Home / Romansa / ANYELIR KUNING / MAS SAYHAN SI MATA TEDUH

Share

MAS SAYHAN SI MATA TEDUH

Temukan pasangan baru untuk melupakan luka lama, walau tak benar - benar menyembuhkan, setidaknya mampu membuatmu tetap hidup.

_____________________________________

Empat bulan lalu...

Janji suci milik Yovie and Nuno, mengalun menemani perjalanan kami menuju kantor. Pagi-pagi sekali pak Sayhan sudah menunggu di depan kontrakan.

Pak Sayhan dan aku bekerja di salah satu anak perusahaan Salim Grup, yang bergerak di bidang jaringan ritel waralaba yang menyediakan kebutuhan pokok dan kebutuhan sehari-hari. Gelar pendidikan Diploma IV Jurusan Marketing, yang aku peroleh dari salah satu perguruan tinggi kota Samarinda hanya membawaku menduduki posisi sebagai kepala toko, berbeda dengan pak Sayhan yang memiliki jabatan sebagai Manager Location di perusahaan itu.

Awalnya aku dan pak Sayhan adalah dua orang yang tidak saling mengenal, pertemuan pertama kami terjadi saat ia mengunjungi tokoku dan untuk memudahkan komunikasi kami saling bertukar nomor telepon. Sampai suatu hari aku menerima satu pesan w******p darinya.

[Assalamualaikum, temani aku makan!

Malam ini. Jangan menolak, itu melukai perasaanku]

Aku mengamati deretan huruf yang terpampang di layar telepon tanpa berniat membalas.

[Subhanallah, gk ngerespon :(

Yuhuuuuuuuu...]

Pesan masuk untuk yang ke dua kalinya. Rasanya kurang sopan jika pesan kali ini aku acuhkan.

[Apa ada yang penting, yang ingin dibicarakan, Pak? Saya sedikit kurang sehat.]

Tak ada balasan.

***

Setengah jam setelah menerima pesan dari pak Sayhan, aku dikejutkan oleh ketukan pintu, melirik jam dinding di atas pintu utama, bertanya-tanya siapa yang bertamu semalam ini.

Begitu pintu terbuka, betapa terkejutnya, pak Sayhan berdiri di depanku dengan memamerkan senyum lima jari, dia tidak sendiri. Ada Ditha dan Nika bersamanya.

"Mba Aling beneran sakit?" tanya Ditha kasir tokoku memasuki rumah tanpa menunggu persetujuan.

"Iya Dit, tadi waktu pulang, Mba kehujanan di jalan."

"Mobil, Mba kemana?"giliran Niko bertanya.

"Ada, cuma tadi emang lagi pengen naik motor aja." Aku menggeser tubuh memberi jalan masuk Niko yang diikuti pak Sayhan.

"Oooh," guman Niko

"Mba, Ditha kedapur, buat minum. Mba di sini aja temani Pak Sayhan. Ayo Nik, bantuin." Kemudian mereka menghilang di balik pintu penghubung ruang tamu dan dapur.

Merasa hanya tinggal kami berdua, pak Sayhan berdehem untuk memecah kecanggungan.

"Jadi...?"

"Maksudnya?" Aku bingung.

"Apanya yang sakit?" tanyanya tepat di manikku.

"Nggak ada yang sakit, Pak. Hanya demam biasa." Aku tersenyum.

"Kau terlihat pucat. Sudah minum obat?"

"Belum. Dibawa tidur nanti juga bakal enakan kok, Pak." Bingung, itu sebenarnya yang kurasakan. Lima tahun bekerja di bawah naungan Salim Grup, ini kali pertama aku mendapat kunjungan dari atasan. "Bapak tidak perlu khawatir, sakit saya tidak akan mempengaruhi produktivitas toko." Aku merasa perlu menegaskan hal tersebut.

"Saya belikan obat? Mau?" tanyanya tak menimpali perkataanku.

"Tidak perlu, Pak. Nanti saya bisa minta tolong Ditha."

"Biarin aja Mba, hitung-hitung bentuk perhatian Pak Sayhan pada bawahan. Ya kan, Pak?" Niko berjalan mendekat kearah kami. Di tangannya sudah ada empat gelas kopi panas di atas baki. Ditha mengekor di belakang dengan sepiring roti bakar yang baunya memenuhi ruang tamu.

"Iy, Ling. Benar kata Niko. Kamu tunggu di sini, aku tidak lama. Assalamualaikum," ucapnya berlalu meninggalkan kami. Aku baru akan membuka mulut, ketika Ditha melotot ke arahku. "Biarin!" desisnya.

"Waalaikum salam." Ditha cepat menjawab.

Tirai berbentuk juntaian benang warna biru bergoyang kala tiupan angin malam berhembus dari pintu yang tak tertutup. Sesekali terdengar guntur mengelegar seakan memberi tanda, sebentar lagi akan turun hujan.

"Kenapa sih, Dit? Mba jadi nggak enak sama Pak Sayhan." Geram mengingat tingkah Ditha tadi.

"Mba nih, beneran polos apa gimana sih? Nggak lihat apa, Pak Sayhan lagi usaha? Dia tuh pengen ada apa-apa sama, Mba." Berbicara tanpa memperhatikanku, Ditha fokus memilih rasa roti bakar di depannya.

"Gimana maksudnya, Dith? Mba beneran nggak paham." Aku mengernyitkan kening.

"Pak Sayhan mau pedekate sama, Mba." Ditha mencubit kecil roti bakar rasa coklatnya, memasukkan ke mulut dan mulai mengunyah berlahan.

"Tau dari mana," tanyaku malas

"Tatapan mata Pak Sayhan. Ih, Mba nih gk peka banget sih!" Geram Ditha. "Tau nggak? Mba yang ditatap, Ditha yang lumer," sambungnya dengan senyum malu-malu.

"Jangan menyalah artikan tatapan mata laki-laki, Dith." Niko menimpali, " Kami laki-laki memang selalu seperti itu. Hmm... maksudku, menghangatkan, tidak peduli sedang jatuh hati ataupun tidak. Terutama... Tatapanku." Niko mengedipkan mata kearah Ditha. Sontak kami tertawa terbahak saat Niko menyelesaikan kalimatnya.

Deru suara mobil memasuki halaman rumah menghentikan tawa kami. Rintik hujan mulai terdengar dari atas genting. Pas Sayhan berlari kecil menghindari hujan.

"Assalamualaikum, lama ya?" ucapnya dengan menenteng sekantong obat dan makanan ringan. Baju bagian pundaknya sedikit basah sehingga semakin mempertegas pundaknya yang lebar. Topi yang tak kutahu mereknya apa karena asing dengan merek terkenal juga terlihat basah. Dan demi patah hati berwindu-ku, dadaku sungguh berdebar setelah sekian lama mati rasa saat pria tinggi di depan pintu itu melepas topi lalu tersenyum padaku. Manis, seperti cake tertumpah 5 kg gula pasir.

"Waalaikumussalam, nggak kok Pak, tapi cukup membuat dua wanita di hadapan saya ini membicarakan, Bapak," jawab Niko. Terimakasih untuk Niko karena membuatku salah tingkah.

"Oyah? Wah, saya jadi GR, nih," katanya menimpali Niko. "Tentu tidak membicarakan ketampanan saya bukan?" Apa itu tadi? Ia mengedipkan mata padaku.

"Wow... Wo.... Woo... Pak Say, punya indra ke enam, ya?" seru Niko menampilkan tampang takjub yang dibuat-buat. Pak Sayhan terbahak.

Banyak hal yang kami obrolkan. Tidak, sebenarnya hanya Ditha dan Niko yang aktif berbicara, aku dan pak Sayhan lebih banyak mendengarkan.

Malam semakin merangkak, jarum jam dinding ruangan tamu sudah berada di angka sebelas. Kendaraan yang lalu lalang di depan kontrakan pun mulai berkurang.

"Sudah malam, kamu istrahat. Kami pulang dulu. Besok kalau belum benar-benar sehat jangan dipaksakan bekerja." Pak Sayhan mengingatkan.

"Iy Mba, masalah toko, serahin sama Ditha. Aman, tentram dan terkendali pokoknya," janji gadis itu.

"Ok. Terimakasih ya, Dith, Nik dan Pak Sayhan. Terimakasih sudah mampir," kataku tulus.

"Sama-sama, Mba," sahut Ditha

"Assalamualaikum, Ling." Mas Sayhan mengucap salam.

"Assalamualaikum, Mba." Niko dan Ditha bersamaan .

"Waalaikumussalam."

"Mba. Kiss," ucap Ditha memajukan bibirnya. Aku mencium pipi kiri dan kanan Ditha, yang dibalas serupa.

"Niko juga, Mba." Niko melangkah mendekat.

"Astagfirullah, Nik ! Bukan muhrim!" seru pak Sayhan shock menarik lengan Niko.

"Ya Allah, geli Niko, ah. Becanda, Pak," Niko terbahak-bahak.

"Kami pulang ! Pintunya jangan lupa dikunci. Jangan terima tamu lagi, sudah malam," katanya tak ingin dibantah, kemudian berlalu menyusul Niko dan Ditha yang sudah menunggu dalam mobil.

***

Satu minggu setelah kedatangan pak Sayhan, Ditha, dan Niko di kontrakan, aku memutuskan untuk kembali bekerja. Sakit yang aku kira hanya demam biasa ternyata adalah tifus, sehingga harus menunggu benar- benar sehat untuk kembali beraktivitas. Untungnya Ditha adalah bawahan sekaligus teman yang bisa diandalkan, urusan mini market berjalan lancar walau tanpa pengawasan langsung dariku sebagai kepala toko.

Selama beristrahat di rumah, tak satu pun orang yang aku izinkan untuk berkunjung. Aku membatasi pertemanan, hanya untuk orang-orang tertentu yang bisa menerimaku tulus.

Pernah terluka yang teramat sangat, aku mengusahakan itu adalah goresan terakhir yang orang lain berikan. Tidak sombong, tapi aku selalu bisa melindungi cangkangku dari buaya berlisan madu. Bagiku membiarkan seseorang masuk, kemudian menghancurkan hati lagi, sama seperti aku mendorong diri sendiri di ketinggian jurang. Jatuh, tak tertolong dan mengenaskan.

Tak ada yang bisa menjamin aku tak mengiris nadiku ketika pahit empedu kembali mengalir di cela kalbu yang bernanah, selain diriku sendiri.

Katakan kurang iman. Jauh dari tuhan. Tapi sungguh aku tidak mampu menanggung rasa sakit yang sama lagi. aku tidak tau harus melakukan apa jika ada yang kembali melukai, sakit yang ditoreh seseorang dahulu menghujam ke dasar jiwaku yang paling dalam. Meninggalkan luka yang sampai saat ini masih saja belum kering, walau dua belas tahun telah berlalu dan air mata habis menangisinya.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status