Angela mengangguk lalu mengangkat jempolnya. Gumawang pun menghilang setelahnya. Gorden jendela dibiarkan tetap terbuka oleh Angela. Ia merebahkan diri di atas kasur, merentangkan kedua tangannya sampai ke ujung dan mencoba tidur. Dalam hitungan menit saja, Angela sudah benar-benar terlelap. Mengistirahatkan jiwa dan pikiran dari hiruk-pikuk lakon dunia. Angela terbangun dini hari karena terkejut dengan suara getar ponselnya. Ia meletakkannya terlalu dekat dengan telinga. Nomor yang menghubunginya tidak ada dalam list kontak yang tersimpan. Namun, Angela tetap menerima panggilan tersebut. Angela menyapa ramah seperti biasa, tetapi di seberang telepon hanya terdengar suara ketukan sesuatu pada meja atau semacamnya. Angela tidak begitu yakin. Ia membiarkan telepon dalam keadaan tersambung hingga satu menit lebih untuk memastikan. Tetapi, tetap tidak ada jawaban. Mungkin orang iseng, pikirnya. Angela memutus sambungan kemudian mencoba tidur lagi. Namun, ponselnya bergetar lagi. Nomo
"A good question! Sayangnya kami belum menyelidiki lebih jauh. Bernegosiasi dengan siluman itu saja butuh waktu yang tidak sebentar. Anggota tim SAR sampai terus bertanya kapan bisa diangkat.""Kalian barter pakai apa?" Angela mengangsurkan cangkir yang sudah berisi teh ke depan Olla. "Mau pakai gula?" "Gak usah," jawab Olla, lalu duduk di kursi samping Angela. "Barter pakai apa?" Angela mengulangi pertanyaannya. "Sepasang kambing. Hitam dan putih. Menurut temanku sepertinya ada orang yang meminta bantuan siluman itu untuk urusan dunia. Mungkin korban yang banyak itu sengaja diantarkan ke sana. Serem aku bayanginnya, An."Olla mengangkat cangkirnya, mendekatkan bibirnya di mulut cangkir dan mulai meniup asap yang mengepul dari dalam cangkir. "Seseram apa? Aku jadi kepo, La.""Lebih seram dari Mak Lampir yang pasti. Waktu aku lihat korbannya tadi, di bagian kepala korban, di ubun-ubun berlubang. Di bagian punggungnya juga," kata Olla lalu menyesap sedikit teh tawar dari cangkirnya.
Perasaan Angela campur aduk. Terlebih saat ia melihat luka lebam di bawah mata kiri gadis tersebut. Sekelebat di pikirannya luka itu terjadi karena pukulan pria bejat yang berstatus sebagai kekasih Nada."Aku mencintainya. Sangat mencintainya, Kak. Bahkan demi dia dua kali aku menggugurkan darah daging kami. Alasannya selalu saja karena belum siap menikah. Padahal hubungan kami sudah terjalin cukup lama. Pemicu Johan melakukan ini adalah abangku."Angela menghentikan sapuan kuasnya. Ia menegakkan posisi badannya lalu bersandar di kursi. Sosok Nada terlihat samar mengenakan kemeja putih bermotif garis yang terdapat bercak darah di bagian atas dada kirinya."Kalau bicara cinta, aku tidak bisa banyak berkomentar. Aku memilih untuk menjadi pendengar saja. Pengalamanku tentang cinta tidaklah banyak.""Iya, Kakak. Aku tidak minta nasehat atau apa pun namanya itu. Aku hanya minta didengarkan sekali ini saja. Tolong katakan pada abangku, kalau aku menyesal telah membuat malu. Semenjak Ayah d
Dahlia ikut ke luar bersama Samudra. Sebelumnya dia sudah meminta izin pada Angela untuk berkeliling rumah duka sebentar saja. Belum lagi ia menutup pintu, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari Olla. "Cepetan pulang. Tetanggaku ada yang meninggal tadi Subuh. Aku baru dapat informasi. Tugasmu sudah selesai, kan?""Iya, sudah selesai. Aku tanya Pak Topan dulu. Gak bisa langsung pulang begitu aja. Nanti aku telepon.""Jangan lama-lama, nanti aku lumutan.""Iya, iya."Angela memutus panggilan Olla. Ia bergegas menutup pintu dan setengah berlari menuju ke kantor Pak Topan. Angela langsung pulang ke rumah begitu Pak Topan memberikan izin. Dengan catatan empat jam lagi harus kembali. Karena akan ada jenazah yang akan disemayamkan di rumah duka.Wajah Olla terlihat gelisah. Ia mondar-mandir di teras depan ketika Angela tiba. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Kenapa, La? Aku sampai disuruh cepat-cepat datang," tanya Angela men-standarkan motornya di samping tera
"Ketika aku bicara pada Bang Sahat bahwa beras tinggal sedikit, dia menjawab dengan santai agar aku bersabar. Belum lagi tagihan air, tagihan listrik, susu anak dan banyak lagi yang harus kupikirkan jalan keluarnya. Apa kau tahu kerja suamiku?"Angela menggeleng pelan. "Duduk di bale-bale seharian merokok dan main hape, berjudi online. Waktu didengarnya kawan dia menang tujuh puluh juta tambah semangat dia berjudi. Tapi, sampai aku mati tak sekalipun Bang Sahat menang. Aku punya suami tapi seperti hidup sendiri.""Tapi, kenapa anak-anak harus Kakak bunuh?" pertanyaan yang tidak bisa Angela tahan. "Kalau aku mati siapa yang akan mengurus mereka? Bapaknya? Mengurus dirinya saja dia tidak becus apalagi mengurus anak-anak." Intonasi suara Anita meninggi. Terdengar jelas sebagai suatu pelepasan kekecewaan yang mendalam. Ia pasti sudah memendamnya lama."Kau lihat matanya. Ada dia menangis? Kurasa senang di dalam hatinya sekarang. Tidak ada lagi beban hidupnya. Tidak perlu lagi dia berpi
Setelah memeriksa sekali lagi kunci motor, Olla melangkah lebih dulu ke arah mata air yang lokasinya lebih rendah dari jalan. Terlihat masih ada police line yang dilingkarkan pada kayu kecil yang sengaja ditancapkan di depan mata air tersebut. Awalnya di telinga Angela yang terdengar adalah suara mirip sayap lebah yang berterbangan. Ketika semakin dekat ke mata air suaranya berubah seperti suara pesawat tempur yang sedang mengudara dengan ketinggian yang tidak seberapa. "Bagaimana, An? Mau diteruskan apa tidak? Matamu sudah menyipit-nyipiy begitu," tanya Olla terlihat khawatir. "Di sini sangat tidak baik energinya. Teriakan dan tangisan sangat jelas terdengar." Dahlia ikut menambahkan. "Tidak apa-apa. Aku masih bisa. Apa makhluk air itu bisa aku lihat?" tanya Angela. Ia memegang pergelangan tangan Olla untuk mengurangi dengung di telinganya. "Bisa saja kalau dia mau. Kalau tidak, ya, aku tidak bisa memaksanya.""Maaf, nih, An. Katamu kuping berdengung hebat tapi kok bisa mendenga
Belum ada seratus meter mereka bergerak, Olla menghentikan motor. Ia memperhatikan spion di kanan kirinya. "Nampaknya intuisimu benar, An. Kita harus menyembunyikan motor ini agar tidak terlihat mereka. Please! Jangan menoleh ke belakang. Kita pura-pura tidak tahu. Biarkan mereka berpikir kita hanya kebetulan lewat jalan ini."Angela menepuk pelan bahu Olla sebagai kode bahwa dia mengerti dan mengikuti apa yang dikatakan temannya itu.Olla melajukan lagi motornya. Sampai di jalan yang menurun ia mengarahkannya ke kiri jalan di mana tanaman perdu berkerumun lebat. Ia menyembunyikan motor di balik tanaman tersebut. "Kita mau apa?" Dahlia bertanya dengan ekspresi wajah bingung. "Mengintai mobil itu. Asal dapat nomor polisinya saja sudah sangat cukup," kata Olla. "Kalau bisa lebih dari itu, La. Terlihat juga wajah-wajah orang yang ada di dalamnya." Angela berujar sambil membenahi posisi tubuhnya. Ia tidak nyaman karena berjongkok di balik semak-semak yang banyak nyamuknya. "Apa kalia
Sikap Joana sudah lebih baik dari sebelumnya ketika Angela hendak berangkat ke rumah duka. Wajahnya pun sudah lebih ceria dan cerah. Mungkin semua perkataan Angela sudah dipikirkan dan ditelaah dengan baik oleh perempuan hantu tersebut. Begitupun terhadap Dahlia. Dia sudah mau bertegur sapa walau masih canggung. Namun, dia menolak ikut saat Angela mengajaknya serta. "Aku di rumah saja. Terlalu sering bertemu orang mati membuat suasana hatiku tidak enak," tolak Joana."Oke. Aku tidak akan memaksamu. Kau baik-baik di rumah. Jangan ghibah terus sama makhluk-makhluk di pohon sana itu," kata Angela menggoda Joana. Gadis itu hanya tersenyum tipis lalu masuk dengan langkah cepat. Angela dan Dahlia bergegas pergi karena Pak Topan sudah menelepon. Sebelumnya Angela sudah menerima pesan WA tentang jenazah yang akan diriasnya. Seorang anak delapan tahun yang dirudapaksa oleh ayah kandungnya sendiri. Hati Angela mencelos membaca pesan tersebut. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan gadi
"Kau di sini saja menemani Angela. Aku akan menelepon Pak Andreas. Semoga ada kabar baik juga dari Gumawang dan Dahlia," kata Olla seraya meninggalkan kamar tidurnya. Olla mondar-mandir di balkon. Matanya sesekali mengarah pada langit yang kelam. Bintang tidak satu pim terlihat menggantung di atap dunia yang gelap itu. Andreas belum juga meneleponnya setelah beberapa kali missed call. Hampir saja ia ketiduran di kursi ketika akhirnya Andreas menelepon. Kabar baik yang diharapkan benar-benar terdengar dari seberang telepon. "Nanti saja cerita panjangnya, Pak. Yang penting sudah pasti bahwa Tuan Antoni selamat. Kalau Angela sudah bangun saya akan membawanya ke rumah sakit," kata Olla. Ia menghela napas lega. Rasanya tidak sabar untuk menyampaikan kabar baik ini pada Angela dan Joana. "Jo, Tuan Antoni selamat. Ia ditemukan di pinggir sumur dengan keadaan lemas. Ajaibnya tidak banyak air masuk ke paru-parunya. Sekarang sudah berada di rumah sakit," ucap Olla pada Joana yang masih tergu
Angela memegangi lehernya sambil mengatur napas. Ia tidak memperhatikan makhluk itu maupun Antoni. Begitu ia mengangkat kepalanya mereka sudah tidak ada. "Kim! Kim!" Angela berteriak sekuat tenaga. Ia menyusul ke bibir sumur. Melihat ke dalam tetapi tanda-tanda keberadaan mereka tidak terlihat. Di sana masih mengambang mayat yang sama seperti yang dilihatnya bersama Antoni. Perasaan Angela hancur, ledakan tangisnya tidak bisa membawa Antoni kembali ke sisinya. Logikanya lenyap seketika. Tanpa berpikir panjang, ia menceburkan dirinya mengikuti Antoni ke dalam sumur. "Angela jangan gila!" Dahlia memegangi kedua pundak Angela lalu menariknya hingga terlempar membentur dinding. "Diam kau di situ! Kau kira kami tidak membantumu. Apa kau tahu, tidak mudah menembus ke ruangan ini." Dahlia berjongkok di depan Angela. "Jadi tolong jangan bertindak bodoh!"Angela menunduk. Air matanya luruh, menetes ke atas jerami yang berserakan. "Maafkan, aku. Aku tidak siap untuk keadaan ini, apalagi haru
"Misalnya?" Angela menggeser duduknya ke depan Antoni. "Hei," bisiknya, menyentuh pundak Angela dan sedikit menggeser tubuhnya semakin dekat. "Apa kau tahu, kau sama sekali tidak lemah. Ketika kau meludahi Steve, aku merasa sangat bangga padamu." Senyumnya merekah ketika ia menangkup pundak Angela. Mereka begitu dekat. Antoni menghirup wangi Angela dan rasanya seperti menenggak afrodisiak. la menggenggam Angela semakin erat. "Dan percayalah pendapatku sebagai laki-laki, kau selalu cantik dalam segala hal," tambahnya.Angela terbuai oleh ketulusan suara Antoni dan tatapannya yang bergairah. Beberapa detik lalu ia tidak berpikir untuk mencium Antoni, tetapi sekarang, mencium pria itu kelihatannya hal paling tepat. Ia ingin menghilangkan perasaan takut yang mengikatnya. Angela mengangkat tangan, menungkup wajah Antoni, tunggul janggutnya menggelenyarkan telapak tangan. Tatapan lelaki itu menjadi berhasrat. Angela berdebar-debar, memejam, dan merasakan bibir Antoni mendarat dengan panas
Mereka digiring masuk ke salah satu kandang kuda. Di dinding bagian belakang kandang tersebut terdapat pintu rahasia yang tersamarkan.Steve dan Alena tersenyum sinis ketika Angela dan Antoni dibawa masuk. Alena bahkan bertepuk tangan sambil mendekati keduanya. "Kau masuk ke dalam jebakanku Antoni Hakim. Aku tidak tahu kau ini terlalu polos atau terlalu bodoh," ejek Alena, dia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Antoni. Antoni tidak mengatakan apa pun, ia memalingkan wajahnya menghindari tatapan Alena yang dirasanya tidak penting. "Seharusnya kau cukup duduk manis menikmati semua uangmu tanpa repot-repot ikut campur urusanku," kata Alena menyentuh pipi Antoni dengan ujung jarinya. Steve Menda beranjak dari kursinya. Mendekati istrinya. "Mereka maunya seperti itu, biarkan saja. Berikan kesempatan untuk mereka berduaan sebelum napasnya hilang." "Rencanaku pun begitu. Tapi, apa kau tidak menginginkan perempuan ini?" Alena sedikit menunduk untuk mengintimidasi Angela dengan tatapanny
"Tidak ada apa-apa, kan, Win. Sepertinya kau ini berhalusinasi," kata Erik. Cahaya ponselnya bergerak ke kandang di mana Angela dan Antoni berada. Nasib baik lagi-lagi berpihak pada mereka. Erik hanya menyorot sekilas di bagian dinding saja. "Di sini juga tidak ada apa-apa. Mungkin benar aku hanya berhalusinasi efek tidak jadi minum-minum di bar." Edwin terkekeh. "Nah! Betul itu."Mereka kembali ke tempat semula. Berdiri mengawasi di belakang mobil Alena. "Hampir saja, An." Antoni menyingkirkan jerami yang menutupi tubuhnya."Tuhan menyelamatkan kita lagi dan semoga terus seperti itu," bisik Angela. Ia sangat berhati-hati agar kejadian tadi tidak terulang lagi. Antoni melihat ke layar ponselnya. "Jaringan masih ada walaupun hilang timbul. Aku harus mengirim pesan pada Andreas. Kalau misal terjadi hal buruk pada kita, dia tahu kemana harus mencari.""Kim pernah bilang sendiri, ucapkan yang baik-baik saja.""Berjaga-jaga untuk situasi terburuk juga perlu, An. Kalau kita benar-benar
"Sial! Tuan Steve kenapa mendadak begini mengabari kita. Tidak biasanya dia kesini di jam-jam segini.""Mungkin karena sedang hujan, cakung, Win. Cuaca mendukung." Mereka berdua tertawa. "Setidaknya kita masih bisa menghabiskan rokok di sini sampai hajat Tuan Steve selesai."Dari pembicaraan keduanya, sangat tidak mungkin menyalakan senter untuk penunjuk jalan. Sedikit saja cahaya bergerak dan terlihat oleh mereka sama saja dengan bunuh diri. "Kita harus berjalan dalam gelap, Kim.""Terpaksa harus begitu. Kita pelan-pelan saja. Walaupun tidak bisa melihat dalam gelap, setidaknya kita tahu arahnya.""Sebelum Gumawang pergi tadi, ia sempat memperlihatkan dalam terang keadaan di dalam istal ini. Ia memintaku untuk menghafalkannya.""Kau masih bisa mengingatnya dengan jelas, An?""Tentu. Sekarang giliranku menggandeng tangan, Kim," kata Angela dengan suara pelan. Sejak tadi mereka sangat menjaga volume suara agar tidak terdengar oleh kedua pria yang sedang merokok agak jauh dari posisi m
"Air berhubungan dengan Wuri. Membuang begitu saja di dalam sumur juga mudah. Tidak perlu menggali tanah.""Wuri?" Dahi Antoni berkerut. "Aku belum pernah mendengar namanya. Dia siapa?""Aku pikir kau sudah tahu semuanya tentang Alena dan Delta Kencana, ternyata belum. Wuri adalah makhluk siluman yang menjadi penjaga keberlangsungan perusahaan. Karena itulah mereka selalu mendapatkan mega proyek dengan posisi terkuat. Perkembangan mereka pun pesat. Tapi, di balik itu semua, banyak korban berjatuhan.""Diberikan kepada si Wuri itu?"Angela memejam sesaat. "Tentu iya. Bukan hanya perempuan-perempuan yang bekerja di Delta Kencana saja, bayi hasil aborsi juga sangat disukai makhluk siluman itu. Alena sampai harus membeli secara khusus dari sebuah klinik aborsi yang berkedok klinik bersalin.""Mereka sudah kehilangan akal sehat, An," sebut Antoni sambil menutup pintu lemari. "Diam di situ, Kim." Angela membuat gerakan mendadak, menutup semua akses ke dalam kamar. "Kenapa kau tutup semua?
"Ini bukan jalan menuju ruang rahasia, Kim. Tapi tempat pembuangan mayat," kata Angela melangkah mundur ke tempatnya semula. "Atau mungkin inilah ruang rahasia itu," ujar Antoni seraya memberikan ponsel kepada Angela. "Kau terlihat tidak terganggu dengan bau dari dalam sumur. Padahal aromanya luar biasa busuk.""Gumawang menghilangkan dengung dan kemampuanku membaui untuk sementara waktu. Ponsel ini untuk apa?""Fotokan sumur itu. Usahakan mayat di dalamnya terlihat jelas. Bila perlu buat video biar buktinya semakin kuat." Angela mengangguk lalu berjongkok di bibir sumur yang tidak berpenghalang. Sedikit saja keseimbangannya hilang, bisa dipastikan ia masuk juga ke dalam sana. Beberapa foto dan video sudah Angela buat. Hasilnya ia kirimkan juga melalui surel ke alamat emailnya. Baik yang sudah biasa digunakan maupun yang rahasia. Berjaga-jaga dari kemungkinan buruk agar apa yang sudah dilakukan malam ini tidak sia-sia. Antoni menutup kembali sumur yang berdiameter sekitar satu met
Angela menarik napas kaget ketika ia merasakan sesuatu seperti udara menerpa keras wajahnya hingga perut tiba-tiba terasa tegang. Langkahnya pun terhenti. "Ada apa, An?" Antoni menyorot wajah Angela dengan senter. "Entahlah. Aku tidak bisa melihatnya. Hanya keras seperti tamparan. Sakitnya masih terasa. Tempat ini pasti sangat angker, Kim. Kita saja yang tidak bisa melihat keberadaan makhluk tak kasat mata yang berkeliaran. "Tenanglah! Kita hanya perlu menemukan tempat itu, saja. Mendapatkan bukti lalu pergi." Antoni mencoba memberi semangat dan penguatan. Angela menghela napas berulang sebelum ia melanjutkan langkah bersama Antoni. Cahaya senter Antoni terus bergerak seiring pergerakan keduanya. Di ujung lorong mereka menemukan pintu yang tertutup rapat. Posisinya tepat di belakang deretan kandang kuda. "Kim! Rasanya kepalaku mau pecah!" Angela berteriak sambil meremas kuat tangan Antoni. "Artinya memang di sinilah tempatnya. Please! Bertahanlah, Sayang," Antoni membawa Angela