Lantunan murottal qur'an yang diperdengarkan musala ujung desa menambah waswas diriku. Ini sudah jam setengah enam sore, sementara tanda-tanda kedatangan Mas Sayhan tak kunjung ada. Sedari tadi aku menghubungi ponselnya, jika sehabis rapat tadi dia langsung kemari tentu sejak dua jam lalu batang hidungnya telah nampak, tapi apa ini? Ratusan panggilan teleponku tak dijawab, sms dan chat-ku tak di baca, kemana dan apa yang terjadi pada Mas Sayhan.
Aku telah menghubungi Ditha dan Romi tapi jawaban mereka tak memuaskan kalutku. Katanya Mas Sayhan meninggalkan kantor sejak jam dua belas siang, itu info yang mereka dapat dari rekan kerja pria bermata sendu tersebut.
Azan magrib berkumandang dan tamatlah riwayatku. Yusuf benar, aku menyeret kami dalam neraka buatanku.
"Sudah siap, Ling?" Wanita bergamis peach membuka pintu dan mendekat. Aku menggeleng kaku, ini tidak boleh terjadi, aku tidak ingin! Rasanya ingin meraung saja.
"Sini, Mba bantu dandannya." Aku
Ada ratusan ribu bahkan milyaran wanita di muka bumi, aku satu di antaranya dan kebanyakan di antara kami pendamba kisah percintaan dengan ending happy ever after.Lalu, apakah itu berlaku dalam hidup kami? Sebagian mungkin ya, dan separuhnya lagi bisa jadi tidak. Namun, di antara sebagian yang tidak itu, aku ragu seseorang di luar sana memiliki kisah seduka romanku.Keyakinanku mendebat bahwa apa yang terjadi beberapa jam lalu adalah mimpi. Tak tangung-tanggung, jerit kesakitan dari muara sedih sengaja kuteriakkan selantang cemeti dewa berharap membangunkan dari gelap yang menyakiti. Tapi rupanya ini nyata, senyata gema ijab kabul Yusuf membelah malam beberapa jam lalu.Kak Syahrin mengatakan, seseorang mencariku, dan otak bodohku berebut mengatakan itu Mas Sayhan. Kemudian- demi puluhan detik yang mengejar menit, aku tak siap menghadapinya. Jika bisa, kugunting saja waktu agar Yusuf tak perlu menjabat tangan Kak Min sebagai syarat kembali halal terhadapku.
Dua belas tahun yang lalu ...."Ling, jika kamu punya seekor kucing yang teramat disayangi. Kemudian seseorang datang dan meminta untuk memilikinya bersama. Apakah kamu mau berbagi?" Yusuf bertanya padaku. Napasnya masih memburu sisa perjalanan pria itu menjenguk calon bayi kami."Selama ia tidak meminta Abang, maka akan kuberikan," Bintik-bintik keringat di permukaan dadanya kusingkirkan dengan usapan. Dia terlihat jantan kalau begini."Abang serius, Ling!" Tangannya menahan tanganku.Aku bangkit, menarik pelan selimut cokelat bermotif panda sedang memakan daun bambu yang membungkus kami agar lebih menutupi dada polosku.Kantuk hilang, memilih menyandarkan tubuh di bahu ranjang. Kuangkat kepalanya ke atas pangkuan, kemudian jari lincah bermain di sela rambut memberikan pijatan ringan."Pertanyaan macam apa ini, Bang? Aling tidak suka!" tegasku tak ingin dibantah. Yusuf yang seperti ini terkesan sedang mencoba berne
Kukira telah sampai di ujung pelangiAngkuh petik satu warnaMerah jambu kesukaanku.Lupa pada buta malamHitam yang kubawa pulangTuai derita tak kenal musim.______________________________Dentuman musik selimuti desa, empat orang biduan berlenggak ikuti irama, satu di antaranya pria gemulai. Pemuda dewasa itu bergerak lincah lagi lentur, bak belut diangkat dari penangkaran.Dunia telah tua, pria melambai dan berlakon wanita sedang naik daun. Saat melihat pertama kali, aku menggidik ngeri sembari mengelus perut, tak henti rapalkan 'amit-amit'.Di gerbang masuk pelaminan, barisan gadis muda berseragam hijau berdandan tebal lempar senyum. Bukan padaku, tapi pada para undangan yang baru tiba.Beberapa tamu datang berpasangan lalu malu-malu ketika melewati barisan pagar ayu, apalagi mereka yang berstatus bujangan. Lainnya santai terkesan akrab. Aura bahagia menguar kenta
Apa tak cukup jelas rasa kutunjukkan?Hinggakutegukkecewa yang teramat sangat.Padahal....Cinta kutanam sepertisibutaIngininya tak sebatas delusifCanduinyamelebihiRahwanapada Sinta___________________________"Sabar, Nak. Tuhan sedang menaikkan derajat kita. Derajatmu," lirih mamak memelukku yang memandang hamparan sawah kosong pasca musim panen di balik jendela dengan tatapan kosong.Satu lagi kenyataan kudapati. Tamparan fakta yang menyadarkan bahwa aku telah selesai di dunia ini."Dia sangat kecil, rambutnya hitam, hidungnya mancung. Aku tak tahu bagaimana matanya, karena sejak lahir telah tertutup. Aku bisa mengatakan dia benar-benar duplikat Yusuf." Itu yang Ramlah katakan saat pertama kali kutanyakan sakit jahitan di bawah perut.Waktu itu hanya ada kami berdua dan aku tak tahu Ramlah sedang membicarakan apa. "Kamu per
Saat ini....Setelah kau usai bersamanya.Ambung harga dirimu setinggi langit.Sebab aku....Adalah bekas yang tak membuka diri.____________🍃____________Salah satu dari sekian banyak hal yang aku rindukan dari Redan adalah kokok ayamnya. Bersahutan dari ujung ke ujung.Walaupun merupakan desa kecil, namun tatkala fajar mulai menyingsing, desa ini dilingkupi perasaan hangat, seperti sekarang.Aku memperbaiki posisi, tidak berniat membuka mata. Rasanya pegal karena semalaman tidur dalam ruang gerak sempit.Lantunan ayat suci dari surau desa belum terdengar, tapi aku tahu sekarang sudah memasuki waktu subuh.Tangis anak kecil dan bayi penghuni rumah ini tak kalah riuh dengan ayam di luar, dan hal itu turut membenarkan dugaanku.Sangat sulit sebenarnya membuka mata mengingat aku tidur sangat larut.Semalam, setelah menghadiahkan Yusuf lima jari di
Berlahan jiwaku kembali.Tak lagi menjilati luka.Sudah kulupa kamu.Lalu,Lagu pilu itu datang mengulang....Kamu, tandai aku dengan egois.
"Kheem...." itu deheman Yusuf.Walaupun bergeming di tempatku, aku tahu ia sedang memperhatikan di balik kemudi."Luar biasa, ternyata kota menyerap habis sisi cerewetmu," kekehnya geli, membagi pokus antara melirikku dan jalan menurun di depan.Pria itu sedang mencoba menyalakan bara abadi dalam dada yang setengah mati aku tidurkan sejak beberapa menit lalu. Tidak bisakah dia menghargai usahaku?"Kamu cantik. Tapi...." ia menoleh, "galak," sambungnya dengan pipi berkedut menahan tawa.Lih
Kupelihara lukaku, agar aku tetap waras.Bahwa....Pernah mencintai kamuSeberdarah ini.___________________Drttttt...drttttt...drttttt....Aku tersentak kala suara getaran dan nada dering HP yang sangat familar merambat di telinga.Karena masih mengingat di mana semalam menaruhnya, tanganku dengan sigap terjulur menarik benda persegi panjang produksi negeri gingseng itu.Hal pertama yang kutemui setelah menatap layar lima inci tersebut adalah gambarku bersama mas Sayhan ketika acaraFamily Gatheringtahun lalu diadakan oleh perusahaan kami.Pada permukaan layar berlapistempered glassitu, telihat gambar mukaku yang tengah memejam mata dengan senyum lebar nan centil memamerkan gigi. Tak lupa menempelkan dua jari membentukpeacedi pipi kiri. Sekitar lima meter di belakang mas Sayhan muncul memposisikan diri seolah sedang mencium pipi