Temukan pasangan baru untuk melupakan luka lama, walau tak benar - benar menyembuhkan, setidaknya mampu membuatmu tetap hidup.
_____________________________________Empat bulan lalu...Janji suci milik Yovie and Nuno, mengalun menemani perjalanan kami menuju kantor. Pagi-pagi sekali pak Sayhan sudah menunggu di depan kontrakan.Pak Sayhan dan aku bekerja di salah satu anak perusahaan Salim Grup, yang bergerak di bidang jaringan ritel waralaba yang menyediakan kebutuhan pokok dan kebutuhan sehari-hari. Gelar pendidikan Diploma IV Jurusan Marketing, yang aku peroleh dari salah satu perguruan tinggi kota Samarinda hanya membawaku menduduki posisi sebagai kepala toko, berbeda dengan pak Sayhan yang memiliki jabatan sebagai Manager Location di perusahaan itu.Awalnya aku dan pak Sayhan adalah dua orang yang tidak saling mengenal, pertemuan pertama kami terjadi saat ia mengunjungi tokoku dan untuk memudahkan komunikasi kami saling bertukar nomor telepon. Sampai suatu hari aku menerima satu pesan w******p darinya.[Assalamualaikum, temani aku makan!Malam ini. Jangan menolak, itu melukai perasaanku]Aku mengamati deretan huruf yang terpampang di layar telepon tanpa berniat membalas.[Subhanallah, gk ngerespon :(Yuhuuuuuuuu...]Pesan masuk untuk yang ke dua kalinya. Rasanya kurang sopan jika pesan kali ini aku acuhkan.[Apa ada yang penting, yang ingin dibicarakan, Pak? Saya sedikit kurang sehat.]Tak ada balasan.***Setengah jam setelah menerima pesan dari pak Sayhan, aku dikejutkan oleh ketukan pintu, melirik jam dinding di atas pintu utama, bertanya-tanya siapa yang bertamu semalam ini.Begitu pintu terbuka, betapa terkejutnya, pak Sayhan berdiri di depanku dengan memamerkan senyum lima jari, dia tidak sendiri. Ada Ditha dan Nika bersamanya."Mba Aling beneran sakit?" tanya Ditha kasir tokoku memasuki rumah tanpa menunggu persetujuan."Iya Dit, tadi waktu pulang, Mba kehujanan di jalan.""Mobil, Mba kemana?"giliran Niko bertanya."Ada, cuma tadi emang lagi pengen naik motor aja." Aku menggeser tubuh memberi jalan masuk Niko yang diikuti pak Sayhan."Oooh," guman Niko"Mba, Ditha kedapur, buat minum. Mba di sini aja temani Pak Sayhan. Ayo Nik, bantuin." Kemudian mereka menghilang di balik pintu penghubung ruang tamu dan dapur.Merasa hanya tinggal kami berdua, pak Sayhan berdehem untuk memecah kecanggungan."Jadi...?""Maksudnya?" Aku bingung."Apanya yang sakit?" tanyanya tepat di manikku."Nggak ada yang sakit, Pak. Hanya demam biasa." Aku tersenyum."Kau terlihat pucat. Sudah minum obat?""Belum. Dibawa tidur nanti juga bakal enakan kok, Pak." Bingung, itu sebenarnya yang kurasakan. Lima tahun bekerja di bawah naungan Salim Grup, ini kali pertama aku mendapat kunjungan dari atasan. "Bapak tidak perlu khawatir, sakit saya tidak akan mempengaruhi produktivitas toko." Aku merasa perlu menegaskan hal tersebut."Saya belikan obat? Mau?" tanyanya tak menimpali perkataanku."Tidak perlu, Pak. Nanti saya bisa minta tolong Ditha.""Biarin aja Mba, hitung-hitung bentuk perhatian Pak Sayhan pada bawahan. Ya kan, Pak?" Niko berjalan mendekat kearah kami. Di tangannya sudah ada empat gelas kopi panas di atas baki. Ditha mengekor di belakang dengan sepiring roti bakar yang baunya memenuhi ruang tamu."Iy, Ling. Benar kata Niko. Kamu tunggu di sini, aku tidak lama. Assalamualaikum," ucapnya berlalu meninggalkan kami. Aku baru akan membuka mulut, ketika Ditha melotot ke arahku. "Biarin!" desisnya."Waalaikum salam." Ditha cepat menjawab.Tirai berbentuk juntaian benang warna biru bergoyang kala tiupan angin malam berhembus dari pintu yang tak tertutup. Sesekali terdengar guntur mengelegar seakan memberi tanda, sebentar lagi akan turun hujan."Kenapa sih, Dit? Mba jadi nggak enak sama Pak Sayhan." Geram mengingat tingkah Ditha tadi."Mba nih, beneran polos apa gimana sih? Nggak lihat apa, Pak Sayhan lagi usaha? Dia tuh pengen ada apa-apa sama, Mba." Berbicara tanpa memperhatikanku, Ditha fokus memilih rasa roti bakar di depannya."Gimana maksudnya, Dith? Mba beneran nggak paham." Aku mengernyitkan kening."Pak Sayhan mau pedekate sama, Mba." Ditha mencubit kecil roti bakar rasa coklatnya, memasukkan ke mulut dan mulai mengunyah berlahan."Tau dari mana," tanyaku malas"Tatapan mata Pak Sayhan. Ih, Mba nih gk peka banget sih!" Geram Ditha. "Tau nggak? Mba yang ditatap, Ditha yang lumer," sambungnya dengan senyum malu-malu."Jangan menyalah artikan tatapan mata laki-laki, Dith." Niko menimpali, " Kami laki-laki memang selalu seperti itu. Hmm... maksudku, menghangatkan, tidak peduli sedang jatuh hati ataupun tidak. Terutama... Tatapanku." Niko mengedipkan mata kearah Ditha. Sontak kami tertawa terbahak saat Niko menyelesaikan kalimatnya.Deru suara mobil memasuki halaman rumah menghentikan tawa kami. Rintik hujan mulai terdengar dari atas genting. Pas Sayhan berlari kecil menghindari hujan."Assalamualaikum, lama ya?" ucapnya dengan menenteng sekantong obat dan makanan ringan. Baju bagian pundaknya sedikit basah sehingga semakin mempertegas pundaknya yang lebar. Topi yang tak kutahu mereknya apa karena asing dengan merek terkenal juga terlihat basah. Dan demi patah hati berwindu-ku, dadaku sungguh berdebar setelah sekian lama mati rasa saat pria tinggi di depan pintu itu melepas topi lalu tersenyum padaku. Manis, seperti cake tertumpah 5 kg gula pasir."Waalaikumussalam, nggak kok Pak, tapi cukup membuat dua wanita di hadapan saya ini membicarakan, Bapak," jawab Niko. Terimakasih untuk Niko karena membuatku salah tingkah."Oyah? Wah, saya jadi GR, nih," katanya menimpali Niko. "Tentu tidak membicarakan ketampanan saya bukan?" Apa itu tadi? Ia mengedipkan mata padaku."Wow... Wo.... Woo... Pak Say, punya indra ke enam, ya?" seru Niko menampilkan tampang takjub yang dibuat-buat. Pak Sayhan terbahak.Banyak hal yang kami obrolkan. Tidak, sebenarnya hanya Ditha dan Niko yang aktif berbicara, aku dan pak Sayhan lebih banyak mendengarkan.Malam semakin merangkak, jarum jam dinding ruangan tamu sudah berada di angka sebelas. Kendaraan yang lalu lalang di depan kontrakan pun mulai berkurang."Sudah malam, kamu istrahat. Kami pulang dulu. Besok kalau belum benar-benar sehat jangan dipaksakan bekerja." Pak Sayhan mengingatkan."Iy Mba, masalah toko, serahin sama Ditha. Aman, tentram dan terkendali pokoknya," janji gadis itu."Ok. Terimakasih ya, Dith, Nik dan Pak Sayhan. Terimakasih sudah mampir," kataku tulus."Sama-sama, Mba," sahut Ditha"Assalamualaikum, Ling." Mas Sayhan mengucap salam."Assalamualaikum, Mba." Niko dan Ditha bersamaan ."Waalaikumussalam.""Mba. Kiss," ucap Ditha memajukan bibirnya. Aku mencium pipi kiri dan kanan Ditha, yang dibalas serupa."Niko juga, Mba." Niko melangkah mendekat."Astagfirullah, Nik ! Bukan muhrim!" seru pak Sayhan shock menarik lengan Niko."Ya Allah, geli Niko, ah. Becanda, Pak," Niko terbahak-bahak."Kami pulang ! Pintunya jangan lupa dikunci. Jangan terima tamu lagi, sudah malam," katanya tak ingin dibantah, kemudian berlalu menyusul Niko dan Ditha yang sudah menunggu dalam mobil.***Satu minggu setelah kedatangan pak Sayhan, Ditha, dan Niko di kontrakan, aku memutuskan untuk kembali bekerja. Sakit yang aku kira hanya demam biasa ternyata adalah tifus, sehingga harus menunggu benar- benar sehat untuk kembali beraktivitas. Untungnya Ditha adalah bawahan sekaligus teman yang bisa diandalkan, urusan mini market berjalan lancar walau tanpa pengawasan langsung dariku sebagai kepala toko. Selama beristrahat di rumah, tak satu pun orang yang aku izinkan untuk berkunjung. Aku membatasi pertemanan, hanya untuk orang-orang tertentu yang bisa menerimaku tulus.Pernah terluka yang teramat sangat, aku mengusahakan itu adalah goresan terakhir yang orang lain berikan. Tidak sombong, tapi aku selalu bisa melindungi cangkangku dari buaya berlisan madu. Bagiku membiarkan seseorang masuk, kemudian menghancurkan hati lagi, sama seperti aku mendorong diri sendiri di ketinggian jurang. Jatuh, tak tertolong dan mengenaskan.Tak ada yang bisa menjamin aku tak mengiris nadiku ketika pahit empedu kembali mengalir di cela kalbu yang bernanah, selain diriku sendiri.Katakan kurang iman. Jauh dari tuhan. Tapi sungguh aku tidak mampu menanggung rasa sakit yang sama lagi. aku tidak tau harus melakukan apa jika ada yang kembali melukai, sakit yang ditoreh seseorang dahulu menghujam ke dasar jiwaku yang paling dalam. Meninggalkan luka yang sampai saat ini masih saja belum kering, walau dua belas tahun telah berlalu dan air mata habis menangisinya.****Sejak kedatangan Pak Sayhan malam itu, hubungan antara kami berdua menjadi lebih dekat. Sering kali dirinya menyempatkan untuk mampir di toko sekedar untuk menyapa atau bahkan menawarkanku tumpangan pulang. Kalau boleh jujur aku tidak begitu nyaman dengan sikap Pak Sayhan. Pegawai toko diam-diam membicarakan kami. Skandal antara atasan dan bawahan selalu menjadi topik menyenangkan untuk dibahas di pagi hari sebelum memulai pekerjaan atau saat jam istrahat. Mereka berpikir aku dan Pak Sayhan memiliki hubungan spesial. Mengingat rupa Pak Sayhan selalu menghiasi jam pulang kerjaku, tidak heran jika desas desus antara kami semakin menyebar. Aku tidak menyalahkan mereka, apa yang dilihat mata tentu mempengaruhi indra perasa untuk berkomentar. Dan lagi aku tidak merasa harus meluruskan kesalahpahaman yang sengaja dibuat Pak Sayhan. Berulang kali aku menolak ajakan untuk pulang bersama, berulang kali pula ia menyeretku memasuki Toyota Rush miliknya. Pernah k
Aku tahu betul, skenario hidup bukanlah di tulis masing-masing pribadi, sang pemegang kehidupanlah yang mengendalikan pena-nya. Garis nasibku sudah ditetapkan. Takdirku sedang berjalan pelan. Dan aku paham hal buruk yang terjadi padaku bukan tuhan yang inginkan. Aku yang memilih jalan itu, jalan berkelok penuh air mata yang kemudian tak ada habisnya aku sesali. Selalu percaya tuhan telah memberiku pilihan terbaik, hanya saja seperti manusia kebanyakan, sifat serakah selalu menyabet tropy dalam setiap pertarungan di kehidupanku, lalu menjerumuskan pada derita tak berujung. Malam itu setelah mendengar kenyataan tentang statusku, Mas Sayhan langsung mengajakku pulang. Dalam perjalanan ia tidak mengeluarkan sepatah kata, melirik diriku pun tidak. Aku sedih, tapi aku cukup memahami posisinya. Di negara ini status janda bukanlah sesuatu yang dapat diterima dengan mudah. Lagipula orang tua mana yang menginginkan menantu yang pernah gagal menjalin rumah tangga dengan
Jangan jumawa terhadap diri sendiri, sebab semesta dan pemiliknya punyai segala cara membabat habis rasa itu.Aku pikir setelah memutuskan untuk bangkit dari kematian batinku, sungguh aku telah siap menghadapi pelik kejutan hidup. Ternyata tidak. Pria yang berdiri tidak lebih dua meter di depanku adalah bukti bahwa aku masih menyisihkan sedikit tempat atas hatiku yang terkoyak."Untuk menjalani masa depan, kamu cukup memaafkan masa lalu." Beberapa bulan lalu mas Sayhan pernah mengatakan demikian. Waktu itu aku menganggukkan kepala, tapi sekarang kenapa terasa sangat sulit.Ada banyak kemungkinan di dunia ini, tapi bertemu dengannya di rumah orang tuaku adalah kemungkinan yang sulit dipercaya, kecuali alam dan pemilik-Nya berkonspirasi.Aku menegang takkala iris bening itu tajam menatap. Nyeri perlahan resapi cela dada. Ada luka yang kembali terburai, sakitnya mengalir bersama pacu gerak darahku. Bisa kurasakan ngilunya dalam denyut nadi. Andai tak ku inga
Suara peringatan daya handphone lowbat merenggutku kembali ke alam sadar. Entah berapa lama tertidur dalam posisi seperti ini, duduk menenggelamkan muka di antara dua paha. Melirik jam pada handphone yang dayanya sisa lima persen, tertera angka 03.00 dini hari.Rasa haus mendera membuatku menimbang apakah keluar membasuh tenggorokan dengan segelas air atau tetap bertahan dalam kamar.Bukannya ingin menyiksa diri, benci yang terlanjur menggunung memaksaku sedikit kejam. Dahaga tentu dapat di tahan, tapi hati terbakar murka kala melihat pria itu, aku tidak yakin dapat menahanya.Setelah memastikan segalanya akan baik-baik saja, sebab pria itu tentu telah terlelap, aku beringsut meninggalkan kamar. Menoleh sejenak pada tiap kamar yang kulewati khawatir bertemu pria tersebut dengan tanpa sengaja. Ini beralasan, sebab pada film-film yang pernah kusaksikan kejadian ini hampir selalu ada.Sepelan mungkin aku berjalan memasuki dapur berlantai semen yang din
Setelah menunaikan ibadah salat subuh aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Kabut tipis masih menyelimuti, cahaya kemerahan dari timur pun baru mulai menyinari separuh bagian desa. Cicit burung pipit dan gemericik air dari pancuran yang dipasang untuk mengairi sawah saling beradu. Subuhku yang tadinya memanas sedikit meredam. Merentangkan kedua tangan aku menyesapi angin yang berhembus di helai-helai rambutku. Segar "Angin pagi Redan kurang baik bagi yang tidak terbiasa. Memakai jaket bisa dikatakan pilihan yang tepat." Aku terjengkit hampir berteriak terkejut kemunculannya. Ia berdiri tidak jauh di belakangku, kedua tangannya membetulkan tudung hoodie bewarna maroon di kepala. Acuh, aku berlalu. "Banyak hal yang berubah dari desa kita." Ia berjalan di belakangku, kepalanya menengok ke kiri dan kanan, memindai keadaan sekitar. Masih pagi sekali, jadi belum banyak warga yang turun ke ladang. "Di balik bukit sana, tepat di bawah ak
Cahaya kemerahan benar-benar telah meninggalkan desa, membawa serta kabut yang menyelimuti, meninggalkan bulir-bulir bening di atas helai demi helai daun padi. Telunjuk-ku menyentuhnya, dingin. Sama sepertiku bening di telunjukku ini, hanyalah sisa keindahan yang di tinggalkan. Entah sudah berapa lama aku duduk berhamparkan rumput gajah di atas pematang sawah di sisi jalan setapak yang aku lalui. Panas yang semakin menyengat tak kuhiraukan. Ini tak lebih panas dibandingkan kalimat Fajar. Kilasan masa lalu sedang menguasai pikiranku. Aku dibuang, aku ditinggalkan, aku yang diduakan, aku dan keluargaku yang dilempari kotoran pada mukanya, lalu bagaimana bisa Fajar mengatakan aku yang jahat? Sialnya air mataku tak mau bekerja sama. Aliran bening merembes dari sana, berpacu sama lajunya dengan cairan bening yang keluar dari hidung. Ini memalukan, tapi sekali ini saja aku ingin menjadi Aling yang berantakan. Desa ini dan kenangan di dalamnya tak mampu membuatk
Katanya, untuk memulai hubungan baru, sebaiknya berhenti terlebih dahulu untuk mempersilahkan jeda mengobati segala sakit.Aku tak pernah mengira jeda yang dibutuhkan hatiku lebih lama dari yang dibutuhkan orang lain. Dua belas tahun dan ia tak benar-benar sembuh. Ingin sekali aku mencibir.Aku tahu, aku jahat. Memanfaatkan cinta tulus mas Sayhan agar terlepas dari jerat lara masalalu. Nyatanya duka itu tak pergi ke mana-mana. Ia masih di sana, mencekik hingga sesak.Tidak, jangan salahkan mas Sayhan. Bukan karena cintanya lemah, tapi aku yang memang tak ingin keluar dari kubang lumpur hidup bernama nestapa yang menarikku dalam kepahitan. Aku nyaman di sana, berenang menunggu saat ia menenggelamkan.Teriak bunyi ketel meraung pekakkan telinga, uap air yang keluar dari ujung corongnya meliuk ciptakan pola abstrak. Lesu aku menghampiri api kebiruan yang menjilati dasar ketel. Diriku perlu mendinginkan perasaan, dan pilihanku jatuh pada kopi panas, mencecap
Aku terbiasa dengan genggaman mas Sayhan ketika dalam masalah, jadi kali ini, ketika semua mata keluargaku meminta penjelasan kepergianku, aku ingin ia ada di sini, menenangkanku dan memberi kekuatan.Mamak sudah terisak sejak satu jam lalu. Air matanya berderai dalam dekapan seorang wanita yang baru aku ketahui istri kak Min setelah ia memperkenalkan diri padaku. Anak-anak juga sudah di ungsikan ke rumah kak Alfi, sebab sebentar lagi mereka akan menyidangku, jadi sebisa mungkin rumah dalam keadaan tenang.Sejujurnya ingin sekali aku berlari menenggelamkan diri dalam pelukan tubuh renta mamak, namun netra-netra berkobar yang sedang menghakimiku seakan menguliti keberanianku, jadi kuputuskan menahannya. Aku memilih menunduk memperhatikan ke dua tanganku, mereka saling bertaut di atas pangkuan, ada getaran kecil di sana, sepertinya aku sedang dipermainkan grogi.Kak Tera menangkap getar itu, netra semematikan babatan samurai di beningnya meredup, beralih sendu men
"Berantem?" Kak Alfi menjatuhkan pantatnya pada susunan bambu bulat yang mejadi lantai dari gubuk tempatku melarikan diri setelah cekcok bersama Yusuf."Hm." Dia pura-pura bertanya, padahal tadi jelas dia melihat kami berkelahi."Mau cerita?" Aku menggeleng. Buat apa? Ujung-ujungnya aku juga di paksa mengalah."Kakak?""Apa?" tanyaku menoleh bingung."Yang cerita.""Kalau mau, silahkan. Tapi tidak janji setelah bercerita akan memberikan apresiasi melalui uang banyak. Adikmu pengangguran sekarang. Ceritalah. Tapi gratis," usahaku membangun obrolan sangat payah.Kak Alfi tertawa."Kakak tidak tahu, apa cerita ini sudah ada yang sampaikan padamu, Dek atau belum. Kakak hanya ingin menceritakan menurut versi Kakak." Kak Alfi menoleh tersenyum meminta pemakluman. Aku balas menarik sudut bibir sebagai tanda mempersilahkan."Kebun dan rumah kita dulu tergadai, Dek!" Netraku melebar. Kaget. "Penyakit Mamak butuh uang besar.
Sabar kuhampar tak ujung.Bencinya kutelan bagai bara merapi.Harga diri kutunduk serendah maunya.Harapku di akhir cerita kembali dapati hatinya.Sial...Dia memintaku mati.________________________________Menghilangkannya demiku.Menghilangkannya demiku.Menghilangkannya demiku.Kamu tega?Kamu tega?Kamu tega?Isi chat terakhir dari mas Sayhan menari di benakku. Aku mencibir pertanyaannya 'apa aku tega'? Hah, tentu saja! Aku tidak menginginkan bayi ini. Kalau menyingkirkannya dia mau menerimaku, akan kulakukan.Cinta butuh bukti bukan? Akan kubuktikan!Sepertinya aku benar-benar gila. Nuraniku sungguh habis tergilas kesumat bertahun. Bagaimana mungkin bibirku melengkung ke atas membayangkan hancur Yusuf saat kujatuhkan anaknya dari rahimku. Yusuf akan mati. Pasti dia mati!Deheman seseorang menarik kembali dari liar imajinasi. Sosok dalam pikiran muncul. Alis naik sebelah, heran melihat senyumk
Seminggu sudah aku di Redan. Sehari pertama yang kulakukan hanya mengamuk dan mengamuk. Langit sampai diungsikan ke rumah kak Alfi karena dikhawatirkan psikis-nya terganggu.Bagaimana tidak. Belum dua puluh empat jam aku di kampung ini. Kak Syahrin telah mengumpulkan para tetua adat di rumah mamak. Dihadapan seluruh keluargaku, kak Syahrin meminta Yusuf mengucapkan kata rujuk.Sama halnya ketika belahan jiwa kak Syahrin itu melafalkan kalimat kabul hampir empat bulan lepas. Enam hari lalu, lahir batinku juga terguncang maha dahsyat. Bahkan jauh lebih hebat, karena saat barisan kata yang keluar dari mulut Yusuf sampai di penghujung. Bersamaan dengan itu tubuhku kehilangan separuh fungsinya. Aku pingsan.Begitu sadar, aku langsung melompati yusuf. Kembali mengamuk. Kabar gembiranya, waktu itu aku beruntung bisa meninggalkan luka di wajah suami baruku. Lukisan kuku-ku menghias indah pipinya. Jangam lupakan hidungnya yang terkena tinjuku. Darah merah merembes dari s
"Capek?" Yusuf bertanya dari balik kemudi. "Kita bisa istirahat sebentar kalau mau. Bagaimana?"Seseorang menyentuh pundakku yang menghadap jendela. "Punggungmu sakit?" Istri kak Min bertanya. Aku menggeleng. "Lapar?" Kembali kepala bergerak kekanan dan kekiri. "Istirahat sebentar yah? Kita perlu magriban dan makan malam."Kenapa mereka bertanya padaku? Kenapa seolah-olah mereka mencari apapun yang membuatku nyaman. Aku tidak suka. Seharusnya lakukan saja apa kehendak mereka. Berpura-pura baik padaku tidak akan meruntuhkan secuil saja benciku pada keputusan egois mereka.Lagipula aku masih meratapi nasib karirku. Masih menangisi perjalanan kisah cinta kandasku. Apa mereka tidak bisa memberi sedikit saja ruang agar berpikir? Apa mata mereka buta untuk melihat keping-keping jantungku berserakan bersama bulir darah meranaku. Kenapa mereka menjadi sangat kejam. Kenapa?Minggu ba'da Azhar kami meninggalkan Samarinda. Dadaku menyempit menyaksikan kontrakan yang k
Aku sedang termangu menatap Yusuf dan kak Min memasukkan pakaian-pakaianku dalam tas juga koper.Sedari tadi mereka hilir-mudik menggeledah isi kontrakan ini demi mencari apa lagi kebutuhan yang akan aku bawa dan sekiranya bakal aku perlukan saat di Redan nanti.Hari ini terhitung satu minggu aku keluar rumah sakit, dan selama itu pula, tak sekalipun aku bertemu mas Sayhan.Sudah berkali bahkan tidak terhitung berapa jumlahnya jemari menekan tombol memanggil pada ponsel. Nihil, mas Sayhan tak bisa kuhubungi. Nomornya selalu di luar jangkauan,SMSdanchatku tak terkirim.Setiap hari aku menanyakan keberadaannya pada Niko, meneror mantan bawahanku itu melalui handphone layaknya rentenir menagih utang. Namun, semua orang bungkam, tidak hanya Niko, Ditha yang kuanggap keluargapun mengunci bibir rapat.Aku gelisah, setiap waktu terlewati dengan was-was. Otakku buntu untuk berpikir, belum lagi mual bawaan anak Yusuf di perut semakin membu
Kemarin, beberapa ribu jam yang laluKetika hujan masih asin dan air mata masih darahMenjelang dini hari di tepian mahakamMohonnya, tinggalkan lebam biru masalaluPilih dia, kemudian pelangi tanpa suram janji ia persembahkan.Lalu sekarang.... Siapa yang meninggalkan siapa?__________________________Jam menunjukkan pukul 20.00 Wita. Di luar hujan lebat, rintiknya keras memukul atap, berdentam sampai ke telinga. Tempias air mesrah mencumbu jendela, titik-titik beningnya ciptakan aliran panjang sebelum luruh menyentuh ubin.Suara TV dengan volume rendah mengisi ruang perawatan. Bau obat-obatan masih kental terhidu. Gorden-gorden coklat yang memanjat tepi jendela melambai lemah terkena angin Air Conditioner. Sesekali terdengar bunyi brankar di dorong melintasi ruangan.Aku sedang memperhatikan sosok di samping. Wajah rupawan pembuat taman hatiku selalu bermekaran jika memandang, kini diselimuti muram durja. Kemeja hitam polos tadi pagi masih meleka
Deras hujan setelah petirMeluruh bening tak mau hentiHari berlalu, tahun bergulirNanah dan darah mengenang bagai belatiPada hati yang berpura bangkitKetentuan takdir kembali mengujiTuhan percayakan sesuatu yang sulitSeperti menatap kiamat unjuk taji_____________________________Ada macam-macam rasa pada manusia. Sedih, marah, kecewa, senang, bahagia, haru dan masih banyak lainnya. Anehnya dari semua rasa itu, aku tidak tahu yang bergejolak dalam dada saat ini masuk dalam kategori mana.Aku seharusnya senang Yusuf melepasku. Bukankah harapan sejak dia menyakitiku memang memutus tali diantara kami.Tapi, apa ini?Ketimbang bahagia hati justru berdenyut ngilu mendapati fakta bahwa ia tak halal bagiku lagi.Bukan. Bukan karena aku masih mencintai dia. Debar untuknya telah lama padam dan aku tidak berbohong.Yang mengganggu hatiku tak lain, perasaan marah. Marah karena dia kembali mencampakkanku setelah mengamb
Senja boleh pergiGerimis bisa menjauhOmbak silahkan surutBiarkan saja ...Nanti pasti mereka kembali.Sepertimu...PergiMenjauhTanpa kabarHilangLalu pulang...Kukira padakuNyatanya bukanKu ingin egoisMerengguhmu kembaliMenjadi milikkuTapi kamu, seolah memilih mati._______________________________Assalamualaikum, wanita yang dirindukan, Langit.Hai ... bagaimana kabarmu? Aku dan yang lainnya baik. Semoga kesehatan dan kasih sayang juga selalu Allah limpahkan padamu.Aku tidak tahu apakah email ini sudi kamu buka atau justru langsung menghapusnya. Besar harapan surat elektronik yang aku tulis tepat saat terhitung dua bulan selepas kepergianmu berkenan di baca. Maaf, karena lancang meminta alamat surel-mu pada Sayhan kekasihmu.Sebanarnya menulis ini membuatku seperti orang bodoh. Dibanding merangkai aksara seharusnya berbicara jauh lebih mudah. Tapi kamu tidak member
Mereka bilang percuma berlari,Ujung dunia kelam menanti.Bersihkan saja noda bathin,Maka sejengkal lega menyebar.Namun....Pongah lantang kupujiMenolak tunduk pada kebenaran.Sebab aku adalah busuk kebencian.Khianat di balas khianat,Iblisku nyalakan kembang api._____________________________"Turunlah, minimal seseorang di dalam sana memberi obat. Wajahmu sepucat kapas." Aku membuka mata saat mas Sayhan menyentuh bahu."Aku hanya butuh kita segera sampai di rumah, Mas. Selain itu, aku tak peduli.""Jangan membantah.""Aku tidak membantah, Mas. Kita sampai dan aku akan kembali sehat. Percayalah." Lagipula tidak ada obat untuk hampaku saat ini, dokter manapun belum menemukannya.Aku akan mengatupkan kedua kelopak lagi, ketika satu cengkraman pelan di lengan mengurungkan niat. "Sekali ini saja, turuti aku.Beberapa detik aku menatap wajah di depanku. Tak ada senyum, hanya raut datar. "Mas marah?"