Matahari mulai terbit di ufuk timur, burung pipit hinggap di gandum-gandum ladang Huja, awan putih menyaput langit Mesir pagi itu, Fenhrir sangat bersemangat sepanjang pagi ini, Huja yang biasanya belum bangun sepagi ini, Huja terpaksa bangun lebih awal dan mengimbangi semangat Fenhrir. Sepanjang pagi ini Fenhrir sudah 3 kali mengingatkan Huja agar lebih cepat bersiap.
Fenhrir mengajak Huja berlatih sihir di padang rumput milik Huja, Fenhrir tidak sabar melihat sihir Huja yang tidak pernah dia lihat, jadwal rutin Huja adalah mengurus ladang, karena Fenhrir memaksa Huja menurutinya untuk berlatih jadi apa salahnya menuruti permintaan anak ini. Diam-diam Huja juga tertarik dengan sihir Fenhrir yang langka, mereka segera menuju ke padang rumput untuk saling unjuk kemampuan sihir.
Pria berusia 24 tahun itu berjalan di belakang, tentu karena Fenhrir berlari merangsek tidak sabar melihat padang rumput Huja. Saat Fenhrir sedang berlari kearah padang rumput itu, Huja melempar batu yang cukup besar tepat mengenai kepala bagian belakang Fenhrir.
“Apa yang kau lakukan?” bentak Fenhrir yang terkejut dengan kelakuan Huja barusan.
“Kau hendak membunuhku?” Anak kecil itu bersungut-sungut marah, protes karena sekarang kepalanya berdarah.
Darah segar segera mengalir deras dari kepala Fenhrir, kepalanya terluka cukup parah hingga darah itu tak berhenti mengalir, sayangnya anak kecil itu tidak terlihat panik, hanya wajahnya saja yang terlihat bersungut-sungut marah.
“Tidak, tidakk,, apa lagi kalau bukan untuk menguji kemampuanmu, sedikit pemanasan pasti membantu.”
Huja tertawa lebar melihat Fenhrir yang merah padam, dia tidak menghiraukan wajah merah padam Fenhrir.
“Sekarang tunjukkan Teknik pemulihanmu itu!” Seru Huja yang tidak sabar melihat Teknik langka itu.
“Bukan begitu juga caranya, aku terkejut ayah.”
Sekarang anak kecil itu cerewet manja, wajahnya murung mulutnya mecucu cemberut.Dalam hati Huja semakin tidak tega untuk menjadikan Fenhrir sebagai budak.
Tangan Fenhrir meraba-raba kepalanya yang baru saja bocor, dia berbisik mengucap mantra pemulihan yang diajarkan ibunya, cahaya biru muda halus menyelimuti tangan kecil itu dan beberapa detik kemudian luka itu berhenti mengalirkan darah, pelan-pelan sel kulit terbentuk dari cahaya biru muda itu, dan luka itu sempurna pulih.
“Indah sekali cahaya biru itu, memang Teknik yang langka. Kau pandai menggunakan Teknik itu,” Tawa Huja semakin lebar karena terkesan.
Beberapa kali Latihan dengan Huja pasti akan membantu Fenhrir untuk menyempurnakan Teknik itu, pasti expertsorcerer penemu Teknik itu tak perlu meraba lukanya. Gumam Huja dalam hati.
“Apakah Teknik itu memiliki kelemahan?” Tanya Huja.
“Entah, setahuku semua Teknik mempunyai kelemahan, seperti Teknikmu yang memiliki radius, pasti Teknik ini juga punya batas tersendiri, sayangnya aku tidak pernah gagal melakukannya,” Jelas Fenhrir dengan cerdas.
“Baiklah, kita akan menemukan kelemahan itu terlebih dahulu, kemudian meningkatkan kemampuanmu.”
Huja berjalan menuju pusat padang rumput, tepatnya ada sebuah batu besar di tengah padang rumput miliknya.
Huja menyuruh Fenhrir menjauh, sekarang mereka hanya berjarak 10 meter. Mereka berdiri berhadapan dari jarak itu bak dua petarung yang sedang bersiap. Rahang Fenhrir mengeras bersiap dengan Teknik sihir Huja, apakah Huja akan melemparnya lagi dengan batu hingga berdarah.
Huja bersiap kakinya segera membentuk kuda-kuda, berancang-ancang. Dia melempar 3 batu ke atas, sebelum 3 batu itu jatuh ke tanah, Huja mengucap mantra masih dengan kuda-kuda tapi sekarang tangannya terlentang, bola putih sama-samar terbentuk dengan diameter kurang lebih 2 meter. Bola putih samar itu membungkus tubuh Huja, itulah radius kemampuan sihir Huja bekerja.
Sebelum batu-batu itu jatuh ke tanah, batu-batu itu turun dengan lamban saat masuk kedalam bola putih samar, saat batu-batu itu hampir menyentuh tanah sekitar 10 centi meter, Huja mengambil batu-batu itu dengan santai, gerakan tubuhnya normal hanya batu-batu itu yang bergerak lamban jatuh ke bawah karena gaya gravitasi. Bola putih samar itu pudar teknik Huja sudah berhenti.
Huja menyeringgai tekniknya barusan adalah sebagian contoh dari puluhan teknik yang dikuasainya. Air mukanya santai.
“Wow,, keren sekali Ayah!” mata Fenhrir berbinar melihat teknik Huja barusan.
Dia tidak pernah melihat teknik seperti itu, pasti sangat keren jika menguasainya untuk bertarung, dia tak akan terkalahkan dengan teknik itu.
“Masih banyak teknik yang belum kau lihat, Fen. Itu hanya contoh dari timemagician yang kukuasai, perhatikan lagi, Fen. Ini adalah contoh lain dari timemagician!” Seru Huja dari tempatnya beridiri.
Angin padang rumput berhembus sepoi-sepoi, memainkan anak rambut ayah dan anak itu. Sekali lagi Huja bersiap, dengan kuda-kuda yang berbeda, sekarang kaki kanannya di depan, teknik tadi kuda-kuda Huja sejajar. Tangannya sekarang terlentang, bola putih samar itu segera terbentuk membungkus tubuh Huja lagi. Radius jangkauan waktu teknik Huja segera terbentuk.
Tiba-tiba 3 batu menghunjam batu besar ditengah padang rumput, seperti dilempar dengan keras, 3 batu itu hancur menabrak batu besar.
“Darimana 3 batu tadi Ayah?” tanya Fenhrir dengan penasaran.
Tangan terlentang Huja turun, bersamaan dengan memudarnya bola putih samar itu
“3 batu yang kulempar keatas tadi, baru saja kulempar kedepan kearah batu besar,”jelas Huja sembari membenarkan kuda-kudanya tadi.
“Hah, melempar? Kapan kau melemparnya, aku tidak melihatmu melempar batu-batu itu,” komentar Fenhrir dengan air muka terheran.
“Tentu saja kau tidak melihatnya, dalam radius teknik itu waktu berjalan ribuan kali lebih cepat, sampai mata telanjangmu tidak bisa melihatku melempar 3 batu itu,” jelas Huja, air mukanya sangat santai menguasai semua teknik itu.
“Wow, keren sekali ayah!”
Air muka Fenhrir tidak berhenti terkesan, Fenhrir sekarang tertarik untuk belajar teknik sihir Huja.
“Bisakah ayah menunjukkan radius sihir yang lebih besar?” pinta Fenhrir.
“Tentu,” Huja dengan senang hati menuruti permintaan Fenhrir.
Kaki Huja segara membentuk kuda-kuda sejajar, pasti teknik lamban gumam Fenhir dalam hatinya. Perlahan tangan Huja terlentang, bola putih samar kembali terbentuk, kali ini bola itu lebih besar dan membungkus ayah dan anak itu. Gerakan Fenhrir melambat seketika, dia hendak berkomentar tapi Gerakan mulutnya sangat lamban hingga tidak ada satu aksen katapun yang keluar. Huja dengan santai menghampiri Fenhrir dengan kecepatan normal, ini curang gumam Fenhrir dalam hati.
Tangan Huja yang terlentang sekarang turun dengan perlahan, radius sihirnya kembali memudar, Fenhrir bisa bergerak normal sekarang.
“Sangat curang, benar-benar teknik yang mengesalkan,” komentar Fenhrir dengan air muka kesal.
Huja malah tertawa mendengar komentarnya, menurutnya itu bukanlah curang tapi teknik yang istimewa.
“Bisakah ayah mengajariku lain waktu?” pinta Fenhrir kepada Huja.
“Baiklah, dengan senang hati, Fen,” Huja tidak keberatan dengan permintaan Fenhrir.
Huja mengajak Fenhrir duduk di atas batu di tengah padang rumput itu, mereka beristirahat sebelum akhirnya mereka pulang ke rumah.
Waktu berlalu dengan cepat, usia Fenhrir 10 tahun. Itu artinya hari-hari baru dengan Huja sudah 5 tahun. Cukup lama dia berlatih dengan Huja hingga kemampuannya meningkat sangat pesat, tapi sayang belum bisa mengalahkan Huja. Dia terlalu kuat karena menguasai teknik percepat dan perlambat waktu. Dan Fenhrir belum bisa menguasai teknik sihir lain, hanya kemampuan bela diri yang diajarkan Huja. Kemampuan bela diri jarak dekat-pukul tendang. “Bisa kau bantu aku Fen?” tanya Huja di pagi hari itu. “Tentu apa yang haru kubantu? Kau hanya memasak seperti biasa.” Fenhrir yang sedang melatih fisiknya terhenti karena panggilan Huja. “Kau tidak perlu membantuku memasak Fen, aroma tanganmu tidak sedap, dan keringatmu bisa mengotori masakan ini,” balas Huja dengan nada mengejek lengkap dengan seringgai yang sangat dihafal Fenhrir 5 tahun ini. “Lalu apa?” jawab Fenhrir dengan ketus, dia berdiri di balik punggung Huja, ikut melihat masakan Huja. “Baiklah tolong pergi ke pasar sebentar, aku memb
Matahari terik membasuh pagi yang damai itu, usai sarapan Fenhrir dan Huja pergi berlatih. Di tempat biasa, padang rumput milik Huja dengan batu besar di tengah tempat istirahat Latihan. Lima tahun silih berganti, mereka berlatih dengan tekun. Mengembangkan potensi sihir mereka. Huja masih belum pensiun menjadi guru Fenhrir, teknik percepat dan perlambat yang dikuasai Huja semakin berkembang, dia baru saja menyempurnakan batu sihir yang bisa membuat subjek bebas dari jangkauan sihirnya, Fenhrir bisa menggunakan batu itu untuk kombo bertarung dengan Huja. Kemampuan Fenhrir juga berkembang pesat, fisiknya semakin kuat dan lincah. Lawan kesulitan melukainya, belum lagi dia punya kemampuan menyembuhkan diri pasti itu sangat merepotkan lawannya. Huja memberikan Latihan fisik ekstra karena dia belum bisa menguasai teknik sihir lain, dia memberikan latihan bela diri jarak dekat. Tendang pukul. “Lakukan pemanasan, Fen!” Bentak Huja, dia sekarang seorang guru sihi
Kuda melaju cepat dan lambat, menembus keramaian jalanan. Mereka melewati jalan utama kota Mesir, pemandangan kantor peradilan dan barak prajurit. “Jadi siapa Kares dan Feme itu? Aku baru mengenalnya tadi pagi.” tanya Fenhrir sembari menengok kanan kiri. “Mereka anak Panglima kerajaan dengan Nyonya Kaiys, sayangnya usia pernikahan mereka tidak bertahan lama, saat usia Kares dan Feme 5 tahun Panglima menikah lagi, kasih sayang Panglima sepenuhnya untuk istri barunya Belia, Wanita cantik yang didapatnya dari pelelangan. Nyonya Kaiys bunuh diri setelah satu tahun berikutnya setelah pernikahan mereka. Kares dan Feme sangat bandel dan sering kabur setelah kematian ibunya, entah faktor ibu tirinya yang jahat atau mereka yang cemburu perhatian ayahnya tertuju pada ibu tirinya, dan membuat ibu kandungnya bunuh diri.” jawab Prajurit. ‘Lima tahun tidak bertemu, apakah kau itu ibu?’ ‘Bagaimana mungkin itu kau? Kau sungguh tidak mencariku, aku disini sangat merindukanmu. Dan entah bagaimana pe
“Permisi, permisi, permisi,,” mereka bertiga membelah keramaian kota, beberapa buruh panggul minggir, menyisakan jalan untuk kuda Prajurit. “Yihhaaa,” Kuda yang mereka tunggangi melengos, gemelatuk suara sepatu kuda yang beradu dengan jalanan batu. Toko karet gelang berada di samping kantor keamanan kota, kantor keamanan kota adalah polsek jika di masa sekarang. Beberapa Prajurit yang sedang berjaga menyapa rombongan Johan, Johan dan Nahtan yang bersama Fenhrir menyapa kembali dengan anggukan dan lambaian tangan. Beberapa menit kemudian mereka sampai di teras toko karet gelang. “Kita sampai!” seru Nahtan, mereka turun dari pelana kuda. Mengikat tali kuda ke tiang toko. Seorang Ibu paruh baya tersenyum, menyapa pelanggan yang datang sesiang ini, dia adalah penjaga toko karet gelang tetap, dia pasti mengenalnya. “Permisi Nyonya, kami sedang mencari anak kembar ini, apakah ibu mengenalnya atau pernah melihatnya?” tanya Nahtan dengan sopan s
“Brakkk,,” tubuh Fenhrir terlempar dari pelana kuda, Johan sengaja melemparkannya ke atas tumpukan kotak kayu di samping gudang tua. Fenhrir mengaduh kesakitan, dia tidak bisa melihat sekitar, wajahnya tertutup kain hitam. Tubuhnya yang terikat berkelit ingin lolos, dalam waktu ini Johan dan Nahtan unggul lebih cerdik.“Tolooongg,, seseorang tolong akuu,,” Fenhrir berteriak hingga suaranya parau, tubuhnya ikut berkelit-kelit. Johan dan Nahtan tidak tinggal diam, agar tidak mendapat perhatian dari buruh panggul yang sedang istirahat, Johan terpaksa menyeret tubuh Fenhrir ke dalam gudang.“Ssstt,, kau aman disini, jangan ribut nanti kami bisa berubah pikiran, sekarang diam. Tenanglah!” Johan mencoba mengendalikan suasana.“Hujaaa,,, tolong akuu.” Fenhrir berteriak sekencang-kencangnya.“Plak,, brak, brak” Nahtan terganggu dengan teriakan Fenhrir, terpaksa melepaskan satu pukulan dan dua tendangan.“Hukk,” Fenhrir mengaduh kesakitan. Tubuhnya berkelit lagi efek ra
Pemandangan begitu nyata di mata Fenhrir, tubuhnya tidak bisa bergerak, dia berdiri di samping patung leluhur Mesir, termangu. Ketinggian patung itu sekitar tujuh meter, dibawah pualam marmer bangunan mewah, layaknya istana. Fenhrir mencermati pemandangan indah bangunan itu, sangat indah dengan ornament Mesir yang menhias mengelilingi tembok ruangan. Dia melongok ke atas, dia berdiri dibawah perisai patung leluhur. Dia kembali mencermati pemandangan di depannya, makanan tersaji di meja makan super besar, sepuluh kali besar meja makan di rumah Huja. Dibawah lamp kaca makanan itu seperti hiasan yang tidak layak dimakan, terlalu indah dan rapi. Dibawah lampu kaca ruangan itu juga, keluarga harmonis Panglima akan berkumpul. Pria gagah yang usianya 40 tahun lebih tua darinya duduk di kursi meja makan, dia adalah Panglima juga Ayah baginya. Wanita yang dikenalnya sebagai Iubu muncul dari balik pintu, diikuti pembantunya. Membawa masakan yang baru sa
“Tok,, tok,, tok!” Fenhrir mengutuk pintu rumahnya, pintunya sudah dikunci, wajar saja karena sekarang pukul sebelas malam. “Tok,, Tokk,, Ayah aku pulang!” Fenhrir mengetuk pintu sekali lagi. “Hoammhh,, astaga Fen kau baru pulang, cepat masuk udara malam tidak baik untuk Kesehatan!” Huja membuka pintu dengan menguap lebar. “Kau pasti kesusahan menemukan anak kembar itu, lagipula kenapa kau ikut mereka.” Jelas Huja, tentu karena Fenhrir pulang semalam ini. “Aku lelah ingin tidur saja!” seru Fenhrir ketus, dia sudah sangat lelah. “Baiklah, selamat malam Fen.” Jawab Huja, Fenhrir seudah masuk kamarnya. Keesokan harimya, Fenhrir sudah bangun lebih dulu dari Huja. Dia sibuk mengobrak-abrik rak buku Huja, mencari buku sejarah sihir Mesir yang pernah ditunjukkan padanya. Huja bangun, dia melihat Fenhrir terheran. “Hoamhh,, kau sedang apa Fen? Tumben kau bangun sepagi ini. Apalagi mencari buku.” Huja meninggalkan Fenhrir di rak buku, dia memilih untuk buang
“Blush!” tubuh Raps si kanguru Afrika menguap menyisakan asap putih pekat. Kanguru itu kembali ke dalam kertas gulungan.“Mantra pemanggil memiliki batasan waktu dan kemampuan, mereka akan keluar dari kertas gulungan ini hanya 10 menit, jika kemampuan hewan pemanggil sudah melemah, segera kembalikan! atau mereka bisa mati sia-sia.”Huja menunjukkan cara mengembalikan hewan pemanggil. Caranya dengan mengacungkan jempol kanan, otomatis mantra pemanggil akan lenyap dan hewan piaraan Huja akan menguap menjadi asap putih-menghilang.“Oke, selanjutnya apa?”“Bawa buku sejarah sihir Mesir, masukkan kedalam peti kayu!” Huja menyuruh Fenhrir. Huja mengecek kembali isi peti kayu itu. ‘Ada yang kurang!’.“Bawa baju ganti Fen!” Huja mengambil baju gantinya juga Fenhrir, melipatnya dan memasukkan kedalam peti kayu.“Baiklah semuanya siap!” Huja memakai topi Het kebanggan ayahnya, mengikat tali sepatu dan melangkahkan kaki. Mereka berangkat berpetualang.