Helsa menggeliat kecil dalam tidur, kelopak matanya perlahan terbuka. Pemandangan di depan ini membuatnya tersenyum kecil, wajah Akmal terlihat damai dalam tidur. Dengan jemari lentiknya, dia meraba rahang tegas itu. Akmal mirip seperti mamanya, mata dan juga bentuk wajahnya sama persis.
Akmal sudah mulai terganggu dengan aksi Helsa yang terus menangkup wajahnya. Lihat bagaimana netra keduanya bertemu, Helsa tampak memperhatikannya dengan seksama. Akmal tersenyum samar, tangannya mempererat pelukannya pada pinggang kekasihnya. Lebih dekat, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.
Pemuda itu mengerjap mata berulang kali, kepalanya terasa pusing akibat alkohol semalam.
"Mau aku buatkan mie instan?" tawar Helsa. Gadis itu cukup tahu bahwa biasanya orang yang baru sadar dari mabuk akan lebih nikmat jika memakan sesuatu pedas, misalkan mie instan.
"Boleh," jawabnya senang.
"Tapi masih pagi banget, Al," keluh Helsa. Ya, jam baru menunjukkan pukul lima pagi. Entah mengapa keduanya bangun secepat ini.
"Ya udah."
"Ya udah apa?" tanya Helsa bingung.
"Lanjut tidur."
"Nggak, udah pagi," sergah Helsa.
"Aku mau nanya, boleh?" tambah Helsa.
"Apa sayang?"
"Kenapa segala sesuatu kamu harus pakai alkohol? Maksud aku apa nggak ada cara yang bisa atasi masalah kamu?" tanya Helsa.
"Maaf, sayang."
"Al, alkohol nggak bisa selesaikan masalah sekecil apapun itu. Kamu bisa cerita ke aku," tutur Helsa lembut.
"Apa nanti aku masih bisa cerita ke kamu, kalau penyebabnya adalah kamu sendiri?" Akmal bertanya, tatapannya begitu sendu.
Helsa tidak mengerti apa maksud lelaki itu, dia mengubah posisi bersandar pada kepala ranjang.
"Sa, jawab!" desak Akmal.
"Al, kamu ngomong apa sih!"
"Kamu tahu aku selalu takut. Setiap aku terbangun dari tidur aku selalu memastikan keberadaan kamu, aku ngeliat chat terakhir kita, apa baik-baik saja?"
Akmal memejamkan matanya, "kamu cuma milik aku."
"Kamu bisa janji nggak bakal pergi kan, sayang?" Akmal terus memastikan.
"Iya, kita bakal sama-sama terus," ucap Helsa bersungguh-sungguh.
Begitulah Akmal. Ketakutan akan kepergian Helsa selalu menghantuinya. Setiap hari dia akan selalu bertanya mengenai perasaan gadisnya itu, apakah Helsa bosan padanya? Apakah Helsa masih mencintainya?
***
Suasana SMA Harapan pagi itu sangat ramai. Kepala sekolah dan guru sedang mengadakan rapat persiapan ujian akhir semester nanti. Para muridnya berhamburan memenuhi halaman sekolah, ada yang ke kantin, bermain futsal, berpacaran, dan masih banyak lagi.
Sepasang remaja baru memasuki gerbang sekolah, vespa black matte itu melaju pelan masuk parkiran sekolah. Hari ini memang bebas. Akmal dan Helsa sengaja datang agak siang.
Baru hendak menanggalkan helm, Kevin datang terburu-buru dari arah lapangan basket, lelaki itu terlihat panik.
"Lo kenapa?" tanya Akmal
"Billy," sebut Kevin.
"Kenapa lagi si brengsek itu?"
"Dia nyariin lo, Al. Katanya kalau lo nggak datang sekarang, dia bakal serang sekolah," terang Kevin.
"Al..." Helsa mencekal lengan kekasihnya, menggeleng keras agar dia tidak kemana-mana. Helsa takut akan berakhir baku hantam.
"Sa, kali ini aja," pinta Kevin, "gue jamin Akmal nggak berantem."
Helsa beralih memandang Akmal, mencari kepastian bahwa Akmal tidak akan adu otot dengan musuhnya itu.
"Kamu ikut aku," kata Akmal. Helsa mengiyakan saja, lebih baik juga jika dia turut serta bertemu Billy. Akmal tidak akan berani macam-macam jika ada dia disana.
Mereka melangkah ke arah gerbang belakang sekolah, dengan Akmal yang terus menggenggam tangan Helsa. Disana ada beberapa anak Bunga Bangsa yang datang bersama si pengecut Billy, lelaki itu menyeringai tajam ketika mendapati Akmal datang.
"Langsung ke inti, lo mau apa dari gue?" tanya Akmal pada Billy.
Billy tertawa mendapati Helsa yang terus disamping musuhnya itu.
"Lo cewek ngapain kesini? Mau melindungi cowok lo yang banci ini?"
Merasa tidak ditanggapi Helsa, Billy melempar pandangan pada Akmal. "Gue denger lo dikeluarin dari sekolah?"
"Bukan urusan lo!" ketus Akmal.
"Helsa, hati-hati kalau Akmal pindah sekolah," peringat Billy.
"Lo mau mencoba racuni pikiran cewek gue? Lo salah!" tukas Akmal.
"Siapa yang nggak tahu Akmal Malik? Cowok brengsek, penjahat selangkangan," ujar Billy.
Akmal menggeram tertahan, Helsa terus mencekalnya.
"Waktu gue cuma buat Helsa. Gue nggak punya waktu buat ladenin SAMPAH kayak lo! " tukas Akmal.
"Oh ya? Gimana kalau misalnya gue panggil Sheren kesini, dan ceritakan semua tentang lo berdua. Apa waktu untuk kekasih sialan lo ini masih ada?"
Billy mendekat pada Helsa, dan berbisik pelan dekat telinga gadis itu. "Cowok lo player, hati-hati." Belum selesai, Billy memandang Helsa dari ujung sepatu hingga rambutnya. "Atau mungkin Akmal udah nyentuh lo lebih?"
PLAK!!!
Semua mata memandang Helsa, termasuk Akmal yang tidak menyangka Helsa akan melakukan itu pada musuhnya. Satu tamparan, ehm ralat, lebih tepatnya Helsa membogem wajah Billy. Lelaki itu tertawa, memegang pipinya yang terasa sakit.
"Mulut sampah lo itu harus dikasih pelajaran!" teriak Helsa.
"BERANI LO SAMA GUE?" Billy berteriak kencang di wajah Helsa.
"BRENGSEK!" Akmal memukul Billy dengan brutal, meskipun Billy membalasnya, namun tenaga lelaki itu terkalahkan. Akmal mendominasinya.
Lihat bagaimana teman-temannya mundur satu persatu dari sana, meninggalkan Billy yang terus dihajar Akmal habis-habisan.
"BERANI LO TERIAKIN CEWEK GUE?"
Semakin kencang, Akmal tidak membiarkan Helsa menahannya.
"AKMAL, UDAH!! STOP!! BILLY BISA MATI!!"
Akmal tidak menghiraukan kekasihnya, dia tidak mengampuni lelaki brengsek itu. Pukulan demi pukulan diterima Billy, lelaki dengan seragam pramuka itu hampir hilang kesadaran kalau saja Helsa tidak menghalangi tubuhnya.
"AWAS, HELSA!"
"NGGAK, AKMAL! BILLY BISA MATI, STOP!!"
"KALAU DIA KENAPA-KENAPA, KAMU YANG BAKAL DISERET KE TAHANAN!"
Emosinya meredah, Akmal menahan kepalan tangannya ketika Helsa menyebut nasibnya jika terjadi sesuatu pada Billy. Bahkan sekarang bisa saja dia dilaporkan atas tuduhan penganiayaan. Benar kata Helsa, dia bisa menjadi tahanan polisi jika Billy mati atau sekarat.
Melihat Akmal yang sudah mulai tenang, dengan cepat Helsa berbalik menghadap Billy. Raut wajah terlihat panik melihat lelaki itu sudah tidak berdaya.
"Gue anterin lo ke rumah sakit."
Dua minggu setelah pertengkaran hebat antara Akmal dan Billy, Helsa sama sekali tidak menunjukkan wajahnya pada Akmal. Pembicaraan mengenai masa lalu Akmall dan Sheren membuatnya bingung harus apa.Helsa ingin bertanya, namun enggan sakit hati.Sekarang dia menjaga jarak dari Akmal, dia tidak keluar kelas sama sekali. Masih terlalu banyak yang disembunyikan oleh Akmal.Selama dua minggu ini Akmal terus mendatangi rumah Helsa, meminta maaf pada kekasihnya, namun kebungkaman yang dia dapati."Sa, dicariin sama Akmal. Temuin dia, jangan kayak gini," ujar Citra penuh ibah.Helsa menggeleng keras, "nggak Cit."Belum sempat Citra membalasnya, mereka dikagetkan dengan Akmal yang datang dan duduk tepat pada kursi milik Ranaya yang sekarang sedang asyik jajan diluar."Citra, gue mau ngomong sama Helsa," kata Akmal seolah meminta Citra untuk meninggalkan keduanya.Citra paham, dan segera beranjak dari sana. Ruang kelas itu tampak s
Hubungan Akmal dan Helsa semakin hari membuat banyak orang iri dan cemburu, semenjak mendapat izin dari Yuda, Akmal benar-benar memegang amanah itu. Walaupun Renata tidak menyukainya, Akmal tetap pada pendiriannya untuk terus bersama gadis itu.Waktu terus berlalu, dan sampailah pada hari yang sangat tidak disukai Helsa. Dilihat dari pelukan yang begitu erat seakan tidak ingin melepas, hari ini Akmal resmi dikeluarkan dari sekolah. Gadis bersurai panjang itu tampak sedih. Hari-hari di sekolah akan terasa berbeda bagi Helsa dengan tidak adanya Akmal."Nggak usah sedih." Akmal mengusap wajah murung Helsa, mencapit hidung mancung yang menjadi favoritnya.Helsa mengurai pelukan, "Kenapa nggak minta di skors aja sih?!""Kan aku udah bilang ini emang udah jalannya," pungkas Akmal.Dia menarik Helsa ke dalam pelukannya, lalu dikecupnya kening gadis itu. Seakan tidak peduli dengan banyaknya murid di parkiran sekolah, Akmal terus melakukan itu berulang kali
Helsa memandang jalanan rumahnya dari atas balkon kamar, ditemani segelas coklat hangat gadis itu menikmati dinginnya hujan malam ini.Satu bulan sudah Akmal pindah ke SMA Diaksa, dan selama itu juga Akmal tidak pernah menjemputnya. Akmal juga hanya membalas sangat singkat chat darinya.Apa mungkin Akmal sedang sakit?Helsa mendengus pelan, dia merindukan kekasihnya. Bahkan untuk berbicara via ponsel saja susah. Memang selama satu bulan ini pemuda itu disibukkan dengan latihan futsal karena September nanti akan ada pertandingan antar sekolah Menengah Atas.Entah bagaimana bisa kekasihnya sudah tergabung dalam team futsal sekolah barunya.Saat hendak masuk kembali ke kamarnya, suara klakson motor yang sangat dikenali menyeruak ke telinganya. Helsa memandang ke arah gerbang rumah, dan benar saja pemuda itu disana.Akmal basah-basahan diluar sana. Apa dia tidak memiliki mantel hujan?Terlihat pemuda itu melambaikan tangan pada Helsa. Den
Hari senin adalah hari malas-malasan bagi kebanyakan orang. Salah satunya adalah Helsa. Hari ini juga ia harus terlambat masuk sekolah dikarenakan pacarnya yang menjemput terlambat. Tidak mengikuti apel bendera, dan sebagai imbasnya tidak mengikuti jam pertama pelajaran. Helsa harus kemana jika seperti ini? Oh jelas saja ia harus ke perpustakaan, untuk apa berkeliaran di halaman sekolah disaat jam pelajaran seperti ini. Apalagi guru piket hari ini adalah pak Darwin. Perpustakaan sangat sepi, hanya ada salah satu stafnya yang sedang berjaga. Gadis itu berjalan menyusuri setiap baris rak buku yang menjulang tinggi, mencari novel yang bagus untuk dibaca. Helsa memang suka membaca novel. Satu novel bergenre fantasi sudah ada ditangannya, Helsa mengambil tempat dekat sudut perpustakaan. Gadis itu tampak sekali larut dalam bacaannya, sampai sebuah tangan menyodorkan coklat diatas lembaran novel. Dia cukup terkejut mendapati siapa pemilik coklat tersebut. Ja
Benci. Satu kata yang menggambarkan perasaannya beberapa tahun ini. Pandangan itu tidak luput dari gadis dihadapannya, seolah ingin menerkam sekarang juga. Senyum itu bukan yang diinginkannya, kebahagian tidak boleh gadis itu rasakan. Selalu berdecih jijik dalam diam setiap kali melihat kemesraan mereka.Suasana kantin SMA Harapan hari ini jauh dari kata ramai, jam istirahat sudah berjalan lima menit. Helsa dan kelima sahabatnya sudah asyik bercanda di kantin sembari menunggu bakmi pesanan mereka."Semalam Akmal ke rumah gue, Sa," ujar Bella."Ngapain?" dahinya mengkerut, Helsa ingin tahu."Dia mau jemput lo, cuma datangnya telat.""Oh gitu. Nggak sekolah dia hari ini," kata Helsa sembari menyeruput orange jus milik Ranaya.
Semenjak hari kemarin saat Helsa kehujanan di jalan, Akmal tidak pernah absen untuk pergi dan pulang bersama pacarnya, meskipun jam pulang dua sekolah itu sedikit berbeda, tidak pernah cowok itu melewati tugasnya.SMA Diaksa masih sepi, beberapa murid baru berdatangan. Parkiran sekolah pun sama sepinya seperti hati author. Saat hendak keluar dari sana, tangan halus mencekal pergelangan tangannya. Akmal tersentak saat mendapati Rania di belakangnya."Gue minta nomor ponsel lo," kata Rania dengan gaya angkuhnya."Mau ngapain?" sikap Akmal sangat dingin, dia tidak suka dengan perempuan agresif seperti Rania. Sejak malam pertemuan pertama mereka, Akmal selalu berjaga-jaga.Rania tersenyum jenaka, "mau pacaran.""Sinting." Akmal m
Perpustakaan SMA Harapan siang itu sangat sepi. Biasanya akan sangat ramai saat jam istirahat seperti ini. Setelah selesai makan, Helsa berpamitan pada sahabat-sahabatnya untuk ke sini. Seperti biasa, novel yang ia baca tempo hari belum selesai. Di setiap lorong yang disekat rak buku itu Helsa tidak menjumpai novel itu, padahal sudah disimpan pada tempatnya. Dengan berat hati, gadis itu membatalkan acar bacanya. Namun seseorang datang dan memberikan novel itu. "Lo suka novel bergenre fantasi?" tanya Dito. Ardito. Kenapa Helsa harus berhadapan lagi dengan dia? Dua hari yang lalu, Dito menitipkan tas Helsa pada Bella. Meskipun satu sekolah, Helsa tidak ingin bertemu dengan sosok yang satu ini. Gadis itu takut kalau sewaktu-waktu Akmal mengetahui keberadaan mantan pacarnya ini, apalagi Helsa tidak pernah menceritaka
Pagi sekali Akmal menjemput Helsa di rumah, seperti biasa mereka selalu berangkat bersama. Dalam perjalanan, hanya ada keheningan. Helsa dengan pikirannya, dan Akmal pun seperti itu, dia masih memikirkan perihal laki-laki yang membuat pacarnya menangis. "Al, kata Arjun, pembukaan piala bergilir Diaksa nanti sekolah kamu dan sekolah aku lawan ya?" tanya Helsa memecahkan keheningan. "Iya, futsal sama basket. Kamu nonton kan?" sahut Akmal. "Kalau aku nonton futsal, aku jadi dilema harus dukung siapa. Team yang satunya sekolah aku, yang satunya lagi ada pacar aku." Akmal terkekeh, "dukung sekolah kamu aja." "Kamu nggak apa-apa kalau nanti aku teriakin namanya Arjun atau yang lainnya?" tanya Helsa.
Lima hari sudah Adryan tidak kembali ke rumah. Kata Bunda, pria itu sedang berada di apartemen. Bunda sudah memberikan kotak berisi testpack padanya. Entah kenapa, tidak ada reaksi apapun dari pria itu.Setelah pulang mengantarkan Devan ke sekolah, wanita yang kini berbadan dua itu mampir kesana. Kebetulan letak Cafe itu tak jauh dari sekolahan anaknya.Helsa hanya ingin menikmati cheesecake. Lagian di rumah hanya dia sendiri. Oh ya, dia dan Devan tetap di rumah mereka. Bunda melarang ia pulang ke rumah Mamanya.Helsa menceritakan kesalahpahaman yang terjadi pada mertuanya.Pandangannya keluar kaca jendela. Kebetulan macam apa yang harus membuatnya bertemu dengan mantan kekasihnya. Akmal lengkap dengan seragamnya.Helsa bercedak pelan, seharusnya dia tidak bertemu lagi dengan pria itu."Helsa, kamu disini juga?"Helsa meraih tas, ingin beranjak dari sana, namun dicegah pria itu. "Cake kamu belum habis. Mubazir," sebut Akmal."Gue boleh duduk disini?" tanya Akmal."Silahkan," kata Helsa
BMW hitam memasuki pekarangan rumah berlantai tiga itu tepat pukul lima sore. Setelah memarkirkan mobil, sang empunya keluar dari sana. Disambut baik istri dan juga anaknya. Helsa mencium punggung tangan kekar itu, lalu dibalas kecupan singkat pada dahinya."Bagaimana harinya?" tanya Adryan.Helsa tersenyum menerima satu buket bunga mawar putih kesukaannya. Buket bunga kelima, di hari kelima cuti."Papi nanya Devan dong, Mami aja yang ditanya," protes Devan yang kini duduk pada kursi piano.Nggak mau kalah ini bocah satu.Adryan mendekatinya. "Bagaimana hari ini Singa kecilnya Papi?" Ia mencium gemas anaknya, tak lupa Devan pun mencium punggung tangan Papinya."Baik dong, hari ini Devan langsung pulang ke rumah. Om Jefry sama tante Vio yang nganterin," jawab Devan, semangat.Helsa berlalu meninggalkan percakapan Ayah dan anak tersebut. Tak lupa membawa serta tas dan juga jas milik Adryan. Akan panjang jika ia harus menunggu keduanya selesai dengan perbincangan, mulai dari yang penting
Siang itu kantor pusat Perusahaan Andrean Corp dibuat panik pada lantai sepuluh, tepatnya di dalam ruangan meeting. Renata memberi perintah untuk mengangkat tubuh lemah tak berdaya putrinya yang jatuh di depan ruangan tersebut setelah hampir dua jam melakukan pertemuan dengan salah satu investor asal Rusia. Beberapa hari ini Helsa terlihat kelelahan karena menyiapkan persentase dan semua laporan untuk melakukan pertemuan ini. Dan pada akhirnya, ia tumbang sesaat setelah investor tersebut menandatangani kontrak kerja sama. "Helsa...," panggil Renata. Wanita paru baya itu menepuk-nepuk pelan pipi putrinya, namun hasilnya nihil, Helsa sama sekali tidak sadarkan diri.Renata segera menghubungi Adryan. Untuk beberapa saat belum ada jawaban, sampai pada panggilan keempat barulah pria itu menjawabnya."Hallo, Ma...,"Renata menarik nafas sebentar. "Rumah sakit Mitra Husada, sekarang Adryan." *** Langkah kakinya dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit Mitra Husada. Adryan tidak mengh
"Devan..., tante Diandra kangen," seru Diandra sembari memeluk bocah tersebut."Tante Andra cantik deh," puji Devan."Makasih, Sayang," balas Diandra.Devan menyodorkan tangan, "bagi duit merah tante Andra, kan Devan udah bilang tante cantik."Diandra memelototkan matanya, bisa-bisanya bocah ini meminta imbalan padanya. Duh, ajaran siapa sih bocah satu ini."Jangan gitu dong, kita kan temenan," rayu Diandra."Tante Andra tuh temannya Mami, bukan Devan," balas Devan. Ia kemudian sibuk melihat-lihat beberapa pajangan di dalam caffe tersebut.Helsa dan Citra terkikik mendengar percakapan Diandra dan Devan. Pas banget Devan ketemu sama aunty yang lemot nya nggak hilang-hilang."Sa, anak lo ngeselin banget, sumpah!""Devan lo ajak bicara," celetuk Citra.Sore itu mereka tidak sengaja bertemu di Cafe yang ada di rumah sakit Mawar Medika. Citra dan Diandra akan menjenguk Ando yang sakit. Guru olahraga itu mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu."Kalian kenapa nggak bilang sama gue kala
Acara reuni sudah selesai. Helsa pikir dia tidak akan bertemu Akmal lagi setelah itu, tapi hari ini mereka dipertemukan kembali.Seperti saat ini, lagi-lagi dia bersama Akmal di pinggir jalan yang tidak jauh dari markas TNI. Akmal yang baru saja akan menjemput kekasihnya pun bertemu Helsa yang sedang meratapi ban mobilnya yang pecah."Pakai derek aja ke bengkelnya, aku antar kamu pulang," ujar Akmal. Pria itu lengkap dengan seragam lorengnya.Entah sudah berapa kali Akmal menawarinya, tapi Helsa tetap menolak. Hari sudah semakin gelap."Gue nggak mau terjadi salah paham," jujur Helsa."Aku yang tanggung jawab di depan suami kamu," sahut Akmal, "ponsel kamu aja mati total."Tertegun. Mungkin lebih baik Helsa pulang bersama Akmal, lagian setelah dipikir-pikir dia tak ada apa-apanya dengan tentara satu ini."Mau, kan?" Akmal bertanya lagi, memastikan Helsa mau pulang bersamanya."Antar gue di depan perumahan aja," jawab Helsa.Dia tidak ingin Akmal tahu dimana rumahnya sekarang, karena j
Weekend adalah hari bermalas-malasan Adryan untuk berangkat ke rumah sakit. Bagaimana tidak, istri dan anaknya asyik di rumah, sedangkan ia harus bekerja. Padahal kan, dia juga ingin berlibur.Ya, setiap sabtu Helsa dan Devan memang libur.Pukul lima pagi Helsa sudah terjaga. Mandi, menyiapkan sarapan, dan juga pakaian kerja suaminya. Helsa juga sempat mengintip Devan di kamar, anaknya masih tertidur, sama seperti Adryan.Sudah selesai dengan semuanya, wanita tersebut kembali ke kamar untuk membangunkan bayi besarnya.Bayi besar? Itu karena Adryan berlaku manja sejak Helsa kembali dari Kanada.Helsa duduk pada bibir ranjang, ia usap lengan suaminya, "Mas, Helsa udah sejam berkutat di dapur, masih aja tidur,"Hanya sedikit erangan yang terdengar, sekali lagi Helsa membangunkannya. Menarik selimut yang menutup sebatas pinggang."Good morning, babe," ucap Adryan. Ia menarik tangan Helsa dan mengecupnya. Aish, jantung aman?Helsa hanya bergumam, ia beranjak dari sana membuka gorden jendel
Satu minggu setelah pertemuan Akmal dan Helsa. Devan selalu memberitahu bahwa teman Maminya yang ia panggil om tentara itu selalu mendatangi sekolahnya. Akmal mengetahui sekolah Devan dari Ranaya. Pria itu memaksa Ranaya agar mau jujur. Takut dimarahi Helsa, sebelum Akmal bertemu Devan, Ranaya meminta maaf pada sahabatnya. Helsa tidak menyalahkan Ranaya, sama sekali tidak. Karena dia tahu hal semacam ini akan terjadi. "Jadi, dia sering ke sekolah bertemu Devan?" tanya Adryan. Helsa menjawab dengan anggukan kecil. Sekarang mereka berada dalam satu mobil menuju rumah Mamanya. Seharian ini Devan di rumah Renata. "Kamu nggak marah, kan, kalau Akmal sering ketemu Devan?" tanya Adryan lagi. "Mas tau apa yang paling Helsa takutin disini." Adryan meraih tangan kanan istrinya, mencium punggung tangan itu. "Dia tahu Devan lebih butuh kamu, Sayang." "Mas, apa Helsa cerita sama Mama?" tanya Helsa. "Jangan buat Mama sakit karena hal semacam ini. Kamu tau kan, gimana perasaan Mama sama dia
"Mami..!Wanita itu menoleh, tersenyum melihat jagoan kecilnya berlari menghampirinya. Helsa merentangkan tangan, menyambut pelukan Devan. Devan mencium pipi Helsa, lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Mami pakai mobil Papi? Mobil Mami kemana? Kok Papi nggak jemput Devan?" tanyanya beruntun. "Lagi di service. Emang salah kalau Mami yang jemput?" Devan mencebik, "Devan kan udah bilang Mami nggak boleh jemput Devan.""Papi lagi sibuk," timpal Helsa. "Mami nggak kerja? Emang Oma nggak marah?" "Nggak. Mami udah ijin sama Oma," sahut Helsa, "ayo kita masuk." Helsa membuka pintu mobil untuk Devan, memakaikan seatbelt untuknya, lalu turut masuk ke dalam. "Kita jemput Papi dulu," kata Helsa. "Papi pulang cepet banget." "Nggak tau, Mami cuma disuruh gitu." Mobil keluar dari parkiran sekolah tersebut, dan melaju dengan kecepatan sedang menuju Mawar Medika. Hari ini mobilnya masuk service, jadi Helsa memakai mobil Adryan. Pria itu pun meminta untuk menjemput Devan sebelum kemba
Hari berlalu, bulan pun berganti. Satu tahun sudah Helsa berada di Jakarta. Selain mengurus keluarganya, Helsa pun disibukkan dengan pekerjaannya. Jabatannya yang hanya karyawan biasa di perusahaan Papanya sudah naik satu tingkat menjadi sekretaris Mamanya. Helsa sendiri yang meminta belajar dari bawah dahulu. "Devan-," panggil Adryan. Suasana meja makan terasa hening, biasanya Devan yang selalu banyak bicara. Menceritakan tentang sekolahnya, tentang teman-temannya yang absurd, guru yang cerewet, dan masih banyak lagi."Devandra-," sekali lagi Adryan memanggilnya.Tidak ada sahutan sama sekali, bocah itu malahan turun dengan membawa piringnya hendak makan di pantry dapur. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar deheman pria dewasa tersebut. "Azlan Devandra Van Brawi-," "Ia, Papi," sahut Devan. Jika Adryan sudah menyebut dengan nama lengkapnya, maka Devan tahu Papinya sedang tidak bercanda."Kenapa diemin Maminya dari kemarin, hm?" Devan mendekat pada kursi yang ditempati Ad