"Sudah sampai, Nak," ucap kaik Biak membuyarkan lamunanku, "berlama-lamalah di sini, Langit membutuhkanmu," katanya kembali menyebut nama seorang anak.
"Iy, Kaik. Sampaikan salam Aling pada nenek Non, jika ada waktu, Aling usahakan menjenguk beliau." Aku mencium tangan sebagai bentuk takzim.
"Iy, nanti Kaik sampaikan. Assalamualaikum." Kaik Biak menstarter motor.
“Waalaikum salam.” Aku tersenyum memandang kepergian guru ngaji masa kecil yang menjauh di telan tikungan jalan.
Semburat jingga telah hilang, berganti gelap menyelimuti mayapada saat aku menginjakkan kaki di depan rumah masa kecil. Sedikit bergetar, kaki melangkah memasuki pekarangan. Setelah dua belas tahun bersembunyi, sesudah luka hampir sembuh, akhirnya hari ini tiba, aku akan bersua wanita yang menghadirkan diriku ke dunia.
Aku tidak tahu bagaimana respon penghuni bangunan di depanku saat melihat anak perempuannya yang lama hilang kembali pulang. Apakah pada akhirnya aku akan di terima atau justru di suruh pergi.
Wanita kota ini, menarik kaki mengikuti hamparan batu kerikil yang disusun mengikuti bentuk jalan setapak. Ketika sampai di pertengahan halaman, high heels navi milikku terperosok di sela-sela gravel dan membuat haknya patah. Berjongkok, kulepas pengait yang mengikat pergelangan kaki, ada bekas merah membentuk lingkaran kala silau lampu ponsel menyorot. Tarik napas panjang, lepaskan berlahan, oke, tidak apa-apa, anggap ini sebagai sambutan pertama. Mungkin di depan sana, akan ada animo lain yang bakal menyambutku. Meletakkan satu alas kaki tersebut di atas kepala koper, aku berjalan terpincang mendekati anak tangga.
Netraku bergerilya, banyak yang telah berubah. Dua belas tahun lalu parit yang memisahkan rumah dan jalan setapak yang biasa warga lalui, dua sisinya ditumbuhi pohon kelapa berbuah lebat. Pelepahnya yang terjuntai menyentuh air sering aku dan Kak Syahrin gunakan sebagai perosotan saat mandi di parit tersebut. Kini selokan itu sudah berubah menjadi saluran irigasi semenisasi, pohon kelapa yang banyak tumbuh sudah tak lagi ada, berganti tiang- tiang PLN berjajar angkuh. Rupanya, listrik telah menyentuh desa Redan.
"Ah, dinginnya." Kurapatkan cardigan, berharap dapat mengurangi dingin angin laut yang berhembus dari balik bukit di belakang rumah.
Malam semakin merajai, netra masih cermat mengamati rumah masa kecil. Tak kudapati pilar-pilar tinggi penyangga rumah. Tak ada lagi dinding dari papan kasar. Atap yang dahulu terbuat dari anyaman ilalang pun telah berganti menjadi asbes. Rumah panggung Mamak beralih menjadi bangunan beton.
Mamak menyukai kesederhanaan, pantas saja cat rumahnya didominasi warna cokelat dengan daun pintu berwarna kuning. Tak lupa bagian teras dua buah kursi dari rotan diletakkan menghadap arah persawahan di seberang jalan, sehingga semakin memberi kesan tentram. Segalanya berubah, aku tentu tidak mengetahui rumah ini, jika Kaik Biak tak menurunkanku tepat di depan gerbang rumah Mamak.
"Dengar-dengar istri Pak RT kena stroke, seluruh badan tidak bisa digerakkan, katanya karena sering marah-marah sama buruh yang mengelolah sawahnya. Mamak dengar sewaktu Ibu-ibu kampung ngobrol pas lagi bantuin Haji Masruni menanam padi. " Mamak membuka obrolan, tangannya tampak sibuk mengikat daun bayam yang akan dijual esok hari.
Kak Mim yang sedang asik membaca Al-Qur'an menoleh. "Penyakit itu datangnya dari Allah dan sembuhnya juga dari Allah. Mungkin memang Bu RT sedang diberi ujian oleh Tuhan."
"Wissshhhh... diam, diam semua. Ada ustadz, ayo merapat-merapat," Aku menggejek.
Kak Tera yang sedang membantu Mamak mendelik. "Yang sopan ya sama kakaknya."
"Eh, Kalling sipusing tujuh keliling, kapan kamu mau pakai jilbab? Nggak malu yah? Rambutmu dilihat laki-laki yang bukan mahram? Kakak nggak mau loh yah, kamu seret nanti ke neraka," Kak Mim bertanya. Salahku, menjerumuskan diri dalam sidang tak berkesudahan. Lihat saja, sebentar lagi jaksa kedua akan angkat bicara.
"Ish. Kakak suruh aku sembunyikan wajah cantik?" tanyaku kesal, "nggak akan! Kayak ibu-ibu," sungutku lagi.
"Biarin, Kak. Kebal dia sama godamnya malaikat Mungkar dan Nakir." Kak Alfi angkat bicara. Aku tersudut. Posisi menjadi satu lawan tiga.
Pelita dari kaleng bekas susu yang diisi minyak tanah meredup, tertiup angin dari cela dinding kayu yang berlubang. Di luar suara jangkring bernyayi bersahutan.
"Apa sih, Kak! Aling bakal pakai kalau sudah siap. Aku masih kelas tiga SMP, masih kecil! Nanti aja kalau sudah SMA. Iyakan, Pak?" Aku menatap Bapak, mencari pembelaan. Namun sayang Bapak tak bergeming. Beliau selalu setuju dengan kata kakak-kakakku jika itu tentang nasehat mengandung kebaikan.
"Kamu kira ajal datang pakai nanti-nanti? Nggak, Ling. Ajal itu bisa datang kapan saja. Nggak kasihan kamu sama Bapak? Sama Kakak? Kelak harus dilempar ke dalam neraka cuma karena kamu nggak pakai jilbab?" Suara Kak Mim naik satu oktaf.
Udara malam semakin dingin tapi ruangan justru terasa panas. Dalam temaran cahaya lampu minyak bisa aku lihat semua mata tertuju padaku, mungkin mereka tidak percaya aku membantah kakak tertuaku.
"Ling! Benar kata Kakakmu, perempuan ditanggung oleh empat laki-laki, suaminya, bapaknya, kakaknya dan anak laki-lakinya. Jadi kalau kamu tidak menutup aurat, nanti ke empat laki-laki tersebut akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah. Jangan menganggap remeh masalah ini. Sudah! salat isya dulu." Mamak menengahi pertengkaran kami.
Mataku berembun kala ingatan masa lampau datang merayu, aku merindukan mereka, sekian lama meninggalkan desa tak pernah sekalipun memberikan kabar. Bukan bermaksud ingin melupakan, hanya saja takut dengan mengetahui keberadaanku seseorang akan datang menjemput dan memperlebar lubang luka yang aku tanggung.
Gemericik air yang mengalir dari saluran irigasi depan rumah sedikit meredam debar jantungku ketika ingin mengetuk pintu.
"Assalamualaikum..."
"...."
"Assalamualikum...." ulangku.
"...."
Menunggu seseorang membukakan pintu, tanganku menepuk dada menahan debaran yang kembali bertalu.
"Assalamualaikum!" Sedikit mengeraskan suara, kembali aku mengucap salam.
"...."
"Bu Pessa sedang tidak di rumah, ia ada di kabupaten sebelah! Cucunya sedang di khitan!" suara pria berteriak dari arah jalan depan rumah. Aku membalikkan badan, di sana berdiri seorang pria paruh baya memakai koko putih polos lengan panjang beserta kopiah hitam.
"Kampung sebelah?" tanyaku ikut berteriak.
"Iy, Nak, mungkin tidak akan pulang malam ini," katanya mendekat.
"Kabupaten sebelah, Pak?"
"Kabupaten menantunya yang orang sunda, Nak. Tapi, tak usah khawatir, menantunya yang lain sebentar lagi akan pulang bekerja. Tunggu saja, sebentar lagi dia akan pulang. Ambo-nya Langit biasa sampai di rumah jam Sembilan malam." Pria itu terlihat berpikir. " Setengah jam lagi ia akan tiba jika tidak lembur."
"Terimakasih, Pak," Aku memperlihatkan lesung pipi. Setengah jam tidak akan lama. Aku bisa menunggunya sambil mendengarkan musik. Ada kecewa menelusup masuk dalam sanubari. Aku sudah sangat merindukan Mamak, tapi rupanya belasan tahun berpisah tak membuat semesta berpihak padaku.
"Sama-sama, Nak. Kalau begitu Bapak kesurau dulu yah, sebentar lagi masuk waktu salat isya, jangan sungkan untuk meminta bantuan jika menemui kesulitan. Rumah Bapak tidak jauh. Seratus meter dari sini, rumah kayu bercat hijau. Assalamualaikum," katanya meninggalkan pekarangan rumah Mamak.
Aku memutuskan menghempaskan pantat pada kursi rotan berwarna coklat yang berada di pojok teras setelah menjawab salam. Mengeluarkan ponsel dari tas selempang lalu memeriksa pesan masuk pada aplikasi w******p. Ada dua belas pesan masuk dari pegawai toko dan tiga puluh dua pesan dari Mas Sayhan, menanyakan apakah aku sudah sampai, sudah bertemu Mamak dan apakah aku merindukannya, sebab ia sangat merinduku tulisnya.
Setelah membalas pesan Mas Sayhan yang kemudian kusesali karena penuh kata-kata dimabuk cinta khas anak remaja terserang virus merah jambu, aku memasang headset di telinga dan memutar satu lagu yang amat aku sukai karena mengingatkanku pada lamaran Mas Sayhan.
Aku tak pernah percaya kami sampai ditahap ini. Hubungan yang kumulai dengan ragu nyatanya semakin hari aku semakin menikmatinya. Kisah kami tak ada dusta, segalanya dimulai dengan kejujuran. Ia menerima kelamnya masa laluku dan mungkin aku harus bersyukur karena memilihku. Berlahan mendung yang setia menemaniku bertahun lamanya sedikit demi sedikit terkikis sebab hadirnya.
Mengajakku berlari meninggalkan badai hidup di masa lalu, ia merekatkan genggamannya. Aku terharu dan melambung di waktu yang bersamaan. Mas Sayhan kembali mengenalkanku pada macam-macam warna pelangi, dan akhirnya kini diriku hanya menyisihkan sedikit ruang untuk warna kelabu. Aku dan Mas Sayhan adalah dua orang yang mencoba merajut pelan kisah indah. Ah, bukan Mas Sayhan, tapi aku yang berjalan pelan, ia harusnya berlari namun dirinya bersabar menungguku untuk berjalan beriringan.
Aku semakin merindukan pria bermata sendu itu. Pria yang selalu membuat bulan sabit bibirku terukir. Pria yang pelan-pelan menyamarkan dukaku. Pria yang berkata, jika ingin menghilangkan luka yang melekat di kalbu, aku harus berani membuka hati untuk diisi seseorang dan … menurutnya orang yang tepat untuk posisi itu adalah dirinya.
****
Temukan pasangan baru untuk melupakan luka lama, walau tak benar - benar menyembuhkan, setidaknya mampu membuatmu tetap hidup._____________________________________Empat bulan lalu...Janji suci milik Yovie and Nuno, mengalun menemani perjalanan kami menuju kantor. Pagi-pagi sekali pak Sayhan sudah menunggu di depan kontrakan.Pak Sayhan dan aku bekerja di salah satu anak perusahaan Salim Grup, yang bergerak di bidang jaringan ritel waralaba yang menyediakan kebutuhan pokok dan kebutuhan sehari-hari. Gelar pendidikan Diploma IV Jurusan Marketing, yang aku peroleh dari salah satu perguruan tinggi kota Samarinda hanya membawaku menduduki posisi sebagai kepala toko, berbeda dengan pak Sayhan yang memiliki jabatan sebagai Manager Location di perusahaan itu.Awalnya aku dan pak Sayhan adalah dua orang yang tidak saling mengenal, pertemuan pertama kami terjadi saat ia mengunjungi tokoku dan untuk memudahkan komunikasi kami saling bertukar nomor telepon. Sampai suatu hari aku menerima satu p
Sejak kedatangan Pak Sayhan malam itu, hubungan antara kami berdua menjadi lebih dekat. Sering kali dirinya menyempatkan untuk mampir di toko sekedar untuk menyapa atau bahkan menawarkanku tumpangan pulang. Kalau boleh jujur aku tidak begitu nyaman dengan sikap Pak Sayhan. Pegawai toko diam-diam membicarakan kami. Skandal antara atasan dan bawahan selalu menjadi topik menyenangkan untuk dibahas di pagi hari sebelum memulai pekerjaan atau saat jam istrahat. Mereka berpikir aku dan Pak Sayhan memiliki hubungan spesial. Mengingat rupa Pak Sayhan selalu menghiasi jam pulang kerjaku, tidak heran jika desas desus antara kami semakin menyebar. Aku tidak menyalahkan mereka, apa yang dilihat mata tentu mempengaruhi indra perasa untuk berkomentar. Dan lagi aku tidak merasa harus meluruskan kesalahpahaman yang sengaja dibuat Pak Sayhan. Berulang kali aku menolak ajakan untuk pulang bersama, berulang kali pula ia menyeretku memasuki Toyota Rush miliknya. Pernah k
Aku tahu betul, skenario hidup bukanlah di tulis masing-masing pribadi, sang pemegang kehidupanlah yang mengendalikan pena-nya. Garis nasibku sudah ditetapkan. Takdirku sedang berjalan pelan. Dan aku paham hal buruk yang terjadi padaku bukan tuhan yang inginkan. Aku yang memilih jalan itu, jalan berkelok penuh air mata yang kemudian tak ada habisnya aku sesali. Selalu percaya tuhan telah memberiku pilihan terbaik, hanya saja seperti manusia kebanyakan, sifat serakah selalu menyabet tropy dalam setiap pertarungan di kehidupanku, lalu menjerumuskan pada derita tak berujung. Malam itu setelah mendengar kenyataan tentang statusku, Mas Sayhan langsung mengajakku pulang. Dalam perjalanan ia tidak mengeluarkan sepatah kata, melirik diriku pun tidak. Aku sedih, tapi aku cukup memahami posisinya. Di negara ini status janda bukanlah sesuatu yang dapat diterima dengan mudah. Lagipula orang tua mana yang menginginkan menantu yang pernah gagal menjalin rumah tangga dengan
Jangan jumawa terhadap diri sendiri, sebab semesta dan pemiliknya punyai segala cara membabat habis rasa itu.Aku pikir setelah memutuskan untuk bangkit dari kematian batinku, sungguh aku telah siap menghadapi pelik kejutan hidup. Ternyata tidak. Pria yang berdiri tidak lebih dua meter di depanku adalah bukti bahwa aku masih menyisihkan sedikit tempat atas hatiku yang terkoyak."Untuk menjalani masa depan, kamu cukup memaafkan masa lalu." Beberapa bulan lalu mas Sayhan pernah mengatakan demikian. Waktu itu aku menganggukkan kepala, tapi sekarang kenapa terasa sangat sulit.Ada banyak kemungkinan di dunia ini, tapi bertemu dengannya di rumah orang tuaku adalah kemungkinan yang sulit dipercaya, kecuali alam dan pemilik-Nya berkonspirasi.Aku menegang takkala iris bening itu tajam menatap. Nyeri perlahan resapi cela dada. Ada luka yang kembali terburai, sakitnya mengalir bersama pacu gerak darahku. Bisa kurasakan ngilunya dalam denyut nadi. Andai tak ku inga
Suara peringatan daya handphone lowbat merenggutku kembali ke alam sadar. Entah berapa lama tertidur dalam posisi seperti ini, duduk menenggelamkan muka di antara dua paha. Melirik jam pada handphone yang dayanya sisa lima persen, tertera angka 03.00 dini hari.Rasa haus mendera membuatku menimbang apakah keluar membasuh tenggorokan dengan segelas air atau tetap bertahan dalam kamar.Bukannya ingin menyiksa diri, benci yang terlanjur menggunung memaksaku sedikit kejam. Dahaga tentu dapat di tahan, tapi hati terbakar murka kala melihat pria itu, aku tidak yakin dapat menahanya.Setelah memastikan segalanya akan baik-baik saja, sebab pria itu tentu telah terlelap, aku beringsut meninggalkan kamar. Menoleh sejenak pada tiap kamar yang kulewati khawatir bertemu pria tersebut dengan tanpa sengaja. Ini beralasan, sebab pada film-film yang pernah kusaksikan kejadian ini hampir selalu ada.Sepelan mungkin aku berjalan memasuki dapur berlantai semen yang din
Setelah menunaikan ibadah salat subuh aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Kabut tipis masih menyelimuti, cahaya kemerahan dari timur pun baru mulai menyinari separuh bagian desa. Cicit burung pipit dan gemericik air dari pancuran yang dipasang untuk mengairi sawah saling beradu. Subuhku yang tadinya memanas sedikit meredam. Merentangkan kedua tangan aku menyesapi angin yang berhembus di helai-helai rambutku. Segar "Angin pagi Redan kurang baik bagi yang tidak terbiasa. Memakai jaket bisa dikatakan pilihan yang tepat." Aku terjengkit hampir berteriak terkejut kemunculannya. Ia berdiri tidak jauh di belakangku, kedua tangannya membetulkan tudung hoodie bewarna maroon di kepala. Acuh, aku berlalu. "Banyak hal yang berubah dari desa kita." Ia berjalan di belakangku, kepalanya menengok ke kiri dan kanan, memindai keadaan sekitar. Masih pagi sekali, jadi belum banyak warga yang turun ke ladang. "Di balik bukit sana, tepat di bawah ak
Cahaya kemerahan benar-benar telah meninggalkan desa, membawa serta kabut yang menyelimuti, meninggalkan bulir-bulir bening di atas helai demi helai daun padi. Telunjuk-ku menyentuhnya, dingin. Sama sepertiku bening di telunjukku ini, hanyalah sisa keindahan yang di tinggalkan. Entah sudah berapa lama aku duduk berhamparkan rumput gajah di atas pematang sawah di sisi jalan setapak yang aku lalui. Panas yang semakin menyengat tak kuhiraukan. Ini tak lebih panas dibandingkan kalimat Fajar. Kilasan masa lalu sedang menguasai pikiranku. Aku dibuang, aku ditinggalkan, aku yang diduakan, aku dan keluargaku yang dilempari kotoran pada mukanya, lalu bagaimana bisa Fajar mengatakan aku yang jahat? Sialnya air mataku tak mau bekerja sama. Aliran bening merembes dari sana, berpacu sama lajunya dengan cairan bening yang keluar dari hidung. Ini memalukan, tapi sekali ini saja aku ingin menjadi Aling yang berantakan. Desa ini dan kenangan di dalamnya tak mampu membuatk
Katanya, untuk memulai hubungan baru, sebaiknya berhenti terlebih dahulu untuk mempersilahkan jeda mengobati segala sakit.Aku tak pernah mengira jeda yang dibutuhkan hatiku lebih lama dari yang dibutuhkan orang lain. Dua belas tahun dan ia tak benar-benar sembuh. Ingin sekali aku mencibir.Aku tahu, aku jahat. Memanfaatkan cinta tulus mas Sayhan agar terlepas dari jerat lara masalalu. Nyatanya duka itu tak pergi ke mana-mana. Ia masih di sana, mencekik hingga sesak.Tidak, jangan salahkan mas Sayhan. Bukan karena cintanya lemah, tapi aku yang memang tak ingin keluar dari kubang lumpur hidup bernama nestapa yang menarikku dalam kepahitan. Aku nyaman di sana, berenang menunggu saat ia menenggelamkan.Teriak bunyi ketel meraung pekakkan telinga, uap air yang keluar dari ujung corongnya meliuk ciptakan pola abstrak. Lesu aku menghampiri api kebiruan yang menjilati dasar ketel. Diriku perlu mendinginkan perasaan, dan pilihanku jatuh pada kopi panas, mencecap