*BAB 48*Tak hentinya bibir ini tersenyum melihat sepasang calon pengantin yang sedang melakukan fitting baju di butikku. Mereka nampak begitu bahagia dan berkali-kali berkata suka dengan busana hasil rancanganku sendiri.“Buat tanggal berapa tadi?” tanyaku sambil membuka buku catatan.“Tanggal sembilan belas, Teteh.”“Baik. Berarti baju resepsinya dua kali ganti, ya. Yang merah maroon sama lilac,” ucapku lagi, wanita yang usianya mungkin sepantar dengan Sri itu mengangguk tersenyum. Setelah selesai berbincang, mereka memberikanku uang sebagai kesepakatan kerja sama.“Alhamdulillah, Teh. Seminggu ke depan kita full ngejob,” kata Abel sambil menyunggingkan senyum saat dia juga menerima uang pembayaran untuk jasa henna miliknya.“Iya, Bel. Kamu sehat-sehat, ya. Jangan makan seblak terus, makan sayur sama buah, minum vitamin juga, biar kondisi badan kita selalu fit.”“Siap, Bu Komandan! Ih, bentar, ya. Aku mau ke kamar mandi dulu.” Abel langsung berlari kecil, aku hanya bisa tersenyum k
Lelaki bermata bulan sabit itu kembali hadir di dalam mimpi setelah aku melakukan salat istikharah beberapa kali. Sejujurnya, aku masih ingin sendiri, masih ingin menikmati peran seorang wanita dengan kebebasan tanpa harus memikirkan rumitnya sebuah percintaan.Namun di sisi lain, aku selalu terpikir akan perkataan Bapak mengenai banyaknya lelaki yang datang ke rumah untuk mempersuntingku.Kedatangan mereka pasti membuat para tetangga risi, sehingga Bapak dan Ibu juga ikut merasa tak nyaman. Mau tidak mau waktu kami selalu terganggu setiap harinya. Satu-satunya cara agar para lelaki itu berhenti mendatangi rumah ini adalah dengan pernikahanku.Tapi apa iya aku harus menikah dengan Emmeryl? Lelaki yang begitu singkat hadir di hidupku dibanding dengan kaum-kaum adam lain. Bahkan aku sendiri tidak yakin, aku juga tidak mau dipinang hanya karena sebuah alasan bakti. Aku ingin dicintai sepenuh hati, seperti rasa seorang lelaki yang kasihnya masih kurasa sampai kini.Ya, Azzam Faturrahman.
ABIDZAR POV“Sayang, kopinya.” Tak kugubris kehadiran Dewi yang sepertinya kembali membuatkanku kopi. Setiap malam dia memang selalu melakukannya, bukan hanya kopi, berbagai macam minuman telah dia sajikan, namun entah kenapa aku tak pernah berselera menyentuh apa pun karyanya.“Kamu lagi lihatin apa, sih? Serius banget.” Dia kembali bersuara, sementara aku masih enggan menatapnya. Sekarang aku malah beranjak dari sofa dan ikut serta meraih laptop di atas meja.“Abi!” panggilnya membuatku menjeda langkah.“Kamu kenapa, sih? Makin hari, sikapmu itu makin mirip es batu tahu, nggak!” Sepertinya kesabaran Dewi sudah berada di luar batas.“Kamu ini anggap aku apa?” lanjutnya, suaranya terdengar serak.“Kenapa kamu nikahin aku kalau gak bisa memperlakukanku layaknya seorang istri!” Tak bisa kujawab perkataannya, setelah membuang napas yang terasa berat, aku kembali berjalan, menaiki tangga dengan cepat dan tak mempedulikannya walau terus memanggil namaku.Segera kuletakkan laptop dan menutu
IMAS POV“Jadwal ngejob hanya besok sama lusa, Bel?” tanyaku sambil melihat buku catatan yang selalu kubawa setiap hari.“Iya, Teh.” Abel menjawab sambil bermain ponsel.“Tanggal berikutnya?” “Untuk tanggal berikutnya belum ada, Teh. Tapi akhir bulan tanggal dua tujuh sama tiga puluh ‘kan kita ngejob di Pasir Lisung sama Ciherang.” “Eh, iya, kah? Kok belum ada catatannya ya di sini?” ucapku bingung.“Teteh lupa tulis, kali.” Abel menatapku, tangannya masih menggenggam benda pipih itu.“Oh, tanggal dua tujuh itu yang hanya nyewa jasa rias sama henna saja, ya? Gak sama bajunya.”“Iya, Teteh Imas cantik …,” ucapnya membuatku menggeleng-geleng. Abel terkekeh, lalu bangkit dari kursi dan kini berdiri di samping, melihatku mencatat jadwal pekerjaan yang belum sempat kumasukkan ke dalam daftar.“Tumben, sih, Teh? Dari kemarin tanya tanggal ngejob mulu.” Dia bergumam.“Iya, Bel. Kok rasanya akhir-akhir ini yang pakai jasa kita sepi, ya?” tuturku.“Ah, enggak, kok. Memang biasanya begitu, ‘k
“Kamu sendiri masih mencintai Salma, ‘kan?” ucapku karena tak bisa menjawab pertanyaannya dengan jujur.“Salma? Salma siapa?” katanya membuatku tertegun sejenak. Sepertinya aku tidak salah sebut nama, tetapi kenapa Eryl seolah tidak mengenali nama perempuan yang tak lain tak bukan mantan kekasihnya itu?“Ya, Salma. Wanita yang ninggalin kamu itu,” jawabku kemudian.“O-oh, Salma …,” ucapnya membuatku merasa semakin aneh dengan sikapnya yang terkesan gelagapan.“Aku cepat lupa sama masa lalu.” Eryl berujar lantas meminum jus jeruk yang belum habis.“Tapi kalau sama aku kamu gak lupa, tuh!” ucapku mencoba mencairkan suasana, Eryl malah terkekeh.“Iya, soalnya ada bekas luka di tanganku. Jadi setiap lihat bekas luka ini, pasti aku langsung ingat kamu.” Aku berdeham untuk menetralkan perasaan, aku tak mau kegeeran. Aku akan lebih hati-hati dalam menjatuhkan perasaan. Walau sikap Eryl tak sedingin Pak Abi, namun aku tidak mau menganggapnya sebagai isyarat cinta.Apa lagi, Eryl pernah bilang
“Gaun buat resepsi yang warna merah muda sama cokelat saja, Teh.” Gadis berlesung pipit yang hari ini datang ke butikku berujar setelah dia dan pasangannya mencoba beberapa pakaian.“Siap. Akadnya gak pakai siger, ya?” tanyaku lagi untuk menghindari kekeliruan.“Iya, enggak.” Dia menjawab sambil tersenyum.Entah kenapa dia tak ingin memakai siger di hari pernikahannya nanti, padahal aku paling suka melihat pengantin wanita memakai hiasan itu di atas kepalanya. Tapi balik lagi pada orang tersebut, karena tidak semua manusia memiliki kesukaan yang sama.“Permisi.” Seketika aku dan Abel langsung menoleh, bahkan secepat kilat ekspresi wajah ini berubah saat melihat seorang wanita berseragam cokelat muda masuk ke dalam butik.“Ada yang mau ditambah lagi?” tanyaku pada kedua calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan bulan depan di tanggal dua puluh. “Sudah saja, Teh. Total keseluruhannya jadi berapa?” tanya lelaki yang usianya terlihat lebih matang dibanding sang gadis.Setelah men
“Bapak rasa, akan lebih baik jika kalian pindah dari sini.” Lelaki yang masih mengenakan kopiah itu menatapku dan Emmeryl bergantian.“Pindah ke mana, Pak?” tanyaku bingung.“Ke mana saja, yang penting tidak di sini. Ya sementara saja, untuk menghindari hal-hal buruk seperti malam kemarin,” jawab Bapak, tangannya kini meraih cangkir berisi teh manis buatan Ibu. Urat-urat di lengan Bapak terlihat begitu jelas, menandakan jika beliau sosok yang sering bekerja dengan beban begitu berat.Ya Allah, sebenarnya aku ingin sekali Bapak berhenti bekerja di ladang. Apa lagi salah satu tanah yang digarap beliau adalah pemberian almarhumah Bu Ayu. Aku tidak mau suatu saat hal itu akan menjadi bumerang bagi kami.“Sebenarnya saya sudah memikirkan hal itu sejak lama, Pak. Tapi belum sempat bicara juga dengan Imas.” Emmeryl menyahut, aku meliriknya sekilas, lalu menunduk saat bayangan malam kemarin kembali memenuhi pelupuk mata.Bapak dan Ibu sebenarnya tidak menyaksikan perkelahian antara Emmeryl da
Malam-malam aku harus menempuh perjalanan cukup jauh bersama Emmeryl. Sepanjang jalan aku hanya bisa menahan hawa dingin yang terasa menusuk rongga di dalam badan, padahal aku sudah membalut tubuh dengan jaket tebal. Sebenarnya aku khawatir Emmeryl membawa motor dengan kondisi seperti tadi. Perasaannya pasti kacau karena mendengar kabar Ibundanya yang harus dilarikan ke rumah sakit besar di Kota. Ragu aku memegangi ujung jaketnya selama perjalanan, kali ini kecepatan laju kendaraan yang dikendalikan Emmeryl begitu cepat, sehingga tak jarang aku merasa ketakutan. “Aku akan memacu motor lebih cepat,” katanya dari depan dengan suara lumayan nyaring. “Ini ‘kan sudah cepat, Ryl.” Aku mencoba protes, bisa jantungan kalau dia benar-benar akan menambah kecepatan. “Tidak, ini terlalu lambat. Aku ingin segera sampai.” “Tapi, Ryl−“ Kalimatku terputus saat Emmeryl tiba-tiba saja menarik tanganku dari depan lalu melingkarkannya pada tubuh dia yang ramping. “Pegangan,” perintahnya, aku hanya