Malam telah tiba, menyelimuti Jakarta dengan kehangatan yang melembutkan hiruk-pikuk kota. Di apartemen milik Rain, Summer merasa ada sesuatu yang berbeda. Meskipun Rain berusaha tampak tenang, tatapan matanya yang kosong dan gerakan tubuhnya yang seakan berat memberitahukan Summer bahwa ada sesuatu yang mengganggunya. Summer meletakkan cangkir teh hangat di atas meja, lalu berjalan mendekati Rain yang sedang duduk di sofa, memandangi layar televisi yang sebenarnya tidak ia perhatikan. Suara-suara dari televisi hanya menjadi latar belakang yang tak terdengar di antara mereka. "Rain, ada apa? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Summer dengan lembut, duduk di sampingnya. Ia menyentuh lengan Rain, mencoba menarik perhatiannya. Rain menoleh, tatapan matanya bertemu dengan mata Summer. Namun, alih-alih menjawab, ia hanya tersenyum tipis, seakan mencoba meyakinkan Summer bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. "Aku baik-baik aja, Summer," jawabnya, meski nada suaranya terdengar sedikit
Setelah pertemuan yang penuh emosi di depan gerbang sekolah Haru, perjalanan pulang terasa seperti berjalan dalam kabut yang pekat. Heningnya suasana di dalam mobil Rain menciptakan dinding tak terlihat antara dirinya dan Summer yang duduk diam di kursi sebelahnya. Tatapan Rain sesekali mencuri pandang ke arah Summer, mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan oleh wanita yang ia cintai itu. Namun, ekspresi Summer tetap kosong, matanya menatap lurus ke depan, seolah-olah tenggelam dalam pikirannya yang berkecamuk. Setibanya di apartemen, Rain memarkirkan mobilnya dengan perlahan, seolah-olah tidak ingin memecah kesunyian yang terasa begitu berat. Summer keluar dari mobil tanpa berkata apa-apa, dan Rain mengikutinya masuk ke dalam apartemen. Pintu apartemen tertutup di belakang mereka dengan suara lembut, tetapi tetap saja, suasana yang menggelayut di antara mereka terasa begitu tegang. Rain mengambil inisiatif untuk meletakkan tas dan kunci mobil, sementara Summer
Wulan kembali ke apartemennya dengan perasaan yang campur aduk. Seluruh kejadian beberapa hari terakhir terus menghantui pikirannya, terutama perilaku Ben yang semakin sulit dipahami. Setelah percakapan makan siang yang membuatnya merasa tidak dihargai, ia pulang dengan kepala penuh kekhawatiran. Begitu tiba di apartemen, Wulan segera melepaskan tasnya dan melemparkan dirinya ke sofa. Air mata yang sejak tadi ditahannya, akhirnya tumpah. Ia terisak dalam keheningan ruangan yang sepi. Seringkali ia memikirkan apakah keputusannya untuk terus bersama Ben adalah keputusan yang benar. Namun, setiap kali ia mencoba meyakinkan dirinya, perilaku Ben selalu memberinya alasan untuk ragu. Pertemuan mereka di restoran tadi membuat perasaan Wulan semakin tidak karuan. Ia tak bisa menghilangkan perasaan kalau Ben sedang menyembunyikan sesuatu darinya, dan intuisi kuat Wulan menuntunnya untuk menyelidiki keraguan dalam hatinya. Setelah tangisnya mereda, Wulan menghapus air matanya dan mencoba
Di sudut bar yang remang-remang, Ben duduk sendirian dengan gelas whiskey di tangannya. Matanya kosong, pikirannya berkecamuk antara penyesalan, ketakutan, dan kebingungan. Dia terus memutar balik kenangan masa lalunya dengan Summer, bagaimana mereka dulu saling jatuh cinta di bangku kuliah. Summer, dengan senyum manis dan mata yang ceria, pernah menjadi pusat dunianya. Namun, semuanya berubah setelah kejadian itu. Ia tidak siap menghadapi kenyataan dan memilih untuk meninggalkan tanggung jawabnya. Kini, di usianya yang ke-32 tahun, Ben tidak bisa menghilangkan bayang-bayang Summer dari pikirannya. Bagaimana mungkin? Summer tetap terlihat menawan, bahkan lebih mempesona daripada saat mereka masih kuliah. Ia teringat betapa halus kulitnya, bagaimana rambutnya tergerai indah di bawah sinar matahari, serta tatapan mata penuh cinta yang dulu pernah menjadi miliknya. Namun, kini tatapan itu bukan untuknya lagi, dan kenyataan itu terasa seperti pisau yang menusuk hatinya. Sementara itu, h
Keesokan harinya, suasana pagi di kantor Ben tampak berbeda dari biasanya. Ben, yang baru saja datang ke kantornya dengan pikiran yang kacau, terkejut saat melihat Wulan berdiri di depan meja kerjanya. Wulan tampak tegas dan serius, suasana di sekelilingnya terasa tegang. Ben mengerutkan dahi, mencoba menyusun kembali pikirannya yang berantakan. "Wulan?" suaranya penuh kebingungan saat ia melihat tunangannya itu berdiri dengan penuh tekad. "Tumben pagi-pagi ke sini. Kamu nggak ke kantor?" Wulan tidak menghiraukan pertanyaan itu. Dia membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa foto yang dia pegang dengan tangan yang gemetar. Dengan tangan bergetar, dia meletakkan foto-foto tersebut di atas meja Ben. Foto-foto itu menunjukkan Ben sedang duduk di bar bersama Sari, tampak akrab. "Ben, apa ini?" Wulan bertanya, suaranya tegas namun tersisa getaran emosi. "Aku mau penjelasan tentang foto-foto ini." Ben menatap foto-foto itu, wajahnya semakin pucat seiring dengan rasa terkejut dan bingu
Di rumah keluarga Rain, suasana pagi itu dipenuhi dengan hiruk-pikuk persiapan. Lili, ibu Rain, sibuk mempersiapkan acara ulang tahun Andreas, suaminya. Ia ingin memastikan bahwa semuanya sempurna untuk perayaan yang akan diadakan beberapa hari lagi. Kue, dekorasi, hingga menu makanan semuanya dipersiapkan dengan teliti. Namun, semakin banyak yang perlu dipersiapkan, semakin ia merasa butuh bantuan. Setelah berpikir sejenak, Lili memutuskan untuk menghubungi Summer. *** Ponsel Summer berdering di apartemen milik Rain. Ia sedang bekerja ketika ia melihat nama Lili muncul di layar. “Tante Lili?” Summer mengangkat telepon dengan senyum, lalu menyapa, "halo, selamat siang, Tante Lili." “Siang, sayang. Kamu nggak lagi sibuk, kan?" tanya Lili. Summer menatap ke sekeliling. "Aku lagi di apartemennya Rain, Tante. Emang ada apa Tante?" "Gini... Tante lagi siapin acara ulang tahun papanya Rain. Kamu bisa bantu Tante, sayang?" Tanpa berpikir panjang, Summer langsung mengangguk. "Bisa, Ta
Malam itu, apartemen Rain dipenuhi dengan kehangatan yang sulit dijelaskan. Dapur kecilnya yang biasanya sepi, kini dipenuhi dengan suara-suara riang dari dua orang yang menikmati kebersamaan mereka. Lampu-lampu di atas meja dapur memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana intim yang sempurna. Summer berdiri di depan kompor, mengaduk saus dalam panci dengan hati-hati. Senyum tipis terpancar di wajahnya setiap kali ia merasakan aroma masakan yang semakin harum. Di sebelahnya, Rain sedang memotong sayuran, sesekali melirik ke arah Summer dengan senyuman yang tak bisa disembunyikan. “Aku nggak nyangka, selain jago melukis, kamu juga pintar masak, Rain,” Summer memuji Rain, matanya menatap ke arahnya dengan kehangatan yang dalam. Rain tertawa kecil, menaruh pisau yang dipegangnya dan beralih untuk berdiri di sebelah Summer. “Waktu aku ke Paris dulu, aku benar-benar nggak tau masak. Papa sama mama aku juga nggak ngasih banyak uang saku. Jadi untuk bertahan hidup, aku harus belaj
Pagi itu, di seluruh kota, media sosial dipenuhi oleh satu gosip panas. Foto-foto yang memperlihatkan Rain dan Sari beredar luas, membuat banyak orang membicarakan kedekatan mereka yang tampak mesra. Dari sudut pandang tertentu, foto-foto itu seolah menunjukkan bahwa Rain dan Sari sedang berciuman, meski kenyataannya jauh dari itu. Namun, gosip tidak membutuhkan kebenaran untuk menjadi bahan bakar yang memanaskan situasi. Di apartemen Rain, Summer sedang menyiapkan sarapan saat teleponnya berdering. Layar ponselnya menunjukkan nama Misel, teman baiknya. Summer mengangkat panggilan itu dengan senyuman, tetapi senyumannya memudar seiring dengan kata-kata yang keluar dari mulut Misel. "Summer, lo sudah lihat berita pagi ini?" Misel bertanya dengan nada cemas. “Berita apa?” Summer menjawab, merasa ada yang tidak beres. Ia tidak menyangka akan ada hal besar yang terjadi, terutama karena semalam ia dan Rain menghabiskan waktu dengan begitu bahagia. Misel terdiam sejenak, seakan ragu