"Hati-hati, Ton. Gadis-gadis muda jaman sekarang mau enaknya saja.""Jangan salah Nyonya Alena, saya bukan perempuan seperti yang Anda sebutkan. Silakan kembali ke tempat duduk Anda. Kami sedang membicarakan hal penting yang cukup kami berdua saja," kata Angela dengan wajah serius. "Ajari perempuanmu ini sopan santun." Jari Alena mengarah pada wajah Angela. Istri Steve Menda itu melangkah cepat kembali ke tempatnya. Angela dan Antoni pun kembali menempati kursi mereka. "Kena mental kawanmu itu, Kim." Angela menyeringai senang. "Tidak perlu terlalu ditanggapi. Buang-buang energi," kata Antoni terlihat tenang. Angela menghela napas pendek. Baik Steve Menda atau istrinya sama-sama senang menganggap remeh dan rendah orang lain. Merasa punya harta hingga bebas berkata semaunya. Pesanan sudah selesai. Antoni membawa beberapa kotak untuk diberikan kepada orang di jalan. Selebihnya sopir yang mengantarkan ke panti. "Kenapa kita tidak ikut ke panti sekalian, Kim?""Sejujurnya tiap kali
"Menikah.""Mungkin beliau ingin punya cucu. Niat baik itu, La. Supaya hidupmu lebih terarah.""Terarah? Papaku tidak pernah menginginkan aku ada di dunia ini. Dia malu punya anak seperti aku. Cacat dan memalukan.""Tapi nyatanya beliau tetap mencarimu, La.""Ya, karena dia butuh aku sekarang. Butuh untuk meneruskan perusahaannya.""Keren, La. Kalau di cerita-cerita romansa kau itu CEO, jadi rebutan cowok-cowok ganteng." Angela tertawa kecil. "Bukan aku yang jadi CEO-nya. Tapi Edo, masih sepupu jauh aku. Papa mau menjodohkan aku dengan dia.""Kau sudah pernah bertemu Edo?""Sudah dulu waktu kecil. Anaknya jahil. Sering banget aku nangis gara-gara dia.""Semenjak dewasa belum pernah ketemu, siapa tahu sekarang dia menjelma menjadi seorang lelaki tampan, baik dan pintar. Orang terpilih yang sudah melalui banyak pertimbangan dari papamu. Temui saja dulu. Nanti aku temani."Olla menghela napas kasar. "Sejak kemarin ide itu juga muncul di benakku. Mungkin baiknya aku temui saja Papa. Sel
"Jangan berdiri saja di situ, masuk, An!""Bapak sehat, kan?" tanya Angela seraya menarik kursi sedikit menjauh dari meja. Ia kemudian duduk berhadapan dengan Pak Topan. "Iya, Bapak sehat. Cuma kemarin ada kejadian kurang mengenakkan saja.""Kalau boleh tahu, ada kejadian apa, Pak?""Ada dua orang datang dari sebuah perusahaan … Bapak lupa namanya, tapi intinya rumah duka ini masuk ke dalam mega proyek mereka.""Jadi … mereka akan menggusur tempat ini, Pak?" tanya Angela terkejut. "Mereka menawarkan nominal yang fantastis, tapi masih belum mengatakan apa-apa. Mereka memberikan waktu satu bulan untuk Bapak bersiap-siap pindah dari sini.""Loh, bukannya Bapak belum memutuskan?"Pak Topan menghela napas kasar dan pendek. "Mereka sebenarnya tidak perlu persetujuan. Mau atau tidak, kita harus mau.""Tidak bisa begitu dong, Pak. Tanah dan bangunan ini punya Bapak semua. Yang paling berhak memutuskan tentulah Bapak."Pak Topan tersenyum tipis. "Seharusnya memang begitu. Tapi Bapak cuma or
"Langit tidak pernah mengatakan dirinya tinggi, Jo. Biarkan saja dia. Kita tinggalkan saja dia sini. Siapa tahu dia sadar kalau sudah mati."Joana menyeringai. "Bocil tengil! Tadi kau bicara santun, ternyata sekarang seperti ini aslimu." "Jangan ikut campur hantu jelek!"Joana tertawa keras. "Apa kau tidak sadar seperti apa kau itu? Hantu teriak hantu!"Calista terdiam. Tampaknya perkataan Joana seperti sebuah tamparan keras di pipinya. "Mohon maaf Nona Calista yang cantik jelita. Make up saya hapus, ya," kata Angela tenang sembari mengusapkan kapas yang telah dibubuhi cairan pembersih make up ke wajah Calista. "Tidak boleh sembarangan begitu. Aku bilang ke Papa!""Bilang sana sama papamu!" ledek Joana. "Awas kau, ya!" Calista berjalan cepat keluar ruangan. Joana menguntitnya dari belakang. Angela hanya tersenyum tipis. Ia sebenarnya tidak sedang bersungguh-sungguh. Hanya ingin memberikan Calista pelajaran. Ia harus bisa menyadari kesalahan sebelum benar-benar pergi dari dunia in
"An! Cepat!" panggil Joana setelah peti jenazah Calista dibawa ke ruang persemayaman. Angela menutup pintu. "Ada apa?""Ada Nyonya Alena. Dia baru saja datang. Sepertinya langsung ke kantor Pak Topan.""Mau apa dia?"Joana mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Biar aku ke sana duluan," kata Joana tampak antusias. Angela menduga-duga maksud kedatangan perempuan tersebut. Satu yang paling mungkin menurutnya adalah perusahaan milik Alena yang akan menggusur rumah duka ini. Angela memilih menunggu kabar tentang kedatangan Alena di ruang perpustakaan mini. Sedangkan Joana masih menguping pembicaraan perempuan tersebut dengan Pak Topan. Sosok Alena mengingatkannya pada Miranda. Perempuan ambisius yang mati karena ambisi dan dendamnya sendiri. Cara bicara maupun gestur tubuhnya tidak jauh berbeda. Novel yang ada di tangan Angela sejak tadi hanya ia pegang saja. Pikirannya terus tertuju pada pertemuan di kantor Pak Topan. Ingin rasanya ia berteriak memanggil Joana dan mendengar ceritanya.
"An! Mau kabur sendiri saja. Tidak mengajakku lagi," kata Joana tiba-tiba datang dari arah belakang Angela. "Salah sendiri gak muncul-muncul. Ayo cepatlah! Perjalanan kita lumayan jauh," ujar Angela seraya menghidupkan mesin motornya. Joana bergegas mendekat kemudian naik ke boncengan. Angela langsung tancap gas meninggalkan area parkir dengan kecepatan di luar kebiasaannya. Cuaca yang bersahabat menjadikan perjalanan dua jam tidak begitu terasa melelahkan. Ditambah suasana pinggiran kota yang cukup bersahabat dengan jalanan yang tidak begitu padat. Angela sampai di depan rumah besar dengan pagar tinggi berwarna putih. Angela menghubungi nomor yang tadi memintanya datang. Tidak lama seorang lelaki muda membuka pintu pagar dan mempersilakan Angela masuk. Dengan sopan lelaki tersebut meminta izin untuk memarkirkan motor Angela ke samping rumah tersebut. Keadaan rumah tampak sepi. Tidak terlihat orang berkumpul di dalam rumah saat Angela masuk. Bulu kuduknya meremang dan telinganya
"Orang yang tidak mengalami tentu mudah bicara. Tapi tidak untuk kami yang menjadi korbannya," kata Agatha seraya melihat wajah Amanda di dalam peti. "Seandainya aku bisa memilih orang tua sebelum lahir, aku akan memilih orang lain saja."Angela hanya bisa menghela napas. Bukan kali ini saja ia menemui jenazah korban pesugihan. Satu hal yang tidak bisa diterima akalnya adalah bagaimana orang tua yang melahirkan dan membesarkan anaknya tega menukar nyawa mereka demi kesenangan dunia. Di luar sana banyak pasangan yang telah berjuang bertahun-tahun demi seorang buah hati tetapi pasangan yang sudah dikaruniai putra dan putri justru dengan mudahnya memberikan nyawa mereka pada makhluk jahat tak bermoral. Angela tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan kedua gadis muda tersebut. Pengalamannya membantu Pauli sudah cukup memberinya peringatan untuk tidak mencampuri perjanjian tumbal pesugihan orang lain. Karena urusannya rumit dan membahayakan. Kurang lebih satu jam Angela selesai me
"Akhirnya pacarmu pulang juga. Aku hanya menjadi pengusir nyamuk saja dari tadi," rutuk Joana dari ambang pintu. "Habis, mau diapakan lagi. Sudah terjadi ini." Angela menahan tawanya. "Sudahlah aku mati, kesepian, tidak punya pacar tapi harus melihat kalian mesra-mesraan begitu. Menyebalkan, tau!"Angela terkekeh. "Kita jalan-jalan saja ke taman di depan sana. Ada warung makan yang buka dua puluh empat jam. Perutku masih lapar ini," ajak Angela. "Boleh juga.""Sebentar kuambil mantelku dulu."Angela melangkah masuk ke kamarnya. Mengambil mantel berbahan lembut di lemari. Mantel itu sangat jarang dipakainya karena kesan ketika memakainya jadi seperti perempuan feminin yang hendak menghadiri pesta thanksgiving di musim dingin. Melewati gang suasananya sangat sepi. Sudah tidak ada lagi orang yang lewat karena waktu hampir menyentuh tengah malam. Namun, begitu mereka sampai di taman, suasana lebih ramai. Terlebih di warung makan yang terdapat di samping taman. Tempat duduk terlihat ma