Selesai makan malam, Helsa memutuskan untuk naik ke kamarnya. Seperti malam-malam sebelumnya, gadis itu selalu sendiri. Seharian ini Akmal tidak menghubungi Helsa, biasanya jika hari minggu seperti sekarang, Akmal akan meminta Helsa ke rumahnya.
Dering panggilan dari handphonenya mengalihkan pandangannya, Helsa segera meraih benda pipih itu dari nakas. Dari layar, nama Ando terpampang dengan jelas. Tumben sekali Ando menghubunginya.
"Hallo, An."
"Bawa pulang cowok lu sekarang," ujar Ando dari seberang sana.
" Gue nggak ngerti, maksudnya gimana?
"Akmal mabuk berat di rumah gue. Nggak tahu punya masalah apa lagi."
Helsa berdecak kesal, "kenapa lagi sih itu orang?!Gue kesana sekarang," ucap Helsa.
"Ok, kita tunggu."
Helsa memutuskan panggilan itu, dan beranjak dari ranjangnya. Gadis itu mengambil dompet, hoodie, dan keluar dari kamarnya. Sebelum dia berangkat, terlebih dahulu memberitahu mbak Ana.
"Mba Ana, Echa keluar bentar. Ada urusan," lapornya pada mbak Ana yang masih sibuk di dapur.
"Iya, tapi bawah kunci rumah kan?"
"Iya. Echa berangkat," katanya dan berlalu meninggalkan mbak Ana.
Ini sudah pukul delapan malam, jalanan masih cukup ramai. Helsa berdiri di gerbang rumah menunggu taxi online yang dia pesan.
Kenapa malam ini Helsa tidak mencurigainya? Jika tanpa kabar, kekasihnya selalu yang berbuat aneh-aneh, misalkan minum sampai mabuk seperti ini. Helsa tidak melarangnya, tapi harus tahu batasan. Tapi, malam ini pemuda itu membuat Helsa ingin mencekiknya.
"Mbak Helsa, ya?" tanya sopir online yang dipesan Helsa.
"Iya, pak."
Bapak itu tersenyum ramah padanya, segera Helsa memasuki mobil avanza putih tersebut. Mobil meninggalkan pelataran rumah. Waktu yang ditempuh menuju rumah Ando biasanya tiga puluh menit, kalau saja tidak macet. Helsa tampaknya gelisah. Sekali lagi dia mencari list panggilan Ando, dia menghubungi sahabatnya lagi.
"Hallo, An. Akmal masih disana, kan? Gue udah di jalan."
"Masih. Sebelum lo datang, dia nggak akan berhenti minum."
"Iya, iya. Udah ya, tahan dia nggak usah minum."
Sambungan telepon terputus, Helsa menggeram saat tahu Akmal masih terus menyentuh barang haram itu.
***
Mobil avanza putih itu berhenti tepat pada gerbang rumah bercat biru, Helsa segera membayar tagihan perjalanannya. Gadis itu cepat-cepat turun dari mobil, membuka gerbang dan berjalan cepat memasuki rumah Ando.
Pekarangan rumah Ando begitu padat diisi dengan motor milik anak-anak SMA Harapan, lebih tepatnya teman-temannya Akmal.
Di ruang tamu, Helsa bisa melihat begitu banyaknya mereka melingkari meja yang diatasnya banyak minuman beralkohol. Mata gadis itu jatuh pada sosok pemuda yang sedang meneguk satu gelas minuman tersebut.
Gadis itu berdehem, membuat banyak mata menatapnya penuh.
"Eh, ibu negara datang. Mau jemput, ya?" goda Kevin.
Akmal belum menyadari kehadiran kekasihnya. Bagaimana bisa, sedangkan dia mabuk berat.
"Sa, cepat lo bawah pulang. Bisa bolong lambungnya kalau dibiarin terus," sambung Ando.
"Kalian berantem?" tanya Arjun, pemuda itu bahkan tidak menyentuh minuman haram disana.
Helsa berjalan mendekati Akmal yang masih asyik dengan minumannya. Matanya berkaca-kaca mendapati Akmal yang terlihat berantakan. Helsa sudah tahu jika seperti ini, Akmal punya masalah lagi dengan orangtuanya. Meskipun jauh, papa dan mamanya bisa perang mulut dengan dia.
"Al ... Pulang," tutur Helsa dengan lembut.
Akmal mendongak, "sayang, ngapain kesini?"
"Kamu yang ngapain disini? Ayo, pulang!" Helsa masih bisa menahan amarahnya, padahal sejak tadi emosi sudah menggebu.
Akmal merengek seperti anak kecil, mengguncang-guncang tangan kekasihnya. "Aku masih lanjut, kamu pulang aja. Nggak enak sama yang lain."
"Lo pulang aja, Al. Helsa udah jemput," ujar Ando.
"Nggak! Kamu pulang aja, aku disini."
Helsa kesal. Kesabarannya sudah diambang batas. Gadis itu meraih gelas berisi alkohol yang hendak diteguk kekasihnya dan membanting ke lantai.
"AKMAL MALIK!!"
Semua mata tertuju pada Helsa. Suara teriakan itu membuat semuanya hening, tidak pernah Helsa semarah ini pada Akmal.
"Hmm," gumam Akmal
"Pulang sekarang!" teriak Helsa.
"Iya, iya ... Bawel banget sih. Kunci vespa sama dompet mana?"
"Udah aku kantongin, sekarang pulang."
Jika Helsa sudah berteriak namanya secara lengkap, dalam kondisi mabuk sekalipun Akmal akan mengiyakan permintaan kekasih bawelnya itu. Lihat, dia sudah berdiri, bersiap untuk pulang.
"Guys, gue pamit. Ibu negara udah jemput," ujarnya dalam kondisi setengah sadar.
"Hati-hati lo berdua. Helsa, lo aja yang bawa vespanya, bahaya Akmal mabuk."
"Kita pakai taxi. An, titip vespa di rumah lo dulu. Besok dia bawa pulang." Ando mengangguk patuh, lagian anak-anak ini pasti nginap di rumahnya.
Akmal berjalan disamping Helsa, dengan langkah sempoyongan pemuda itu memeluk erat pinggang kekasihnya. Tangan Helsa menuntun jalannya agar tidak tertabrak apapun.
Sembari menunggu taxi yang sudah dipesannya, gadis itu merapikan kondisi kekasihnya yang terlihat berantakan. Helsa menyugar rambut Akmal, merapikan sedikit bajunya.
"Kamu kenapa sih kalau punya masalah selalu mabuk? Udah ngerasa paling jagoan?" tanya Helsa dengan kekesalannya.
"Kita pulang pakai vespa aja, lama banget taxinya," ujar Akmal tidak menggubris pertanyaan Helsa.
"Kamu mau bunuh aku?" tanya Helsa.
"Bunuh? Bisa gila aku tanpa kamu," kekehnya. Helsa tahu Akmal mabuk, biarkan saja dia berbicara semaunya.
"Mbak Helsa, ya?" tanya supir taxi yang baru saja tiba.
"Bapak mau goda pacar saya? Jangan main-main sama saya pak," ancamnya pada supir taxi tersebut.
"Jangan didengerin, pak. Orangnya lagi mabuk," ucap Helsa.
"Nggak apa-apa, mba."
Helsa menuntun Akmal masuk ke mobil, lalu duduk disampingnya membiarkan Akmal tidur pada pahanya.
"Jalan, pak."
Mobil kemudian meninggalkan pelataran rumah Ando, bersama dengan Akmal yang terus meracau tidak jelas.
"Pacarnya mabuk, mba?" tanya supir tersebut.
"Iya, pak. Ada acara di rumah temannya, jadi dia minum kebanyakan."
Sopir itu mengangguk paham. Anak muda memang selalu seperti itu, apalagi mereka punya masalah.
"Sa, mereka jahat banget. Mereka nggak ngerti perasaan aku." Akmal terus meracau, pelukannya semakin erat pada Helsa.
"Mereka hanya pentingin keluarga baru, nggak ingat sama anaknya disini."
Sudah jelas. Akmal seperti ini karena orangtuanya. Lagi dan lagi.
"Cuma kamu dan tante Dilah yang ngertiin aku, mereka itu orang asing."
"Kamu beruntung, sayang. Kamu beruntung punya keluarga yang utuh."
Helsa tidak banyak bicara, biarkan Akmal mengeluarkan semua kekesalannya.
Beberapa saat kemudian taxi berhenti tepat di gerbang rumah Akmal, seperti sebelumnya Helsa membayar tagihan perjalanan mereka dan turun bersama Akmal. Helsa memapah kekasihnya masuk ke rumah.
Kunci rumah bertautan dengan kunci vespa, Helsa membiarkan Akmal duduk di sofa teras agar dia dengan leluasa bisa membuka pintu rumah.
"Al, ayo bangun. Pintu udah kebuka," ajak Helsa.
Akmal mengangguk. Kesadarannya sudah hilang 60%.
"Sa ..." panggilnya.
"Kenapa? Ayo kita masuk!"
"Dekat sini, aku mau ngomong."
"Kan bisa dari sini," balas Helsa.
Akmal berdecak. Dia berdiri berhadapan dengan Helsa, lalu dengan cepat menggendong Helsa seperti koala dan masuk ke rumahnya.
"Akmal ... turunin aku!" pekik Helsa.
"Pintu rumah belum ditutup," kata Helsa.
Akmal segera membalikkan badannya, masih dengan menggendong kekasihnya, pemuda itu kembali ke pintu depan dan menutupnya.
"Akmal, turunin aku," pinta Helsa, namun pemuda itu seolah tidak mendengarnya, dia terus menaiki anak tangga menuju kamarnya.
"Temenin aku tidur," bisiknya. Akmal menurunkan Helsa pada sofa yang ada di kamarnya. Dia duduk disamping kekasihnya, menatap Helsa penuh..
"Kamu mabuk, aku takut."
"Aku nggak mabuk, Sa." Akmal berjalan menuju pintu, dan menutupnya dengan rapat.
"Al, kamu jangan bercanda."
"Aku bisa kontrol diri," sanggahnya.
Suasana menjadi hening. Akmal kembali duduk disamping Helsa, dengan mata yang terlihat merah akibat alkohol, pemuda itu memeluk Helsa begitu kencang.
"Sayang, kalau nanti kita punya anak, kita jangan seperti mereka. Jangan egois," ucapnya.
"Aku nggak mau nasib anak aku sama seperti papanya, nggak dapat kasih sayang dari orangtua. Cukup aku, jangan dia." Akmal terisak dalam pelukan Helsa, menuangkan segala lara yang selalu dipendam.
"Nangis aja. Jangan ditahan, Al. Tumpahin semua kekesalan kamu, aku disini."
"Ini aku, Helsa. Anak laki-laki yang tumbuh dengan kerasnya kehidupan tanpa orang tua. Kenapa kamu mau sama aku, Sa? Aku gelap, aku berandalan sama seperti yang mama kamu bilang."
"Aku nggak pandang kamu seperti itu," jawab Helsa.
"Kamu punya aku, dan tante Dilah."
"Mereka memang nggak pernah peduli sama aku. Kalau mereka peduli, nggak mungkin mereka tinggalin aku dari kecil."
"Al, nggak ada orangtua yang nggak sayang anaknya. Ini cuma masalah jarak dan waktu," kata Helsa.
"Kamu jangan pergi, disini terus sama aku."
"Iya, aku sama kamu terus," jawab Helsa.
"Ayo tidur," ajaknya. Akmal tahu Helsa cemas dengan kondisinya, dia takut Akmal menyentuhnya lebih.
"Aku bisa kontrol diri, sayang," ujar Akmal.
"Serius, kan?" Helsa harus memastikan tidak terjadi sesuatu. Akmal mabuk, bisa saja dia hilang kendali.
Akmal menarik Helsa untuk segera tidur bersamanya, dia memeluk gadis itu dengan penuh sayang. Rasanya Akmal hanya memiliki Helsa di dunia ini, Helsa selalu ada disaat seperti ini.
Gadis itu menatap Akmal dengan seksama, begitu pun Akmal juga membalas tatapannya.
"Jangan pergi, Helsa. Aku nggak bakal tahu apa yang akan terjadi kalau suatu saat nanti kita bedah arah. Aku udah terlalu bergantung sama kamu, aku nggak bisa tanpa kamu."
Setelah mengatakan demikian, Akmal mengecup lama bibir ranum Helsa, kemudian beralih pada leher jenjang gadis itu. Tanpa sadar, Akmal menyentuh payudara Helsa dari luar. "Aku boleh jahat nggak?" tanya Akmal.
Helsa tidak menjawab pertanyaan itu, matanya memejam erat merasakan bibir kekasihnya yang terus menyentuh kulit lehernya.
"Kalau nanti keluarga kamu masih juga nggak mau restuin kita, aku mau bawah kabur kamu, Helsa."
Helsa menggeliat kecil dalam tidur, kelopak matanya perlahan terbuka. Pemandangan di depan ini membuatnya tersenyum kecil, wajah Akmal terlihat damai dalam tidur. Dengan jemari lentiknya, dia meraba rahang tegas itu. Akmal mirip seperti mamanya, mata dan juga bentuk wajahnya sama persis.Akmal sudah mulai terganggu dengan aksi Helsa yang terus menangkup wajahnya. Lihat bagaimana netra keduanya bertemu, Helsa tampak memperhatikannya dengan seksama. Akmal tersenyum samar, tangannya mempererat pelukannya pada pinggang kekasihnya. Lebih dekat, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Pemuda itu mengerjap mata berulang kali, kepalanya terasa pusing akibat alkohol semalam."Mau aku buatkan mie instan?" tawar Helsa. Gadis itu cukup tahu bahwa biasanya orang yang baru sadar dari mabuk akan lebih nikmat jika memakan sesuatu pedas, misalkan mie instan."Boleh," jawabnya senang."Tapi masih pagi banget, Al," keluh Helsa. Ya, jam baru menunjukkan pukul lima
Dua minggu setelah pertengkaran hebat antara Akmal dan Billy, Helsa sama sekali tidak menunjukkan wajahnya pada Akmal. Pembicaraan mengenai masa lalu Akmall dan Sheren membuatnya bingung harus apa.Helsa ingin bertanya, namun enggan sakit hati.Sekarang dia menjaga jarak dari Akmal, dia tidak keluar kelas sama sekali. Masih terlalu banyak yang disembunyikan oleh Akmal.Selama dua minggu ini Akmal terus mendatangi rumah Helsa, meminta maaf pada kekasihnya, namun kebungkaman yang dia dapati."Sa, dicariin sama Akmal. Temuin dia, jangan kayak gini," ujar Citra penuh ibah.Helsa menggeleng keras, "nggak Cit."Belum sempat Citra membalasnya, mereka dikagetkan dengan Akmal yang datang dan duduk tepat pada kursi milik Ranaya yang sekarang sedang asyik jajan diluar."Citra, gue mau ngomong sama Helsa," kata Akmal seolah meminta Citra untuk meninggalkan keduanya.Citra paham, dan segera beranjak dari sana. Ruang kelas itu tampak s
Hubungan Akmal dan Helsa semakin hari membuat banyak orang iri dan cemburu, semenjak mendapat izin dari Yuda, Akmal benar-benar memegang amanah itu. Walaupun Renata tidak menyukainya, Akmal tetap pada pendiriannya untuk terus bersama gadis itu.Waktu terus berlalu, dan sampailah pada hari yang sangat tidak disukai Helsa. Dilihat dari pelukan yang begitu erat seakan tidak ingin melepas, hari ini Akmal resmi dikeluarkan dari sekolah. Gadis bersurai panjang itu tampak sedih. Hari-hari di sekolah akan terasa berbeda bagi Helsa dengan tidak adanya Akmal."Nggak usah sedih." Akmal mengusap wajah murung Helsa, mencapit hidung mancung yang menjadi favoritnya.Helsa mengurai pelukan, "Kenapa nggak minta di skors aja sih?!""Kan aku udah bilang ini emang udah jalannya," pungkas Akmal.Dia menarik Helsa ke dalam pelukannya, lalu dikecupnya kening gadis itu. Seakan tidak peduli dengan banyaknya murid di parkiran sekolah, Akmal terus melakukan itu berulang kali
Helsa memandang jalanan rumahnya dari atas balkon kamar, ditemani segelas coklat hangat gadis itu menikmati dinginnya hujan malam ini.Satu bulan sudah Akmal pindah ke SMA Diaksa, dan selama itu juga Akmal tidak pernah menjemputnya. Akmal juga hanya membalas sangat singkat chat darinya.Apa mungkin Akmal sedang sakit?Helsa mendengus pelan, dia merindukan kekasihnya. Bahkan untuk berbicara via ponsel saja susah. Memang selama satu bulan ini pemuda itu disibukkan dengan latihan futsal karena September nanti akan ada pertandingan antar sekolah Menengah Atas.Entah bagaimana bisa kekasihnya sudah tergabung dalam team futsal sekolah barunya.Saat hendak masuk kembali ke kamarnya, suara klakson motor yang sangat dikenali menyeruak ke telinganya. Helsa memandang ke arah gerbang rumah, dan benar saja pemuda itu disana.Akmal basah-basahan diluar sana. Apa dia tidak memiliki mantel hujan?Terlihat pemuda itu melambaikan tangan pada Helsa. Den
Hari senin adalah hari malas-malasan bagi kebanyakan orang. Salah satunya adalah Helsa. Hari ini juga ia harus terlambat masuk sekolah dikarenakan pacarnya yang menjemput terlambat. Tidak mengikuti apel bendera, dan sebagai imbasnya tidak mengikuti jam pertama pelajaran. Helsa harus kemana jika seperti ini? Oh jelas saja ia harus ke perpustakaan, untuk apa berkeliaran di halaman sekolah disaat jam pelajaran seperti ini. Apalagi guru piket hari ini adalah pak Darwin. Perpustakaan sangat sepi, hanya ada salah satu stafnya yang sedang berjaga. Gadis itu berjalan menyusuri setiap baris rak buku yang menjulang tinggi, mencari novel yang bagus untuk dibaca. Helsa memang suka membaca novel. Satu novel bergenre fantasi sudah ada ditangannya, Helsa mengambil tempat dekat sudut perpustakaan. Gadis itu tampak sekali larut dalam bacaannya, sampai sebuah tangan menyodorkan coklat diatas lembaran novel. Dia cukup terkejut mendapati siapa pemilik coklat tersebut. Ja
Benci. Satu kata yang menggambarkan perasaannya beberapa tahun ini. Pandangan itu tidak luput dari gadis dihadapannya, seolah ingin menerkam sekarang juga. Senyum itu bukan yang diinginkannya, kebahagian tidak boleh gadis itu rasakan. Selalu berdecih jijik dalam diam setiap kali melihat kemesraan mereka.Suasana kantin SMA Harapan hari ini jauh dari kata ramai, jam istirahat sudah berjalan lima menit. Helsa dan kelima sahabatnya sudah asyik bercanda di kantin sembari menunggu bakmi pesanan mereka."Semalam Akmal ke rumah gue, Sa," ujar Bella."Ngapain?" dahinya mengkerut, Helsa ingin tahu."Dia mau jemput lo, cuma datangnya telat.""Oh gitu. Nggak sekolah dia hari ini," kata Helsa sembari menyeruput orange jus milik Ranaya.
Semenjak hari kemarin saat Helsa kehujanan di jalan, Akmal tidak pernah absen untuk pergi dan pulang bersama pacarnya, meskipun jam pulang dua sekolah itu sedikit berbeda, tidak pernah cowok itu melewati tugasnya.SMA Diaksa masih sepi, beberapa murid baru berdatangan. Parkiran sekolah pun sama sepinya seperti hati author. Saat hendak keluar dari sana, tangan halus mencekal pergelangan tangannya. Akmal tersentak saat mendapati Rania di belakangnya."Gue minta nomor ponsel lo," kata Rania dengan gaya angkuhnya."Mau ngapain?" sikap Akmal sangat dingin, dia tidak suka dengan perempuan agresif seperti Rania. Sejak malam pertemuan pertama mereka, Akmal selalu berjaga-jaga.Rania tersenyum jenaka, "mau pacaran.""Sinting." Akmal m
Perpustakaan SMA Harapan siang itu sangat sepi. Biasanya akan sangat ramai saat jam istirahat seperti ini. Setelah selesai makan, Helsa berpamitan pada sahabat-sahabatnya untuk ke sini. Seperti biasa, novel yang ia baca tempo hari belum selesai. Di setiap lorong yang disekat rak buku itu Helsa tidak menjumpai novel itu, padahal sudah disimpan pada tempatnya. Dengan berat hati, gadis itu membatalkan acar bacanya. Namun seseorang datang dan memberikan novel itu. "Lo suka novel bergenre fantasi?" tanya Dito. Ardito. Kenapa Helsa harus berhadapan lagi dengan dia? Dua hari yang lalu, Dito menitipkan tas Helsa pada Bella. Meskipun satu sekolah, Helsa tidak ingin bertemu dengan sosok yang satu ini. Gadis itu takut kalau sewaktu-waktu Akmal mengetahui keberadaan mantan pacarnya ini, apalagi Helsa tidak pernah menceritaka
Lima hari sudah Adryan tidak kembali ke rumah. Kata Bunda, pria itu sedang berada di apartemen. Bunda sudah memberikan kotak berisi testpack padanya. Entah kenapa, tidak ada reaksi apapun dari pria itu.Setelah pulang mengantarkan Devan ke sekolah, wanita yang kini berbadan dua itu mampir kesana. Kebetulan letak Cafe itu tak jauh dari sekolahan anaknya.Helsa hanya ingin menikmati cheesecake. Lagian di rumah hanya dia sendiri. Oh ya, dia dan Devan tetap di rumah mereka. Bunda melarang ia pulang ke rumah Mamanya.Helsa menceritakan kesalahpahaman yang terjadi pada mertuanya.Pandangannya keluar kaca jendela. Kebetulan macam apa yang harus membuatnya bertemu dengan mantan kekasihnya. Akmal lengkap dengan seragamnya.Helsa bercedak pelan, seharusnya dia tidak bertemu lagi dengan pria itu."Helsa, kamu disini juga?"Helsa meraih tas, ingin beranjak dari sana, namun dicegah pria itu. "Cake kamu belum habis. Mubazir," sebut Akmal."Gue boleh duduk disini?" tanya Akmal."Silahkan," kata Helsa
BMW hitam memasuki pekarangan rumah berlantai tiga itu tepat pukul lima sore. Setelah memarkirkan mobil, sang empunya keluar dari sana. Disambut baik istri dan juga anaknya. Helsa mencium punggung tangan kekar itu, lalu dibalas kecupan singkat pada dahinya."Bagaimana harinya?" tanya Adryan.Helsa tersenyum menerima satu buket bunga mawar putih kesukaannya. Buket bunga kelima, di hari kelima cuti."Papi nanya Devan dong, Mami aja yang ditanya," protes Devan yang kini duduk pada kursi piano.Nggak mau kalah ini bocah satu.Adryan mendekatinya. "Bagaimana hari ini Singa kecilnya Papi?" Ia mencium gemas anaknya, tak lupa Devan pun mencium punggung tangan Papinya."Baik dong, hari ini Devan langsung pulang ke rumah. Om Jefry sama tante Vio yang nganterin," jawab Devan, semangat.Helsa berlalu meninggalkan percakapan Ayah dan anak tersebut. Tak lupa membawa serta tas dan juga jas milik Adryan. Akan panjang jika ia harus menunggu keduanya selesai dengan perbincangan, mulai dari yang penting
Siang itu kantor pusat Perusahaan Andrean Corp dibuat panik pada lantai sepuluh, tepatnya di dalam ruangan meeting. Renata memberi perintah untuk mengangkat tubuh lemah tak berdaya putrinya yang jatuh di depan ruangan tersebut setelah hampir dua jam melakukan pertemuan dengan salah satu investor asal Rusia. Beberapa hari ini Helsa terlihat kelelahan karena menyiapkan persentase dan semua laporan untuk melakukan pertemuan ini. Dan pada akhirnya, ia tumbang sesaat setelah investor tersebut menandatangani kontrak kerja sama. "Helsa...," panggil Renata. Wanita paru baya itu menepuk-nepuk pelan pipi putrinya, namun hasilnya nihil, Helsa sama sekali tidak sadarkan diri.Renata segera menghubungi Adryan. Untuk beberapa saat belum ada jawaban, sampai pada panggilan keempat barulah pria itu menjawabnya."Hallo, Ma...,"Renata menarik nafas sebentar. "Rumah sakit Mitra Husada, sekarang Adryan." *** Langkah kakinya dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit Mitra Husada. Adryan tidak mengh
"Devan..., tante Diandra kangen," seru Diandra sembari memeluk bocah tersebut."Tante Andra cantik deh," puji Devan."Makasih, Sayang," balas Diandra.Devan menyodorkan tangan, "bagi duit merah tante Andra, kan Devan udah bilang tante cantik."Diandra memelototkan matanya, bisa-bisanya bocah ini meminta imbalan padanya. Duh, ajaran siapa sih bocah satu ini."Jangan gitu dong, kita kan temenan," rayu Diandra."Tante Andra tuh temannya Mami, bukan Devan," balas Devan. Ia kemudian sibuk melihat-lihat beberapa pajangan di dalam caffe tersebut.Helsa dan Citra terkikik mendengar percakapan Diandra dan Devan. Pas banget Devan ketemu sama aunty yang lemot nya nggak hilang-hilang."Sa, anak lo ngeselin banget, sumpah!""Devan lo ajak bicara," celetuk Citra.Sore itu mereka tidak sengaja bertemu di Cafe yang ada di rumah sakit Mawar Medika. Citra dan Diandra akan menjenguk Ando yang sakit. Guru olahraga itu mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu."Kalian kenapa nggak bilang sama gue kala
Acara reuni sudah selesai. Helsa pikir dia tidak akan bertemu Akmal lagi setelah itu, tapi hari ini mereka dipertemukan kembali.Seperti saat ini, lagi-lagi dia bersama Akmal di pinggir jalan yang tidak jauh dari markas TNI. Akmal yang baru saja akan menjemput kekasihnya pun bertemu Helsa yang sedang meratapi ban mobilnya yang pecah."Pakai derek aja ke bengkelnya, aku antar kamu pulang," ujar Akmal. Pria itu lengkap dengan seragam lorengnya.Entah sudah berapa kali Akmal menawarinya, tapi Helsa tetap menolak. Hari sudah semakin gelap."Gue nggak mau terjadi salah paham," jujur Helsa."Aku yang tanggung jawab di depan suami kamu," sahut Akmal, "ponsel kamu aja mati total."Tertegun. Mungkin lebih baik Helsa pulang bersama Akmal, lagian setelah dipikir-pikir dia tak ada apa-apanya dengan tentara satu ini."Mau, kan?" Akmal bertanya lagi, memastikan Helsa mau pulang bersamanya."Antar gue di depan perumahan aja," jawab Helsa.Dia tidak ingin Akmal tahu dimana rumahnya sekarang, karena j
Weekend adalah hari bermalas-malasan Adryan untuk berangkat ke rumah sakit. Bagaimana tidak, istri dan anaknya asyik di rumah, sedangkan ia harus bekerja. Padahal kan, dia juga ingin berlibur.Ya, setiap sabtu Helsa dan Devan memang libur.Pukul lima pagi Helsa sudah terjaga. Mandi, menyiapkan sarapan, dan juga pakaian kerja suaminya. Helsa juga sempat mengintip Devan di kamar, anaknya masih tertidur, sama seperti Adryan.Sudah selesai dengan semuanya, wanita tersebut kembali ke kamar untuk membangunkan bayi besarnya.Bayi besar? Itu karena Adryan berlaku manja sejak Helsa kembali dari Kanada.Helsa duduk pada bibir ranjang, ia usap lengan suaminya, "Mas, Helsa udah sejam berkutat di dapur, masih aja tidur,"Hanya sedikit erangan yang terdengar, sekali lagi Helsa membangunkannya. Menarik selimut yang menutup sebatas pinggang."Good morning, babe," ucap Adryan. Ia menarik tangan Helsa dan mengecupnya. Aish, jantung aman?Helsa hanya bergumam, ia beranjak dari sana membuka gorden jendel
Satu minggu setelah pertemuan Akmal dan Helsa. Devan selalu memberitahu bahwa teman Maminya yang ia panggil om tentara itu selalu mendatangi sekolahnya. Akmal mengetahui sekolah Devan dari Ranaya. Pria itu memaksa Ranaya agar mau jujur. Takut dimarahi Helsa, sebelum Akmal bertemu Devan, Ranaya meminta maaf pada sahabatnya. Helsa tidak menyalahkan Ranaya, sama sekali tidak. Karena dia tahu hal semacam ini akan terjadi. "Jadi, dia sering ke sekolah bertemu Devan?" tanya Adryan. Helsa menjawab dengan anggukan kecil. Sekarang mereka berada dalam satu mobil menuju rumah Mamanya. Seharian ini Devan di rumah Renata. "Kamu nggak marah, kan, kalau Akmal sering ketemu Devan?" tanya Adryan lagi. "Mas tau apa yang paling Helsa takutin disini." Adryan meraih tangan kanan istrinya, mencium punggung tangan itu. "Dia tahu Devan lebih butuh kamu, Sayang." "Mas, apa Helsa cerita sama Mama?" tanya Helsa. "Jangan buat Mama sakit karena hal semacam ini. Kamu tau kan, gimana perasaan Mama sama dia
"Mami..!Wanita itu menoleh, tersenyum melihat jagoan kecilnya berlari menghampirinya. Helsa merentangkan tangan, menyambut pelukan Devan. Devan mencium pipi Helsa, lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Mami pakai mobil Papi? Mobil Mami kemana? Kok Papi nggak jemput Devan?" tanyanya beruntun. "Lagi di service. Emang salah kalau Mami yang jemput?" Devan mencebik, "Devan kan udah bilang Mami nggak boleh jemput Devan.""Papi lagi sibuk," timpal Helsa. "Mami nggak kerja? Emang Oma nggak marah?" "Nggak. Mami udah ijin sama Oma," sahut Helsa, "ayo kita masuk." Helsa membuka pintu mobil untuk Devan, memakaikan seatbelt untuknya, lalu turut masuk ke dalam. "Kita jemput Papi dulu," kata Helsa. "Papi pulang cepet banget." "Nggak tau, Mami cuma disuruh gitu." Mobil keluar dari parkiran sekolah tersebut, dan melaju dengan kecepatan sedang menuju Mawar Medika. Hari ini mobilnya masuk service, jadi Helsa memakai mobil Adryan. Pria itu pun meminta untuk menjemput Devan sebelum kemba
Hari berlalu, bulan pun berganti. Satu tahun sudah Helsa berada di Jakarta. Selain mengurus keluarganya, Helsa pun disibukkan dengan pekerjaannya. Jabatannya yang hanya karyawan biasa di perusahaan Papanya sudah naik satu tingkat menjadi sekretaris Mamanya. Helsa sendiri yang meminta belajar dari bawah dahulu. "Devan-," panggil Adryan. Suasana meja makan terasa hening, biasanya Devan yang selalu banyak bicara. Menceritakan tentang sekolahnya, tentang teman-temannya yang absurd, guru yang cerewet, dan masih banyak lagi."Devandra-," sekali lagi Adryan memanggilnya.Tidak ada sahutan sama sekali, bocah itu malahan turun dengan membawa piringnya hendak makan di pantry dapur. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar deheman pria dewasa tersebut. "Azlan Devandra Van Brawi-," "Ia, Papi," sahut Devan. Jika Adryan sudah menyebut dengan nama lengkapnya, maka Devan tahu Papinya sedang tidak bercanda."Kenapa diemin Maminya dari kemarin, hm?" Devan mendekat pada kursi yang ditempati Ad