Ada ratusan ribu bahkan milyaran wanita di muka bumi, aku satu di antaranya dan kebanyakan di antara kami pendamba kisah percintaan dengan ending happy ever after.
Lalu, apakah itu berlaku dalam hidup kami? Sebagian mungkin ya, dan separuhnya lagi bisa jadi tidak. Namun, di antara sebagian yang tidak itu, aku ragu seseorang di luar sana memiliki kisah seduka romanku.
Keyakinanku mendebat bahwa apa yang terjadi beberapa jam lalu adalah mimpi. Tak tangung-tanggung, jerit kesakitan dari muara sedih sengaja kuteriakkan selantang cemeti dewa berharap membangunkan dari gelap yang menyakiti. Tapi rupanya ini nyata, senyata gema ijab kabul Yusuf membelah malam beberapa jam lalu.
Kak Syahrin mengatakan, seseorang mencariku, dan otak bodohku berebut mengatakan itu Mas Sayhan. Kemudian- demi puluhan detik yang mengejar menit, aku tak siap menghadapinya. Jika bisa, kugunting saja waktu agar Yusuf tak perlu menjabat tangan Kak Min sebagai syarat kembali halal terhadapku.
Dua belas tahun yang lalu ...."Ling, jika kamu punya seekor kucing yang teramat disayangi. Kemudian seseorang datang dan meminta untuk memilikinya bersama. Apakah kamu mau berbagi?" Yusuf bertanya padaku. Napasnya masih memburu sisa perjalanan pria itu menjenguk calon bayi kami."Selama ia tidak meminta Abang, maka akan kuberikan," Bintik-bintik keringat di permukaan dadanya kusingkirkan dengan usapan. Dia terlihat jantan kalau begini."Abang serius, Ling!" Tangannya menahan tanganku.Aku bangkit, menarik pelan selimut cokelat bermotif panda sedang memakan daun bambu yang membungkus kami agar lebih menutupi dada polosku.Kantuk hilang, memilih menyandarkan tubuh di bahu ranjang. Kuangkat kepalanya ke atas pangkuan, kemudian jari lincah bermain di sela rambut memberikan pijatan ringan."Pertanyaan macam apa ini, Bang? Aling tidak suka!" tegasku tak ingin dibantah. Yusuf yang seperti ini terkesan sedang mencoba berne
Kukira telah sampai di ujung pelangiAngkuh petik satu warnaMerah jambu kesukaanku.Lupa pada buta malamHitam yang kubawa pulangTuai derita tak kenal musim.______________________________Dentuman musik selimuti desa, empat orang biduan berlenggak ikuti irama, satu di antaranya pria gemulai. Pemuda dewasa itu bergerak lincah lagi lentur, bak belut diangkat dari penangkaran.Dunia telah tua, pria melambai dan berlakon wanita sedang naik daun. Saat melihat pertama kali, aku menggidik ngeri sembari mengelus perut, tak henti rapalkan 'amit-amit'.Di gerbang masuk pelaminan, barisan gadis muda berseragam hijau berdandan tebal lempar senyum. Bukan padaku, tapi pada para undangan yang baru tiba.Beberapa tamu datang berpasangan lalu malu-malu ketika melewati barisan pagar ayu, apalagi mereka yang berstatus bujangan. Lainnya santai terkesan akrab. Aura bahagia menguar kenta
Apa tak cukup jelas rasa kutunjukkan?Hinggakutegukkecewa yang teramat sangat.Padahal....Cinta kutanam sepertisibutaIngininya tak sebatas delusifCanduinyamelebihiRahwanapada Sinta___________________________"Sabar, Nak. Tuhan sedang menaikkan derajat kita. Derajatmu," lirih mamak memelukku yang memandang hamparan sawah kosong pasca musim panen di balik jendela dengan tatapan kosong.Satu lagi kenyataan kudapati. Tamparan fakta yang menyadarkan bahwa aku telah selesai di dunia ini."Dia sangat kecil, rambutnya hitam, hidungnya mancung. Aku tak tahu bagaimana matanya, karena sejak lahir telah tertutup. Aku bisa mengatakan dia benar-benar duplikat Yusuf." Itu yang Ramlah katakan saat pertama kali kutanyakan sakit jahitan di bawah perut.Waktu itu hanya ada kami berdua dan aku tak tahu Ramlah sedang membicarakan apa. "Kamu per
Saat ini....Setelah kau usai bersamanya.Ambung harga dirimu setinggi langit.Sebab aku....Adalah bekas yang tak membuka diri.____________🍃____________Salah satu dari sekian banyak hal yang aku rindukan dari Redan adalah kokok ayamnya. Bersahutan dari ujung ke ujung.Walaupun merupakan desa kecil, namun tatkala fajar mulai menyingsing, desa ini dilingkupi perasaan hangat, seperti sekarang.Aku memperbaiki posisi, tidak berniat membuka mata. Rasanya pegal karena semalaman tidur dalam ruang gerak sempit.Lantunan ayat suci dari surau desa belum terdengar, tapi aku tahu sekarang sudah memasuki waktu subuh.Tangis anak kecil dan bayi penghuni rumah ini tak kalah riuh dengan ayam di luar, dan hal itu turut membenarkan dugaanku.Sangat sulit sebenarnya membuka mata mengingat aku tidur sangat larut.Semalam, setelah menghadiahkan Yusuf lima jari di
Berlahan jiwaku kembali.Tak lagi menjilati luka.Sudah kulupa kamu.Lalu,Lagu pilu itu datang mengulang....Kamu, tandai aku dengan egois.
"Kheem...." itu deheman Yusuf.Walaupun bergeming di tempatku, aku tahu ia sedang memperhatikan di balik kemudi."Luar biasa, ternyata kota menyerap habis sisi cerewetmu," kekehnya geli, membagi pokus antara melirikku dan jalan menurun di depan.Pria itu sedang mencoba menyalakan bara abadi dalam dada yang setengah mati aku tidurkan sejak beberapa menit lalu. Tidak bisakah dia menghargai usahaku?"Kamu cantik. Tapi...." ia menoleh, "galak," sambungnya dengan pipi berkedut menahan tawa.Lih
Kupelihara lukaku, agar aku tetap waras.Bahwa....Pernah mencintai kamuSeberdarah ini.___________________Drttttt...drttttt...drttttt....Aku tersentak kala suara getaran dan nada dering HP yang sangat familar merambat di telinga.Karena masih mengingat di mana semalam menaruhnya, tanganku dengan sigap terjulur menarik benda persegi panjang produksi negeri gingseng itu.Hal pertama yang kutemui setelah menatap layar lima inci tersebut adalah gambarku bersama mas Sayhan ketika acaraFamily Gatheringtahun lalu diadakan oleh perusahaan kami.Pada permukaan layar berlapistempered glassitu, telihat gambar mukaku yang tengah memejam mata dengan senyum lebar nan centil memamerkan gigi. Tak lupa menempelkan dua jari membentukpeacedi pipi kiri. Sekitar lima meter di belakang mas Sayhan muncul memposisikan diri seolah sedang mencium pipi
Hingar bingar musik tak terdengar lagi, berganti lantunan murottal quran menggema di segala penjuru kota saling bersahutan.Hari hampir senja dan sejak empat jam lalu mempelai telah meninggalkan pelaminan, menyisahkan tarub pengantin tak berpenghuni.Meja dan kursi berlapis kain putih campuran coklat tempat bercengkrama serta menyantap sajian dari tuan rumah siang tadi belum berubah, tetap berjajar rapi, hanya saja tak ditemui lagi wajah-wajah turut berbahagia tamu undangan.Pesta benar- benar telah usai, walau satu dua orang masih terlihat lalu lalang mengangkut wadah-wadah prasmanan yang sudah kosong.Karena pagi tadi tante Dhuha mewanti agar kami tidak terburu-buru untuk kembali ke Redan, maka aku beserta menantu berlian mamak masih berada di kota yang memiliki icon macan dahan dan menempati salah satu kamar di rumahnya.Aku tidak menolak, hanya saja berbeda dengan Yusuf. Dia memang tak mengatakan keberatannya, namun dari tangannya yang langsung menggaruk
"Berantem?" Kak Alfi menjatuhkan pantatnya pada susunan bambu bulat yang mejadi lantai dari gubuk tempatku melarikan diri setelah cekcok bersama Yusuf."Hm." Dia pura-pura bertanya, padahal tadi jelas dia melihat kami berkelahi."Mau cerita?" Aku menggeleng. Buat apa? Ujung-ujungnya aku juga di paksa mengalah."Kakak?""Apa?" tanyaku menoleh bingung."Yang cerita.""Kalau mau, silahkan. Tapi tidak janji setelah bercerita akan memberikan apresiasi melalui uang banyak. Adikmu pengangguran sekarang. Ceritalah. Tapi gratis," usahaku membangun obrolan sangat payah.Kak Alfi tertawa."Kakak tidak tahu, apa cerita ini sudah ada yang sampaikan padamu, Dek atau belum. Kakak hanya ingin menceritakan menurut versi Kakak." Kak Alfi menoleh tersenyum meminta pemakluman. Aku balas menarik sudut bibir sebagai tanda mempersilahkan."Kebun dan rumah kita dulu tergadai, Dek!" Netraku melebar. Kaget. "Penyakit Mamak butuh uang besar.
Sabar kuhampar tak ujung.Bencinya kutelan bagai bara merapi.Harga diri kutunduk serendah maunya.Harapku di akhir cerita kembali dapati hatinya.Sial...Dia memintaku mati.________________________________Menghilangkannya demiku.Menghilangkannya demiku.Menghilangkannya demiku.Kamu tega?Kamu tega?Kamu tega?Isi chat terakhir dari mas Sayhan menari di benakku. Aku mencibir pertanyaannya 'apa aku tega'? Hah, tentu saja! Aku tidak menginginkan bayi ini. Kalau menyingkirkannya dia mau menerimaku, akan kulakukan.Cinta butuh bukti bukan? Akan kubuktikan!Sepertinya aku benar-benar gila. Nuraniku sungguh habis tergilas kesumat bertahun. Bagaimana mungkin bibirku melengkung ke atas membayangkan hancur Yusuf saat kujatuhkan anaknya dari rahimku. Yusuf akan mati. Pasti dia mati!Deheman seseorang menarik kembali dari liar imajinasi. Sosok dalam pikiran muncul. Alis naik sebelah, heran melihat senyumk
Seminggu sudah aku di Redan. Sehari pertama yang kulakukan hanya mengamuk dan mengamuk. Langit sampai diungsikan ke rumah kak Alfi karena dikhawatirkan psikis-nya terganggu.Bagaimana tidak. Belum dua puluh empat jam aku di kampung ini. Kak Syahrin telah mengumpulkan para tetua adat di rumah mamak. Dihadapan seluruh keluargaku, kak Syahrin meminta Yusuf mengucapkan kata rujuk.Sama halnya ketika belahan jiwa kak Syahrin itu melafalkan kalimat kabul hampir empat bulan lepas. Enam hari lalu, lahir batinku juga terguncang maha dahsyat. Bahkan jauh lebih hebat, karena saat barisan kata yang keluar dari mulut Yusuf sampai di penghujung. Bersamaan dengan itu tubuhku kehilangan separuh fungsinya. Aku pingsan.Begitu sadar, aku langsung melompati yusuf. Kembali mengamuk. Kabar gembiranya, waktu itu aku beruntung bisa meninggalkan luka di wajah suami baruku. Lukisan kuku-ku menghias indah pipinya. Jangam lupakan hidungnya yang terkena tinjuku. Darah merah merembes dari s
"Capek?" Yusuf bertanya dari balik kemudi. "Kita bisa istirahat sebentar kalau mau. Bagaimana?"Seseorang menyentuh pundakku yang menghadap jendela. "Punggungmu sakit?" Istri kak Min bertanya. Aku menggeleng. "Lapar?" Kembali kepala bergerak kekanan dan kekiri. "Istirahat sebentar yah? Kita perlu magriban dan makan malam."Kenapa mereka bertanya padaku? Kenapa seolah-olah mereka mencari apapun yang membuatku nyaman. Aku tidak suka. Seharusnya lakukan saja apa kehendak mereka. Berpura-pura baik padaku tidak akan meruntuhkan secuil saja benciku pada keputusan egois mereka.Lagipula aku masih meratapi nasib karirku. Masih menangisi perjalanan kisah cinta kandasku. Apa mereka tidak bisa memberi sedikit saja ruang agar berpikir? Apa mata mereka buta untuk melihat keping-keping jantungku berserakan bersama bulir darah meranaku. Kenapa mereka menjadi sangat kejam. Kenapa?Minggu ba'da Azhar kami meninggalkan Samarinda. Dadaku menyempit menyaksikan kontrakan yang k
Aku sedang termangu menatap Yusuf dan kak Min memasukkan pakaian-pakaianku dalam tas juga koper.Sedari tadi mereka hilir-mudik menggeledah isi kontrakan ini demi mencari apa lagi kebutuhan yang akan aku bawa dan sekiranya bakal aku perlukan saat di Redan nanti.Hari ini terhitung satu minggu aku keluar rumah sakit, dan selama itu pula, tak sekalipun aku bertemu mas Sayhan.Sudah berkali bahkan tidak terhitung berapa jumlahnya jemari menekan tombol memanggil pada ponsel. Nihil, mas Sayhan tak bisa kuhubungi. Nomornya selalu di luar jangkauan,SMSdanchatku tak terkirim.Setiap hari aku menanyakan keberadaannya pada Niko, meneror mantan bawahanku itu melalui handphone layaknya rentenir menagih utang. Namun, semua orang bungkam, tidak hanya Niko, Ditha yang kuanggap keluargapun mengunci bibir rapat.Aku gelisah, setiap waktu terlewati dengan was-was. Otakku buntu untuk berpikir, belum lagi mual bawaan anak Yusuf di perut semakin membu
Kemarin, beberapa ribu jam yang laluKetika hujan masih asin dan air mata masih darahMenjelang dini hari di tepian mahakamMohonnya, tinggalkan lebam biru masalaluPilih dia, kemudian pelangi tanpa suram janji ia persembahkan.Lalu sekarang.... Siapa yang meninggalkan siapa?__________________________Jam menunjukkan pukul 20.00 Wita. Di luar hujan lebat, rintiknya keras memukul atap, berdentam sampai ke telinga. Tempias air mesrah mencumbu jendela, titik-titik beningnya ciptakan aliran panjang sebelum luruh menyentuh ubin.Suara TV dengan volume rendah mengisi ruang perawatan. Bau obat-obatan masih kental terhidu. Gorden-gorden coklat yang memanjat tepi jendela melambai lemah terkena angin Air Conditioner. Sesekali terdengar bunyi brankar di dorong melintasi ruangan.Aku sedang memperhatikan sosok di samping. Wajah rupawan pembuat taman hatiku selalu bermekaran jika memandang, kini diselimuti muram durja. Kemeja hitam polos tadi pagi masih meleka
Deras hujan setelah petirMeluruh bening tak mau hentiHari berlalu, tahun bergulirNanah dan darah mengenang bagai belatiPada hati yang berpura bangkitKetentuan takdir kembali mengujiTuhan percayakan sesuatu yang sulitSeperti menatap kiamat unjuk taji_____________________________Ada macam-macam rasa pada manusia. Sedih, marah, kecewa, senang, bahagia, haru dan masih banyak lainnya. Anehnya dari semua rasa itu, aku tidak tahu yang bergejolak dalam dada saat ini masuk dalam kategori mana.Aku seharusnya senang Yusuf melepasku. Bukankah harapan sejak dia menyakitiku memang memutus tali diantara kami.Tapi, apa ini?Ketimbang bahagia hati justru berdenyut ngilu mendapati fakta bahwa ia tak halal bagiku lagi.Bukan. Bukan karena aku masih mencintai dia. Debar untuknya telah lama padam dan aku tidak berbohong.Yang mengganggu hatiku tak lain, perasaan marah. Marah karena dia kembali mencampakkanku setelah mengamb
Senja boleh pergiGerimis bisa menjauhOmbak silahkan surutBiarkan saja ...Nanti pasti mereka kembali.Sepertimu...PergiMenjauhTanpa kabarHilangLalu pulang...Kukira padakuNyatanya bukanKu ingin egoisMerengguhmu kembaliMenjadi milikkuTapi kamu, seolah memilih mati._______________________________Assalamualaikum, wanita yang dirindukan, Langit.Hai ... bagaimana kabarmu? Aku dan yang lainnya baik. Semoga kesehatan dan kasih sayang juga selalu Allah limpahkan padamu.Aku tidak tahu apakah email ini sudi kamu buka atau justru langsung menghapusnya. Besar harapan surat elektronik yang aku tulis tepat saat terhitung dua bulan selepas kepergianmu berkenan di baca. Maaf, karena lancang meminta alamat surel-mu pada Sayhan kekasihmu.Sebanarnya menulis ini membuatku seperti orang bodoh. Dibanding merangkai aksara seharusnya berbicara jauh lebih mudah. Tapi kamu tidak member
Mereka bilang percuma berlari,Ujung dunia kelam menanti.Bersihkan saja noda bathin,Maka sejengkal lega menyebar.Namun....Pongah lantang kupujiMenolak tunduk pada kebenaran.Sebab aku adalah busuk kebencian.Khianat di balas khianat,Iblisku nyalakan kembang api._____________________________"Turunlah, minimal seseorang di dalam sana memberi obat. Wajahmu sepucat kapas." Aku membuka mata saat mas Sayhan menyentuh bahu."Aku hanya butuh kita segera sampai di rumah, Mas. Selain itu, aku tak peduli.""Jangan membantah.""Aku tidak membantah, Mas. Kita sampai dan aku akan kembali sehat. Percayalah." Lagipula tidak ada obat untuk hampaku saat ini, dokter manapun belum menemukannya.Aku akan mengatupkan kedua kelopak lagi, ketika satu cengkraman pelan di lengan mengurungkan niat. "Sekali ini saja, turuti aku.Beberapa detik aku menatap wajah di depanku. Tak ada senyum, hanya raut datar. "Mas marah?"