Angela menyambar tasnya lalu keluar kamar tanpa menutup pintu. Ia akan membalas dengan cara yang anggun dan elegan. Lihat saja."Kim, aku akan datang sedikit terlambat. Baju yang disediakan Windy tidak cocok. Aku pakai bajuku sendiri saja. Kirim mobil untuk menjemputku di salon yang waktu itu. Sekretaris Kim jahat. Tapi tolong Kim berpura-pura saja percaya dengan semua yang dia katakan. Sepertinya dia menyukai, Kim," beber Angela di telepon. "Pantas saja dia tidak mau mengangkat telponmu tadi," kata Antoni tertawa kecil."Kalau Kim suka dengan dia tidak apa juga," goda Angela. "Memangnya boleh?""Boleh. Kalau Kim mau.""Kalau tidak boleh, bilang dong tidak boleh. Masa tidak ada perjuangan sama sekali untuk mempertahankan calon suami," Antoni balik menggoda. "Awas, ya. Nanti aku balas sampe gak bisa napas!" Angela menahan ketawanya. "Aku tunggu pembalasanmu sayangku."Mereka tertawa bersama sebelum sambungan telepon masing-masing diputuskan. Sembari menunggu hujan sedikit reda, An
Angela menyimpan ponselnya. Ia mencoba bersikap setenang mungkin. Lelaki yang berada di sebelahnya adalah Steve Menda. Orang yang paling ingin Joana ajak bicara. Sayangnya perempuan hantu itu tidak berada di sini sekarang. "Rasa-rasanya saya pernah melihat Nona. Tapi saya lupa-lupa ingat. Apakah Nona yang merias jenazah Aline?" tanya Steve tanpa berkedip."Iya, memang saya yang merias jenazah Nyonya Rosaline. Ternyata ingatan Anda sangat kuat Tuan.""Jangan panggil saya Tuan. Kesannya saya sudah tua. Panggil saja saya, Steve. CEO Delta Kencana." Pria tersebut mengulurkan tangan, sedikit ragu Angela menyambut uluran tangan itu dan buru-buru melepaskannya. "Saya Angela," kata Angela pendek dan datar. "Cantik seperti namanya."Angela hanya tersenyum kecil. Ia mulai merasa tidak nyaman dengan keberadaan pria itu di dekatnya. Pandangan mata dan senyum yang terkesan nakal membuat Angela ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu."Antoni tega meninggalkan kamu sendiri seperti ini. Seharusn
"Mungkin begitu. Aku tidak mau menanggapinya. Semakin aku terlihat marah dia pasti semakin suka. Tapi aku tidak bisa tidak marah kalau menyangkut dirimu, An. Tadi saja ingin sekali kutinju mulutnya tapi aku masih menahan diri. Situasinya tidak memungkinkan.""Aku sudah senang kita langsung pulang. Sekarang aku sudah tidak sedih lagi. Jadi sedikit tahu seperti apa Steve Menda. Namun, ada dua hal yang masih jadi pertanyaanku, Kim.""Apa itu?" Kim menoleh cepat ke arah Angela. "Kalau dia cinta pada istrinya, kenapa suka main gila dengan gadis-gadis muda yang bekerja di perusahaannya? Kenapa pula dengan istrinya, setiap perempuan yang dekat dengan suaminya selalu diselidiki bahkan dihabisi. Bukan kah cintanya tidak sebesar cinta Steve padanya?""Kau pasti bisa menemukan jawabannya nanti. Sekarang kita nikmati saja malam ini di sini. Hanya kita tanpa pikiran-pikiran yang mengganggu."Antoni menggamit bahu Angela, kemudian mengarahkannya mendekat ke bahunya. Angela merasa sangat aman dan
Angela mengangguk lalu mengangkat jempolnya. Gumawang pun menghilang setelahnya. Gorden jendela dibiarkan tetap terbuka oleh Angela. Ia merebahkan diri di atas kasur, merentangkan kedua tangannya sampai ke ujung dan mencoba tidur. Dalam hitungan menit saja, Angela sudah benar-benar terlelap. Mengistirahatkan jiwa dan pikiran dari hiruk-pikuk lakon dunia. Angela terbangun dini hari karena terkejut dengan suara getar ponselnya. Ia meletakkannya terlalu dekat dengan telinga. Nomor yang menghubunginya tidak ada dalam list kontak yang tersimpan. Namun, Angela tetap menerima panggilan tersebut. Angela menyapa ramah seperti biasa, tetapi di seberang telepon hanya terdengar suara ketukan sesuatu pada meja atau semacamnya. Angela tidak begitu yakin. Ia membiarkan telepon dalam keadaan tersambung hingga satu menit lebih untuk memastikan. Tetapi, tetap tidak ada jawaban. Mungkin orang iseng, pikirnya. Angela memutus sambungan kemudian mencoba tidur lagi. Namun, ponselnya bergetar lagi. Nomo
"A good question! Sayangnya kami belum menyelidiki lebih jauh. Bernegosiasi dengan siluman itu saja butuh waktu yang tidak sebentar. Anggota tim SAR sampai terus bertanya kapan bisa diangkat.""Kalian barter pakai apa?" Angela mengangsurkan cangkir yang sudah berisi teh ke depan Olla. "Mau pakai gula?" "Gak usah," jawab Olla, lalu duduk di kursi samping Angela. "Barter pakai apa?" Angela mengulangi pertanyaannya. "Sepasang kambing. Hitam dan putih. Menurut temanku sepertinya ada orang yang meminta bantuan siluman itu untuk urusan dunia. Mungkin korban yang banyak itu sengaja diantarkan ke sana. Serem aku bayanginnya, An."Olla mengangkat cangkirnya, mendekatkan bibirnya di mulut cangkir dan mulai meniup asap yang mengepul dari dalam cangkir. "Seseram apa? Aku jadi kepo, La.""Lebih seram dari Mak Lampir yang pasti. Waktu aku lihat korbannya tadi, di bagian kepala korban, di ubun-ubun berlubang. Di bagian punggungnya juga," kata Olla lalu menyesap sedikit teh tawar dari cangkirnya.
Perasaan Angela campur aduk. Terlebih saat ia melihat luka lebam di bawah mata kiri gadis tersebut. Sekelebat di pikirannya luka itu terjadi karena pukulan pria bejat yang berstatus sebagai kekasih Nada."Aku mencintainya. Sangat mencintainya, Kak. Bahkan demi dia dua kali aku menggugurkan darah daging kami. Alasannya selalu saja karena belum siap menikah. Padahal hubungan kami sudah terjalin cukup lama. Pemicu Johan melakukan ini adalah abangku."Angela menghentikan sapuan kuasnya. Ia menegakkan posisi badannya lalu bersandar di kursi. Sosok Nada terlihat samar mengenakan kemeja putih bermotif garis yang terdapat bercak darah di bagian atas dada kirinya."Kalau bicara cinta, aku tidak bisa banyak berkomentar. Aku memilih untuk menjadi pendengar saja. Pengalamanku tentang cinta tidaklah banyak.""Iya, Kakak. Aku tidak minta nasehat atau apa pun namanya itu. Aku hanya minta didengarkan sekali ini saja. Tolong katakan pada abangku, kalau aku menyesal telah membuat malu. Semenjak Ayah d
Dahlia ikut ke luar bersama Samudra. Sebelumnya dia sudah meminta izin pada Angela untuk berkeliling rumah duka sebentar saja. Belum lagi ia menutup pintu, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari Olla. "Cepetan pulang. Tetanggaku ada yang meninggal tadi Subuh. Aku baru dapat informasi. Tugasmu sudah selesai, kan?""Iya, sudah selesai. Aku tanya Pak Topan dulu. Gak bisa langsung pulang begitu aja. Nanti aku telepon.""Jangan lama-lama, nanti aku lumutan.""Iya, iya."Angela memutus panggilan Olla. Ia bergegas menutup pintu dan setengah berlari menuju ke kantor Pak Topan. Angela langsung pulang ke rumah begitu Pak Topan memberikan izin. Dengan catatan empat jam lagi harus kembali. Karena akan ada jenazah yang akan disemayamkan di rumah duka.Wajah Olla terlihat gelisah. Ia mondar-mandir di teras depan ketika Angela tiba. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Kenapa, La? Aku sampai disuruh cepat-cepat datang," tanya Angela men-standarkan motornya di samping tera
"Ketika aku bicara pada Bang Sahat bahwa beras tinggal sedikit, dia menjawab dengan santai agar aku bersabar. Belum lagi tagihan air, tagihan listrik, susu anak dan banyak lagi yang harus kupikirkan jalan keluarnya. Apa kau tahu kerja suamiku?"Angela menggeleng pelan. "Duduk di bale-bale seharian merokok dan main hape, berjudi online. Waktu didengarnya kawan dia menang tujuh puluh juta tambah semangat dia berjudi. Tapi, sampai aku mati tak sekalipun Bang Sahat menang. Aku punya suami tapi seperti hidup sendiri.""Tapi, kenapa anak-anak harus Kakak bunuh?" pertanyaan yang tidak bisa Angela tahan. "Kalau aku mati siapa yang akan mengurus mereka? Bapaknya? Mengurus dirinya saja dia tidak becus apalagi mengurus anak-anak." Intonasi suara Anita meninggi. Terdengar jelas sebagai suatu pelepasan kekecewaan yang mendalam. Ia pasti sudah memendamnya lama."Kau lihat matanya. Ada dia menangis? Kurasa senang di dalam hatinya sekarang. Tidak ada lagi beban hidupnya. Tidak perlu lagi dia berpi