Seminggu sudah aku di Redan. Sehari pertama yang kulakukan hanya mengamuk dan mengamuk. Langit sampai diungsikan ke rumah kak Alfi karena dikhawatirkan psikis-nya terganggu.
Bagaimana tidak. Belum dua puluh empat jam aku di kampung ini. Kak Syahrin telah mengumpulkan para tetua adat di rumah mamak. Dihadapan seluruh keluargaku, kak Syahrin meminta Yusuf mengucapkan kata rujuk.
Sama halnya ketika belahan jiwa kak Syahrin itu melafalkan kalimat kabul hampir empat bulan lepas. Enam hari lalu, lahir batinku juga terguncang maha dahsyat. Bahkan jauh lebih hebat, karena saat barisan kata yang keluar dari mulut Yusuf sampai di penghujung. Bersamaan dengan itu tubuhku kehilangan separuh fungsinya. Aku pingsan.
Begitu sadar, aku langsung melompati yusuf. Kembali mengamuk. Kabar gembiranya, waktu itu aku beruntung bisa meninggalkan luka di wajah suami baruku. Lukisan kuku-ku menghias indah pipinya. Jangam lupakan hidungnya yang terkena tinjuku. Darah merah merembes dari s
Sabar kuhampar tak ujung.Bencinya kutelan bagai bara merapi.Harga diri kutunduk serendah maunya.Harapku di akhir cerita kembali dapati hatinya.Sial...Dia memintaku mati.________________________________Menghilangkannya demiku.Menghilangkannya demiku.Menghilangkannya demiku.Kamu tega?Kamu tega?Kamu tega?Isi chat terakhir dari mas Sayhan menari di benakku. Aku mencibir pertanyaannya 'apa aku tega'? Hah, tentu saja! Aku tidak menginginkan bayi ini. Kalau menyingkirkannya dia mau menerimaku, akan kulakukan.Cinta butuh bukti bukan? Akan kubuktikan!Sepertinya aku benar-benar gila. Nuraniku sungguh habis tergilas kesumat bertahun. Bagaimana mungkin bibirku melengkung ke atas membayangkan hancur Yusuf saat kujatuhkan anaknya dari rahimku. Yusuf akan mati. Pasti dia mati!Deheman seseorang menarik kembali dari liar imajinasi. Sosok dalam pikiran muncul. Alis naik sebelah, heran melihat senyumk
"Berantem?" Kak Alfi menjatuhkan pantatnya pada susunan bambu bulat yang mejadi lantai dari gubuk tempatku melarikan diri setelah cekcok bersama Yusuf."Hm." Dia pura-pura bertanya, padahal tadi jelas dia melihat kami berkelahi."Mau cerita?" Aku menggeleng. Buat apa? Ujung-ujungnya aku juga di paksa mengalah."Kakak?""Apa?" tanyaku menoleh bingung."Yang cerita.""Kalau mau, silahkan. Tapi tidak janji setelah bercerita akan memberikan apresiasi melalui uang banyak. Adikmu pengangguran sekarang. Ceritalah. Tapi gratis," usahaku membangun obrolan sangat payah.Kak Alfi tertawa."Kakak tidak tahu, apa cerita ini sudah ada yang sampaikan padamu, Dek atau belum. Kakak hanya ingin menceritakan menurut versi Kakak." Kak Alfi menoleh tersenyum meminta pemakluman. Aku balas menarik sudut bibir sebagai tanda mempersilahkan."Kebun dan rumah kita dulu tergadai, Dek!" Netraku melebar. Kaget. "Penyakit Mamak butuh uang besar.
"Lepaskan Ling! Pisau itu bisa menyakitimu," teriak Yusuf di tengah riuhnya alunan musik pesta pernikahan yang hampir menulikan telinga. Seketika musik berhenti, suasana menjadi hening, puluhan pasang mata kini fokus menatapku. Tak ada suara, hanya sesekali terdengar denting gelas dan piring yang saling beradu dari arah belakang kediaman mempelai wanita. Aku mengedarkan pandangan pada setiap sudut pesta. Dekorasi pelaminan didominasi dengan warna emas dan silver. Kain-kain dengan ornamen sulam khasNegeri Angin Mamiriyang menjuntai di bagian atas pelaminan memberikan kesan mewah dan menawan.Bosara lompoyang tertutup kain sulam emas, di pajang berbaris dekat pelaminan. Tak ketinggalan vas-vas klasik bergaya Eropa yang diisi rangkaian bunga berwarna-warni turut meramaikan pesta. Bagaimana mereka bisa begitu sempurna mempersiapkan semua ini setelah menancap duri di palung hatiku? Teganya! Pandanga
Pengkhianatan mungkin saja bisa terlupakan dengan berjalannya waktu, tapi sakitnya tidak akan benar-benar bisa hilang _______________________ Tatapanku terpaku pada gapura yang berdiri angkuh di seberang jalan. Tak ada ucapan selamat datang terukir di sana, terlalu biasa untuk ukuran gapura yang berada di pinggiran kota. Pemandangannya pun tidak jauh berbeda dengan dua belas tahun silam. Di sisi kirinya masih berdiri sebuah rumah berdinding papan kayu meranti. Beberapa bagian dari dinding, berlubang karena lapuk dilahap masa. Daun nangka yang gugur, memenuhi bale-bale yang terbuat dari kayu sisa-sisa penggergajian yang diletakkan di depan rumah. Sedangkan di sisi kanan gapura penuh oleh tanaman pisang kepok yang memberi kesan seram sore ini. "Tuntutlah ilmu setinggi mungkin, jadilah orang sukses. Ketika kalian sukses, kembalilah ke kampung Redan. Tuangkan ilmu yang kalian dapat untuk kampung ini. Ubah agar tidak terbelakang lagi." Pesan bapak dah
"Sudah sampai, Nak," ucap kaik Biak membuyarkan lamunanku, "berlama-lamalah di sini, Langit membutuhkanmu," katanya kembali menyebut nama seorang anak."Iy, Kaik. Sampaikan salam Aling pada nenek Non, jika ada waktu, Aling usahakan menjenguk beliau." Aku mencium tangan sebagai bentuk takzim."Iy, nanti Kaik sampaikan. Assalamualaikum." Kaik Biak menstarter motor.“Waalaikum salam.” Aku tersenyum memandang kepergian guru ngaji masa kecil yang menjauh di telan tikungan jalan.Semburat jingga telah hilang, berganti gelap menyelimuti mayapada saat aku menginjakkan kaki di depan rumah masa kecil. Sedikit bergetar, kaki melangkah memasuki pekarangan. Setelah dua belas tahun bersembunyi, sesudah luka hampir sembuh, akhirnya hari ini tiba, aku akan bersua wanita yang menghadirkan diriku ke dunia.Aku tidak tahu bagaimana respon penghuni bangunan di depanku saat melihat anak perempuannya yang lama hilang kembali pulang. Apakah pada akhirnya aku
Temukan pasangan baru untuk melupakan luka lama, walau tak benar - benar menyembuhkan, setidaknya mampu membuatmu tetap hidup._____________________________________Empat bulan lalu...Janji suci milik Yovie and Nuno, mengalun menemani perjalanan kami menuju kantor. Pagi-pagi sekali pak Sayhan sudah menunggu di depan kontrakan.Pak Sayhan dan aku bekerja di salah satu anak perusahaan Salim Grup, yang bergerak di bidang jaringan ritel waralaba yang menyediakan kebutuhan pokok dan kebutuhan sehari-hari. Gelar pendidikan Diploma IV Jurusan Marketing, yang aku peroleh dari salah satu perguruan tinggi kota Samarinda hanya membawaku menduduki posisi sebagai kepala toko, berbeda dengan pak Sayhan yang memiliki jabatan sebagai Manager Location di perusahaan itu.Awalnya aku dan pak Sayhan adalah dua orang yang tidak saling mengenal, pertemuan pertama kami terjadi saat ia mengunjungi tokoku dan untuk memudahkan komunikasi kami saling bertukar nomor telepon. Sampai suatu hari aku menerima satu p
Sejak kedatangan Pak Sayhan malam itu, hubungan antara kami berdua menjadi lebih dekat. Sering kali dirinya menyempatkan untuk mampir di toko sekedar untuk menyapa atau bahkan menawarkanku tumpangan pulang. Kalau boleh jujur aku tidak begitu nyaman dengan sikap Pak Sayhan. Pegawai toko diam-diam membicarakan kami. Skandal antara atasan dan bawahan selalu menjadi topik menyenangkan untuk dibahas di pagi hari sebelum memulai pekerjaan atau saat jam istrahat. Mereka berpikir aku dan Pak Sayhan memiliki hubungan spesial. Mengingat rupa Pak Sayhan selalu menghiasi jam pulang kerjaku, tidak heran jika desas desus antara kami semakin menyebar. Aku tidak menyalahkan mereka, apa yang dilihat mata tentu mempengaruhi indra perasa untuk berkomentar. Dan lagi aku tidak merasa harus meluruskan kesalahpahaman yang sengaja dibuat Pak Sayhan. Berulang kali aku menolak ajakan untuk pulang bersama, berulang kali pula ia menyeretku memasuki Toyota Rush miliknya. Pernah k
Aku tahu betul, skenario hidup bukanlah di tulis masing-masing pribadi, sang pemegang kehidupanlah yang mengendalikan pena-nya. Garis nasibku sudah ditetapkan. Takdirku sedang berjalan pelan. Dan aku paham hal buruk yang terjadi padaku bukan tuhan yang inginkan. Aku yang memilih jalan itu, jalan berkelok penuh air mata yang kemudian tak ada habisnya aku sesali. Selalu percaya tuhan telah memberiku pilihan terbaik, hanya saja seperti manusia kebanyakan, sifat serakah selalu menyabet tropy dalam setiap pertarungan di kehidupanku, lalu menjerumuskan pada derita tak berujung. Malam itu setelah mendengar kenyataan tentang statusku, Mas Sayhan langsung mengajakku pulang. Dalam perjalanan ia tidak mengeluarkan sepatah kata, melirik diriku pun tidak. Aku sedih, tapi aku cukup memahami posisinya. Di negara ini status janda bukanlah sesuatu yang dapat diterima dengan mudah. Lagipula orang tua mana yang menginginkan menantu yang pernah gagal menjalin rumah tangga dengan
"Berantem?" Kak Alfi menjatuhkan pantatnya pada susunan bambu bulat yang mejadi lantai dari gubuk tempatku melarikan diri setelah cekcok bersama Yusuf."Hm." Dia pura-pura bertanya, padahal tadi jelas dia melihat kami berkelahi."Mau cerita?" Aku menggeleng. Buat apa? Ujung-ujungnya aku juga di paksa mengalah."Kakak?""Apa?" tanyaku menoleh bingung."Yang cerita.""Kalau mau, silahkan. Tapi tidak janji setelah bercerita akan memberikan apresiasi melalui uang banyak. Adikmu pengangguran sekarang. Ceritalah. Tapi gratis," usahaku membangun obrolan sangat payah.Kak Alfi tertawa."Kakak tidak tahu, apa cerita ini sudah ada yang sampaikan padamu, Dek atau belum. Kakak hanya ingin menceritakan menurut versi Kakak." Kak Alfi menoleh tersenyum meminta pemakluman. Aku balas menarik sudut bibir sebagai tanda mempersilahkan."Kebun dan rumah kita dulu tergadai, Dek!" Netraku melebar. Kaget. "Penyakit Mamak butuh uang besar.
Sabar kuhampar tak ujung.Bencinya kutelan bagai bara merapi.Harga diri kutunduk serendah maunya.Harapku di akhir cerita kembali dapati hatinya.Sial...Dia memintaku mati.________________________________Menghilangkannya demiku.Menghilangkannya demiku.Menghilangkannya demiku.Kamu tega?Kamu tega?Kamu tega?Isi chat terakhir dari mas Sayhan menari di benakku. Aku mencibir pertanyaannya 'apa aku tega'? Hah, tentu saja! Aku tidak menginginkan bayi ini. Kalau menyingkirkannya dia mau menerimaku, akan kulakukan.Cinta butuh bukti bukan? Akan kubuktikan!Sepertinya aku benar-benar gila. Nuraniku sungguh habis tergilas kesumat bertahun. Bagaimana mungkin bibirku melengkung ke atas membayangkan hancur Yusuf saat kujatuhkan anaknya dari rahimku. Yusuf akan mati. Pasti dia mati!Deheman seseorang menarik kembali dari liar imajinasi. Sosok dalam pikiran muncul. Alis naik sebelah, heran melihat senyumk
Seminggu sudah aku di Redan. Sehari pertama yang kulakukan hanya mengamuk dan mengamuk. Langit sampai diungsikan ke rumah kak Alfi karena dikhawatirkan psikis-nya terganggu.Bagaimana tidak. Belum dua puluh empat jam aku di kampung ini. Kak Syahrin telah mengumpulkan para tetua adat di rumah mamak. Dihadapan seluruh keluargaku, kak Syahrin meminta Yusuf mengucapkan kata rujuk.Sama halnya ketika belahan jiwa kak Syahrin itu melafalkan kalimat kabul hampir empat bulan lepas. Enam hari lalu, lahir batinku juga terguncang maha dahsyat. Bahkan jauh lebih hebat, karena saat barisan kata yang keluar dari mulut Yusuf sampai di penghujung. Bersamaan dengan itu tubuhku kehilangan separuh fungsinya. Aku pingsan.Begitu sadar, aku langsung melompati yusuf. Kembali mengamuk. Kabar gembiranya, waktu itu aku beruntung bisa meninggalkan luka di wajah suami baruku. Lukisan kuku-ku menghias indah pipinya. Jangam lupakan hidungnya yang terkena tinjuku. Darah merah merembes dari s
"Capek?" Yusuf bertanya dari balik kemudi. "Kita bisa istirahat sebentar kalau mau. Bagaimana?"Seseorang menyentuh pundakku yang menghadap jendela. "Punggungmu sakit?" Istri kak Min bertanya. Aku menggeleng. "Lapar?" Kembali kepala bergerak kekanan dan kekiri. "Istirahat sebentar yah? Kita perlu magriban dan makan malam."Kenapa mereka bertanya padaku? Kenapa seolah-olah mereka mencari apapun yang membuatku nyaman. Aku tidak suka. Seharusnya lakukan saja apa kehendak mereka. Berpura-pura baik padaku tidak akan meruntuhkan secuil saja benciku pada keputusan egois mereka.Lagipula aku masih meratapi nasib karirku. Masih menangisi perjalanan kisah cinta kandasku. Apa mereka tidak bisa memberi sedikit saja ruang agar berpikir? Apa mata mereka buta untuk melihat keping-keping jantungku berserakan bersama bulir darah meranaku. Kenapa mereka menjadi sangat kejam. Kenapa?Minggu ba'da Azhar kami meninggalkan Samarinda. Dadaku menyempit menyaksikan kontrakan yang k
Aku sedang termangu menatap Yusuf dan kak Min memasukkan pakaian-pakaianku dalam tas juga koper.Sedari tadi mereka hilir-mudik menggeledah isi kontrakan ini demi mencari apa lagi kebutuhan yang akan aku bawa dan sekiranya bakal aku perlukan saat di Redan nanti.Hari ini terhitung satu minggu aku keluar rumah sakit, dan selama itu pula, tak sekalipun aku bertemu mas Sayhan.Sudah berkali bahkan tidak terhitung berapa jumlahnya jemari menekan tombol memanggil pada ponsel. Nihil, mas Sayhan tak bisa kuhubungi. Nomornya selalu di luar jangkauan,SMSdanchatku tak terkirim.Setiap hari aku menanyakan keberadaannya pada Niko, meneror mantan bawahanku itu melalui handphone layaknya rentenir menagih utang. Namun, semua orang bungkam, tidak hanya Niko, Ditha yang kuanggap keluargapun mengunci bibir rapat.Aku gelisah, setiap waktu terlewati dengan was-was. Otakku buntu untuk berpikir, belum lagi mual bawaan anak Yusuf di perut semakin membu
Kemarin, beberapa ribu jam yang laluKetika hujan masih asin dan air mata masih darahMenjelang dini hari di tepian mahakamMohonnya, tinggalkan lebam biru masalaluPilih dia, kemudian pelangi tanpa suram janji ia persembahkan.Lalu sekarang.... Siapa yang meninggalkan siapa?__________________________Jam menunjukkan pukul 20.00 Wita. Di luar hujan lebat, rintiknya keras memukul atap, berdentam sampai ke telinga. Tempias air mesrah mencumbu jendela, titik-titik beningnya ciptakan aliran panjang sebelum luruh menyentuh ubin.Suara TV dengan volume rendah mengisi ruang perawatan. Bau obat-obatan masih kental terhidu. Gorden-gorden coklat yang memanjat tepi jendela melambai lemah terkena angin Air Conditioner. Sesekali terdengar bunyi brankar di dorong melintasi ruangan.Aku sedang memperhatikan sosok di samping. Wajah rupawan pembuat taman hatiku selalu bermekaran jika memandang, kini diselimuti muram durja. Kemeja hitam polos tadi pagi masih meleka
Deras hujan setelah petirMeluruh bening tak mau hentiHari berlalu, tahun bergulirNanah dan darah mengenang bagai belatiPada hati yang berpura bangkitKetentuan takdir kembali mengujiTuhan percayakan sesuatu yang sulitSeperti menatap kiamat unjuk taji_____________________________Ada macam-macam rasa pada manusia. Sedih, marah, kecewa, senang, bahagia, haru dan masih banyak lainnya. Anehnya dari semua rasa itu, aku tidak tahu yang bergejolak dalam dada saat ini masuk dalam kategori mana.Aku seharusnya senang Yusuf melepasku. Bukankah harapan sejak dia menyakitiku memang memutus tali diantara kami.Tapi, apa ini?Ketimbang bahagia hati justru berdenyut ngilu mendapati fakta bahwa ia tak halal bagiku lagi.Bukan. Bukan karena aku masih mencintai dia. Debar untuknya telah lama padam dan aku tidak berbohong.Yang mengganggu hatiku tak lain, perasaan marah. Marah karena dia kembali mencampakkanku setelah mengamb
Senja boleh pergiGerimis bisa menjauhOmbak silahkan surutBiarkan saja ...Nanti pasti mereka kembali.Sepertimu...PergiMenjauhTanpa kabarHilangLalu pulang...Kukira padakuNyatanya bukanKu ingin egoisMerengguhmu kembaliMenjadi milikkuTapi kamu, seolah memilih mati._______________________________Assalamualaikum, wanita yang dirindukan, Langit.Hai ... bagaimana kabarmu? Aku dan yang lainnya baik. Semoga kesehatan dan kasih sayang juga selalu Allah limpahkan padamu.Aku tidak tahu apakah email ini sudi kamu buka atau justru langsung menghapusnya. Besar harapan surat elektronik yang aku tulis tepat saat terhitung dua bulan selepas kepergianmu berkenan di baca. Maaf, karena lancang meminta alamat surel-mu pada Sayhan kekasihmu.Sebanarnya menulis ini membuatku seperti orang bodoh. Dibanding merangkai aksara seharusnya berbicara jauh lebih mudah. Tapi kamu tidak member
Mereka bilang percuma berlari,Ujung dunia kelam menanti.Bersihkan saja noda bathin,Maka sejengkal lega menyebar.Namun....Pongah lantang kupujiMenolak tunduk pada kebenaran.Sebab aku adalah busuk kebencian.Khianat di balas khianat,Iblisku nyalakan kembang api._____________________________"Turunlah, minimal seseorang di dalam sana memberi obat. Wajahmu sepucat kapas." Aku membuka mata saat mas Sayhan menyentuh bahu."Aku hanya butuh kita segera sampai di rumah, Mas. Selain itu, aku tak peduli.""Jangan membantah.""Aku tidak membantah, Mas. Kita sampai dan aku akan kembali sehat. Percayalah." Lagipula tidak ada obat untuk hampaku saat ini, dokter manapun belum menemukannya.Aku akan mengatupkan kedua kelopak lagi, ketika satu cengkraman pelan di lengan mengurungkan niat. "Sekali ini saja, turuti aku.Beberapa detik aku menatap wajah di depanku. Tak ada senyum, hanya raut datar. "Mas marah?"