Beranda / Romansa / ANYELIR KUNING / BOLEH AKU MEMELUKMU (2)

Share

BOLEH AKU MEMELUKMU (2)

Cahaya kemerahan benar-benar telah meninggalkan desa, membawa serta kabut yang menyelimuti, meninggalkan bulir-bulir bening di atas helai demi helai daun padi. Telunjuk-ku menyentuhnya, dingin. Sama sepertiku bening di telunjukku ini, hanyalah sisa keindahan yang di tinggalkan.  

Entah sudah berapa lama aku duduk berhamparkan rumput gajah di atas pematang sawah di sisi jalan setapak yang aku lalui. Panas yang semakin menyengat tak kuhiraukan. Ini tak lebih panas dibandingkan kalimat Fajar. Kilasan masa lalu sedang menguasai pikiranku. Aku dibuang, aku ditinggalkan, aku yang diduakan, aku dan keluargaku yang dilempari kotoran pada mukanya, lalu bagaimana bisa Fajar mengatakan aku yang jahat?  

Sialnya air mataku tak mau bekerja sama. Aliran bening merembes dari sana, berpacu sama lajunya dengan cairan bening yang keluar dari hidung. Ini memalukan, tapi sekali ini saja aku ingin menjadi Aling yang berantakan. Desa ini dan kenangan di dalamnya tak mampu membuatku tetap menjadi Aling si wanita kota yang tahan banting dan tegar. Aku beruntung, pohon pisang di belakangku melindungi dari kemungkinan tatapan aneh warga yang kebetulan memergokiku menangis.

Setengah jam setelah menangis, saku gamisku bergetar, pada layar handphone terpampang nama mas Sayhan. "Assalamualaikum rekan kerja, calon ibu anak-anaknya Mas Sayhan." Aku terbahak mendengar suara mas Sayhan. Sedihku seketika hilang, walau serak akibat menangis tidak sepenuhnya dapat ku-enyahkanan.

"Udah di kantor, Mas?" tanyaku menarik-narik kecil daun rumput gajah di sampingku.

Suara dengusan kesal yang dibuat-buat terdengar di seberang sana. "Jawab salamnya, Ling," protesnya. "Padahal selain hukumnya wajib, salam juga salah satu tanda cinta, Ling."

Aku tersenyum. "Masa? Siapa yang bilang? Pak ustad Sayhan Subroto?" Aku terkekeh geli.

"Ada dalilnya, Ling. Khutbah jumat kemarin materinya itu. Tidak akan masuk surga umat muslim, sebelum ia beriman. Dan tidak di katakan beriman sebelum saling mencintai. Tau nggak, Ling cinta yang di maksud oleh hadist teraebut seperti apa?" Aku yakin di sana ia sedang memasang mimik serius.

Aku mengeleng seakan ia bisa melihatku. "Adalah saling menebar salam antar sesama muslim, Ling. Ada doa yang terkandung di dalamnya" lanjutnya.  

Aku terkekeh, "iya, iya. Maafin, yah," sesalku.

"Jadi?" tanyanya.

"Apa?" Keningku berkerut bingung.

"Jawab salamnya, dong." Ia memaksa.

"Waalaikumsalam, Mas." Aku mengalah.

"Gitu aja?" tanyanya.

Kembali terkekeh, aku paham maunya. "Waalaikumsalam, Mas Sayhan yang baik hati." Kemudian terdengar tawa bahagia di sana. Aku tau mas Sayhan sedang berusaha mengalihkan kegugupanku sebelum bertemu mamak dan kakak-kakakku.  

"Toko aman, Mas?" tanyaku.

"Aman, Ling," jawabnya.

"Yang kemarin kayak apa, Mas?" tanyanku lagi.

"Aman. Tenang aja. Insyaallah calon imam-mu ini selalu dalam perlindungan dan pertolongan Allah. Masalah kemarin sudah hampir selesai, jangan khawatir secepatnya Mas mu ini akan menyusul kesana." Ia menenangkanku.

"Mas...."

"Kenapa, Ling?"

"Walaupun tidak mendapatkan restu dari keluargaku, bisakah Mas tetap menikahiku?" Entah pikiran apa yang merasukiku.

"Ada apa, Ling? Apa ada yang menggangu pikirianmu, kenapa tiba-tiba begini?" Nada suara mas Sayhan khawatir. "Dan suaramu itu, kenapa menjadi serak, kau menangis? Ada apa, Ling?"

Setelah bertanya panggilan telepon berubah menjadi panggilan video. Aku ragu menggeser tombol hijau itu tapi aku juga tidak mungkin menekan tombol merah. Mas Sayhan akan semakin cemas di sana.

Raut wajah gelisah menyambutku. "Kau takut, keluargamu tak menyukaiku?"

Aku mengeleng.

"Lalu? Sebentar...kau menangis? Hm, maksudku habis menangis? Matamu bengkak, Ling. Kamu sedang tidak menyembunyikan sesuatu darikukan?" suaranya naik satu oktaf. Salah satu rekan kerjanya yang tertangkap layar bertanya dengan menaikan kedua alis, yang dijawab mas Sayhan dengan gelengan kepala.

Aku tidak mungkin mengatakan bahwa aku bertemu mantan suamiku dan semalam tidur dalam atap yang sama. Jika mengetahui itu aku yakin empat jam dari sekarang dia akan berdiri di depanku, mengenggam tanganku erat lalu menyeret diriku ke penghulu. Mas Sayhan sangat posesif terhadapku.

"Tidak, Mas." Hanya teringat Bapak, bohongku.  "Kau yakin, Ling?" ragunya. Anak-anak rambutnya berjatuhan di jidat.

 "Yakin, Mas. Jadi kapan Mas Sayhan ke sini?" Aku mengalihkan pembicaraan.

 Ia menyugar rambutnya kebelakang, Ah tampannya. "Secepatnya, kamu kangen?"

 "Sepertinya," jawabku singkat.

 "Mau aku kirimkan foto selfie-ku?" Alisnya naik turun menggodaku.

 "Tidak, terimakasih." Aku mencebik, tawanya pecah di ujung sana. Aku suka melihat mas Sayhan tertawa. Matanya akan menyipit bahkan terkadang hilang. Mungkin karena dia keturunan suku Dayak Kenya sehingga memiliki kulit putih bersih dan mata yang sipit hampir mirip dengan orang cina.

 "Khhmm."

 Deheman seseorang refleks membuatku menoleh. Genggaman pada telepon seluler mengetat melihat Yusuf berdiri enam meter di belakangku, tepat di sisi jalan setapak yang tidak terlindung rimbun pohon pisang.

 Mas Sayhan bertanya siapa suara pria barusan. Aku mengatakan padanya bukan siapa-siapa dan dia tidak perlu khawatir. Setelah itu aku memintanya menyudahi telepon dan dia menurut.

 "Sudah jam sebelas, dan belum ada sedikitpun yang masuk dalam perutmu." Ia membuka suara. Bajunya sudah berganti, kaus oblong putih dipadukan celana jins hitam selutut. Rambut ia sisir rapi kebelakang. Sejujurnya penampilannya oke, jika sorot lelah matanya tidak tampak.

 Aku memilih acuh membuang pandangan pada hamparan padi yang sebagian telah menguning. Hening, hanya ada desau angin dan suara gemerincing kalung kerbau yang terdengar.

 "Aku akan ke kota membeli bahan makanan yang habis. Mau menitip sesuatu?" senyumnya sumringah seakan tadi pagi aku tak menebas habis harga dirinya.

 "Aku lebih baik mati kelaparan," gumanku lirih sangat lirih tapi aku yakin dia mendengarnya karena raut kaget di wajahnya sempat tertangkap ekor mataku.

 "Benci yang berlebihan bisa berubah menjadi cinta yang memabukkan. Pernah mendengar itu?" senyumnya lagi.

 "Jangan terlalu banyak melihat sinetron, Bapak Yusuf. Kau tidak pantas, umurmu sudah terlalu tua untuk melakukan hal itu." Senyumku sinis meremehkan dia.

 Ia menyeret tungkainya mendekat. "Boleh aku memelukmu, Aling?" tanyanya penuh harap.

 Aku menoleh padanya tak percaya. Apa otaknya tergeser? Kepercaya dirian dari mana yang menghampirinya, beraninya ia meminta hal itu padaku. "Bangun dari tidurmu!" desisku di depan wajahnya, menghentakkan kaki lalu menjauh.

 Aku tidak tahu bagaimana ekspresinya, aku hanya mendengar ia tertawa. Sial

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status