Sesampainya di rumah, Rain membuka pintu depan dan membiarkan Haru melangkah masuk. Wajah Haru tidak lagi menyimpan keceriaan yang biasanya menyambut ibunya ketika ia pulang. Ia meletakkan tasnya di kursi dan duduk diam di ruang tamu, pandangannya kosong. Summer, yang sedang sibuk di dapur, menyadari kehadiran Haru yang biasanya langsung memanggilnya. Kali ini, tidak ada suara riang dari putranya. Dengan segera, ia keluar dari dapur dan mendekati Haru. "Haru, ada apa, sayang? Kenapa wajahmu lesu begitu?" tanya Summer dengan lembut, duduk di samping Haru. Haru menatap ibunya sejenak, lalu memeluknya erat. "Teman-teman cerita tentang ayah mereka, Bu. Haru... Haru nggak tahu harus cerita apa. Haru nggak punya ayah," katanya dengan suara pelan, nyaris berbisik. Summer menatap Rain yang masih berdiri. Ia meminta penjelasan, namun Rain hanya menggelengkan kepalanya. Summer akhirnya mengelus kepala Haru dengan lembut, merasakan kesedihan yang mendalam dari kata-kata putranya. Ini ada
Pagi itu, suasana di rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Haru, yang biasanya ceria dan penuh semangat setiap kali hendak pergi ke sekolah, kali ini tampak murung. Wajahnya yang imut dan biasanya berseri, kini tertunduk lesu saat ia mengenakan seragam sekolahnya. Summer menatap anaknya dengan perasaan khawatir, tetapi berusaha tersenyum dan memberikan semangat pada Haru. “Haru jangan sedih, dong. Gimana kalau pulang sekolah, ibu sama Haru jalan-jalan? Kita ke taman bermain, mau?” kata Summer lembut, sambil membetulkan kerah seragam Haru. Haru hanya mengangguk pelan tanpa kata-kata, kemudian berbalik menuju pintu. Rain yang sudah menunggu di dekat mobil, membuka pintu untuknya. Saat Haru masuk ke dalam mobil, ia tetap diam dan tidak banyak bicara, hanya menatap kosong ke luar jendela. Summer yang mengikuti dari belakang, memasang wajah khawatir, dan Rain tahu apa yang sedang Summer pikirkan. "Kamu tenang saja. Nanti aku coba hibur Haru," ucap Rain, menenangkan Summer. Summer m
Di dalam ruang kantornya yang mewah, Sari duduk di belakang meja besar yang penuh dengan dokumen dan ponsel yang terus menerus dia intip, berharap ada pesan dari Ben. Jantungnya berdebar kencang setiap kali layar ponselnya menyala, tetapi kekecewaan selalu mengikutinya karena pesan yang dinantikan tak kunjung datang. Pikiran Sari dipenuhi oleh bayangan pertemuannya dengan Ben di kafe beberapa hari lalu. Dia ingat betul tatapan Ben yang terlihat bimbang saat mereka berbicara. Dia yakin Ben mulai goyah, mulai mempertimbangkan tawaran atau ancamannya. Namun, waktu terus berlalu dan Ben masih belum menghubunginya. Hal ini membuat Sari semakin gelisah dan kesal. Rasa gelisahnya berubah menjadi marah. Sari merasa kesabarannya mulai habis. Dia sudah terlalu lama menunggu, dan dia tidak akan membiarkan Ben melarikan diri dari tanggung jawab ini. Pikiran tentang bagaimana dia harus menekan Ben lebih keras mulai memenuhi benaknya. Dia tahu, jika ancaman yang lebih besar tidak dilancarkan,
Summer bisa merasakan perubahan halus pada ekspresi Rain begitu ia menyebutkan kedatangan Lili dan apa yang Lili inginkan. Senyuman Rain yang tadi hangat perlahan memudar, dan tatapannya sedikit berubah, meski Rain berusaha keras menyembunyikannya. Summer merasa bersalah karena telah membawa topik yang berat di momen seperti ini, apalagi di depan Haru yang sedang bersemangat tentang liburan. “Maaf, Rain,” ucap Summer dengan suara lembut, menundukkan kepala sedikit. “Aku tau nggak seharusnya aku bahas soal ini sekarang, tapi aku terbebani dengan permintaan Tante Lili. Maafin aku." Rain menggelengkan kepalanya pelan, berusaha meredakan kekhawatiran Summer. Dia meletakkan tangannya di atas tangan Summer, menatapnya dengan lembut. "Nggak perlu minta maaf, Summer. Aku ngerti kamu hanya mau aku tahu, dan aku menghargai kejujuran kamu. Tapi, mungkin lebih baik kalau kita bahas ini nanti." Haru, yang sedang sibuk dengan makanan di depannya, tidak menyadari ketegangan yang muncul di anta
Lili maju, memegang tangan Rain. "Mama mengerti. Kamu duduk dulu." Rain mengikuti kemauan ibunya. Ia duduk, lalu menatap ke sekeliling. "Papa mana? Bukannya papa juga harus hadir, biar masalah ini bisa jelas?" Lili menggelengkan kepalanya. "Papa kamu nggak perlu tau soal masalah ini. Semuanya bukan keinginan papa kamu, tapi mama yang mau kamu ambil alih Guardian Group." Rain menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara. "Ma, sepuluh tahun yang lalu, mama sudah dengar janji papa, kan? Papa janji ke aku kalau aku bisa sukses sebagai seniman, papa nggak akan maksain kehendak papa ke aku. Aku sudah mencapai semua itu, tapi kenapa mama masih intervensi karir dan jalan hidup aku? Apalagi, mama minta Summer untuk bujuk aku. Kenapa, ma? Aku butuh penjelasan dari mama." Lili mendengarkan dengan seksama, tatapannya tetap tenang meski ada kilatan emosi yang sulit ditebak di matanya. "Rain, memang benar, kamu sudah mencapai lebih dari yang pernah mama bayangkan. Kamu sudah jadi senima
Di balik meja kantornya, Rain duduk diam dengan pandangan kosong menatap ke luar jendela. Pikirannya jauh melayang, tenggelam dalam percakapan dengan ibunya yang masih terngiang jelas di telinganya. Berbeda dengan Summer yang sedang diliputi kebahagiaan karena kabar baik dari ibunya, Rain merasa hatinya bercampur aduk. Kata-kata ibunya, Lili, seolah terus menghantuinya, mengingatkannya akan janji lama yang ia buat pada orang tuanya—janji yang kini terasa seperti beban berat yang kembali menghimpit dadanya. Lili telah berbicara dengan penuh harap, mengingatkan Rain bahwa kesuksesannya sebagai seniman telah memenuhi harapan mereka, namun ada hal lain yang belum terpenuhi. Harapan-harapan lain yang mereka miliki untuknya—harapannya untuk karir yang lebih mapan, untuk kehidupan yang lebih terstruktur, dan anak laki-laki yang akan selalu dapat diandalkan, untuk melindungi keluarga mereka. Rain memejamkan matanya sejenak, mencoba mengusir kecemasan yang mulai menyelimutinya. “Aku benar
Sesampainya di hotel mereka menginap, Haru kembali melihat foto-foto dan video yang mereka ambil. Rain dan Summer yang melihat kebahagiaan Haru, merasa lega karena Haru sudah melupakan kesedihannya."Gimana? Kamu senang datang ke sini?" tanya Rain.Summer mengangguk. "Senang banget. Makasih, sayang." Summer melalu menatap Haru. "Haru benar-benar menikmati liburan kali ini."Rain tersenyum. Bagaimana ia tidak menikmatinya?Rain lalu mengingat saat mereka baru tiba di Labuan Bajo.Mereka tiba dengan kegembiraan yang sulit untuk disembunyikan. Setelah merencanakan perjalanan dengan matang, Rain, Summer, dan Haru akhirnya tiba di pulau yang terkenal dengan keindahan alamnya. Pagi itu, matahari bersinar cerah saat mereka melangkah keluar dari bandara kecil Labuan Bajo. Aroma laut yang segar dan suasana yang tenang langsung menyambut mereka. “Ibu! Liat pemandangannya, Bu!” seru Haru, matanya berbinar saat melihat lautan biru dan pulau-pulau kecil yang tersebar di kejauhan. “Ini lebih bag
Kembali ke masa sekarang... Saat matahari mulai terbenam di Pulau Komodo, Rain dan Summer mengajak Haru untuk berjalan di pinggir pantai. Pemandangan langit yang berubah warna dari oranye ke ungu memberikan latar belakang yang mempesona. Haru, yang masih bersemangat dari snorkeling, berlari dengan bebas, menikmati sentuhan angin dan pasir halus di kakinya. Sementara Rain dan Summer berjalan dengan lambat sambil bergandengan tangan. Mereka tetap memperhatikan Haru yang berlari di depan mereka. “Liat langitnya,” kata Rain sambil memandang ke arah langit yang berwarna-warni. “Ini luar biasa. Langit Jakarta nggak akan pernah kayak gini.” Summer, berdiri di samping Rain, merasakan suasana yang tenang dan damai. “Iya, pemandangan di sini benar-benar indah. Aku nggak bisa bayangin kalau kita bisa liat langit yang indah gini tiap hari. Aku Oro banget sama orang-orang sini.” Rain menatap Summer dengan lembut. “Iya, apalagi aku bisa nikmatin semua ini dengan kamu. Bagi aku, ini jadi sala