"Beib, masa kemarin bu Mega usir aku keluar. Kesal banget lihat mukanya," kata Helsa.
"Si tua Bangka itu usir kamu? Berani banget dia," tukas Akmal tajam.
Suasana kantin ibu Rinjani siang itu sangat sepi, jam pelajaran terakhir baru saja dimulai. Kelas Helsa sedang tidak ada guru yang masuk, ibu Shinta-guru Bahasa Inggris sedang izin. Bersamaan dengan itu, Akmal mengajak Helsa duduk di kantin yang biasa mereka tempati. Kantin itu bisa dibilang tempat pacaran dua anak manusia itu, ibu Rinjani adalah salah satu orang yang menjadi saksi bagaimana bucinnya mereka.
"Kamu salah apa sampai diusir gitu?"
Helsa mendengus, "aku nggak sengaja pegang UUD'45 pas ulangan kemarin."
"Kamu nyontek?"Akmal terkekeh.
"Nggak, itu semua karena Ranaya sama Bella," sergah Helsa.
"Bilang aja nyontek, Sa," tuduh Akmal.
"Ihhhh.... Nggak, Akmal !"
"Duh, pacaran terus nih berdua," goda bu Rinjani yang baru saja kembali sholat.
"Nikmatin masa-masa ini, bu. Susah kalau udah pisah sekolah," celetuk Akmal begitu saja.
Helsa mengerutkan dahinya, apa maksud Akmal barusan? Tidak mau berprasangka buruk, gadis itu berusaha untuk tetap tenang, dia tidak mau bertanya dulu. Nanti saja, Helsa hanya tidak ingin rebut disini.
"Sayang, nanti pulang ke rumah tante Dilah, mau nggak?"
"Mau dong, udah lama nggak kesana," jawab Helsa antusias.
Akmal tersenyum, mengacak pelan surai hitam kekasihnya. Helsa memang sangat akrab dengan tantenya Akmal, terlihat bagaimana dia sering mengaduh tingkah laku Akmal pada wanita paru baya itu.
***
"Orang mah kalau habis pacaran tuh wajahnya semangat, lah si Helsa udah kayak orang nggak makan. Akmal nggak jajanin lo?" sindir Ranaya.
"Sa... Diam bae, kenapa?" tanya Citra, khawatir.
"Fix nggak di kasih makan sama Akmal," tandas Bella.
"Diam dulu kalian, Helsa butuh waktu buat jawab." Diandra menengahi.
"Keputusan dari sekolah udah keluar belum sih buat yang ikut tawuran kemarin?" tanya Helsa, netranya menatap satu persatu sahabatnya.
"Lo serius nggak tahu? Keputusannya kan udah keluar satu minggu yang lalu," ujar Ranaya.
"Kok Akmal nggak bilang sama gue?"
"Yahh, kita nggak tahu kenapa kalau dia nggak cerita sama lo."
"Emang keputusannya apa, Ray? Mereka di skors aja kan?" Sorot matanya penuh harap akan jawaban Ranaya.
"Akmal dikeluarkan dari sekolah," jawab Bella dengan sendu.
Air muka Helsa mendadak berubah, kelima sahabatnya terdiam melihat perubahan besar pada wajah gadis itu. Air mata membendungi pelupuk matanya, Helsa ingin menangis sekarang juga, namun dengan cepat dia mengusap matanya.
"Sa... Kita kirain lo udah tahu, makanya kita diam aja," ujar Ranaya yang mencoba untuk menenangi Helsa.
"Maafin kita, Helsa," ucap Citra.
"It's ok, kalian nggak salah," jawab Helsa.
"Jangan sedih, Akmal nggak bakal macam-macam di sekolah barunya," kata Diandra, menyemangati.
"Semangat Helsaa..." teriak kelima sahabatnya, mereka memeluk Helsa penuh sayang.
Ranaya, Citra, Diandra, Bella, dan Keke adalah salah satu support systemnya Helsa, mereka akan selalu mendukung apapun keputusan yang dibuat gadis itu. Termasuk menerima Akmal masuk ke dalam kehidupannya.
Kringgg....
Suara bell sekolah menggema seantero sekolah, seluruh murid SMA Harapan berhamburan keluar sekolah. Waktu pulang adalah yang paling ditunggu. Sama seperti lainnya, Helsa dan kelima sahabatnya turut keluar dari kelas.
Di depan lorong kelasnya, Helsa sudah disambut kekasihnya. Ranaya dan lainnya sudah mengerti, Helsa memang jarang pulang bersama mereka. "Kita duluan, ya, Sa. Jangan marah-marah," pamit Ranaya.
"Kita duluan, ya, kak," tambah Bella.
"Kak Akmal, Helsa lagi pms, jangan diladeni amukannya sebentar," goda Diandra.
"Diandra..." tegur Citra dan Keke.
Akmal menggeleng heran dengan tingkah sahabat Helsa, Apalagi Diandra si lemot yang sekarang berhubungan dengan Kevin-teman kelasnya.
Dia mengalihkan pandangannya pada Helsa, sedikit menengok ke belakang rok kekasihnya, "nggak tembus, kan?" tanya Akmal memastikan.
Helsa hanya diam tidak membalas pertanyaan Akmal, pemuda itu yang sudah tahu mood Helsa memburuk langsung meraih tangan kekasihnya dan pergi dari sana. Tujuan mereka siang ini adalah rumah tante Dilah. Di parkiran Akmal segera mengenakannya helm, sudah biasa. Sekarang, dengan cekatan Helsa merampas helm tersebut dan mengenakannya sendiri.
Akmal bergidik ngeri, wajah Helsa sangat jutek. Biasalah orang pms, pikir Akmal. Setelah memastikan Helsa sudah duduk di jok motornya, Akmal dengan segera menjalankan vespa itu keluar sekolah.
Tidak ada yang bicara sampai motor berhenti di sebuah minimarket yang tidak jauh dari sekolah. Akmal masuk kedalam sana tanpa membawa Helsa, gadis itu tidak peduli apa yang dibeli Akmal.
Beberapa menit kemudian, Akmal keluar dari sana dengan kantong belanjaan. "Kiranti 3, Ultra Milk 3, Silverqueen 2, Taro 2," sebut Akmal pada isi barang belanjaannya.
Helsa tidak menanggapi barang belanjaan kekasihnya, "aku mau ke rumah tante Dilah."
"Iya, kita berangkat," jawab Akmal. Kantong belanjaan itu digantung pada hook vespanya.
Dalam perjalanan Akmal mencuri pandang ke Helsa melalui spion motornya. Biasanya gadis itu selalu berbicara sepanjang jalan, dengan suara yang bisa mengganggu pendengaran para pengendara lain. Helsa juga tidak memeluk pinggangnya.
"Jutek aja masih cantik," sindir Akmal.
Hening.
Hanya suara klakson dari segala penjuru arah yang terdengar. Di lampu merah, Akmal meraih tangan Helsa, menggenggamnya, dan bahkan dikecupnya berulang kali. Sepanjang perhentian itu, banyak pasang mata yang memperhatikan tingkah Akmal yang terus menggoda Helsa. Sepasang remaja berseragam putih abu-abu itu menarik perhatian mereka.
"Pacarnya ngambek tuh," kata supir angkot yang kebetulan angkotnya sejajar dengan motor Akmal.
"Belum dapat jatah, pak," timpal Akmal.
"Oalah..."
Lampu lalu lintas sudah berubah warna hijau, motor Akmal melaju ke persimpangan dekat kompleks perumahan yang ditempati tantenya. Jemari keduanya masih saling bertautan, Akmal hanya menyetir dengan satu tangan.
"Kamu jangan jutek-jutek, Sa. Tante Dilah nanti banyak nanya," ujar Akmal.
"Biarin!" sinis Helsa.
"Perutnya sakit?" tanya Akmal.
"Aku nggak lagi pms," tanda Helsa.
"Lah, terus kata Diandra tadi kamu pms, muka kamu juga jutek banget," kata Akmal.
"Nggak semua tentang aku harus kamu tahu," sindir Helsa.
Akmal merasa tersinggung dengan ucapan Helsa. Sesampainya di kediaman tante Dilah, sebelum keduanya masuk rumah, Akmal menarik Helsa duduk di sofa yang ada pada teras.
"Semua tentang kamu itu milik aku," tegas Akmal.
"Termasuk kamu. Semua tentang kamu juga milik aku kan, Al?" Helsa balik bertanya.
"Iya. Kita sama-sama tahu itu," jawab Akmal.
"Terus kenapa selama seminggu kamu nutupin perihal kamu yang dikeluarkan dari sekolah? Aku nggak perlu tahu masalah ini?"
Akmal mengatup mulutnya. Helsa sudah mengetahuinya.
"Nggak gitu sayang, aku cuma -"
"Terserah kamu. Aku nggak peduli kamu pindah kemana, karena menurut kamu, aku nggak perlu tahu."
Helsa beranjak dari sana, dan masuk ke rumah tante Dilah. Akmal memandang pasrah kepergian kekasihnya. Dia harus berusaha lagi mencairkan suasana hati Helsa, gadis itu salah paham. Tadinya Akmal mau mengatakan perihal dia yang dikeluarkan dari sekolah hari ini dihadapan Helsa dan tantenya.
"Jadi, kamu beneran dikeluarin dari sekolah?""Kenapa pada diam-diaman sih?"Dilah memperhatikan sepasang remaja yang duduk di hadapannya sekarang, hidangan makanan diatas meja makan turut menjadi saksi kebisuan mereka. Helsa tidak membuka suara sama sekali, dia masih kesal dengan kekasihnya.Akmal membuka suara, melirik sekilas pada Helsa, "maaf.""Helsa juga baru tahu, tante. Akmal nggak cerita sama aku, udah seminggu padahal," adu Helsa pada Dilah.Dilah mendesah berat, "kamu udah hubungi papa sama mama?" tanya Dilah pada Akmal."Nggak penting! Yang mereka tahu kan cuma cetak anak, terus tinggalin gitu aja," sarkas Akmal."AKMAL!!!" Bukan Dilah, melainkan Helsa yang memekik nama itu. Dia tidak suka ketika Akmal harus merendahkan orang tuanya."Udah, udah. Sekarang kita makan, nanti tante yang ngomong sama mereka," finis Dilah.***Helsa yang masih mengenakan seragamnya disibukkan dengan piring kotor yang mereka
Selesai makan malam, Helsa memutuskan untuk naik ke kamarnya. Seperti malam-malam sebelumnya, gadis itu selalu sendiri. Seharian ini Akmal tidak menghubungi Helsa, biasanya jika hari minggu seperti sekarang, Akmal akan meminta Helsa ke rumahnya. Dering panggilan dari handphonenya mengalihkan pandangannya, Helsa segera meraih benda pipih itu dari nakas. Dari layar, nama Ando terpampang dengan jelas. Tumben sekali Ando menghubunginya. "Hallo, An." "Bawa pulang cowok lu sekarang," ujar Ando dari seberang sana. " Gue nggak ngerti, maksudnya gimana? "Akmal mabuk berat di rumah gue. Nggak tahu punya masalah apa lagi." Helsa berdecak kesal, "kenapa lagi sih itu orang?!Gue kesana sekarang," ucap Helsa. "Ok, kita tunggu." Helsa memutuskan panggilan itu, dan beranjak dari ranjangnya. Gadis itu mengambil dompet, hoodie, dan keluar dari kamarnya. Sebelum dia berangkat, terlebih dahulu memberitahu mbak Ana
Helsa menggeliat kecil dalam tidur, kelopak matanya perlahan terbuka. Pemandangan di depan ini membuatnya tersenyum kecil, wajah Akmal terlihat damai dalam tidur. Dengan jemari lentiknya, dia meraba rahang tegas itu. Akmal mirip seperti mamanya, mata dan juga bentuk wajahnya sama persis.Akmal sudah mulai terganggu dengan aksi Helsa yang terus menangkup wajahnya. Lihat bagaimana netra keduanya bertemu, Helsa tampak memperhatikannya dengan seksama. Akmal tersenyum samar, tangannya mempererat pelukannya pada pinggang kekasihnya. Lebih dekat, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Pemuda itu mengerjap mata berulang kali, kepalanya terasa pusing akibat alkohol semalam."Mau aku buatkan mie instan?" tawar Helsa. Gadis itu cukup tahu bahwa biasanya orang yang baru sadar dari mabuk akan lebih nikmat jika memakan sesuatu pedas, misalkan mie instan."Boleh," jawabnya senang."Tapi masih pagi banget, Al," keluh Helsa. Ya, jam baru menunjukkan pukul lima
Dua minggu setelah pertengkaran hebat antara Akmal dan Billy, Helsa sama sekali tidak menunjukkan wajahnya pada Akmal. Pembicaraan mengenai masa lalu Akmall dan Sheren membuatnya bingung harus apa.Helsa ingin bertanya, namun enggan sakit hati.Sekarang dia menjaga jarak dari Akmal, dia tidak keluar kelas sama sekali. Masih terlalu banyak yang disembunyikan oleh Akmal.Selama dua minggu ini Akmal terus mendatangi rumah Helsa, meminta maaf pada kekasihnya, namun kebungkaman yang dia dapati."Sa, dicariin sama Akmal. Temuin dia, jangan kayak gini," ujar Citra penuh ibah.Helsa menggeleng keras, "nggak Cit."Belum sempat Citra membalasnya, mereka dikagetkan dengan Akmal yang datang dan duduk tepat pada kursi milik Ranaya yang sekarang sedang asyik jajan diluar."Citra, gue mau ngomong sama Helsa," kata Akmal seolah meminta Citra untuk meninggalkan keduanya.Citra paham, dan segera beranjak dari sana. Ruang kelas itu tampak s
Hubungan Akmal dan Helsa semakin hari membuat banyak orang iri dan cemburu, semenjak mendapat izin dari Yuda, Akmal benar-benar memegang amanah itu. Walaupun Renata tidak menyukainya, Akmal tetap pada pendiriannya untuk terus bersama gadis itu.Waktu terus berlalu, dan sampailah pada hari yang sangat tidak disukai Helsa. Dilihat dari pelukan yang begitu erat seakan tidak ingin melepas, hari ini Akmal resmi dikeluarkan dari sekolah. Gadis bersurai panjang itu tampak sedih. Hari-hari di sekolah akan terasa berbeda bagi Helsa dengan tidak adanya Akmal."Nggak usah sedih." Akmal mengusap wajah murung Helsa, mencapit hidung mancung yang menjadi favoritnya.Helsa mengurai pelukan, "Kenapa nggak minta di skors aja sih?!""Kan aku udah bilang ini emang udah jalannya," pungkas Akmal.Dia menarik Helsa ke dalam pelukannya, lalu dikecupnya kening gadis itu. Seakan tidak peduli dengan banyaknya murid di parkiran sekolah, Akmal terus melakukan itu berulang kali
Helsa memandang jalanan rumahnya dari atas balkon kamar, ditemani segelas coklat hangat gadis itu menikmati dinginnya hujan malam ini.Satu bulan sudah Akmal pindah ke SMA Diaksa, dan selama itu juga Akmal tidak pernah menjemputnya. Akmal juga hanya membalas sangat singkat chat darinya.Apa mungkin Akmal sedang sakit?Helsa mendengus pelan, dia merindukan kekasihnya. Bahkan untuk berbicara via ponsel saja susah. Memang selama satu bulan ini pemuda itu disibukkan dengan latihan futsal karena September nanti akan ada pertandingan antar sekolah Menengah Atas.Entah bagaimana bisa kekasihnya sudah tergabung dalam team futsal sekolah barunya.Saat hendak masuk kembali ke kamarnya, suara klakson motor yang sangat dikenali menyeruak ke telinganya. Helsa memandang ke arah gerbang rumah, dan benar saja pemuda itu disana.Akmal basah-basahan diluar sana. Apa dia tidak memiliki mantel hujan?Terlihat pemuda itu melambaikan tangan pada Helsa. Den
Hari senin adalah hari malas-malasan bagi kebanyakan orang. Salah satunya adalah Helsa. Hari ini juga ia harus terlambat masuk sekolah dikarenakan pacarnya yang menjemput terlambat. Tidak mengikuti apel bendera, dan sebagai imbasnya tidak mengikuti jam pertama pelajaran. Helsa harus kemana jika seperti ini? Oh jelas saja ia harus ke perpustakaan, untuk apa berkeliaran di halaman sekolah disaat jam pelajaran seperti ini. Apalagi guru piket hari ini adalah pak Darwin. Perpustakaan sangat sepi, hanya ada salah satu stafnya yang sedang berjaga. Gadis itu berjalan menyusuri setiap baris rak buku yang menjulang tinggi, mencari novel yang bagus untuk dibaca. Helsa memang suka membaca novel. Satu novel bergenre fantasi sudah ada ditangannya, Helsa mengambil tempat dekat sudut perpustakaan. Gadis itu tampak sekali larut dalam bacaannya, sampai sebuah tangan menyodorkan coklat diatas lembaran novel. Dia cukup terkejut mendapati siapa pemilik coklat tersebut. Ja
Benci. Satu kata yang menggambarkan perasaannya beberapa tahun ini. Pandangan itu tidak luput dari gadis dihadapannya, seolah ingin menerkam sekarang juga. Senyum itu bukan yang diinginkannya, kebahagian tidak boleh gadis itu rasakan. Selalu berdecih jijik dalam diam setiap kali melihat kemesraan mereka.Suasana kantin SMA Harapan hari ini jauh dari kata ramai, jam istirahat sudah berjalan lima menit. Helsa dan kelima sahabatnya sudah asyik bercanda di kantin sembari menunggu bakmi pesanan mereka."Semalam Akmal ke rumah gue, Sa," ujar Bella."Ngapain?" dahinya mengkerut, Helsa ingin tahu."Dia mau jemput lo, cuma datangnya telat.""Oh gitu. Nggak sekolah dia hari ini," kata Helsa sembari menyeruput orange jus milik Ranaya.
Lima hari sudah Adryan tidak kembali ke rumah. Kata Bunda, pria itu sedang berada di apartemen. Bunda sudah memberikan kotak berisi testpack padanya. Entah kenapa, tidak ada reaksi apapun dari pria itu.Setelah pulang mengantarkan Devan ke sekolah, wanita yang kini berbadan dua itu mampir kesana. Kebetulan letak Cafe itu tak jauh dari sekolahan anaknya.Helsa hanya ingin menikmati cheesecake. Lagian di rumah hanya dia sendiri. Oh ya, dia dan Devan tetap di rumah mereka. Bunda melarang ia pulang ke rumah Mamanya.Helsa menceritakan kesalahpahaman yang terjadi pada mertuanya.Pandangannya keluar kaca jendela. Kebetulan macam apa yang harus membuatnya bertemu dengan mantan kekasihnya. Akmal lengkap dengan seragamnya.Helsa bercedak pelan, seharusnya dia tidak bertemu lagi dengan pria itu."Helsa, kamu disini juga?"Helsa meraih tas, ingin beranjak dari sana, namun dicegah pria itu. "Cake kamu belum habis. Mubazir," sebut Akmal."Gue boleh duduk disini?" tanya Akmal."Silahkan," kata Helsa
BMW hitam memasuki pekarangan rumah berlantai tiga itu tepat pukul lima sore. Setelah memarkirkan mobil, sang empunya keluar dari sana. Disambut baik istri dan juga anaknya. Helsa mencium punggung tangan kekar itu, lalu dibalas kecupan singkat pada dahinya."Bagaimana harinya?" tanya Adryan.Helsa tersenyum menerima satu buket bunga mawar putih kesukaannya. Buket bunga kelima, di hari kelima cuti."Papi nanya Devan dong, Mami aja yang ditanya," protes Devan yang kini duduk pada kursi piano.Nggak mau kalah ini bocah satu.Adryan mendekatinya. "Bagaimana hari ini Singa kecilnya Papi?" Ia mencium gemas anaknya, tak lupa Devan pun mencium punggung tangan Papinya."Baik dong, hari ini Devan langsung pulang ke rumah. Om Jefry sama tante Vio yang nganterin," jawab Devan, semangat.Helsa berlalu meninggalkan percakapan Ayah dan anak tersebut. Tak lupa membawa serta tas dan juga jas milik Adryan. Akan panjang jika ia harus menunggu keduanya selesai dengan perbincangan, mulai dari yang penting
Siang itu kantor pusat Perusahaan Andrean Corp dibuat panik pada lantai sepuluh, tepatnya di dalam ruangan meeting. Renata memberi perintah untuk mengangkat tubuh lemah tak berdaya putrinya yang jatuh di depan ruangan tersebut setelah hampir dua jam melakukan pertemuan dengan salah satu investor asal Rusia. Beberapa hari ini Helsa terlihat kelelahan karena menyiapkan persentase dan semua laporan untuk melakukan pertemuan ini. Dan pada akhirnya, ia tumbang sesaat setelah investor tersebut menandatangani kontrak kerja sama. "Helsa...," panggil Renata. Wanita paru baya itu menepuk-nepuk pelan pipi putrinya, namun hasilnya nihil, Helsa sama sekali tidak sadarkan diri.Renata segera menghubungi Adryan. Untuk beberapa saat belum ada jawaban, sampai pada panggilan keempat barulah pria itu menjawabnya."Hallo, Ma...,"Renata menarik nafas sebentar. "Rumah sakit Mitra Husada, sekarang Adryan." *** Langkah kakinya dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit Mitra Husada. Adryan tidak mengh
"Devan..., tante Diandra kangen," seru Diandra sembari memeluk bocah tersebut."Tante Andra cantik deh," puji Devan."Makasih, Sayang," balas Diandra.Devan menyodorkan tangan, "bagi duit merah tante Andra, kan Devan udah bilang tante cantik."Diandra memelototkan matanya, bisa-bisanya bocah ini meminta imbalan padanya. Duh, ajaran siapa sih bocah satu ini."Jangan gitu dong, kita kan temenan," rayu Diandra."Tante Andra tuh temannya Mami, bukan Devan," balas Devan. Ia kemudian sibuk melihat-lihat beberapa pajangan di dalam caffe tersebut.Helsa dan Citra terkikik mendengar percakapan Diandra dan Devan. Pas banget Devan ketemu sama aunty yang lemot nya nggak hilang-hilang."Sa, anak lo ngeselin banget, sumpah!""Devan lo ajak bicara," celetuk Citra.Sore itu mereka tidak sengaja bertemu di Cafe yang ada di rumah sakit Mawar Medika. Citra dan Diandra akan menjenguk Ando yang sakit. Guru olahraga itu mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu."Kalian kenapa nggak bilang sama gue kala
Acara reuni sudah selesai. Helsa pikir dia tidak akan bertemu Akmal lagi setelah itu, tapi hari ini mereka dipertemukan kembali.Seperti saat ini, lagi-lagi dia bersama Akmal di pinggir jalan yang tidak jauh dari markas TNI. Akmal yang baru saja akan menjemput kekasihnya pun bertemu Helsa yang sedang meratapi ban mobilnya yang pecah."Pakai derek aja ke bengkelnya, aku antar kamu pulang," ujar Akmal. Pria itu lengkap dengan seragam lorengnya.Entah sudah berapa kali Akmal menawarinya, tapi Helsa tetap menolak. Hari sudah semakin gelap."Gue nggak mau terjadi salah paham," jujur Helsa."Aku yang tanggung jawab di depan suami kamu," sahut Akmal, "ponsel kamu aja mati total."Tertegun. Mungkin lebih baik Helsa pulang bersama Akmal, lagian setelah dipikir-pikir dia tak ada apa-apanya dengan tentara satu ini."Mau, kan?" Akmal bertanya lagi, memastikan Helsa mau pulang bersamanya."Antar gue di depan perumahan aja," jawab Helsa.Dia tidak ingin Akmal tahu dimana rumahnya sekarang, karena j
Weekend adalah hari bermalas-malasan Adryan untuk berangkat ke rumah sakit. Bagaimana tidak, istri dan anaknya asyik di rumah, sedangkan ia harus bekerja. Padahal kan, dia juga ingin berlibur.Ya, setiap sabtu Helsa dan Devan memang libur.Pukul lima pagi Helsa sudah terjaga. Mandi, menyiapkan sarapan, dan juga pakaian kerja suaminya. Helsa juga sempat mengintip Devan di kamar, anaknya masih tertidur, sama seperti Adryan.Sudah selesai dengan semuanya, wanita tersebut kembali ke kamar untuk membangunkan bayi besarnya.Bayi besar? Itu karena Adryan berlaku manja sejak Helsa kembali dari Kanada.Helsa duduk pada bibir ranjang, ia usap lengan suaminya, "Mas, Helsa udah sejam berkutat di dapur, masih aja tidur,"Hanya sedikit erangan yang terdengar, sekali lagi Helsa membangunkannya. Menarik selimut yang menutup sebatas pinggang."Good morning, babe," ucap Adryan. Ia menarik tangan Helsa dan mengecupnya. Aish, jantung aman?Helsa hanya bergumam, ia beranjak dari sana membuka gorden jendel
Satu minggu setelah pertemuan Akmal dan Helsa. Devan selalu memberitahu bahwa teman Maminya yang ia panggil om tentara itu selalu mendatangi sekolahnya. Akmal mengetahui sekolah Devan dari Ranaya. Pria itu memaksa Ranaya agar mau jujur. Takut dimarahi Helsa, sebelum Akmal bertemu Devan, Ranaya meminta maaf pada sahabatnya. Helsa tidak menyalahkan Ranaya, sama sekali tidak. Karena dia tahu hal semacam ini akan terjadi. "Jadi, dia sering ke sekolah bertemu Devan?" tanya Adryan. Helsa menjawab dengan anggukan kecil. Sekarang mereka berada dalam satu mobil menuju rumah Mamanya. Seharian ini Devan di rumah Renata. "Kamu nggak marah, kan, kalau Akmal sering ketemu Devan?" tanya Adryan lagi. "Mas tau apa yang paling Helsa takutin disini." Adryan meraih tangan kanan istrinya, mencium punggung tangan itu. "Dia tahu Devan lebih butuh kamu, Sayang." "Mas, apa Helsa cerita sama Mama?" tanya Helsa. "Jangan buat Mama sakit karena hal semacam ini. Kamu tau kan, gimana perasaan Mama sama dia
"Mami..!Wanita itu menoleh, tersenyum melihat jagoan kecilnya berlari menghampirinya. Helsa merentangkan tangan, menyambut pelukan Devan. Devan mencium pipi Helsa, lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Mami pakai mobil Papi? Mobil Mami kemana? Kok Papi nggak jemput Devan?" tanyanya beruntun. "Lagi di service. Emang salah kalau Mami yang jemput?" Devan mencebik, "Devan kan udah bilang Mami nggak boleh jemput Devan.""Papi lagi sibuk," timpal Helsa. "Mami nggak kerja? Emang Oma nggak marah?" "Nggak. Mami udah ijin sama Oma," sahut Helsa, "ayo kita masuk." Helsa membuka pintu mobil untuk Devan, memakaikan seatbelt untuknya, lalu turut masuk ke dalam. "Kita jemput Papi dulu," kata Helsa. "Papi pulang cepet banget." "Nggak tau, Mami cuma disuruh gitu." Mobil keluar dari parkiran sekolah tersebut, dan melaju dengan kecepatan sedang menuju Mawar Medika. Hari ini mobilnya masuk service, jadi Helsa memakai mobil Adryan. Pria itu pun meminta untuk menjemput Devan sebelum kemba
Hari berlalu, bulan pun berganti. Satu tahun sudah Helsa berada di Jakarta. Selain mengurus keluarganya, Helsa pun disibukkan dengan pekerjaannya. Jabatannya yang hanya karyawan biasa di perusahaan Papanya sudah naik satu tingkat menjadi sekretaris Mamanya. Helsa sendiri yang meminta belajar dari bawah dahulu. "Devan-," panggil Adryan. Suasana meja makan terasa hening, biasanya Devan yang selalu banyak bicara. Menceritakan tentang sekolahnya, tentang teman-temannya yang absurd, guru yang cerewet, dan masih banyak lagi."Devandra-," sekali lagi Adryan memanggilnya.Tidak ada sahutan sama sekali, bocah itu malahan turun dengan membawa piringnya hendak makan di pantry dapur. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar deheman pria dewasa tersebut. "Azlan Devandra Van Brawi-," "Ia, Papi," sahut Devan. Jika Adryan sudah menyebut dengan nama lengkapnya, maka Devan tahu Papinya sedang tidak bercanda."Kenapa diemin Maminya dari kemarin, hm?" Devan mendekat pada kursi yang ditempati Ad