Pagi itu, di seluruh kota, media sosial dipenuhi oleh satu gosip panas. Foto-foto yang memperlihatkan Rain dan Sari beredar luas, membuat banyak orang membicarakan kedekatan mereka yang tampak mesra. Dari sudut pandang tertentu, foto-foto itu seolah menunjukkan bahwa Rain dan Sari sedang berciuman, meski kenyataannya jauh dari itu. Namun, gosip tidak membutuhkan kebenaran untuk menjadi bahan bakar yang memanaskan situasi. Di apartemen Rain, Summer sedang menyiapkan sarapan saat teleponnya berdering. Layar ponselnya menunjukkan nama Misel, teman baiknya. Summer mengangkat panggilan itu dengan senyuman, tetapi senyumannya memudar seiring dengan kata-kata yang keluar dari mulut Misel. "Summer, lo sudah lihat berita pagi ini?" Misel bertanya dengan nada cemas. “Berita apa?” Summer menjawab, merasa ada yang tidak beres. Ia tidak menyangka akan ada hal besar yang terjadi, terutama karena semalam ia dan Rain menghabiskan waktu dengan begitu bahagia. Misel terdiam sejenak, seakan ragu
Sari duduk di kursi kantornya dengan senyum tipis di wajahnya, menikmati kesenangan sesaat dari gosip yang telah ia rencanakan. Foto-foto yang tersebar di media sudah menciptakan kehebohan, tetapi Sari tahu itu belum cukup untuk menggoyahkan hubungan Summer dan Rain. Pasangan itu terlalu kuat, terlalu saling percaya satu sama lain. Itu membuat Sari semakin terdorong untuk merencanakan langkah berikutnya.Malam itu, Sari merencanakan sesuatu yang lebih signifikan. Sesuatu yang bisa benar-benar merusak fondasi hubungan mereka. Ia membuka ponselnya dan menghubungi Ben, orang yang ia tahu bisa ia manfaatkan untuk tujuannya."Ben," Sari memulai ketika Ben menjawab panggilannya, "Kita perlu bertemu malam ini. Ada sesuatu yang penting, yang harus kita bahas."Ben terdengar lelah di ujung sana, tetapi ia tidak punya banyak pilihan. "Oke, di mana?"Sari memberitahu lokasi yang biasa mereka gunakan untuk pertemuan mereka. Tidak ada yang mengenali mereka di sana, dan suasananya selalu tenang. Te
Keesokan harinya, Rain berusaha keras untuk menyelesaikan masalah gosip yang mengaitkan dirinya dengan Sari. Di kantornya, ia berbicara dengan seorang rekan media di telepon, mencoba mencari cara untuk meredam berita yang sudah menyebar seperti api di tengah musim kemarau. "Iya, aku ngerti, tapi ini benar-benar hanya salah paham," kata Rain dengan nada serius, sementara ia mondar-mandir di ruang kerjanya. "Tolong, usahakan untuk redam berita ini. Aku nggak mau hal ini semakin membesar. Aku akan kasih bukti cctv dari galeri aku, untuk klarifikasi lebih lanjut soal foto-foto yang sudah beredar." Saat Rain masih berbicara di telepon, pintu kantornya terbuka pelan dan Sari melangkah masuk. Dengan senyum penuh penyesalan, Sari mendekati meja Rain, menunggu sampai percakapan telepon itu selesai. Rain segera mengakhiri pembicaraan dengan rekan medianya, lalu menatap Sari yang berdiri di hadapannya. "Rain, aku benar-benar minta maaf soal semua gosip ini," Sari memulai, suaranya terdengar
Haru masih terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Segala sesuatu yang dikatakan Ben membuat pikirannya berkecamuk. Ia merasa bingung, tidak tahu harus mempercayai siapa atau bagaimana harus merespons. Rasanya seolah dunia yang ia kenal tiba-tiba menjadi asing. Saat Haru masih dalam kebingungannya, tiba-tiba bel tanda jam istirahat berakhir berbunyi. Suara itu terdengar nyaring di tengah kesunyian antara dirinya dan Ben. Haru menoleh ke arah kelasnya, menyadari bahwa ia harus segera kembali ke kelas. "Jam istirahat sudah selesai. Aku harus masuk kelas," kata Haru pelan, nyaris seperti bisikan. Ben mengangguk pelan, mencoba memahami perasaan anaknya. "Iya, Haru. Aku nggak mau ganggu Harulebih lama. Aku hanya mau Haru tau kalau aku ayah kandung Haru, dan aku mau perbaiki hubungan kita." Haru hanya mengangguk kecil, tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ia perlahan melangkah menjauh, menuju ke kelasnya. Ben hanya bisa memperhatikan dengan hati yang berat, tidak tahu apakah pertemuan ini
Di rumah orang tua Wulandari Siregar, suasana berbeda jauh dengan yang dialami Ben. Joshua Siregar dan istrinya, Sita, duduk di ruang tamu bersama Wulan, putri mereka. Ruang tamu itu nyaman, dengan perabotan kayu klasik dan hiasan dinding yang penuh dengan foto-foto keluarga. Namun, meski suasana ruangan hangat, percakapan yang terjadi di sana menyiratkan keprihatinan mendalam dari kedua orang tua Wulan. Joshua, seorang pria berwibawa dengan rambut yang sudah mulai memutih, memandangi putrinya dengan penuh kasih. Ia selalu menjadi sosok ayah yang tenang, bijaksana, dan selalu memberikan dukungan penuh pada anak-anaknya. Setelah mendengar cerita Wulan tentang sikap Ben belakangan ini, ia menghela napas panjang, menahan emosi yang sebenarnya ingin ia luapkan. "Wulan, kalau kamu merasa ragu dan nggak yakin dengan pernikahan ini, itu bukan salah kamu," kata Joshua, suaranya lembut namun penuh dengan keyakinan. "Ben harusnya tau lebih baik bagaimana cara memperlakukan kamu sebagai pasang
Di ruang tamu rumah orang tua Summer, suasana yang semula tenang mendadak berubah mencekam setelah Haru mengucapkan kata-kata yang mengejutkan semua orang. Meilani, yang sedang mengatur setumpuk album foto lama, menoleh dengan cepat ke arah Haru, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang luar biasa."Ayah? Haru, apa maksud kamu, sayang?" tanya Meilani, suaranya gemetar. Ia sama sekali tidak pernah menduga bahwa percakapan seperti ini akan terjadi, terutama di saat yang damai seperti ini.Haru, yang duduk di lantai dengan mainan di tangannya, menatap neneknya dengan mata polos. "Hari ini, aku ketemu sama ayah di sekolah. Dia bilang dia ayah aku, Nek."Meilani terdiam sejenak, berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan cucunya. Selama ini, Meilani memang tidak pernah menanyakan terlalu banyak tentang ayah Haru kepada Summer, karena ia tahu betapa sensitifnya topik itu bagi putrinya. Namun, sekarang kenyataan itu terungkap begitu saja dari mulut Haru yang masih begitu muda dan polos.Su
Keesokan harinya, udara pagi yang sejuk terasa berbeda bagi Summer. Sejak semalam, pikirannya terus dipenuhi oleh pertemuan Haru dengan Ben. Saat ia dan Rain mengantar Haru ke sekolah, perasaannya tidak tenang, seakan ada firasat buruk yang menghantuinya. "Kamu kenapa, sayang?" tanya Rain, saat ia melihat Summer yang gelisah. Summer berusaha untuk tersenyum, walau ia tahu itu terlihat begitu aneh. "Nggak apa-apa, sayang. Hanya lagi nggak enak badan aja." Summer tidak jujur pada Rain saat ini, karena ia masih membutuhkan waktu untuk berpikir. Rain tersenyum, berusaha memberikan Summer waktu dan ruang. Sesampainya di depan sekolah, Summer menggenggam tangan Haru erat, seakan tidak ingin melepaskannya. Namun, ketika mereka sampai di gerbang sekolah, firasat buruk itu terbukti benar. Ben berdiri di sana, menunggu mereka dengan wajah penuh penyesalan. Wajah yang kemarin menyapa Haru di sekolah. Summer langsung merasakan amarah membuncah. Semua rasa sakit dan kekhawatiran yang i
Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa begitu hening dan tegang. Bahkan Haru, yang biasanya ceria dan selalu punya banyak hal untuk diceritakan, hanya duduk diam di kursi belakang, menatap keluar jendela dengan ekspresi murung. Pandangannya kosong, seolah-olah pikirannya sedang melayang jauh dari tempat ia berada. Summer, yang duduk di samping Rain, juga tidak berbicara sepatah kata pun. Amarah yang meledak-ledak saat bertemu Ben masih terasa di dadanya, tetapi kini perasaan itu berubah menjadi kekesalan yang mendalam. Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu Ben dalam situasi seperti ini, apalagi di depan Haru. Perasaan bersalah menyelimutinya karena Haru harus menyaksikan semua itu. Rain, yang memegang kemudi, mencuri pandang ke arah Summer beberapa kali. Dia bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti mereka bertiga, tetapi dia tidak tahu harus berkata apa untuk mengurangi ketegangan itu. Ia ingin menenangkan Summer, ingin memberikan kata-kata penghiburan, teta