Cahaya kemerahan benar-benar telah meninggalkan desa, membawa serta kabut yang menyelimuti, meninggalkan bulir-bulir bening di atas helai demi helai daun padi. Telunjuk-ku menyentuhnya, dingin. Sama sepertiku bening di telunjukku ini, hanyalah sisa keindahan yang di tinggalkan.
Entah sudah berapa lama aku duduk berhamparkan rumput gajah di atas pematang sawah di sisi jalan setapak yang aku lalui. Panas yang semakin menyengat tak kuhiraukan. Ini tak lebih panas dibandingkan kalimat Fajar. Kilasan masa lalu sedang menguasai pikiranku. Aku dibuang, aku ditinggalkan, aku yang diduakan, aku dan keluargaku yang dilempari kotoran pada mukanya, lalu bagaimana bisa Fajar mengatakan aku yang jahat?
Sialnya air mataku tak mau bekerja sama. Aliran bening merembes dari sana, berpacu sama lajunya dengan cairan bening yang keluar dari hidung. Ini memalukan, tapi sekali ini saja aku ingin menjadi Aling yang berantakan. Desa ini dan kenangan di dalamnya tak mampu membuatku tetap menjadi Aling si wanita kota yang tahan banting dan tegar. Aku beruntung, pohon pisang di belakangku melindungi dari kemungkinan tatapan aneh warga yang kebetulan memergokiku menangis.
Setengah jam setelah menangis, saku gamisku bergetar, pada layar handphone terpampang nama mas Sayhan. "Assalamualaikum rekan kerja, calon ibu anak-anaknya Mas Sayhan." Aku terbahak mendengar suara mas Sayhan. Sedihku seketika hilang, walau serak akibat menangis tidak sepenuhnya dapat ku-enyahkanan.
"Udah di kantor, Mas?" tanyaku menarik-narik kecil daun rumput gajah di sampingku.
Suara dengusan kesal yang dibuat-buat terdengar di seberang sana. "Jawab salamnya, Ling," protesnya. "Padahal selain hukumnya wajib, salam juga salah satu tanda cinta, Ling."
Aku tersenyum. "Masa? Siapa yang bilang? Pak ustad Sayhan Subroto?" Aku terkekeh geli.
"Ada dalilnya, Ling. Khutbah jumat kemarin materinya itu. Tidak akan masuk surga umat muslim, sebelum ia beriman. Dan tidak di katakan beriman sebelum saling mencintai. Tau nggak, Ling cinta yang di maksud oleh hadist teraebut seperti apa?" Aku yakin di sana ia sedang memasang mimik serius.
Aku mengeleng seakan ia bisa melihatku. "Adalah saling menebar salam antar sesama muslim, Ling. Ada doa yang terkandung di dalamnya" lanjutnya.
Aku terkekeh, "iya, iya. Maafin, yah," sesalku.
"Jadi?" tanyanya.
"Apa?" Keningku berkerut bingung.
"Jawab salamnya, dong." Ia memaksa.
"Waalaikumsalam, Mas." Aku mengalah.
"Gitu aja?" tanyanya.
Kembali terkekeh, aku paham maunya. "Waalaikumsalam, Mas Sayhan yang baik hati." Kemudian terdengar tawa bahagia di sana. Aku tau mas Sayhan sedang berusaha mengalihkan kegugupanku sebelum bertemu mamak dan kakak-kakakku.
"Toko aman, Mas?" tanyaku.
"Aman, Ling," jawabnya.
"Yang kemarin kayak apa, Mas?" tanyanku lagi.
"Aman. Tenang aja. Insyaallah calon imam-mu ini selalu dalam perlindungan dan pertolongan Allah. Masalah kemarin sudah hampir selesai, jangan khawatir secepatnya Mas mu ini akan menyusul kesana." Ia menenangkanku.
"Mas...."
"Kenapa, Ling?"
"Walaupun tidak mendapatkan restu dari keluargaku, bisakah Mas tetap menikahiku?" Entah pikiran apa yang merasukiku.
"Ada apa, Ling? Apa ada yang menggangu pikirianmu, kenapa tiba-tiba begini?" Nada suara mas Sayhan khawatir. "Dan suaramu itu, kenapa menjadi serak, kau menangis? Ada apa, Ling?"
Setelah bertanya panggilan telepon berubah menjadi panggilan video. Aku ragu menggeser tombol hijau itu tapi aku juga tidak mungkin menekan tombol merah. Mas Sayhan akan semakin cemas di sana.
Raut wajah gelisah menyambutku. "Kau takut, keluargamu tak menyukaiku?"
Aku mengeleng.
"Lalu? Sebentar...kau menangis? Hm, maksudku habis menangis? Matamu bengkak, Ling. Kamu sedang tidak menyembunyikan sesuatu darikukan?" suaranya naik satu oktaf. Salah satu rekan kerjanya yang tertangkap layar bertanya dengan menaikan kedua alis, yang dijawab mas Sayhan dengan gelengan kepala.
Aku tidak mungkin mengatakan bahwa aku bertemu mantan suamiku dan semalam tidur dalam atap yang sama. Jika mengetahui itu aku yakin empat jam dari sekarang dia akan berdiri di depanku, mengenggam tanganku erat lalu menyeret diriku ke penghulu. Mas Sayhan sangat posesif terhadapku.
"Tidak, Mas." Hanya teringat Bapak, bohongku. "Kau yakin, Ling?" ragunya. Anak-anak rambutnya berjatuhan di jidat.
"Yakin, Mas. Jadi kapan Mas Sayhan ke sini?" Aku mengalihkan pembicaraan.
Ia menyugar rambutnya kebelakang, Ah tampannya. "Secepatnya, kamu kangen?"
"Sepertinya," jawabku singkat.
"Mau aku kirimkan foto selfie-ku?" Alisnya naik turun menggodaku.
"Tidak, terimakasih." Aku mencebik, tawanya pecah di ujung sana. Aku suka melihat mas Sayhan tertawa. Matanya akan menyipit bahkan terkadang hilang. Mungkin karena dia keturunan suku Dayak Kenya sehingga memiliki kulit putih bersih dan mata yang sipit hampir mirip dengan orang cina.
"Khhmm."
Deheman seseorang refleks membuatku menoleh. Genggaman pada telepon seluler mengetat melihat Yusuf berdiri enam meter di belakangku, tepat di sisi jalan setapak yang tidak terlindung rimbun pohon pisang.
Mas Sayhan bertanya siapa suara pria barusan. Aku mengatakan padanya bukan siapa-siapa dan dia tidak perlu khawatir. Setelah itu aku memintanya menyudahi telepon dan dia menurut.
"Sudah jam sebelas, dan belum ada sedikitpun yang masuk dalam perutmu." Ia membuka suara. Bajunya sudah berganti, kaus oblong putih dipadukan celana jins hitam selutut. Rambut ia sisir rapi kebelakang. Sejujurnya penampilannya oke, jika sorot lelah matanya tidak tampak.
Aku memilih acuh membuang pandangan pada hamparan padi yang sebagian telah menguning. Hening, hanya ada desau angin dan suara gemerincing kalung kerbau yang terdengar.
"Aku akan ke kota membeli bahan makanan yang habis. Mau menitip sesuatu?" senyumnya sumringah seakan tadi pagi aku tak menebas habis harga dirinya.
"Aku lebih baik mati kelaparan," gumanku lirih sangat lirih tapi aku yakin dia mendengarnya karena raut kaget di wajahnya sempat tertangkap ekor mataku.
"Benci yang berlebihan bisa berubah menjadi cinta yang memabukkan. Pernah mendengar itu?" senyumnya lagi.
"Jangan terlalu banyak melihat sinetron, Bapak Yusuf. Kau tidak pantas, umurmu sudah terlalu tua untuk melakukan hal itu." Senyumku sinis meremehkan dia.
Ia menyeret tungkainya mendekat. "Boleh aku memelukmu, Aling?" tanyanya penuh harap.
Aku menoleh padanya tak percaya. Apa otaknya tergeser? Kepercaya dirian dari mana yang menghampirinya, beraninya ia meminta hal itu padaku. "Bangun dari tidurmu!" desisku di depan wajahnya, menghentakkan kaki lalu menjauh.
Aku tidak tahu bagaimana ekspresinya, aku hanya mendengar ia tertawa. Sial
Katanya, untuk memulai hubungan baru, sebaiknya berhenti terlebih dahulu untuk mempersilahkan jeda mengobati segala sakit.Aku tak pernah mengira jeda yang dibutuhkan hatiku lebih lama dari yang dibutuhkan orang lain. Dua belas tahun dan ia tak benar-benar sembuh. Ingin sekali aku mencibir.Aku tahu, aku jahat. Memanfaatkan cinta tulus mas Sayhan agar terlepas dari jerat lara masalalu. Nyatanya duka itu tak pergi ke mana-mana. Ia masih di sana, mencekik hingga sesak.Tidak, jangan salahkan mas Sayhan. Bukan karena cintanya lemah, tapi aku yang memang tak ingin keluar dari kubang lumpur hidup bernama nestapa yang menarikku dalam kepahitan. Aku nyaman di sana, berenang menunggu saat ia menenggelamkan.Teriak bunyi ketel meraung pekakkan telinga, uap air yang keluar dari ujung corongnya meliuk ciptakan pola abstrak. Lesu aku menghampiri api kebiruan yang menjilati dasar ketel. Diriku perlu mendinginkan perasaan, dan pilihanku jatuh pada kopi panas, mencecap
Aku terbiasa dengan genggaman mas Sayhan ketika dalam masalah, jadi kali ini, ketika semua mata keluargaku meminta penjelasan kepergianku, aku ingin ia ada di sini, menenangkanku dan memberi kekuatan.Mamak sudah terisak sejak satu jam lalu. Air matanya berderai dalam dekapan seorang wanita yang baru aku ketahui istri kak Min setelah ia memperkenalkan diri padaku. Anak-anak juga sudah di ungsikan ke rumah kak Alfi, sebab sebentar lagi mereka akan menyidangku, jadi sebisa mungkin rumah dalam keadaan tenang.Sejujurnya ingin sekali aku berlari menenggelamkan diri dalam pelukan tubuh renta mamak, namun netra-netra berkobar yang sedang menghakimiku seakan menguliti keberanianku, jadi kuputuskan menahannya. Aku memilih menunduk memperhatikan ke dua tanganku, mereka saling bertaut di atas pangkuan, ada getaran kecil di sana, sepertinya aku sedang dipermainkan grogi.Kak Tera menangkap getar itu, netra semematikan babatan samurai di beningnya meredup, beralih sendu men
Itu cuma ancaman!Itu cuma ancaman!Itu cuma ancaman!Itu cuma ancaman!Itu cuma ancaman!Entah sudah berapa kali kalimat itu aku rapalkan untuk mengusir kalut. Walau jam telah menunjukan pukul 03.00 dini hari, aku masih betah di teras sendiri. Kantuk sedang menjauh, membiarkan sentimen bertahan memanasi batin. Aku sangat marah, sampai rasanya kepala ingin pecah.Di bandingkan perlakuan Yusuf padaku tadi, perkataan kak Syahrin jauh lebih membuatku cemas. Andai ia bukan kakakku, andai aku tak melakukan kesalahan dengan pergi terlalu lama, andai dosaku tak begitu banyak padanya, tentu aku telah membantahnya bisa jadi juga memaki.Bagaimana bisa ia menyarankan kami untuk kembali bersama, mengulang pernikahan? Astaga, omong kosong apa yang kak Syahrin pikirkan, sedang ia tahu, di dalam dadaku hanya tersisa kebencian untuk Yusuf.Ini semua salah Yusuf, jika ia bisa menahan nafsu binatangnya itu, tentu kami tidak akan berakhir dengan
Ramai suara di luar kamar mengusik tidur, bayi menangis, tawa anak-anak, langkah kaki berlarian dan teriakan wanita dewasa yang memperingatkan.Menoleh pada weker biru di atas kepala yang menunjukkan pukul 10.00 wita, aku sontak terduduk yang mengakibatkan pusing menghantam tiba-tiba.Kulirik ventikasi jendela, pendar terang dari luar menandakan hari beranjak tinggi meninggalkan dingin pagi yang merindu, beberapa detik aku diam menikmati pijitan lembut di kepala.Setelah dirasa cukup, gontai aku mendekati koper di pojok kamar dan dengan malas membukanya. Memilih sesaat, pilihanku jatuh pada gamis hijau polos berbahan moscrepe, selanjutnya aku menarik satu kapas muka untuk menghapus sisa night cream yang semalam aku pakai.Menarik napas panjang dan menghembuskannya cepat, sejujurnya aku malu keluar dari kamar ini, terbangun di atas jam 05.00 pagi benar-benar memperlihatkan bahwa aku masih seperti dulu, tak menghargai waktu, tapi mau bagaimana lagi
"Kau memberinya harapan, Ling." Itu kalimat yang Yusuf katakan padaku saat Langit anaknya hilang di balik pintu meninggalkan kami berdua dengan pikiran masing-masing.Aku menoleh, tersenyum sekilas lalu kembali membuang muka pada jendela yang membingkai persawahan di luar sana. "Bukankah putramu itu beruntung? See, aku memberi harapan, alih-alih mematahkannya," ucapku acuh. Dasar Yusuf, pria teregois di muka bumi, bukannya berterimakasih malahan mencecarku.Yusuf mendekat, tangannya yang kokoh mencengkeram kuat lenganku, pupilnya membesar sarat kemarahan."Apa?" geramku mendelik menahan sakit. "Bisa lepas? Kau menyakitiku," benci disentuh dia, seperti sedang menghianati Mas Sayhan rasanya."Sumpah mati, Ling. Kamu akan meremukan hati Langit!" Mataku memutar bosan. Lebay, cibirku."Santailah sedikit, Yusuf. Putramu itu tak akan sehancur aku yang bahagianya dicincang olehmu dan ibunya," senyumku mengejek. "Ah, jangan berpikir aku membalas
Lantunan murottal qur'an yang diperdengarkan musala ujung desa menambah waswas diriku. Ini sudah jam setengah enam sore, sementara tanda-tanda kedatangan Mas Sayhan tak kunjung ada. Sedari tadi aku menghubungi ponselnya, jika sehabis rapat tadi dia langsung kemari tentu sejak dua jam lalu batang hidungnya telah nampak, tapi apa ini? Ratusan panggilan teleponku tak dijawab, sms dan chat-ku tak di baca, kemana dan apa yang terjadi pada Mas Sayhan. Aku telah menghubungi Ditha dan Romi tapi jawaban mereka tak memuaskan kalutku. Katanya Mas Sayhan meninggalkan kantor sejak jam dua belas siang, itu info yang mereka dapat dari rekan kerja pria bermata sendu tersebut. Azan magrib berkumandang dan tamatlah riwayatku. Yusuf benar, aku menyeret kami dalam neraka buatanku. "Sudah siap, Ling?" Wanita bergamis peach membuka pintu dan mendekat. Aku menggeleng kaku, ini tidak boleh terjadi, aku tidak ingin! Rasanya ingin meraung saja. "Sini, Mba bantu dandannya." Aku
Ada ratusan ribu bahkan milyaran wanita di muka bumi, aku satu di antaranya dan kebanyakan di antara kami pendamba kisah percintaan dengan ending happy ever after.Lalu, apakah itu berlaku dalam hidup kami? Sebagian mungkin ya, dan separuhnya lagi bisa jadi tidak. Namun, di antara sebagian yang tidak itu, aku ragu seseorang di luar sana memiliki kisah seduka romanku.Keyakinanku mendebat bahwa apa yang terjadi beberapa jam lalu adalah mimpi. Tak tangung-tanggung, jerit kesakitan dari muara sedih sengaja kuteriakkan selantang cemeti dewa berharap membangunkan dari gelap yang menyakiti. Tapi rupanya ini nyata, senyata gema ijab kabul Yusuf membelah malam beberapa jam lalu.Kak Syahrin mengatakan, seseorang mencariku, dan otak bodohku berebut mengatakan itu Mas Sayhan. Kemudian- demi puluhan detik yang mengejar menit, aku tak siap menghadapinya. Jika bisa, kugunting saja waktu agar Yusuf tak perlu menjabat tangan Kak Min sebagai syarat kembali halal terhadapku.
Dua belas tahun yang lalu ...."Ling, jika kamu punya seekor kucing yang teramat disayangi. Kemudian seseorang datang dan meminta untuk memilikinya bersama. Apakah kamu mau berbagi?" Yusuf bertanya padaku. Napasnya masih memburu sisa perjalanan pria itu menjenguk calon bayi kami."Selama ia tidak meminta Abang, maka akan kuberikan," Bintik-bintik keringat di permukaan dadanya kusingkirkan dengan usapan. Dia terlihat jantan kalau begini."Abang serius, Ling!" Tangannya menahan tanganku.Aku bangkit, menarik pelan selimut cokelat bermotif panda sedang memakan daun bambu yang membungkus kami agar lebih menutupi dada polosku.Kantuk hilang, memilih menyandarkan tubuh di bahu ranjang. Kuangkat kepalanya ke atas pangkuan, kemudian jari lincah bermain di sela rambut memberikan pijatan ringan."Pertanyaan macam apa ini, Bang? Aling tidak suka!" tegasku tak ingin dibantah. Yusuf yang seperti ini terkesan sedang mencoba berne