknya.Helsa hanya ingin menikmati cheesecake. Lagian di rumah hanya dia sendiri. Oh ya, dia dan Devan tetap di rumah mereka. Bunda melarang ia pulang ke rumah Mamanya.Helsa menceritakan kesalahpahaman yang terjadi pada mertuanya.Pandangannya keluar kaca jendela. Kebetulan macam apa yang harus membuatnya bertemu dengan mantan kekasihnya. Akmal lengkap dengan seragamnya.Helsa bercedak pelan, seharusnya dia tidak bertemu lagi dengan pria itu."Helsa, kamu disini juga?"Helsa meraih tas, ingin beranjak dari sana, namun dicegah pria itu. "Cake kamu belum habis. Mubazir," sebut Akmal."Gue boleh duduk disini?" tanya Akmal."Silahkan," kata Helsa
BMW hitam memasuki pekarangan rumah berlantai tiga itu tepat pukul lima sore. Setelah memarkirkan mobil, sang empunya keluar dari sana. Disambut baik istri dan juga anaknya. Helsa mencium punggung tangan kekar itu, lalu dibalas kecupan singkat pada dahinya."Bagaimana harinya?" tanya Adryan.Helsa tersenyum menerima satu buket bunga mawar putih kesukaannya. Buket bunga kelima, di hari kelima cuti."Papi nanya Devan dong, Mami aja yang ditanya," protes Devan yang kini duduk pada kursi piano.Nggak mau kalah ini bocah satu.Adryan mendekatinya. "Bagaimana hari ini Singa kecilnya Papi?" Ia mencium gemas anaknya, tak lupa Devan pun mencium punggung tangan Papinya."Baik dong, hari ini Devan langsung pulang ke rumah. Om Jefry sama tante Vio yang nganterin," jawab Devan, semangat.Helsa berlalu meninggalkan percakapan Ayah dan anak tersebut. Tak lupa membawa serta tas dan juga jas milik Adryan. Akan panjang jika ia harus menunggu keduanya selesai dengan perbincangan, mulai dari yang penting
Siang itu kantor pusat Perusahaan Andrean Corp dibuat panik pada lantai sepuluh, tepatnya di dalam ruangan meeting. Renata memberi perintah untuk mengangkat tubuh lemah tak berdaya putrinya yang jatuh di depan ruangan tersebut setelah hampir dua jam melakukan pertemuan dengan salah satu investor asal Rusia. Beberapa hari ini Helsa terlihat kelelahan karena menyiapkan persentase dan semua laporan untuk melakukan pertemuan ini. Dan pada akhirnya, ia tumbang sesaat setelah investor tersebut menandatangani kontrak kerja sama. "Helsa...," panggil Renata. Wanita paru baya itu menepuk-nepuk pelan pipi putrinya, namun hasilnya nihil, Helsa sama sekali tidak sadarkan diri.Renata segera menghubungi Adryan. Untuk beberapa saat belum ada jawaban, sampai pada panggilan keempat barulah pria itu menjawabnya."Hallo, Ma...,"Renata menarik nafas sebentar. "Rumah sakit Mitra Husada, sekarang Adryan." *** Langkah kakinya dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit Mitra Husada. Adryan tidak mengh
"Devan..., tante Diandra kangen," seru Diandra sembari memeluk bocah tersebut."Tante Andra cantik deh," puji Devan."Makasih, Sayang," balas Diandra.Devan menyodorkan tangan, "bagi duit merah tante Andra, kan Devan udah bilang tante cantik."Diandra memelototkan matanya, bisa-bisanya bocah ini meminta imbalan padanya. Duh, ajaran siapa sih bocah satu ini."Jangan gitu dong, kita kan temenan," rayu Diandra."Tante Andra tuh temannya Mami, bukan Devan," balas Devan. Ia kemudian sibuk melihat-lihat beberapa pajangan di dalam caffe tersebut.Helsa dan Citra terkikik mendengar percakapan Diandra dan Devan. Pas banget Devan ketemu sama aunty yang lemot nya nggak hilang-hilang."Sa, anak lo ngeselin banget, sumpah!""Devan lo ajak bicara," celetuk Citra.Sore itu mereka tidak sengaja bertemu di Cafe yang ada di rumah sakit Mawar Medika. Citra dan Diandra akan menjenguk Ando yang sakit. Guru olahraga itu mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu."Kalian kenapa nggak bilang sama gue kala
Acara reuni sudah selesai. Helsa pikir dia tidak akan bertemu Akmal lagi setelah itu, tapi hari ini mereka dipertemukan kembali.Seperti saat ini, lagi-lagi dia bersama Akmal di pinggir jalan yang tidak jauh dari markas TNI. Akmal yang baru saja akan menjemput kekasihnya pun bertemu Helsa yang sedang meratapi ban mobilnya yang pecah."Pakai derek aja ke bengkelnya, aku antar kamu pulang," ujar Akmal. Pria itu lengkap dengan seragam lorengnya.Entah sudah berapa kali Akmal menawarinya, tapi Helsa tetap menolak. Hari sudah semakin gelap."Gue nggak mau terjadi salah paham," jujur Helsa."Aku yang tanggung jawab di depan suami kamu," sahut Akmal, "ponsel kamu aja mati total."Tertegun. Mungkin lebih baik Helsa pulang bersama Akmal, lagian setelah dipikir-pikir dia tak ada apa-apanya dengan tentara satu ini."Mau, kan?" Akmal bertanya lagi, memastikan Helsa mau pulang bersamanya."Antar gue di depan perumahan aja," jawab Helsa.Dia tidak ingin Akmal tahu dimana rumahnya sekarang, karena j
Weekend adalah hari bermalas-malasan Adryan untuk berangkat ke rumah sakit. Bagaimana tidak, istri dan anaknya asyik di rumah, sedangkan ia harus bekerja. Padahal kan, dia juga ingin berlibur.Ya, setiap sabtu Helsa dan Devan memang libur.Pukul lima pagi Helsa sudah terjaga. Mandi, menyiapkan sarapan, dan juga pakaian kerja suaminya. Helsa juga sempat mengintip Devan di kamar, anaknya masih tertidur, sama seperti Adryan.Sudah selesai dengan semuanya, wanita tersebut kembali ke kamar untuk membangunkan bayi besarnya.Bayi besar? Itu karena Adryan berlaku manja sejak Helsa kembali dari Kanada.Helsa duduk pada bibir ranjang, ia usap lengan suaminya, "Mas, Helsa udah sejam berkutat di dapur, masih aja tidur,"Hanya sedikit erangan yang terdengar, sekali lagi Helsa membangunkannya. Menarik selimut yang menutup sebatas pinggang."Good morning, babe," ucap Adryan. Ia menarik tangan Helsa dan mengecupnya. Aish, jantung aman?Helsa hanya bergumam, ia beranjak dari sana membuka gorden jendel
Satu minggu setelah pertemuan Akmal dan Helsa. Devan selalu memberitahu bahwa teman Maminya yang ia panggil om tentara itu selalu mendatangi sekolahnya. Akmal mengetahui sekolah Devan dari Ranaya. Pria itu memaksa Ranaya agar mau jujur. Takut dimarahi Helsa, sebelum Akmal bertemu Devan, Ranaya meminta maaf pada sahabatnya. Helsa tidak menyalahkan Ranaya, sama sekali tidak. Karena dia tahu hal semacam ini akan terjadi. "Jadi, dia sering ke sekolah bertemu Devan?" tanya Adryan. Helsa menjawab dengan anggukan kecil. Sekarang mereka berada dalam satu mobil menuju rumah Mamanya. Seharian ini Devan di rumah Renata. "Kamu nggak marah, kan, kalau Akmal sering ketemu Devan?" tanya Adryan lagi. "Mas tau apa yang paling Helsa takutin disini." Adryan meraih tangan kanan istrinya, mencium punggung tangan itu. "Dia tahu Devan lebih butuh kamu, Sayang." "Mas, apa Helsa cerita sama Mama?" tanya Helsa. "Jangan buat Mama sakit karena hal semacam ini. Kamu tau kan, gimana perasaan Mama sama dia
"Mami..!Wanita itu menoleh, tersenyum melihat jagoan kecilnya berlari menghampirinya. Helsa merentangkan tangan, menyambut pelukan Devan. Devan mencium pipi Helsa, lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Mami pakai mobil Papi? Mobil Mami kemana? Kok Papi nggak jemput Devan?" tanyanya beruntun. "Lagi di service. Emang salah kalau Mami yang jemput?" Devan mencebik, "Devan kan udah bilang Mami nggak boleh jemput Devan.""Papi lagi sibuk," timpal Helsa. "Mami nggak kerja? Emang Oma nggak marah?" "Nggak. Mami udah ijin sama Oma," sahut Helsa, "ayo kita masuk." Helsa membuka pintu mobil untuk Devan, memakaikan seatbelt untuknya, lalu turut masuk ke dalam. "Kita jemput Papi dulu," kata Helsa. "Papi pulang cepet banget." "Nggak tau, Mami cuma disuruh gitu." Mobil keluar dari parkiran sekolah tersebut, dan melaju dengan kecepatan sedang menuju Mawar Medika. Hari ini mobilnya masuk service, jadi Helsa memakai mobil Adryan. Pria itu pun meminta untuk menjemput Devan sebelum kemba
Hari berlalu, bulan pun berganti. Satu tahun sudah Helsa berada di Jakarta. Selain mengurus keluarganya, Helsa pun disibukkan dengan pekerjaannya. Jabatannya yang hanya karyawan biasa di perusahaan Papanya sudah naik satu tingkat menjadi sekretaris Mamanya. Helsa sendiri yang meminta belajar dari bawah dahulu. "Devan-," panggil Adryan. Suasana meja makan terasa hening, biasanya Devan yang selalu banyak bicara. Menceritakan tentang sekolahnya, tentang teman-temannya yang absurd, guru yang cerewet, dan masih banyak lagi."Devandra-," sekali lagi Adryan memanggilnya.Tidak ada sahutan sama sekali, bocah itu malahan turun dengan membawa piringnya hendak makan di pantry dapur. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar deheman pria dewasa tersebut. "Azlan Devandra Van Brawi-," "Ia, Papi," sahut Devan. Jika Adryan sudah menyebut dengan nama lengkapnya, maka Devan tahu Papinya sedang tidak bercanda."Kenapa diemin Maminya dari kemarin, hm?" Devan mendekat pada kursi yang ditempati Ad