Setelah menunaikan ibadah salat subuh aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Kabut tipis masih menyelimuti, cahaya kemerahan dari timur pun baru mulai menyinari separuh bagian desa. Cicit burung pipit dan gemericik air dari pancuran yang dipasang untuk mengairi sawah saling beradu. Subuhku yang tadinya memanas sedikit meredam. Merentangkan kedua tangan aku menyesapi angin yang berhembus di helai-helai rambutku. Segar
"Angin pagi Redan kurang baik bagi yang tidak terbiasa. Memakai jaket bisa dikatakan pilihan yang tepat." Aku terjengkit hampir berteriak terkejut kemunculannya. Ia berdiri tidak jauh di belakangku, kedua tangannya membetulkan tudung hoodie bewarna maroon di kepala.
Acuh, aku berlalu. "Banyak hal yang berubah dari desa kita." Ia berjalan di belakangku, kepalanya menengok ke kiri dan kanan, memindai keadaan sekitar. Masih pagi sekali, jadi belum banyak warga yang turun ke ladang.
"Di balik bukit sana, tepat di bawah akasia yang sering kita sambangi ada penginapan yang di bangun. Pantainya pun tak selayak dulu, lebih ramai. Kalau kau mau melihat-lihat aku bisa mengantarmu." Sambungnya menunjuk bukit di depan kami.
Mengantar kepalamu! Mana sudi aku berdua-duan denganmu. Menghirup udara yang sama saja aku terpaksa.
Kami belum jauh meninggalkan rumah ketika kakiku terhenti, mengepalkan tangan dengan geram, lalu memejam sejenak. "Berhenti membohongi diri seakan kita berdua baik-baik saja!" Aku berbicara tanpa repot-repot menoleh kebelakang menatap matanya.
Tubrukan kecil pada punggung, memaksa aku menoleh padanya. Ia tersenyum, menyeret kakinya satu langkah menjauh dariku, ia menatap lembut. "Kita memang tidak sedang baik-baik saja. Tapi aku sedang berusaha untuk membuat semua kembali baik-baik saja."
"Jangan bermimpi!" sengitku mendelik marah. Ingin sekali aku menampar bibir tipis itu. Dia pikir bahtera yang telah koyak dan lebur di pantai kembali dapat mengarungi samudra? Silahkan berkhayal!
"Aku tidak tidur. Jadi aku yakin, tidak sedang bermimpi." Ia mengerutkan kening lalu mengendikkan bahu. Bibirnya tersenyum miring seakan sedang mengejek diriku, membuat aku semakin ingin mengunting kecil-kecil bibir itu.
"Semoga tuan Yusuf tidak lupa alasan aku meninggalkan desa ini," desisku mendekat, lalu menegadah menatap tajam bola matanya. Darahku mendidih seakan sedang dipanaskan dalam tungku yang besar, tidak tahan melihat Yusuf yang bertingkah seakan tak pernah menoreh derita padaku,.
Bergeming di tempatnya dengan tatapan tak terbaca. "Kau... masih sangat membenciku?" tanyanya nanar. "Bahkan setelah dua belas tahun?" Mata itu memancarkan luka yang tak bisa disembunyikan setelah kalimatnya selesai.
"Katakan, apa alasanku untuk tidak membencimu?" desisku menantang. Kilatan dalam mataku harusnya menjawab tanyanya.
Awalnya aku tidak ingin memperlihatkan rasa benciku padanya, aku ingin ia tahu bahwa luka yang ia toreh dahulu sudah hilang. Aku adalah Aling yang baru, Aling yang telah melupakan pahit sembilu yang ia lilitkan dua belas tahun silam. Tapi menemukan Yusuf seperti ini, membuatku tak mampu untuk tak menyemburkan amarah.
"Banyak! Salah satunya karena membiarkan aku selama hampir tiga belas tahun ini berjuang sendiri," Ia menunduk menatap lekat mataku. Sial, hidung kami bersentuhan.
Cih. Membuangku dahulu, lalu sekarang berkata berjuang sendiri.
"Tak tau malu! Manusia yang paling tidak ingin aku temui setelah aku kembali adalah kamu, tapi rupanya kesialanku tak pernah ada habisnya." Aku mencecar dengan kalimat menusuk. "Asal kau tahu, melihatmu semalam membuatku menyesali keputusanku untuk pulang. Aku bahkan mengasihani diriku. Pernah menjadi bagian hidupmu sungguh menjijikan, Yusuf. Menjauhlah! Dorongku pada dadanya. "Kau menghalangi jalanku," bentakku sambil berlalu dengan wajah merah menahan murka oleh sentuhannya.
Ia terpaku.
Fakta bahwa aku masih menyimpan baik dendamku tak bisa kupungkiri. Ada bagian nan jauh di dalam sana yang sengaja tak kubalut agar lukannya jangan mengering.
Sebelum kembali memijakkan kaki di desa ini, aku mati-matian membenci tetesan perih itu, tapi sekarang aku bersyukur setidaknya tetesan itu menjadi mesin pengingat yang menyadarkan aku betapa kejamnya Yusuf dahulu. Ah, lihatlah bahkan menyebut namanya saja membuat ngilu seluru jaringan pembuluh darahku.
Pendar pagi mulai menyengat, hangatnya membelai permukaan kulit lengan. Gamis chiffon bercorak bunga sakura gugur yang aku kenakan melambai mengikuti arah angin. Langit Redan masih sama, biru dan indah. Wangi semilir anginnya pun masih sama, semilir yang memanggil para perantau pulang, sepertiku. Lucunya, aku pulang dan justru mendapati hatiku kembali berbaring lemah dalam lorong pesakitan tak berpintu, tersesat dan betah di sana.
Tidak jauh dari posisiku berpijak seorang petani sedang membersihkan gulma padi berjenis rumput banto. Terlihat cekatan, ia mencabut satu persatu lalu mengumpulkannya berbaris mengikuti jejeran tanaman kacang panjang pada bidang miring pematang. Aku berdoa dalam hati semoga ia tak melihat perdebatan kami.
Yusuf tak lagi mengikutiku, sepertinya dia tersinggung oleh bisa yang dikeluarkan bibirku. Jujur saja aku tidak perduli, aku suka jika ia tersinggung, itu pertanda aku berhasil menyakiti egonya sebagai pria?
Berdebat dengan Yusuf selalu menguras emosi, tidak dulu, tidak sekarang, sama saja. Aku berani bertaruh, jika bertahan lebih lama aku akan meledak. Mana tahu aku khilaf, lalu meraih cangkul yang bersandar pada pohon pisang di simpang jalan yang kulalui tadi, kemudian mencacah badannya menjadi bagian-bagian kecil agar bisa dinikmati tikus sawah. Lihatlah, bagaimana benciku benar-benar telah memekat. Aku bahkan memikirkan cara menyingkirkannya.
"Aling?" tanya ragu-ragu seorang pria dari balik kaca mobil avanza putih yang merayap pelan. Berlahan roda kuda besi itu berhenti berputar. Pengemudinya turun dan berjalan mendekat padaku.
Ia memindai dari ujung rambut sampai ujung kaki ketika sudah berdiri tepat di hadapanku. Aku risih dibuatnya. "Kenapa selama ini, Ling? Kupikir jodohmu bersama Yusuf benar-benar telah selesai," tatapnya tak percaya padaku.
Aku mengingat pria ini. Dia, Fajar sahabat Yusuf. Jenis pria yang mulutnya akan kaku jika sedetik saja tak mengeluarkan kata. "Maaf?" tanyaku menahan kesal.
"Yusuf pasti bahagia, kau akhirnya kembali. Terimakasih Aling. Sahabatku bisa kembali hidup." Antusiasnya tanpa melihat raut mukaku yang berubah masam. "Kau sudah bertemu Lan..."
"Sahabatmu itu tak sedang sekarat, yang aku lihat justru dia sehat walafiat, badannya berisi tidak kurus kerempeng seperti dulu. Jadi apa yang kamu khawatirkan dari dia? Jangan menghubung-hubungkan aku dengan pria yang kamu sebut sahabat itu. Aku tak mengenalnya! Permisi." Potongku sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, berlalu meninggakan dia yang masih tercenung melihat reaksiku.
"Kamu pergi. Bahkan bertahun-tahun tak ada berita. Menghilang begitu saja bagai di telan alam. Kesalahannya tak pantas dapat balas seperti ini, Ling. Kau justru berkali lipat jahatnya di bandingkan Yusuf. Kalau kamu tau apa yang sudah ia lalu selama ini, kamu akan merangkak memohon pengampunan padanya," kalimatnya tak urung menghentikan tungkaiku melangkah.
Fajar tampan seperti Yusuf, sayang ia memiliki mulut mematikan tak ubahnya sianida. Jika Yusuf menjijikan dengan tingkah lakunya maka ia menjijikan dengan mulut tak bersaringnya itu. Tak heran mereka menjadi sahabat. Sama-sama suka menyakiti hati orang lain.
"Seperti yang aku bilang, aku tidak mengenal pria yang kamu sebut namanya tadi. Jadi mana mungkin aku akan merangkak di kakinya? Sangat lucu mendengarkanmu mengatakan hal ini, tapi terimakasih, pagiku yang tadinya tegang kembali sedikit menyenangkan karena leluconmu itu. Hmm...." Aku memberi jeda, menarik-narik kecil payet pada pergelangan gamisku. "Dan kurasa kita tak cukup dekat untuk saling mengingatkan. Assalamualaikum," ucapku berlalu dengan menahan ngilu yang menguasai nadi.
"Kau egois, Ling! Lukamu sudah ia bayar lunas! Kau harus mencari tahu apa yang sudah ia lalui menunggumu kembali!" teriaknya yang kuabaikan.
Mana sudi aku mencari tahu. Katanya lukaku sudah Yusuf bayar lunas. Mengherankan sekali, bagaimana bisa terbayar lunas? Jika pelunasan yang paling sesuai hanyalah kematiannya.
Cahaya kemerahan benar-benar telah meninggalkan desa, membawa serta kabut yang menyelimuti, meninggalkan bulir-bulir bening di atas helai demi helai daun padi. Telunjuk-ku menyentuhnya, dingin. Sama sepertiku bening di telunjukku ini, hanyalah sisa keindahan yang di tinggalkan. Entah sudah berapa lama aku duduk berhamparkan rumput gajah di atas pematang sawah di sisi jalan setapak yang aku lalui. Panas yang semakin menyengat tak kuhiraukan. Ini tak lebih panas dibandingkan kalimat Fajar. Kilasan masa lalu sedang menguasai pikiranku. Aku dibuang, aku ditinggalkan, aku yang diduakan, aku dan keluargaku yang dilempari kotoran pada mukanya, lalu bagaimana bisa Fajar mengatakan aku yang jahat? Sialnya air mataku tak mau bekerja sama. Aliran bening merembes dari sana, berpacu sama lajunya dengan cairan bening yang keluar dari hidung. Ini memalukan, tapi sekali ini saja aku ingin menjadi Aling yang berantakan. Desa ini dan kenangan di dalamnya tak mampu membuatk
Katanya, untuk memulai hubungan baru, sebaiknya berhenti terlebih dahulu untuk mempersilahkan jeda mengobati segala sakit.Aku tak pernah mengira jeda yang dibutuhkan hatiku lebih lama dari yang dibutuhkan orang lain. Dua belas tahun dan ia tak benar-benar sembuh. Ingin sekali aku mencibir.Aku tahu, aku jahat. Memanfaatkan cinta tulus mas Sayhan agar terlepas dari jerat lara masalalu. Nyatanya duka itu tak pergi ke mana-mana. Ia masih di sana, mencekik hingga sesak.Tidak, jangan salahkan mas Sayhan. Bukan karena cintanya lemah, tapi aku yang memang tak ingin keluar dari kubang lumpur hidup bernama nestapa yang menarikku dalam kepahitan. Aku nyaman di sana, berenang menunggu saat ia menenggelamkan.Teriak bunyi ketel meraung pekakkan telinga, uap air yang keluar dari ujung corongnya meliuk ciptakan pola abstrak. Lesu aku menghampiri api kebiruan yang menjilati dasar ketel. Diriku perlu mendinginkan perasaan, dan pilihanku jatuh pada kopi panas, mencecap
Aku terbiasa dengan genggaman mas Sayhan ketika dalam masalah, jadi kali ini, ketika semua mata keluargaku meminta penjelasan kepergianku, aku ingin ia ada di sini, menenangkanku dan memberi kekuatan.Mamak sudah terisak sejak satu jam lalu. Air matanya berderai dalam dekapan seorang wanita yang baru aku ketahui istri kak Min setelah ia memperkenalkan diri padaku. Anak-anak juga sudah di ungsikan ke rumah kak Alfi, sebab sebentar lagi mereka akan menyidangku, jadi sebisa mungkin rumah dalam keadaan tenang.Sejujurnya ingin sekali aku berlari menenggelamkan diri dalam pelukan tubuh renta mamak, namun netra-netra berkobar yang sedang menghakimiku seakan menguliti keberanianku, jadi kuputuskan menahannya. Aku memilih menunduk memperhatikan ke dua tanganku, mereka saling bertaut di atas pangkuan, ada getaran kecil di sana, sepertinya aku sedang dipermainkan grogi.Kak Tera menangkap getar itu, netra semematikan babatan samurai di beningnya meredup, beralih sendu men
Itu cuma ancaman!Itu cuma ancaman!Itu cuma ancaman!Itu cuma ancaman!Itu cuma ancaman!Entah sudah berapa kali kalimat itu aku rapalkan untuk mengusir kalut. Walau jam telah menunjukan pukul 03.00 dini hari, aku masih betah di teras sendiri. Kantuk sedang menjauh, membiarkan sentimen bertahan memanasi batin. Aku sangat marah, sampai rasanya kepala ingin pecah.Di bandingkan perlakuan Yusuf padaku tadi, perkataan kak Syahrin jauh lebih membuatku cemas. Andai ia bukan kakakku, andai aku tak melakukan kesalahan dengan pergi terlalu lama, andai dosaku tak begitu banyak padanya, tentu aku telah membantahnya bisa jadi juga memaki.Bagaimana bisa ia menyarankan kami untuk kembali bersama, mengulang pernikahan? Astaga, omong kosong apa yang kak Syahrin pikirkan, sedang ia tahu, di dalam dadaku hanya tersisa kebencian untuk Yusuf.Ini semua salah Yusuf, jika ia bisa menahan nafsu binatangnya itu, tentu kami tidak akan berakhir dengan
Ramai suara di luar kamar mengusik tidur, bayi menangis, tawa anak-anak, langkah kaki berlarian dan teriakan wanita dewasa yang memperingatkan.Menoleh pada weker biru di atas kepala yang menunjukkan pukul 10.00 wita, aku sontak terduduk yang mengakibatkan pusing menghantam tiba-tiba.Kulirik ventikasi jendela, pendar terang dari luar menandakan hari beranjak tinggi meninggalkan dingin pagi yang merindu, beberapa detik aku diam menikmati pijitan lembut di kepala.Setelah dirasa cukup, gontai aku mendekati koper di pojok kamar dan dengan malas membukanya. Memilih sesaat, pilihanku jatuh pada gamis hijau polos berbahan moscrepe, selanjutnya aku menarik satu kapas muka untuk menghapus sisa night cream yang semalam aku pakai.Menarik napas panjang dan menghembuskannya cepat, sejujurnya aku malu keluar dari kamar ini, terbangun di atas jam 05.00 pagi benar-benar memperlihatkan bahwa aku masih seperti dulu, tak menghargai waktu, tapi mau bagaimana lagi
"Kau memberinya harapan, Ling." Itu kalimat yang Yusuf katakan padaku saat Langit anaknya hilang di balik pintu meninggalkan kami berdua dengan pikiran masing-masing.Aku menoleh, tersenyum sekilas lalu kembali membuang muka pada jendela yang membingkai persawahan di luar sana. "Bukankah putramu itu beruntung? See, aku memberi harapan, alih-alih mematahkannya," ucapku acuh. Dasar Yusuf, pria teregois di muka bumi, bukannya berterimakasih malahan mencecarku.Yusuf mendekat, tangannya yang kokoh mencengkeram kuat lenganku, pupilnya membesar sarat kemarahan."Apa?" geramku mendelik menahan sakit. "Bisa lepas? Kau menyakitiku," benci disentuh dia, seperti sedang menghianati Mas Sayhan rasanya."Sumpah mati, Ling. Kamu akan meremukan hati Langit!" Mataku memutar bosan. Lebay, cibirku."Santailah sedikit, Yusuf. Putramu itu tak akan sehancur aku yang bahagianya dicincang olehmu dan ibunya," senyumku mengejek. "Ah, jangan berpikir aku membalas
Lantunan murottal qur'an yang diperdengarkan musala ujung desa menambah waswas diriku. Ini sudah jam setengah enam sore, sementara tanda-tanda kedatangan Mas Sayhan tak kunjung ada. Sedari tadi aku menghubungi ponselnya, jika sehabis rapat tadi dia langsung kemari tentu sejak dua jam lalu batang hidungnya telah nampak, tapi apa ini? Ratusan panggilan teleponku tak dijawab, sms dan chat-ku tak di baca, kemana dan apa yang terjadi pada Mas Sayhan. Aku telah menghubungi Ditha dan Romi tapi jawaban mereka tak memuaskan kalutku. Katanya Mas Sayhan meninggalkan kantor sejak jam dua belas siang, itu info yang mereka dapat dari rekan kerja pria bermata sendu tersebut. Azan magrib berkumandang dan tamatlah riwayatku. Yusuf benar, aku menyeret kami dalam neraka buatanku. "Sudah siap, Ling?" Wanita bergamis peach membuka pintu dan mendekat. Aku menggeleng kaku, ini tidak boleh terjadi, aku tidak ingin! Rasanya ingin meraung saja. "Sini, Mba bantu dandannya." Aku
Ada ratusan ribu bahkan milyaran wanita di muka bumi, aku satu di antaranya dan kebanyakan di antara kami pendamba kisah percintaan dengan ending happy ever after.Lalu, apakah itu berlaku dalam hidup kami? Sebagian mungkin ya, dan separuhnya lagi bisa jadi tidak. Namun, di antara sebagian yang tidak itu, aku ragu seseorang di luar sana memiliki kisah seduka romanku.Keyakinanku mendebat bahwa apa yang terjadi beberapa jam lalu adalah mimpi. Tak tangung-tanggung, jerit kesakitan dari muara sedih sengaja kuteriakkan selantang cemeti dewa berharap membangunkan dari gelap yang menyakiti. Tapi rupanya ini nyata, senyata gema ijab kabul Yusuf membelah malam beberapa jam lalu.Kak Syahrin mengatakan, seseorang mencariku, dan otak bodohku berebut mengatakan itu Mas Sayhan. Kemudian- demi puluhan detik yang mengejar menit, aku tak siap menghadapinya. Jika bisa, kugunting saja waktu agar Yusuf tak perlu menjabat tangan Kak Min sebagai syarat kembali halal terhadapku.
"Berantem?" Kak Alfi menjatuhkan pantatnya pada susunan bambu bulat yang mejadi lantai dari gubuk tempatku melarikan diri setelah cekcok bersama Yusuf."Hm." Dia pura-pura bertanya, padahal tadi jelas dia melihat kami berkelahi."Mau cerita?" Aku menggeleng. Buat apa? Ujung-ujungnya aku juga di paksa mengalah."Kakak?""Apa?" tanyaku menoleh bingung."Yang cerita.""Kalau mau, silahkan. Tapi tidak janji setelah bercerita akan memberikan apresiasi melalui uang banyak. Adikmu pengangguran sekarang. Ceritalah. Tapi gratis," usahaku membangun obrolan sangat payah.Kak Alfi tertawa."Kakak tidak tahu, apa cerita ini sudah ada yang sampaikan padamu, Dek atau belum. Kakak hanya ingin menceritakan menurut versi Kakak." Kak Alfi menoleh tersenyum meminta pemakluman. Aku balas menarik sudut bibir sebagai tanda mempersilahkan."Kebun dan rumah kita dulu tergadai, Dek!" Netraku melebar. Kaget. "Penyakit Mamak butuh uang besar.
Sabar kuhampar tak ujung.Bencinya kutelan bagai bara merapi.Harga diri kutunduk serendah maunya.Harapku di akhir cerita kembali dapati hatinya.Sial...Dia memintaku mati.________________________________Menghilangkannya demiku.Menghilangkannya demiku.Menghilangkannya demiku.Kamu tega?Kamu tega?Kamu tega?Isi chat terakhir dari mas Sayhan menari di benakku. Aku mencibir pertanyaannya 'apa aku tega'? Hah, tentu saja! Aku tidak menginginkan bayi ini. Kalau menyingkirkannya dia mau menerimaku, akan kulakukan.Cinta butuh bukti bukan? Akan kubuktikan!Sepertinya aku benar-benar gila. Nuraniku sungguh habis tergilas kesumat bertahun. Bagaimana mungkin bibirku melengkung ke atas membayangkan hancur Yusuf saat kujatuhkan anaknya dari rahimku. Yusuf akan mati. Pasti dia mati!Deheman seseorang menarik kembali dari liar imajinasi. Sosok dalam pikiran muncul. Alis naik sebelah, heran melihat senyumk
Seminggu sudah aku di Redan. Sehari pertama yang kulakukan hanya mengamuk dan mengamuk. Langit sampai diungsikan ke rumah kak Alfi karena dikhawatirkan psikis-nya terganggu.Bagaimana tidak. Belum dua puluh empat jam aku di kampung ini. Kak Syahrin telah mengumpulkan para tetua adat di rumah mamak. Dihadapan seluruh keluargaku, kak Syahrin meminta Yusuf mengucapkan kata rujuk.Sama halnya ketika belahan jiwa kak Syahrin itu melafalkan kalimat kabul hampir empat bulan lepas. Enam hari lalu, lahir batinku juga terguncang maha dahsyat. Bahkan jauh lebih hebat, karena saat barisan kata yang keluar dari mulut Yusuf sampai di penghujung. Bersamaan dengan itu tubuhku kehilangan separuh fungsinya. Aku pingsan.Begitu sadar, aku langsung melompati yusuf. Kembali mengamuk. Kabar gembiranya, waktu itu aku beruntung bisa meninggalkan luka di wajah suami baruku. Lukisan kuku-ku menghias indah pipinya. Jangam lupakan hidungnya yang terkena tinjuku. Darah merah merembes dari s
"Capek?" Yusuf bertanya dari balik kemudi. "Kita bisa istirahat sebentar kalau mau. Bagaimana?"Seseorang menyentuh pundakku yang menghadap jendela. "Punggungmu sakit?" Istri kak Min bertanya. Aku menggeleng. "Lapar?" Kembali kepala bergerak kekanan dan kekiri. "Istirahat sebentar yah? Kita perlu magriban dan makan malam."Kenapa mereka bertanya padaku? Kenapa seolah-olah mereka mencari apapun yang membuatku nyaman. Aku tidak suka. Seharusnya lakukan saja apa kehendak mereka. Berpura-pura baik padaku tidak akan meruntuhkan secuil saja benciku pada keputusan egois mereka.Lagipula aku masih meratapi nasib karirku. Masih menangisi perjalanan kisah cinta kandasku. Apa mereka tidak bisa memberi sedikit saja ruang agar berpikir? Apa mata mereka buta untuk melihat keping-keping jantungku berserakan bersama bulir darah meranaku. Kenapa mereka menjadi sangat kejam. Kenapa?Minggu ba'da Azhar kami meninggalkan Samarinda. Dadaku menyempit menyaksikan kontrakan yang k
Aku sedang termangu menatap Yusuf dan kak Min memasukkan pakaian-pakaianku dalam tas juga koper.Sedari tadi mereka hilir-mudik menggeledah isi kontrakan ini demi mencari apa lagi kebutuhan yang akan aku bawa dan sekiranya bakal aku perlukan saat di Redan nanti.Hari ini terhitung satu minggu aku keluar rumah sakit, dan selama itu pula, tak sekalipun aku bertemu mas Sayhan.Sudah berkali bahkan tidak terhitung berapa jumlahnya jemari menekan tombol memanggil pada ponsel. Nihil, mas Sayhan tak bisa kuhubungi. Nomornya selalu di luar jangkauan,SMSdanchatku tak terkirim.Setiap hari aku menanyakan keberadaannya pada Niko, meneror mantan bawahanku itu melalui handphone layaknya rentenir menagih utang. Namun, semua orang bungkam, tidak hanya Niko, Ditha yang kuanggap keluargapun mengunci bibir rapat.Aku gelisah, setiap waktu terlewati dengan was-was. Otakku buntu untuk berpikir, belum lagi mual bawaan anak Yusuf di perut semakin membu
Kemarin, beberapa ribu jam yang laluKetika hujan masih asin dan air mata masih darahMenjelang dini hari di tepian mahakamMohonnya, tinggalkan lebam biru masalaluPilih dia, kemudian pelangi tanpa suram janji ia persembahkan.Lalu sekarang.... Siapa yang meninggalkan siapa?__________________________Jam menunjukkan pukul 20.00 Wita. Di luar hujan lebat, rintiknya keras memukul atap, berdentam sampai ke telinga. Tempias air mesrah mencumbu jendela, titik-titik beningnya ciptakan aliran panjang sebelum luruh menyentuh ubin.Suara TV dengan volume rendah mengisi ruang perawatan. Bau obat-obatan masih kental terhidu. Gorden-gorden coklat yang memanjat tepi jendela melambai lemah terkena angin Air Conditioner. Sesekali terdengar bunyi brankar di dorong melintasi ruangan.Aku sedang memperhatikan sosok di samping. Wajah rupawan pembuat taman hatiku selalu bermekaran jika memandang, kini diselimuti muram durja. Kemeja hitam polos tadi pagi masih meleka
Deras hujan setelah petirMeluruh bening tak mau hentiHari berlalu, tahun bergulirNanah dan darah mengenang bagai belatiPada hati yang berpura bangkitKetentuan takdir kembali mengujiTuhan percayakan sesuatu yang sulitSeperti menatap kiamat unjuk taji_____________________________Ada macam-macam rasa pada manusia. Sedih, marah, kecewa, senang, bahagia, haru dan masih banyak lainnya. Anehnya dari semua rasa itu, aku tidak tahu yang bergejolak dalam dada saat ini masuk dalam kategori mana.Aku seharusnya senang Yusuf melepasku. Bukankah harapan sejak dia menyakitiku memang memutus tali diantara kami.Tapi, apa ini?Ketimbang bahagia hati justru berdenyut ngilu mendapati fakta bahwa ia tak halal bagiku lagi.Bukan. Bukan karena aku masih mencintai dia. Debar untuknya telah lama padam dan aku tidak berbohong.Yang mengganggu hatiku tak lain, perasaan marah. Marah karena dia kembali mencampakkanku setelah mengamb
Senja boleh pergiGerimis bisa menjauhOmbak silahkan surutBiarkan saja ...Nanti pasti mereka kembali.Sepertimu...PergiMenjauhTanpa kabarHilangLalu pulang...Kukira padakuNyatanya bukanKu ingin egoisMerengguhmu kembaliMenjadi milikkuTapi kamu, seolah memilih mati._______________________________Assalamualaikum, wanita yang dirindukan, Langit.Hai ... bagaimana kabarmu? Aku dan yang lainnya baik. Semoga kesehatan dan kasih sayang juga selalu Allah limpahkan padamu.Aku tidak tahu apakah email ini sudi kamu buka atau justru langsung menghapusnya. Besar harapan surat elektronik yang aku tulis tepat saat terhitung dua bulan selepas kepergianmu berkenan di baca. Maaf, karena lancang meminta alamat surel-mu pada Sayhan kekasihmu.Sebanarnya menulis ini membuatku seperti orang bodoh. Dibanding merangkai aksara seharusnya berbicara jauh lebih mudah. Tapi kamu tidak member
Mereka bilang percuma berlari,Ujung dunia kelam menanti.Bersihkan saja noda bathin,Maka sejengkal lega menyebar.Namun....Pongah lantang kupujiMenolak tunduk pada kebenaran.Sebab aku adalah busuk kebencian.Khianat di balas khianat,Iblisku nyalakan kembang api._____________________________"Turunlah, minimal seseorang di dalam sana memberi obat. Wajahmu sepucat kapas." Aku membuka mata saat mas Sayhan menyentuh bahu."Aku hanya butuh kita segera sampai di rumah, Mas. Selain itu, aku tak peduli.""Jangan membantah.""Aku tidak membantah, Mas. Kita sampai dan aku akan kembali sehat. Percayalah." Lagipula tidak ada obat untuk hampaku saat ini, dokter manapun belum menemukannya.Aku akan mengatupkan kedua kelopak lagi, ketika satu cengkraman pelan di lengan mengurungkan niat. "Sekali ini saja, turuti aku.Beberapa detik aku menatap wajah di depanku. Tak ada senyum, hanya raut datar. "Mas marah?"