Tampak dua orang perwira tinggi turun dari mobil polisi lalu menghampiri sebuah mobil mewah berplat khusus tersebut. Kedua perwira melakukan sikap hormat saat pintu penumpang terbuka.Seorang pria berusia tujuh puluh tahunan bangkit lalu berjalan menghampiri kedua perwira."Terima kasih atas bantuannya. Akhirnya keluarga kami bebas dari bayang-bayang mafia black market," ucap pria berpenampilan rapi layaknya seorang pengusaha."Terima kasih kembali. Semoga kerja sama di antara kita semakin terjalin erat," balas salah satu perwira sambil menerima uluran tangan pria pengusaha.Pria pengusaha yang tak lain adalah Rahardian Wisanggeni alias Tuan Gerry melangkahkan kaki menuju ruang rontgen. Semua area yang berisi anggota keluarga Ambar dan para kerabat disterilkankan dari para nakes serta pengunjung yang tidak berkepentingan. Setiap lorong dijaga ketat oleh sekuriti dibantu polisi. Situasi rumah sakit menjadi berubah tegang mirip dengan penyergapan teroris. Tuan Gerry berjalan cepat diik
Kewajiban Tuan Gerry telah ditunaikan termasuk pemberian sebuah rumah mewah di kawasan elit di Singapura. Pria ini segera membuka pesan yang masuk. Ada pesan dari sekretaris dan pimpinan bodyguard serta sekali lagi dari Clarisa. Tuan Gerry membuka pesan dari wanita berprofesi sebagai spionase tersebut.Selamat sore, Tuan GerryIni mungkin adalah pesan terakhir dari saya. Telah sekian tahun saya mengabdi pada Anda. Terus terang, beberapa tahun terakhir, saya tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak mengharap cinta dari Anda. Saya tahu persis bahwa Anda telah menemukan keluarga yang selama ini terpisah. Cinta Anda hanya ada untuk mereka dan hal itu tidak bisa saya terima. Lebih baik Anda tidak bersamanya dan saya terpaksa kalah oleh cinta. Selamat tinggal, my beloved. ~Clarisa Peron~Tuan Gerry seketika terpaku lalu menitikkan air mata. Dirinya sungguh tidak menyangka bahwa selama ini Clarisa menaruh hati padanya. Pria yang masih gagah di usia senja tersebut mengusap air mata dengan uj
Tawa Rafael bagi Ambar sebagai ungkapan kebahagiaan karena telah melewati begitu banyak cobaan. Namun, nyatanya bagi pria tampan ini adalah sebuah penyesalan karena tidak sempat menemui Bu Retno untuk ucapkan rasa terima kasih telah menjaga Ambar dan Brian untuknya."Papa abis ketemu Nenek bareng Kakek? Kok enggak ajak-ajak Brian? Brian kangen sama Nenek. Papa jemput kita, ya?" Rafael yang mendengar pertanyaan Brian, membuat bayang-bayang kedua mayat wanita kembali berkelindan di kepalanya. Kabut berair menutupi mata Rafael. Seketika rasa sesak itu menghujam dada. "Ya, Jagoan. Siap-siap Papa jemput."Rasa sesak mendera dada Rafael. Napas pria itu tercekat dan jantungnya serasa berhenti berdetak. Seketika rasa nyeri di perut semakin terasa membuat Rafael meringis. Hanya satu yang pasti, dirinya harus segera minum obat penenang. Obat yang telah lama ditinggalkan karena kondisi kejiwaannya telah stabil. Kini, rasa trauma yang berdiam kala disekap penculik kembali membuat Rafael sakit.
"Apa dibilang sama Sabrina saat si jagoan tanya kita?""Miss. Sabrina bilang kita sedang jemput Ibu ke bandara."Setelah Ambar mendengar ucapan Rafael barusan, air mata kembali deras mengalir."Gak usah nangis lagi! Kasian Ibu jadi berat dalam perjalanan ke sana.Yuk, kita antar Ibu dengan rasa ikhlas," ucap Rafael yang langsung ditanggapi oleh Ambar dengan senyum tipis.•••~•••~•••Seusai acara pemakaman, Rafael memboyong Ambar ke apartemen. Hal tersebut dilakukannya demi menenangkan hati Ambar dan juga agar Brian tak syok. Secara para pelayat pada berdatangan dan juga karangan bunga sebagai ungkapan belasungkawa tiada pernah berhenti dikirim dari para keluarga, kerabat dan kolega.Secara psikis Ambar masih cukup kuat menghadapi kenyataan bahwa sang ibu meninggal dunia karena ditembak. Yang membuat tak habis pikir oleh Ambar, bagaimana bisa Clarisa bisa setega itu melakukannya? Wanita itu telah membantu keluarga yang terpisah sekian puluh tahun bertemu lagi. Dia pula yang berhasil men
"Pamit sama Mama dan Tante Sabrina dulu.""Mama, Brian jalan-jalan sama Papa dulu, ya," ujar si pria kecil lalu mencium punggung tangan Ambar. Setelah itu, Brian menggandeng tangan papanya dan siap pergi."Pamit ke Tante Sabrina juga, dong!"pinta Ambar."Ogah!"seru Brian yang langsung menarik lengan Rafael. Pria berdarah Latin yang melihat perilaku sang bocah segera meminta maaf terhadap Sabrina dengan menjura. Hal tersebut ditanggapi Sabrina dengan tersenyum lalu menganggukkan kepala.Sepeninggal bapak dan anak, kedua wanita duduk di kursi teras berniat membahas kejadian yang baru saja dialami oleh Brian."Sabri, ada apa dengan anak gue?"tanya Ambar yang tidak sabar untuk mendapat kejelasan. Sabrina tersenyum tipis lalu menutup mulut sebentar. Wajah wanita bermata sipit ini, tampak bingung."Sab, ayo, ngomong aja! Gue gak apa, kok," desak Ambar kepada sahabatnya itu."Gue tuh, bingung. Meski dari mana ceritanya. Yang bikin nyesek, gue ajak Brian, maksudnya biar dia gak syok. Ini mala
"Baik, Bang. Begitu siap kasih keterangan, saya akan segera kasih kabar.""Oke. Selamat sore. Saya hanya bisa memberi doa terbaik untuk kalian. Salam buat Bang Rafael dan peluk cium buat Jagoan. Ingat, ada saya dan Lastri buat kalian!""Nanti saya sampaikan salamnya. Terima kasih banyak atas support dari kalian berdua. Selamat sore juga."Hubungan telepon berakhir. Sabrina menatap Ambar dengan rasa curiga. "Beneran Bang Reno?"Ambar menganggukkan kepala dengan wajah sedih. Sabrina yang paham kondisi si sahabat langsung memeluknya. "Yang sabar, ya. Gue janji akan selalu ada buat lu. Gue yakin, lu, Brian dan Bang Rafael adalah orang-orang pilihan. Kalian pasti bisa lewati segala ujian dengan baik.""Thanks so much, Sabri. Lu selalu ada untuk kami. Gue pamit dulu. Mau sekalian terapi buat Brian.""Ayo, gue anter sampe depan. Gue mau sapa dikit Brian," ucap Sabrina sambil merangkul Ambar.Kedua wanita beranjak menuju beranda. Saat mereka datang, Rafael sedang memunguti beberapa bagaian ru
"Mau diperiksa ...," Brian berlari menangis menghadap tembok.Ambar berjalan mendekati anaknya lalu berkata,"Mama percaya kalo jagoan Mama gak lupa pesan Pak Dokter. Brian habis operasi dan yang boleh periksa hanya Pak Dokter doang.""Iya, Ma. Brian pengen kue cokelat itu.""Kita ke bakery saja. Nanti cari kue cokelat yang sama, pasti ada," ucap Ambar merayu Jagoan."Gak ada yang kayak gitu, Ma," ucap Brian sambil membalikkan badan."Kayak brownies?"tanya Ambar yang semakin penasaran. Wanita berkaki jenjang ini yakin, ada sesuatu yang disembunyikan oleh anaknya."Lain, Ma. Kuenya gak dibungkus plastik bening. Pokoknya Brian mau ketemu Om Toni. Tapi, Om bilang gak boleh orang lain tahu."Begitu mendengar ucapan Brian barusan, Rafael segera telepon Bang Reno. Pria berdarah Latin ini agak menjauh untuk berkomunikasi. Sementara Ambar dan Sabrina sibuk mengorek keterangan dari Brian. Sekitar sepuluh menit kemudian, Rafael telah kembali dengan senyum tipis."Bagaimana, Bang?"tanya Ambar den
"Baik, saya tunggu. Kebetulan di depan rumah sakit ada tempat ngopi favorit saya. Kita bisa ngobrol di sana.""Baik, Bang. Nanti saya kasih kabar lagi."Hubungan telepon diakhiri oleh Rafael. Ponsel langsung dimasukkan kantong celana."Ada kabar apa dari Bang Reno, Honey?"tanya Ambar dengan pandangan menyelidik."Titip jagoan ke Bapak dulu. Kita ngobrol dengan Bang Reno,"balas Rafael."Oke, aku bilang Bapak dulu. Aku liat tadi di sini ada beberapa ART dan tukang kebun. Brian pasti senang banyak teman. Habis tuh, kita bikin liburan bersama Bapak," jelas Ambar yang melihat keadaan dalam ruang tamu."Ide bagus. Buruan pamit Bapak."Ambar gegas masuk rumah lalu berbicara sebentar dengan Tuan Gerry dan Brian. Keduanya tidak keberatan ditinggal oleh Ambar. Dalam otak wanita ini hanya fokus ke sesuatu yang telah dilakukan oleh driver dan juga wujud roti cokelat yang dimau oleh Brian.Ambar ke beranda ditemani Brian dan Tuan Gerry. Rafael mendekat lalu agak membungkuk di depan Tuan Gerry."Ka