Ditengah gurun pasir yang tandus, tidak ada kabilah dagang yang lewat. Takhtat tidak tahu dia berada dimana, sejauh mata memandang hanya ada gurun dan hamparan pasir. Takhtat berjalan tak tahu arah tujuan, dia menuruti kata hatinya. Takhtat tiba di sebuah pohon rindang di hamapran pasir, cukup untuk berteduh ditengah panasnya terik matahari. Perutnya semakin buncit, usia kandungan terus bertambah sebagaimana perjalanan waktu.
Sebentar lagi dia akan melahirkan anaknya, dia memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon rindang dan mendirikan pondok sederhana. Takhtat dengan sisa kekuatannya memotong dahan pohon dengan foundingmagiciannya, “tasyahuniam!” petir biru menyambar dahan pohon yang cukup besar, dahan pohon itu jatuh berdebum, mengepulkan butiran pasir di sekitarnya, dia mendirikan tiang pondok sederhana, lantas dirobeknya kain sutera yang lebih dari cukup menutup tubuhnya-sebelumnya kain itu adalah gaun permaisuri kerajaan Mesir yang menjadi idaman setiap Wanita, sekarang dirobek begitu saja, menjadikan kain itu untuk atap pondok sederhana.
Taktat terjatuh untuk pertama kali, dia kehabisan tenaga setelah menggunakan foundingmagician, tubuhnya ringkih karena kekurangan air dan makanan-Taktat sudah lupa bagaimana rasa haus dan lapar, tubuhnya yang ringkih sedang mengandung dengan cepat menyesuaikan diri, tapi dengan sisa kekuatan yang ada dia sempat menggunakan healmagician, Teknik penyembuhan yang sangat efektif, sihir itu mampu membuatnya tetap hidup.
Di suatu malam yang dingin, saat usia kandungannya sudah direntang delapan bulan, dia mencoba mengingat berapa usia kandungannya di tengah pengasingan. Kepalanya pusing, perutnya sakit seketika, setelah menggunakan foundingmagician untuk memulihkan energinya yang terkuras habis. Dia mengingatnya, usia kandungannya delapan bulan dua minggu, lebih banyak dari waktu pengasingan yang tengah dijalaninya.
Serigala gurun mengaum di tengah purnama yang sempurna, setiap malam begitu. Tapi auman serigala malam ini yang paling mencekam, seperti serigala raksasa yang sedang mengaum ditengah purnama yang indah. Tubuh Takhtat sudah terbaring lemah, pandangan matanya sudah buram padahal langit sedang cerah-cerahnya,
Ribuan bintang gemerlapan bertabur dilangit, dan disana tergantung bulan puranama yang indah. Malam yang sangat istimewa. Udara dingin berhembus, menusuk setiap jengkal relung tubuh dan auman serigala itu semakin menjadi-jadi. Peristiwa alamiah yang dialami wanita terjadi.
Bayi Takhtat lahir dalam keadaan sehat, bulir air mata Takhtat jatuh membasahi pipinya, bayi laki-laki yang tegar. Takhtat berusaha bangkit, tubuhnya sakit sekali setiap jaringan tubuhnya terasa seperti hancur berkeping-keping. Dirobeknya kain sutera yang sudah terpasang sebagai atap pondok sederhana. Dia membersihkan tubuh bayi itu, dan membungkusnya dengan kain sutera seadanya, berharap udara malam yang dingin tidak menyentuh bayinya.
Takhtat berpikir sejenak, nama apa yang cocok dengan putranya. Dia mengingat auman serigala yang mencekam semalaman-sekarang aumannya sudah terdengar sedikit bersahabat.
“Auman serigala,” dia berpikir lagi sejenak.
“Fenhrir, sepertinya cocok untuk sayangku yang mungil ini. Dan Abraham, Fenhrir Abraham nama itu sangat cocok untukmu nak.”
sekarang Takhtat sudah tidak kesepian lagi. Fenhrir akan menemaninya sepanjang hari. Takhtat memengang jari-jarinya yang mungil dan mengelusnya perlahan, dengan cepat dia harus bisa bersikap keibuan.
***
Malam yang tenang, angin gurun bertiup lebih kencang dari malam biasanya, udara terasa dingin bagi ibu dan anak itu. Takhtat bersenandung di bawah rimbunnya pohon bersama Fenhrir kecil yang meringkuk di pangkuan ibunya. Senandungnya merdu lembut mengantarkan anaknya menuju alam mimpi, Fenhrir kecil sekarang berusia 5 tahun, dia biasa bertanya tentang mimpinya semalam, anak itu belum mengerti seperti apa itu mimpi, padahal dia sering mengalaminya.
“Fenhrir pandai berimajinasi,” begitulah gumam Takhtat saat mendengar pertanyaan Fenhrir tentang mimpi yang dialaminya semalam. Suatu hari dia akan tumbuh menjadi pria yang tegas dan cerdas.
Fenhrir semakin mengantuk saat senandung ibunya semakin merdu di bawah cahaya rembulan dan beribu gemerlap bintang. Alunan senandung itu tidak berhenti sempai Fenhrir benar-benar tidur pulas, dia akan bangun jika ibunya berhenti bersenandung.
anak kecil itu sudah bisa merasakan cemas. Takhtat berhenti bersenandung, dia mendengar suara orang mendekat menuju pondok sederhana di bawah pohon rindang itu. Fenhrir terbangun saat itu juga, menatap sekeliling dan menatap ibunya dengan tanda tanya dimata kecilnya. Takhtat mengelus kepala Fenhrir kecil dan Kembali bersenandung merdu Fenhrir kembali meringkuk di pangkuan ibunya.
Bulan itu tertutup awan ditengah malam menyisakan beberapa bintang yang masih elok menghias langit tengah gurun pasir. Suara itu terdengar semakin jelas, bukan satu orang tepatnya, kabilah yang melanjutkan perjalanan itu sepertinya akan melewati pohon rindang dan pondok sederhana. Takhtat segera memahami situasi malam itu, dia harus menghindari kabilah itu, atau jika tidak dia akan dibawa bersama kabilah yang belum tentu mereka orang baik. Mereka semakin dekat dengan pohon rindang itu, Takhtat segera menggunakan magicianstone yang disimpannya, batu pembiasan. Batu sihir yang menyerap cahaya dan membiaskan benda di sekitarnya. Dengan cahaya bintang yang tersisa pembiasan tidak terjadi secara sempurna tapi mereka sudah cukup terbiaskan dan menghilang, jika juru peta kabilah itu teliti meraka akan mudah tertangkap atau sedikit awan menutup cahaya bintang dan batu sihir itu sia-sia.
Analisis Takhtat secara sekilas “Sepertinya jumlah mereka kurang lebih 30 orang, pemimpin kabilah menunggangi kuda putih di barisan tengah formasi, mereka sepertinya adalah kabilah perampok yang terkenal bengis jika dilihat dari pemimpin mereka yang memiliki pandangan tajam, mencengkram setiap buruannya. Dan mereka akan menuju kota, menjual hasil rampokan kabilah lain.”
Dia tidak bergerak sedikitpun dari duduknya, Fenhrir sudah terbangun tapi dengan cepat memahami situasi yang dihadapi ibunya, anak kecil itu diam dalam pangkuan ibunya, kabilah perampok itu melanjutkan perjalanan, mereka sedang fokus menikmati perjalan menuju kota dan berangan-angan harga jual rampasan mereka, melewati pohon rindang itu tanpa curiga sedikitpun atas keberadaan Wanita bekas istri Merneptah yang masih bisa dibandrol mahal jika dijual untuk budak pemuas nafsu.
Jarak kabilah itu sudah cukup jauh dengan pohon rindang yang baru saja mereka lewati.
“Tuan izinkan hamba melapor, jarak kita dengan kota kurang lebih 5 mil, yang hendak hamba laporkan adalah suplai makanan untuk kuda dan unta sudah habis, bukankah alangkah baiknya kita mengisi kantong rumput itu sebentar dengan daun pohon rindang tadi?” tutur penasihat kabilah kepada penunggang kuda putih yang memimpin perjalanan mereka.
“Kita bisa mengisi kantong rumput sebentar di pohon rindang tadi, sebelum kita semakin jauh dari pohon itu dan tidak menemukan pohon lain disekitar sini,” penunggang kuda putih itu berseru pada pasukannya dan tanpa banyak bertanya mereka memutar arah tujuan.
Takhtat melepaskan magicianstone, mereka segera terlihat dengan mata kapala. Takhtat kembali menidurkan Fenhrir kecil dalam pangkuannya. Sepertinya situasi sudah aman, dia kembali bersenandung merdu di bawah pohon rindang itu.
“Sepertinya ada orang lain di bawah pohon itu,” penasihat memberikan informasi yang sebenarnya juga sudah dilihat penunggang kuda putih.
“Segera amati daerah sekitar pohon itu, aku melihat ada orang lain disana bawa mereka kesini untuk pulang bersama kabilah ini!” seru penunggang kuda putih kepada bawahannya.
Dua orang segera turun dari kudanya, menghunus pedang mendekati pohon dengan hati-hati, mereka sangat memerhatikan langkah agar seseorang yang duduk dibawah pohon itu tidak menyadari pergerakannya.
Dua pasukan itu mendekati pohon dengan pedang terhunus dan topeng khas perampok gurun, topeng yang dikenal bengis oleh penduduk kota, berwarna hitam dengan corak putih di bawah mata dan bekas darah terlihat diantara corak putih. Takhtat masih asyik dengan alunan nada yang disenandungkannya, tidak menyadari pergerakan dua pasukan yang siap menghunus lehernya jika bertindak macam-macam. Dua pasukan itu memutar, membelakangi buruannya. Mereka sudah sangat dekat dengan pohon itu, hanya berjarak 10 langkah.
Fenhrir kecil terbangun dari tidur, ibunya terkejut melihat Fenhrir yang terbangun padahal ia tidak berhenti bersenandung.
“Ada apa nak? Kamu bermimpi lagi?” tanya Takhtat dengan mengelus rambut Fenhrir.
“Tidak ibu, aku mencium bau orang lain didekat kita,” Fenhrir menjelaskan dengan terbata-bata, dia baru tau arti mencium bau beberapa hari yang lalu, saat ibunya menjelaskan tentang pancaindra.
Takhtat berlagak mencium bau sekitar dengan mengendus udara segar.
“Fenhrir memiliki penciuman yang tajam yah, ibu tidak mencium bau apapun. mungkin hanya perasaanmu saja nak setelah bermimpi,” Takhtat menjelaskan kepada anaknya yang masih polos.
“Mungkin ibu benar, tapi Fenhrir tidak mengantuk, sekarang ibu bisa tidur dan berhenti bersenandung,” Fenhrir kecil berdiri dari pangkuan ibunya.
Dua pasukan itu bersembunyi dibalik pohon, bersiap melemparkan tombak bak memburu rusa yang ada di depan mata.
Kabilah perampok itu sampai di Mesir membawa semua hasil rampokan, seorang Wanita, dan satu anak kecil berumur 5 tahun. Kabilah yang sangat beruntung mendapatkan harta yang banyak dalam sekali penjarahan. Mereka singgah di sebuah rumah yang disewakan oleh penduduk Mesir, ibu dan anak itu sudah dibawa ke pusat pedagangan Mesir oleh pria penunggang kuda putih yang tak lain adalah pemimpin perampok. Pusat perdagangan manusia terbesar saat itu, letaknya tak jauh dari pasar tradisional yang menjadi pusat kegiatan jual beli. Cahaya begitu menyilaukan mata, saat penutup kepala itu dilepas dari kepala Takhtat, matanya mulai mengerjap-ngerjap melihat sekelilingnya, Fenhrir duduk di sebelahnya dengan tangan terikat dan kain hitam menutup kepalanya. Banyak sekali orang yang berkumpul melingkarinya, bak pedagang yang datang dari kota jauh dengan membawa banyak emas untuk dijual dengan harga murah. Begitu juga dengan Takhtat dan Fenhrir yang sekarang menjadi emas itu-objek transaks
Matahari mulai terbit di ufuk timur, burung pipit hinggap di gandum-gandum ladang Huja, awan putih menyaput langit Mesir pagi itu, Fenhrir sangat bersemangat sepanjang pagi ini, Huja yang biasanya belum bangun sepagi ini, Huja terpaksa bangun lebih awal dan mengimbangi semangat Fenhrir. Sepanjang pagi ini Fenhrir sudah 3 kali mengingatkan Huja agar lebih cepat bersiap. Fenhrir mengajak Huja berlatih sihir di padang rumput milik Huja, Fenhrir tidak sabar melihat sihir Huja yang tidak pernah dia lihat, jadwal rutin Huja adalah mengurus ladang, karena Fenhrir memaksa Huja menurutinya untuk berlatih jadi apa salahnya menuruti permintaan anak ini. Diam-diam Huja juga tertarik dengan sihir Fenhrir yang langka, mereka segera menuju ke padang rumput untuk saling unjuk kemampuan sihir. Pria berusia 24 tahun itu berjalan di belakang, tentu karena Fenhrir berlari merangsek tidak sabar melihat padang rumput Huja. Saat Fenhrir sedang berlari kearah padang rumput itu
Waktu berlalu dengan cepat, usia Fenhrir 10 tahun. Itu artinya hari-hari baru dengan Huja sudah 5 tahun. Cukup lama dia berlatih dengan Huja hingga kemampuannya meningkat sangat pesat, tapi sayang belum bisa mengalahkan Huja. Dia terlalu kuat karena menguasai teknik percepat dan perlambat waktu. Dan Fenhrir belum bisa menguasai teknik sihir lain, hanya kemampuan bela diri yang diajarkan Huja. Kemampuan bela diri jarak dekat-pukul tendang. “Bisa kau bantu aku Fen?” tanya Huja di pagi hari itu. “Tentu apa yang haru kubantu? Kau hanya memasak seperti biasa.” Fenhrir yang sedang melatih fisiknya terhenti karena panggilan Huja. “Kau tidak perlu membantuku memasak Fen, aroma tanganmu tidak sedap, dan keringatmu bisa mengotori masakan ini,” balas Huja dengan nada mengejek lengkap dengan seringgai yang sangat dihafal Fenhrir 5 tahun ini. “Lalu apa?” jawab Fenhrir dengan ketus, dia berdiri di balik punggung Huja, ikut melihat masakan Huja. “Baiklah tolong pergi ke pasar sebentar, aku memb
Matahari terik membasuh pagi yang damai itu, usai sarapan Fenhrir dan Huja pergi berlatih. Di tempat biasa, padang rumput milik Huja dengan batu besar di tengah tempat istirahat Latihan. Lima tahun silih berganti, mereka berlatih dengan tekun. Mengembangkan potensi sihir mereka. Huja masih belum pensiun menjadi guru Fenhrir, teknik percepat dan perlambat yang dikuasai Huja semakin berkembang, dia baru saja menyempurnakan batu sihir yang bisa membuat subjek bebas dari jangkauan sihirnya, Fenhrir bisa menggunakan batu itu untuk kombo bertarung dengan Huja. Kemampuan Fenhrir juga berkembang pesat, fisiknya semakin kuat dan lincah. Lawan kesulitan melukainya, belum lagi dia punya kemampuan menyembuhkan diri pasti itu sangat merepotkan lawannya. Huja memberikan Latihan fisik ekstra karena dia belum bisa menguasai teknik sihir lain, dia memberikan latihan bela diri jarak dekat. Tendang pukul. “Lakukan pemanasan, Fen!” Bentak Huja, dia sekarang seorang guru sihi
Kuda melaju cepat dan lambat, menembus keramaian jalanan. Mereka melewati jalan utama kota Mesir, pemandangan kantor peradilan dan barak prajurit. “Jadi siapa Kares dan Feme itu? Aku baru mengenalnya tadi pagi.” tanya Fenhrir sembari menengok kanan kiri. “Mereka anak Panglima kerajaan dengan Nyonya Kaiys, sayangnya usia pernikahan mereka tidak bertahan lama, saat usia Kares dan Feme 5 tahun Panglima menikah lagi, kasih sayang Panglima sepenuhnya untuk istri barunya Belia, Wanita cantik yang didapatnya dari pelelangan. Nyonya Kaiys bunuh diri setelah satu tahun berikutnya setelah pernikahan mereka. Kares dan Feme sangat bandel dan sering kabur setelah kematian ibunya, entah faktor ibu tirinya yang jahat atau mereka yang cemburu perhatian ayahnya tertuju pada ibu tirinya, dan membuat ibu kandungnya bunuh diri.” jawab Prajurit. ‘Lima tahun tidak bertemu, apakah kau itu ibu?’ ‘Bagaimana mungkin itu kau? Kau sungguh tidak mencariku, aku disini sangat merindukanmu. Dan entah bagaimana pe
“Permisi, permisi, permisi,,” mereka bertiga membelah keramaian kota, beberapa buruh panggul minggir, menyisakan jalan untuk kuda Prajurit. “Yihhaaa,” Kuda yang mereka tunggangi melengos, gemelatuk suara sepatu kuda yang beradu dengan jalanan batu. Toko karet gelang berada di samping kantor keamanan kota, kantor keamanan kota adalah polsek jika di masa sekarang. Beberapa Prajurit yang sedang berjaga menyapa rombongan Johan, Johan dan Nahtan yang bersama Fenhrir menyapa kembali dengan anggukan dan lambaian tangan. Beberapa menit kemudian mereka sampai di teras toko karet gelang. “Kita sampai!” seru Nahtan, mereka turun dari pelana kuda. Mengikat tali kuda ke tiang toko. Seorang Ibu paruh baya tersenyum, menyapa pelanggan yang datang sesiang ini, dia adalah penjaga toko karet gelang tetap, dia pasti mengenalnya. “Permisi Nyonya, kami sedang mencari anak kembar ini, apakah ibu mengenalnya atau pernah melihatnya?” tanya Nahtan dengan sopan s
“Brakkk,,” tubuh Fenhrir terlempar dari pelana kuda, Johan sengaja melemparkannya ke atas tumpukan kotak kayu di samping gudang tua. Fenhrir mengaduh kesakitan, dia tidak bisa melihat sekitar, wajahnya tertutup kain hitam. Tubuhnya yang terikat berkelit ingin lolos, dalam waktu ini Johan dan Nahtan unggul lebih cerdik.“Tolooongg,, seseorang tolong akuu,,” Fenhrir berteriak hingga suaranya parau, tubuhnya ikut berkelit-kelit. Johan dan Nahtan tidak tinggal diam, agar tidak mendapat perhatian dari buruh panggul yang sedang istirahat, Johan terpaksa menyeret tubuh Fenhrir ke dalam gudang.“Ssstt,, kau aman disini, jangan ribut nanti kami bisa berubah pikiran, sekarang diam. Tenanglah!” Johan mencoba mengendalikan suasana.“Hujaaa,,, tolong akuu.” Fenhrir berteriak sekencang-kencangnya.“Plak,, brak, brak” Nahtan terganggu dengan teriakan Fenhrir, terpaksa melepaskan satu pukulan dan dua tendangan.“Hukk,” Fenhrir mengaduh kesakitan. Tubuhnya berkelit lagi efek ra
Pemandangan begitu nyata di mata Fenhrir, tubuhnya tidak bisa bergerak, dia berdiri di samping patung leluhur Mesir, termangu. Ketinggian patung itu sekitar tujuh meter, dibawah pualam marmer bangunan mewah, layaknya istana. Fenhrir mencermati pemandangan indah bangunan itu, sangat indah dengan ornament Mesir yang menhias mengelilingi tembok ruangan. Dia melongok ke atas, dia berdiri dibawah perisai patung leluhur. Dia kembali mencermati pemandangan di depannya, makanan tersaji di meja makan super besar, sepuluh kali besar meja makan di rumah Huja. Dibawah lamp kaca makanan itu seperti hiasan yang tidak layak dimakan, terlalu indah dan rapi. Dibawah lampu kaca ruangan itu juga, keluarga harmonis Panglima akan berkumpul. Pria gagah yang usianya 40 tahun lebih tua darinya duduk di kursi meja makan, dia adalah Panglima juga Ayah baginya. Wanita yang dikenalnya sebagai Iubu muncul dari balik pintu, diikuti pembantunya. Membawa masakan yang baru sa