Haru masih terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Segala sesuatu yang dikatakan Ben membuat pikirannya berkecamuk. Ia merasa bingung, tidak tahu harus mempercayai siapa atau bagaimana harus merespons. Rasanya seolah dunia yang ia kenal tiba-tiba menjadi asing. Saat Haru masih dalam kebingungannya, tiba-tiba bel tanda jam istirahat berakhir berbunyi. Suara itu terdengar nyaring di tengah kesunyian antara dirinya dan Ben. Haru menoleh ke arah kelasnya, menyadari bahwa ia harus segera kembali ke kelas. "Jam istirahat sudah selesai. Aku harus masuk kelas," kata Haru pelan, nyaris seperti bisikan. Ben mengangguk pelan, mencoba memahami perasaan anaknya. "Iya, Haru. Aku nggak mau ganggu Harulebih lama. Aku hanya mau Haru tau kalau aku ayah kandung Haru, dan aku mau perbaiki hubungan kita." Haru hanya mengangguk kecil, tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ia perlahan melangkah menjauh, menuju ke kelasnya. Ben hanya bisa memperhatikan dengan hati yang berat, tidak tahu apakah pertemuan ini
Di rumah orang tua Wulandari Siregar, suasana berbeda jauh dengan yang dialami Ben. Joshua Siregar dan istrinya, Sita, duduk di ruang tamu bersama Wulan, putri mereka. Ruang tamu itu nyaman, dengan perabotan kayu klasik dan hiasan dinding yang penuh dengan foto-foto keluarga. Namun, meski suasana ruangan hangat, percakapan yang terjadi di sana menyiratkan keprihatinan mendalam dari kedua orang tua Wulan. Joshua, seorang pria berwibawa dengan rambut yang sudah mulai memutih, memandangi putrinya dengan penuh kasih. Ia selalu menjadi sosok ayah yang tenang, bijaksana, dan selalu memberikan dukungan penuh pada anak-anaknya. Setelah mendengar cerita Wulan tentang sikap Ben belakangan ini, ia menghela napas panjang, menahan emosi yang sebenarnya ingin ia luapkan. "Wulan, kalau kamu merasa ragu dan nggak yakin dengan pernikahan ini, itu bukan salah kamu," kata Joshua, suaranya lembut namun penuh dengan keyakinan. "Ben harusnya tau lebih baik bagaimana cara memperlakukan kamu sebagai pasang
Di ruang tamu rumah orang tua Summer, suasana yang semula tenang mendadak berubah mencekam setelah Haru mengucapkan kata-kata yang mengejutkan semua orang. Meilani, yang sedang mengatur setumpuk album foto lama, menoleh dengan cepat ke arah Haru, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang luar biasa."Ayah? Haru, apa maksud kamu, sayang?" tanya Meilani, suaranya gemetar. Ia sama sekali tidak pernah menduga bahwa percakapan seperti ini akan terjadi, terutama di saat yang damai seperti ini.Haru, yang duduk di lantai dengan mainan di tangannya, menatap neneknya dengan mata polos. "Hari ini, aku ketemu sama ayah di sekolah. Dia bilang dia ayah aku, Nek."Meilani terdiam sejenak, berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan cucunya. Selama ini, Meilani memang tidak pernah menanyakan terlalu banyak tentang ayah Haru kepada Summer, karena ia tahu betapa sensitifnya topik itu bagi putrinya. Namun, sekarang kenyataan itu terungkap begitu saja dari mulut Haru yang masih begitu muda dan polos.Su
Keesokan harinya, udara pagi yang sejuk terasa berbeda bagi Summer. Sejak semalam, pikirannya terus dipenuhi oleh pertemuan Haru dengan Ben. Saat ia dan Rain mengantar Haru ke sekolah, perasaannya tidak tenang, seakan ada firasat buruk yang menghantuinya. "Kamu kenapa, sayang?" tanya Rain, saat ia melihat Summer yang gelisah. Summer berusaha untuk tersenyum, walau ia tahu itu terlihat begitu aneh. "Nggak apa-apa, sayang. Hanya lagi nggak enak badan aja." Summer tidak jujur pada Rain saat ini, karena ia masih membutuhkan waktu untuk berpikir. Rain tersenyum, berusaha memberikan Summer waktu dan ruang. Sesampainya di depan sekolah, Summer menggenggam tangan Haru erat, seakan tidak ingin melepaskannya. Namun, ketika mereka sampai di gerbang sekolah, firasat buruk itu terbukti benar. Ben berdiri di sana, menunggu mereka dengan wajah penuh penyesalan. Wajah yang kemarin menyapa Haru di sekolah. Summer langsung merasakan amarah membuncah. Semua rasa sakit dan kekhawatiran yang i
Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa begitu hening dan tegang. Bahkan Haru, yang biasanya ceria dan selalu punya banyak hal untuk diceritakan, hanya duduk diam di kursi belakang, menatap keluar jendela dengan ekspresi murung. Pandangannya kosong, seolah-olah pikirannya sedang melayang jauh dari tempat ia berada. Summer, yang duduk di samping Rain, juga tidak berbicara sepatah kata pun. Amarah yang meledak-ledak saat bertemu Ben masih terasa di dadanya, tetapi kini perasaan itu berubah menjadi kekesalan yang mendalam. Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu Ben dalam situasi seperti ini, apalagi di depan Haru. Perasaan bersalah menyelimutinya karena Haru harus menyaksikan semua itu. Rain, yang memegang kemudi, mencuri pandang ke arah Summer beberapa kali. Dia bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti mereka bertiga, tetapi dia tidak tahu harus berkata apa untuk mengurangi ketegangan itu. Ia ingin menenangkan Summer, ingin memberikan kata-kata penghiburan, teta
Di kantornya, Wulan duduk terpaku di kursi kantornya, menatap layar handphone dengan penuh kebingungan dan ketidakpercayaan. Berita terbaru yang sedang viral di media sosial tidak hanya mengejutkannya, tetapi juga membuatnya merasa terpuruk. Judul artikel itu besar dan mencolok: "Skandal Cinta Ben dan Summer, Masa Lalu yang Kembali Menghantui". Wulan membaca dengan seksama, matanya membesar setiap kali menemukan detail baru yang mengungkapkan hubungan intim Ben dengan Summer di masa lalu. Foto-foto lama, rekaman, dan kesaksian dari orang-orang yang mengenal mereka saat kuliah mengisi artikel tersebut, menjelaskan hubungan mereka dengan cara yang sangat dramatis. Wulan berusaha mencerna informasi yang tertulis. Tidak hanya hubungan masa lalu Ben dan Summer yang menjadi berita utama, tetapi juga ada dugaan bahwa Haru, anak Summer, sebenarnya adalah anak biologis Ben. Artikel tersebut memaparkan argumen bahwa Ben dan Summer dulu memiliki hubungan yang sangat serius dan ada kemungkin
Di apartemen Rain, suasana terasa tenang meski penuh kesibukan. Summer, dengan wajah lelah dan penuh pikiran, sedang menyiapkan sarapan untuk Haru. Dia menghidangkan roti panggang dan sereal sambil menyalakan televisi dan mencari saluran anak-anak agar Haru bisa menonton acara favoritnya dan mengalihkan pikirannya dari kejadian di sekolah. Tiba-tiba, ponsel Summer bergetar di meja dapur. Melihat nama Misel pada layar, Summer segera tahu bahwa ada sesuatu yang serius. Misel, sahabatnya yang juga sering membantu mengurus berbagai hal, pasti ingin membahas sesuatu yang penting. Dengan sedikit rasa cemas, Summer menjawab telepon. “Halo, Misel. Ada apa?” tanya Summer sambil menyadari betapa pentingnya pertemuan ini. “Summer! Lo keren banget, sumpah!" Kata-kata Misel membuat Summer menggelengkan kepalanya perlahan. "Nggak usah muji gue untuk hal buruk. Lo kenapa telepon gue?" Misel menghela napas sejenak. “Gue tebak, lo pasti sadar opa yang lagi rame sekarang, kan?" Summer menga
Di kantornya yang sepi, Rain duduk di belakang meja, pandangannya terpaku pada tumpukan dokumen yang belum juga memberikan jawaban yang ia cari. Suara gemuruh di luar seolah mencerminkan kekacauan pikirannya. Dia telah mencoba segala cara untuk menemukan solusi atas masalah yang kini menimpa dirinya, Summer, dan Haru, tapi sejauh ini, hasilnya nihil. Kepalanya bersandar di tangan, tubuhnya terasa lelah, baik secara fisik maupun mental. Pikirannya terus berputar, berusaha mencari jalan keluar dari situasi yang kian memburuk. Kabar bahwa Wulan telah melakukan konferensi pers dan menyatakan hubungannya dengan Ben telah berakhir sebelum masalah ini mencuat ke publik, membuat situasi semakin sulit. Wulan telah melepaskan dirinya dari masalah ini, sementara Summer dan Ben masih diam, terperangkap dalam ketidakpastian. Ketika Rain sedang tenggelam dalam pikirannya, pintu kantornya terbuka perlahan. Dia mendongak, dan melihat Sari masuk dengan senyum ramah di wajahnya. "Sari? Kamu ngapain