Katanya, untuk memulai hubungan baru, sebaiknya berhenti terlebih dahulu untuk mempersilahkan jeda mengobati segala sakit.
Aku tak pernah mengira jeda yang dibutuhkan hatiku lebih lama dari yang dibutuhkan orang lain. Dua belas tahun dan ia tak benar-benar sembuh. Ingin sekali aku mencibir.
Aku tahu, aku jahat. Memanfaatkan cinta tulus mas Sayhan agar terlepas dari jerat lara masalalu. Nyatanya duka itu tak pergi ke mana-mana. Ia masih di sana, mencekik hingga sesak.
Tidak, jangan salahkan mas Sayhan. Bukan karena cintanya lemah, tapi aku yang memang tak ingin keluar dari kubang lumpur hidup bernama nestapa yang menarikku dalam kepahitan. Aku nyaman di sana, berenang menunggu saat ia menenggelamkan.
Teriak bunyi ketel meraung pekakkan telinga, uap air yang keluar dari ujung corongnya meliuk ciptakan pola abstrak. Lesu aku menghampiri api kebiruan yang menjilati dasar ketel. Diriku perlu mendinginkan perasaan, dan pilihanku jatuh pada kopi panas, mencecap pahitnya menjadi canduku. Kopi pahit untuk hidup yang pahit, kurasa perpaduan yang sempurna.
"Boleh aku memelukmu, Aling?" Perutku seketika bergejolak mengingat pinta Yusuf siang tadi. Bahkan dalam mimpi pun tidak pernah aku izinkan ia memelukku. Tak sudi.
Yusuf mempermainkanku, ia menikmati rona merah murka rupaku. Tak perlu lagi berdamai dengan masa lalu, ia pantas untuk dibenci, mungkin juga pantas untuk dicaci.
"Seingatku, kamu membenci kopi dan rokok." Astaga aku hampir terjengkal karena terkejut. Kedua kalinya ia mengejutkanku hari ini. Berdiri tepat pada pintu penghubung ruang keluarga dan dapur, tangannya menenteng dua kantong penuh belanjaan. Bening hitamnya jatuh pada gelas keramik putih dalam genggamanku.
Aku muak menghindar darinya, jadi mari beradu kata. "Aku menyukai apa yang dahulu kubenci dan membenci yang dahulu kusukai, terlebih kamu." Mataku mengikuti pola melingkar yang dihasilkan oleh gerak memutar sendok dalam gelasku. "Ingin mencobanya?" Ku angkat gelasku di depan wajahnya. "Ah, jangan. Kau tak terbiasa. Ini pahit, tidak cocok untuk hidupmu yang selalu manis," ucapku mencibir.
Ia berjalan melewatiku, meletakkan kantung belanjaan pada meja lesehan di samping kakiku. Kemudian berbalik, kami hanya berjarak tiga penggaris ukuran 30 cm. Netranya memicing. "Kota rupanya mengajarkan bibirmu mengeluarkan kalimat pahit. Bibirmu itu, ingin sekali aku bungkam dengan ciuman. Lama tak tersentuh bibirku tampaknya menghilangkan kalimat manisnya."
Aku tidak tahu bagaimana prosesnya hingga darah pada jari-jari kakiku kini berkumpul di ujung kepala. Lima jari tanganku sudah berpindah pada wajahnya. Mukaku sewarna cabai merah, bisa jadi lebih merah. Rahangku mengeras karena amarah. "Beraninya, kau!" Mataku membola syarat kebencian.
"Kukira kebencianmu lebih dari pada ini, dibandingkan menyebutnya amarah, tamparan ini, lebih terkesan luapan rindu yang terpendam," senyumnya sangat manis. Tangan kanannya mengelus pucuk kepalaku sedang tangan kirinya tersampir di pundak kananku.
Oh, astaga. Habis sudah kesabaranku. "Lepas! Apa maumu, Yusuf?" teriakku frustasi. Kedua tanganku erat mengenggam gamisku menyalurkan segala murka.
"Kamu," jawabnya mengurai elusan di kepalaku. Ia mundur satu langkah. Menunduk sejenak lalu kembali menatapku tak terbaca.
"Tak tahu malu! Di ujung hidupku dua belas tahun silam, aku bahkan meminta pada tuhan, jika aku diberi kesempatan untuk kembali hidup, aku memohon jangan pernah di pertemukan denganmu lagi. Kau tahu, Yusuf? Menghirup udara yang sama denganmu sungguh sangat menyesakkan. Aku sangat membencimu! Jangan kamu kira dua belas tahun kepergianku, aku benar-benar sembuh dari luka yang dirimu toreh. Tidak! Setiap malam penghianatanmu menjadi mimpi buruk untukku. Aku menemui psikolog agar trauma itu membiarkan paru-paruku tetap memompa udara. Aku yang berdiri di hadapnmu ini, adalah aku yang melalui perjalanan panjang menyembuhkan luka. Kau pikir dari mana luka itu? Darimu, Yusuf. Darimu!" Emosiku benar-benar meluap, salahkan Yusuf yang memancingku. "Bagaimana? Apa cerita ini cukup menyadarkanmu bahwa tak mungkin ada harapan di antara kita?" ucapku memburu, ia bergeming di tempatnya.
Hening.
Emosiku sudah akan kembali mendingin sampai kemudian ia membuka suara. "Aku mencintaimu, sangat mencintaimu, tak pernah berhenti mencintaimu." Baiklah, ia menyiram bensin pada api kecil yang hampir padam.
"Cinta seperti apa yang sedang kau bicarakan, Yusuf?" Aku terkekeh mencemoh. "Pada siapa saja kau mengatakannya? Apa pada setiap wanita yang kau inginkan? Menjijikan! Apa cinta istrimu tak cukup bagimu? Ah, ataukah istrimu tak cukup mampu menjalankan kewajibannya sebagai mesin pemuasmu? Jika itu benar, tak heran kalau kau menjadi tak seberharga ini!" Baikalah, ini kalimat terkasar mulutku setelah bertemu mas Sayhan. Mungkin ia akan kejang-kejang mengetahui, Aling tersayangnya memiliki mulut semacam tuba.
"Aling salahkan dirimu, yang memancingku." Detik berikutnya aku hanya merasakan benda lembut dan basah menyentuh bibirku, dalam dan penuh kerinduan. Aku tak siap, cengkeraman pada kepala belakang dan lingkaran posesif tangannya menyulitkanku melepas diri. Aku sangat marah hingga tak lagi mampu bergerak, merasa dihina dan direndahkan dalam waktu yang bersamaan. Aku semakin membenci Yusuf.
Aliran bening dari mataku menghentikan kegiatan Yusuf. Ia menarik diri, menatapku sendu lalu melabuhkan kecupan di pucuk kepalaku. Aku diam, bukan menikmatinya, kehabisan kata tepatnya. Tubuhku gemetar merasa hina. Tak hanya memelukku ia bahkan mencuri ciumanku. Buku-buku kukuku mungkin memutih di balik kain gamis dalam genggaman, karena eratnya cengkramanku.
Ia tersenyum, menghapus air mataku. "Jangan menangis. Maafkan kelancanganku. Aku mengerti yang kulakukan ini salah, tapi perlu kamu ketahui, aku tidak pernah menceraikan kamu, jadi kamu masih istriku. Sah secara agama dan negara, tak perlu merasa berdosa." Jari-jari tangannya bermain di wajahku, menghapus bulir air mata yang semakin tak terbendung. Aku bisa mendengar isakku yang menyedihkan.
"Singkirkan tangan kotormu dariku! Kau masih seperti dulu, Yusuf. Serakah dan licik. Kamu memanfaatkan kelengahanku, kemarahanku!" Aku mendorong tubuhnya dariku.
"Tenanglah, Aling." Yusuf berusaha menggapai tanganku, namun ku tepis.
"Berhenti di situ!" Teriakku histeris. "Harus mengatakan apa aku pada anak dan istrimu, Yusuf?" Isakku menyanyat. "Oh, astaga. Kau membuat aku semakin muak padamu." Seluruh tubuhku gemetar, kakiku tak mampu menopang berat badanku. Aku meluruh, terduduk memeluk diriku sendiri. "Aku membencimu, Yusuf. Aku membenci istrimu yang merebut kebahagianku. Aku membenci anakmu yang menggantikan posisi anakku. Aku membenci kalian." Dadaku sesak mengatakannya.
"Aling," lirihnya mendekat.
"Pergilah, Yusuf. Aku tidak punya cukup kata untuk mewakili betapa sakit pengkhianatanmu dahulu. Aku tak bisa memaafkanmu. Jika perlu menghilanglah. Hanya sampai aku bertemu keluargaku, setelahnya aku akan kembali pada kehidupanku dan kau bisa meneruskan hidupmu di sini seperti sebelum kepulanganku," lirihku masih setia memeluk diriku, tak ada lagi air mata yang menemani. Aku lelah dengan semua ini. Jangan tanya nyeri di dadaku seperti apa, aku tak merasakan apa-apa lagi selain rasa kebas.
"Tak cukupkah dendammu hanguskan kita berdua? Jangankan menjauh, aku mampu menelan jutaan duri jika kau pinta. Masalahnya, aku tak begitu yakin dirimu sanggup hidup tanpaku setelah tau pria kecilku itu siapa." Kembali ia mengelus kepalaku yang terbungkus jilbab peach. Ia menyamakan tinggi kami dengan berjongkok di hadapanku.
Aku menulikan telinga atas kalimat Yusuf. Pikiranku sudah terlalu kusut untuk mencerna katanya. Aku membawa diriku bersembunyi pada lipatan tangan di atas lutut, dan membiarkan ia mengelus kepalaku. Air mata kembali mengalir diam-diam.
Tiga puluh menit berlalu dan kami masih bertahan pada posisi yang sama. Sampai ketika basah pada punggung tanganku memaksa aku mengangkat kepala, mencari sumber air tersebut. Itu milik Yusuf, matanya merah dan berkaca. "Jangan pergi lagi, kumohon. Jika bukan untukku, tinggallah demi Langit."
Baru saja aku ingin mengeluarkan sumpah serapah. "Ayah... Langit pul..." Kami sontak menoleh pada asal datangnya suara. Di sana seorang bocah laki-laki telah berdiri di ambang pintu menuju dapur. Manik hitamnya mengulitiku penuh selidik. "Tante, yang ada di handphone Ayah?" tanyanya polos.
Aku bungkam. Yusuf bergeming. Kami seperti dua orang yang tertangkap selingkuh..
Aku terbiasa dengan genggaman mas Sayhan ketika dalam masalah, jadi kali ini, ketika semua mata keluargaku meminta penjelasan kepergianku, aku ingin ia ada di sini, menenangkanku dan memberi kekuatan.Mamak sudah terisak sejak satu jam lalu. Air matanya berderai dalam dekapan seorang wanita yang baru aku ketahui istri kak Min setelah ia memperkenalkan diri padaku. Anak-anak juga sudah di ungsikan ke rumah kak Alfi, sebab sebentar lagi mereka akan menyidangku, jadi sebisa mungkin rumah dalam keadaan tenang.Sejujurnya ingin sekali aku berlari menenggelamkan diri dalam pelukan tubuh renta mamak, namun netra-netra berkobar yang sedang menghakimiku seakan menguliti keberanianku, jadi kuputuskan menahannya. Aku memilih menunduk memperhatikan ke dua tanganku, mereka saling bertaut di atas pangkuan, ada getaran kecil di sana, sepertinya aku sedang dipermainkan grogi.Kak Tera menangkap getar itu, netra semematikan babatan samurai di beningnya meredup, beralih sendu men
Itu cuma ancaman!Itu cuma ancaman!Itu cuma ancaman!Itu cuma ancaman!Itu cuma ancaman!Entah sudah berapa kali kalimat itu aku rapalkan untuk mengusir kalut. Walau jam telah menunjukan pukul 03.00 dini hari, aku masih betah di teras sendiri. Kantuk sedang menjauh, membiarkan sentimen bertahan memanasi batin. Aku sangat marah, sampai rasanya kepala ingin pecah.Di bandingkan perlakuan Yusuf padaku tadi, perkataan kak Syahrin jauh lebih membuatku cemas. Andai ia bukan kakakku, andai aku tak melakukan kesalahan dengan pergi terlalu lama, andai dosaku tak begitu banyak padanya, tentu aku telah membantahnya bisa jadi juga memaki.Bagaimana bisa ia menyarankan kami untuk kembali bersama, mengulang pernikahan? Astaga, omong kosong apa yang kak Syahrin pikirkan, sedang ia tahu, di dalam dadaku hanya tersisa kebencian untuk Yusuf.Ini semua salah Yusuf, jika ia bisa menahan nafsu binatangnya itu, tentu kami tidak akan berakhir dengan
Ramai suara di luar kamar mengusik tidur, bayi menangis, tawa anak-anak, langkah kaki berlarian dan teriakan wanita dewasa yang memperingatkan.Menoleh pada weker biru di atas kepala yang menunjukkan pukul 10.00 wita, aku sontak terduduk yang mengakibatkan pusing menghantam tiba-tiba.Kulirik ventikasi jendela, pendar terang dari luar menandakan hari beranjak tinggi meninggalkan dingin pagi yang merindu, beberapa detik aku diam menikmati pijitan lembut di kepala.Setelah dirasa cukup, gontai aku mendekati koper di pojok kamar dan dengan malas membukanya. Memilih sesaat, pilihanku jatuh pada gamis hijau polos berbahan moscrepe, selanjutnya aku menarik satu kapas muka untuk menghapus sisa night cream yang semalam aku pakai.Menarik napas panjang dan menghembuskannya cepat, sejujurnya aku malu keluar dari kamar ini, terbangun di atas jam 05.00 pagi benar-benar memperlihatkan bahwa aku masih seperti dulu, tak menghargai waktu, tapi mau bagaimana lagi
"Kau memberinya harapan, Ling." Itu kalimat yang Yusuf katakan padaku saat Langit anaknya hilang di balik pintu meninggalkan kami berdua dengan pikiran masing-masing.Aku menoleh, tersenyum sekilas lalu kembali membuang muka pada jendela yang membingkai persawahan di luar sana. "Bukankah putramu itu beruntung? See, aku memberi harapan, alih-alih mematahkannya," ucapku acuh. Dasar Yusuf, pria teregois di muka bumi, bukannya berterimakasih malahan mencecarku.Yusuf mendekat, tangannya yang kokoh mencengkeram kuat lenganku, pupilnya membesar sarat kemarahan."Apa?" geramku mendelik menahan sakit. "Bisa lepas? Kau menyakitiku," benci disentuh dia, seperti sedang menghianati Mas Sayhan rasanya."Sumpah mati, Ling. Kamu akan meremukan hati Langit!" Mataku memutar bosan. Lebay, cibirku."Santailah sedikit, Yusuf. Putramu itu tak akan sehancur aku yang bahagianya dicincang olehmu dan ibunya," senyumku mengejek. "Ah, jangan berpikir aku membalas
Lantunan murottal qur'an yang diperdengarkan musala ujung desa menambah waswas diriku. Ini sudah jam setengah enam sore, sementara tanda-tanda kedatangan Mas Sayhan tak kunjung ada. Sedari tadi aku menghubungi ponselnya, jika sehabis rapat tadi dia langsung kemari tentu sejak dua jam lalu batang hidungnya telah nampak, tapi apa ini? Ratusan panggilan teleponku tak dijawab, sms dan chat-ku tak di baca, kemana dan apa yang terjadi pada Mas Sayhan. Aku telah menghubungi Ditha dan Romi tapi jawaban mereka tak memuaskan kalutku. Katanya Mas Sayhan meninggalkan kantor sejak jam dua belas siang, itu info yang mereka dapat dari rekan kerja pria bermata sendu tersebut. Azan magrib berkumandang dan tamatlah riwayatku. Yusuf benar, aku menyeret kami dalam neraka buatanku. "Sudah siap, Ling?" Wanita bergamis peach membuka pintu dan mendekat. Aku menggeleng kaku, ini tidak boleh terjadi, aku tidak ingin! Rasanya ingin meraung saja. "Sini, Mba bantu dandannya." Aku
Ada ratusan ribu bahkan milyaran wanita di muka bumi, aku satu di antaranya dan kebanyakan di antara kami pendamba kisah percintaan dengan ending happy ever after.Lalu, apakah itu berlaku dalam hidup kami? Sebagian mungkin ya, dan separuhnya lagi bisa jadi tidak. Namun, di antara sebagian yang tidak itu, aku ragu seseorang di luar sana memiliki kisah seduka romanku.Keyakinanku mendebat bahwa apa yang terjadi beberapa jam lalu adalah mimpi. Tak tangung-tanggung, jerit kesakitan dari muara sedih sengaja kuteriakkan selantang cemeti dewa berharap membangunkan dari gelap yang menyakiti. Tapi rupanya ini nyata, senyata gema ijab kabul Yusuf membelah malam beberapa jam lalu.Kak Syahrin mengatakan, seseorang mencariku, dan otak bodohku berebut mengatakan itu Mas Sayhan. Kemudian- demi puluhan detik yang mengejar menit, aku tak siap menghadapinya. Jika bisa, kugunting saja waktu agar Yusuf tak perlu menjabat tangan Kak Min sebagai syarat kembali halal terhadapku.
Dua belas tahun yang lalu ...."Ling, jika kamu punya seekor kucing yang teramat disayangi. Kemudian seseorang datang dan meminta untuk memilikinya bersama. Apakah kamu mau berbagi?" Yusuf bertanya padaku. Napasnya masih memburu sisa perjalanan pria itu menjenguk calon bayi kami."Selama ia tidak meminta Abang, maka akan kuberikan," Bintik-bintik keringat di permukaan dadanya kusingkirkan dengan usapan. Dia terlihat jantan kalau begini."Abang serius, Ling!" Tangannya menahan tanganku.Aku bangkit, menarik pelan selimut cokelat bermotif panda sedang memakan daun bambu yang membungkus kami agar lebih menutupi dada polosku.Kantuk hilang, memilih menyandarkan tubuh di bahu ranjang. Kuangkat kepalanya ke atas pangkuan, kemudian jari lincah bermain di sela rambut memberikan pijatan ringan."Pertanyaan macam apa ini, Bang? Aling tidak suka!" tegasku tak ingin dibantah. Yusuf yang seperti ini terkesan sedang mencoba berne
Kukira telah sampai di ujung pelangiAngkuh petik satu warnaMerah jambu kesukaanku.Lupa pada buta malamHitam yang kubawa pulangTuai derita tak kenal musim.______________________________Dentuman musik selimuti desa, empat orang biduan berlenggak ikuti irama, satu di antaranya pria gemulai. Pemuda dewasa itu bergerak lincah lagi lentur, bak belut diangkat dari penangkaran.Dunia telah tua, pria melambai dan berlakon wanita sedang naik daun. Saat melihat pertama kali, aku menggidik ngeri sembari mengelus perut, tak henti rapalkan 'amit-amit'.Di gerbang masuk pelaminan, barisan gadis muda berseragam hijau berdandan tebal lempar senyum. Bukan padaku, tapi pada para undangan yang baru tiba.Beberapa tamu datang berpasangan lalu malu-malu ketika melewati barisan pagar ayu, apalagi mereka yang berstatus bujangan. Lainnya santai terkesan akrab. Aura bahagia menguar kenta