Selama perjalanan pulang, Joana lebih banyak diam. Ada penyesalan di hati Angela. Selama ini dia cukup keras pada gadis itu. Terlebih pada bagian hidupnya dengan Steve Menda. Seandainya Angela tahu lebih awal cerita hidup Joana, pasti sikapnya akan sedikit lebih lunak. "Jadi itu alasanmu begitu mencintai Steve Menda. Walaupun aku tetap tidak suka dan tidak setuju dengan perselingkuhan, aku tidak akan memaksamu untuk move on lagi," kata Angela ketika motor berhenti di lampu merah. "Kau memaksaku pun tidak apa-apa. Aku banyak merenung selama tinggal denganmu. Satu hal yang kusadari, Steve Menda tidak lebih baik dari ibuku, hanya aku saja yang terus menyangkalnya. Kau harus mengajariku caranya berdamai dengan diri sendiri.""Sejatinya kita sedang dan akan terus belajar, Jo." Pertemuan dengan Bu Lira membawa dampak yang lebih baik kepada Joana. Sikapnya menjadi lebih periang dan friendly. Angela jadi lebih sering mengajaknya serta ketimbang meninggalkannya di rumah. Di weekend kali in
"Kami ingin yang sederhana saja. Cukup di dalam rumah ini akadnya dilangsungkan. Tapi Tuan Antoni ingin pernikahan kami besok menjadi acara yang berkesan baik untuk kami maupun kerabat dekat dan undangan," tutur Bu Sumirah. Ia mencuci tangan di wastafel yang terpasang menempel di dinding luar rumah tersebut. "Pak Kardiman sudah memberikan sebagian besar waktunya untuk Tuan Antoni, sudah sepatutnya beliau mendapatkan buah dari pengabdiannya selama ini. Tidak mengapa, Bu. Antoni pasti menginginkan yang terbaik untuk Bapak dan Ibu."Angela ikut mencuci tangannya setelah Bu Sumirah selesai. "Rumah ini pemberian Tuan Antoni, biaya rumah sakit dan acara pernikahan kami pun dia yang membiayai. Terlalu banyak yang sudah kami terima, Nona."Bu Sumirah mengajak Angela masuk ke dalam rumah yang akan ditempati calon pengantin ini. "Tuan Antoni sudah menganggap Pak Kardiman seperti orang tua sendiri. Selama mengenal beliau, saya lihat hubungan mereka sangat dekat. Apalagi setelah ini, Pak Kardi
Air mata Angela meleleh. Penglihatan yang tak genap satu menit itu mampu membasuh kerinduan akan ibunya sekaligus menjadi pertemuan pertama Angela dan calon mertuanya. "Kau melihat mereka, An?" Pertanyaan Antoni mengejutkan Angela. Selama ini yang ia tahu pria di sampingnya tersebut tidak memiliki kepekaan seperti dirinya. Angela sedikit mendongak. Mengarahkan pandangannya pada wajah Antoni. "Kim bisa melihat mereka juga?"Antoni mengangguk. Tampak matanya tidak berkedip sedikitpun. Ia mungkin shock dan takjub dengan apa yang baru saja dialaminya.Angela terdiam beberapa saat. Walaupun tidak begitu yakin, tetapi ia merasa ada orang lain bersama mereka di pemakaman ini. Ia menoleh ke belakang untuk memastikan. Terlihat Dahila dan Joana melempar senyum pada Angela. Perempuan bunian itu sudah berbaik hati membukakan mata batin Antoni agar bisa melihat orang tuanya meskipun hanya sebentar. Angela tidak pulang ke rumah kontrakannya. Ia menginap di hotel yang sama dengan Antoni tetapi
"Terima kasih sekali lagi, Tuan. Seribu kali pun saya mengucapkan kata itu tidak akan pernah cukup untuk menunjukkan betapa besarnya jasa Tuan pada saya," ujar Pak Kardiman."Tidak perlu terus berterima kasih, Pak. Saya pun banyak terbantu karena Bapak selalu ada ketika dibutuhkan. Bahagia selalu, Pak," tutur Antoni seraya menyalami Pak Kardiman. Angela yang berada di sebelah Antoni turut mendoakan pasangan pengantin baru tersebut. Aroma makanan yang menguar terus memanggil Angela. Sejak pagi perutnya hanya sempat terisi air mineral karena harus memburu waktu. Ia bangun kesiangan pagi tadi. Sarapan paginya masih utuh di kamar. Namun, ia tidak memberitahu Antoni tentang hal tersebut. Kalau kekasihnya itu tahu, bisa kena muka masam seharian. Sementara Antoni berbincang dengan teman-temannya, Angela sibuk memilih kudapan manis yang ragamnya membuat ia ingin mencomot semuanya. Gumawang dan Dahlia menghampiri Angela yang tengah menikmati kudapan di piringnya. Mereka terlihat semringah,
Pasangan pengantin baru tersebut sekali lagi mengucapkan terima kasih pada Antoni dan Angela dan meminta mereka untuk sering berkunjung. Pak Kardiman mewanti-wanti agar mereka menepati janji. Angela dan Antoni kompak menyanggupi. Mereka pulang dengan senyum semringah dan perasaan bahagia. Namun, di sisi lain ada rasa gundah di hati Angela. Teman terbaiknya menghilang tanpa mengatakan apa pun. Gunawang dan Dahlia sudah menunggu di dalam mobil sesuai kesepakatan sebelumnya. Keduanya tampak memperhatikan sesuatu yang mereka pegang di tangan masing-masing. Sekilas bentuknya mirip daun yang dimiliki Angela. Namun, tidak mungkin Angela bertanya sekarang. "Pernah ada urusan apa kau datang ke basecamp Olla?" tanya Antoni di sela perjalanan mereka. "Urusan jenazah yang belum terselesaikan. Pak Kardiman tahu ceritanya.""Kok aku malah gak tahu, An?""Kita belum jadian, Kim. Tapi intinya, ya, itu. Bantu menyelesaikan urusan yang belum selesai. Yang meninggal anak kecil korban pesugihan. Itu,
"Hati-hati, Ton. Gadis-gadis muda jaman sekarang mau enaknya saja.""Jangan salah Nyonya Alena, saya bukan perempuan seperti yang Anda sebutkan. Silakan kembali ke tempat duduk Anda. Kami sedang membicarakan hal penting yang cukup kami berdua saja," kata Angela dengan wajah serius. "Ajari perempuanmu ini sopan santun." Jari Alena mengarah pada wajah Angela. Istri Steve Menda itu melangkah cepat kembali ke tempatnya. Angela dan Antoni pun kembali menempati kursi mereka. "Kena mental kawanmu itu, Kim." Angela menyeringai senang. "Tidak perlu terlalu ditanggapi. Buang-buang energi," kata Antoni terlihat tenang. Angela menghela napas pendek. Baik Steve Menda atau istrinya sama-sama senang menganggap remeh dan rendah orang lain. Merasa punya harta hingga bebas berkata semaunya. Pesanan sudah selesai. Antoni membawa beberapa kotak untuk diberikan kepada orang di jalan. Selebihnya sopir yang mengantarkan ke panti. "Kenapa kita tidak ikut ke panti sekalian, Kim?""Sejujurnya tiap kali
"Menikah.""Mungkin beliau ingin punya cucu. Niat baik itu, La. Supaya hidupmu lebih terarah.""Terarah? Papaku tidak pernah menginginkan aku ada di dunia ini. Dia malu punya anak seperti aku. Cacat dan memalukan.""Tapi nyatanya beliau tetap mencarimu, La.""Ya, karena dia butuh aku sekarang. Butuh untuk meneruskan perusahaannya.""Keren, La. Kalau di cerita-cerita romansa kau itu CEO, jadi rebutan cowok-cowok ganteng." Angela tertawa kecil. "Bukan aku yang jadi CEO-nya. Tapi Edo, masih sepupu jauh aku. Papa mau menjodohkan aku dengan dia.""Kau sudah pernah bertemu Edo?""Sudah dulu waktu kecil. Anaknya jahil. Sering banget aku nangis gara-gara dia.""Semenjak dewasa belum pernah ketemu, siapa tahu sekarang dia menjelma menjadi seorang lelaki tampan, baik dan pintar. Orang terpilih yang sudah melalui banyak pertimbangan dari papamu. Temui saja dulu. Nanti aku temani."Olla menghela napas kasar. "Sejak kemarin ide itu juga muncul di benakku. Mungkin baiknya aku temui saja Papa. Sel
"Jangan berdiri saja di situ, masuk, An!""Bapak sehat, kan?" tanya Angela seraya menarik kursi sedikit menjauh dari meja. Ia kemudian duduk berhadapan dengan Pak Topan. "Iya, Bapak sehat. Cuma kemarin ada kejadian kurang mengenakkan saja.""Kalau boleh tahu, ada kejadian apa, Pak?""Ada dua orang datang dari sebuah perusahaan … Bapak lupa namanya, tapi intinya rumah duka ini masuk ke dalam mega proyek mereka.""Jadi … mereka akan menggusur tempat ini, Pak?" tanya Angela terkejut. "Mereka menawarkan nominal yang fantastis, tapi masih belum mengatakan apa-apa. Mereka memberikan waktu satu bulan untuk Bapak bersiap-siap pindah dari sini.""Loh, bukannya Bapak belum memutuskan?"Pak Topan menghela napas kasar dan pendek. "Mereka sebenarnya tidak perlu persetujuan. Mau atau tidak, kita harus mau.""Tidak bisa begitu dong, Pak. Tanah dan bangunan ini punya Bapak semua. Yang paling berhak memutuskan tentulah Bapak."Pak Topan tersenyum tipis. "Seharusnya memang begitu. Tapi Bapak cuma or