Angela merenung beberapa saat. Ia mencoba mencerna situasi yang diceritakan Anna. Sepertinya ayah dan ibu Anna bertukar peran. Mungkin tepatnya si Ibu bekerja menjadi tulang punggung. Hanya bertemu anaknya sebelum dan sepulang kerja saja. "Mau bicara dengan Ibu sekarang?" Dahlia bertanya tiba-tiba. Anna mendongak melihat wajah Dahlia seperti sedang mencari jawaban. Namun, ia terlihat ragu. Kepalanya bergerak sedikit turun, menyejajarkan pandangannya dengan Angela."Terserah Anna. Kak Dahlia itu bisa membantu ibumu agar dapat melihatmu di sini. Dia sedang menunggu di luar. Kalau Anna mau, Kakak panggilkan sekarang juga," kata Angela. menjawab tatapan Anna yang butuh pertimbangan. Gadis kecil tersebut masih diam. Ia terlihat ragu untuk menentukan. Angela membiarkannya untuk berpikir lebih lama. Anak usia delapan tahun tentu tidak bisa disamakan dengan cara pandang orang dewasa. "Apa Ibu tidak marah, Kak?" tanya Anna pada akhirnya. "Kakak janji, ibu Anna tidak akan marah," sebut An
Perempuan tersebut menyadari bahwa tidak ada lagi tubuh anaknya di pelukan. Ia bangkit lalu melangkah cepat ke arah peti jenazah putrinya. Sekali lagi nama Anna disebutnya sebelum tubuh kurusnya luruh ke lantai dengan kepala bersandar pada peti.Angela mengahampiri perempuan tersebut kemudian duduk di sebelahnya. Ia tidak mengatakan apa-apa untuk memberikan penghiburan. Ia sengaja menciptakan jeda agar hati perempuan itu lebih terbuka untuk menerima kehilangan yang paling menyakitkan di dalam hidupnya. ***Angela kembali ke rumah hampir pukul tujuh malam. Pak Topan memberikan sebungkus nasi Padang dengan lauk rendang. Pria tersebut sudah hafal kesukaan Angela. Sementara Angela menikmati makan malamnya, Dahlia dan Joana terlihat sedang ngobrol di ruang depan. Sepertinya mereka sudah mulai bisa berteman. Angela yang kepo dengan obrolan mereka buru-buru menghabiskan makanannya. "Akur, ya," kata Angela seraya duduk di kursi ruang depan setelah selesai makan. Dahlia tertawa. "Mau tidak
"Kim … jangan lama-lama." Angela menyudahi. "Bisa lupa diri kita nanti.""Tapi aku masih rindu," ujar Kim masih belum menjauhkan wajahnya dari wajah Angela. "I know … aku pun begitu." Angela mengusap pipi Antoni. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan?""Jalan kaki maksudmu?"Angela tertawa. "Selama ini jalan memang pakai kaki." Dicubitnya pipi Angela. "Baiklah, An. Aku pikir bukan ide yang buruk.""Di depan gang ada nasi goreng enak. Sekali waktu Tuan Antoni Hakim makan di pedagang kaki lima. Rasanya tidak kalah dengan olahan chef di hotel.""Kita pergi sekarang?""Iya dong. Sebentar aku rapikan rambutku yang acak-acakan ini."Antoni menggeser langkah ke tempatnya semula. Memperhatikan Angela yang sedang menyisir rambutnya di depan cermin. Angela pura-pura tidak melihatnya padahal dari dalam cermin terlihat ekspresi bahagia melintas di wajahnya. Bukan hanya Antoni yang terlihat. Joana pun tampak di cermin. Berbanding terbalik dengan ekspresi Antoni. Wajah Joana muram. Mungkin sejak tad
Angela memutar duduknya ke arah Joana. Menarik napas panjang sebentar. "Yang terlihat saja. Yang tidak terlihat, orang mana tahu. Hidupku juga rumit. Urusan percintaan pun pernah berada pada posisi retak hati. Tapi aku selalu berusaha untuk berjalan di jalur yang benar. Itu saja.""Ibumu pasti mendidikmu dengan baik. Sangat beda dengan cara Ibu membesarkanku. Katanya, perempuan itu harus cantik agar kau bisa gunakan kecantikanmu untuk mendapatkan apa yang kau mau dengan mudah. Terutama pria dan uangnya.""Itu benar ibumu yang ngomong begitu?! Aku pikir hanya ada di sinetron yang episodenya sepanjang jalan kenangan." Angela kembali memutar posisi duduknya lalu melahap mi yang baru sedikit ia makan."Kau lihat saja nanti seperti apa ibuku.""Setelah aku selesai sarapan kita langsung menemui ibumu. Aku sudah gak sabar, Jo." Semangat Angela sedang baik-baiknya. Ia ingin tahu seperti apa kehidupan ibu Joana sampai anaknya sendiri enggan mengakui keberadaannya. ***Dahlia datang tepat se
"Ceritanya panjang. Tapi intinya, jiwa Joana masih berada di sini. Dia meminta saya untuk menemukan di mana jasadnya disimpan. Bukan hanya hal itu yang membuatnya tertahan, ada satu lagi yang harus diselesaikan.""Mbak ini sedang mengarang cerita, ya. Saya bukan orang yang mudah percaya dengan sesuatu yang tidak nyata. Apalagi omong kosong seperti itu.""Ibu biasa memanggilku Juju," kata Joana dari ambang pintu. Di manapun berada tempat favorit Joana memang di situ. "Joana sekarang sedang berdiri di sini." Angela mengarahkan tangannya ke pintu. "Dia mengatakan, Ibu memanggilnya dengan sebutan Juju.""Pasti karena dia pernah bercerita padamu tentang itu. Saya masih tidak percaya.""Aku masih ingat warna boneka beruang yang Ibu belikan. Merah muda dengan pita besar di dadanya.""Kata Joana boneka beruang yang Ibu belikan pertama kali untuk dia berwarna merah muda dengan pita besar di dadanya." Angela mengulangi perkataan Joana. Ekspresi kaget tidak bisa disembunyikan oleh Bu Lira. Ia
Selama perjalanan pulang, Joana lebih banyak diam. Ada penyesalan di hati Angela. Selama ini dia cukup keras pada gadis itu. Terlebih pada bagian hidupnya dengan Steve Menda. Seandainya Angela tahu lebih awal cerita hidup Joana, pasti sikapnya akan sedikit lebih lunak. "Jadi itu alasanmu begitu mencintai Steve Menda. Walaupun aku tetap tidak suka dan tidak setuju dengan perselingkuhan, aku tidak akan memaksamu untuk move on lagi," kata Angela ketika motor berhenti di lampu merah. "Kau memaksaku pun tidak apa-apa. Aku banyak merenung selama tinggal denganmu. Satu hal yang kusadari, Steve Menda tidak lebih baik dari ibuku, hanya aku saja yang terus menyangkalnya. Kau harus mengajariku caranya berdamai dengan diri sendiri.""Sejatinya kita sedang dan akan terus belajar, Jo." Pertemuan dengan Bu Lira membawa dampak yang lebih baik kepada Joana. Sikapnya menjadi lebih periang dan friendly. Angela jadi lebih sering mengajaknya serta ketimbang meninggalkannya di rumah. Di weekend kali in
"Kami ingin yang sederhana saja. Cukup di dalam rumah ini akadnya dilangsungkan. Tapi Tuan Antoni ingin pernikahan kami besok menjadi acara yang berkesan baik untuk kami maupun kerabat dekat dan undangan," tutur Bu Sumirah. Ia mencuci tangan di wastafel yang terpasang menempel di dinding luar rumah tersebut. "Pak Kardiman sudah memberikan sebagian besar waktunya untuk Tuan Antoni, sudah sepatutnya beliau mendapatkan buah dari pengabdiannya selama ini. Tidak mengapa, Bu. Antoni pasti menginginkan yang terbaik untuk Bapak dan Ibu."Angela ikut mencuci tangannya setelah Bu Sumirah selesai. "Rumah ini pemberian Tuan Antoni, biaya rumah sakit dan acara pernikahan kami pun dia yang membiayai. Terlalu banyak yang sudah kami terima, Nona."Bu Sumirah mengajak Angela masuk ke dalam rumah yang akan ditempati calon pengantin ini. "Tuan Antoni sudah menganggap Pak Kardiman seperti orang tua sendiri. Selama mengenal beliau, saya lihat hubungan mereka sangat dekat. Apalagi setelah ini, Pak Kardi
Air mata Angela meleleh. Penglihatan yang tak genap satu menit itu mampu membasuh kerinduan akan ibunya sekaligus menjadi pertemuan pertama Angela dan calon mertuanya. "Kau melihat mereka, An?" Pertanyaan Antoni mengejutkan Angela. Selama ini yang ia tahu pria di sampingnya tersebut tidak memiliki kepekaan seperti dirinya. Angela sedikit mendongak. Mengarahkan pandangannya pada wajah Antoni. "Kim bisa melihat mereka juga?"Antoni mengangguk. Tampak matanya tidak berkedip sedikitpun. Ia mungkin shock dan takjub dengan apa yang baru saja dialaminya.Angela terdiam beberapa saat. Walaupun tidak begitu yakin, tetapi ia merasa ada orang lain bersama mereka di pemakaman ini. Ia menoleh ke belakang untuk memastikan. Terlihat Dahila dan Joana melempar senyum pada Angela. Perempuan bunian itu sudah berbaik hati membukakan mata batin Antoni agar bisa melihat orang tuanya meskipun hanya sebentar. Angela tidak pulang ke rumah kontrakannya. Ia menginap di hotel yang sama dengan Antoni tetapi