Malam-malam aku harus menempuh perjalanan cukup jauh bersama Emmeryl. Sepanjang jalan aku hanya bisa menahan hawa dingin yang terasa menusuk rongga di dalam badan, padahal aku sudah membalut tubuh dengan jaket tebal. Sebenarnya aku khawatir Emmeryl membawa motor dengan kondisi seperti tadi. Perasaannya pasti kacau karena mendengar kabar Ibundanya yang harus dilarikan ke rumah sakit besar di Kota. Ragu aku memegangi ujung jaketnya selama perjalanan, kali ini kecepatan laju kendaraan yang dikendalikan Emmeryl begitu cepat, sehingga tak jarang aku merasa ketakutan. “Aku akan memacu motor lebih cepat,” katanya dari depan dengan suara lumayan nyaring. “Ini ‘kan sudah cepat, Ryl.” Aku mencoba protes, bisa jantungan kalau dia benar-benar akan menambah kecepatan. “Tidak, ini terlalu lambat. Aku ingin segera sampai.” “Tapi, Ryl−“ Kalimatku terputus saat Emmeryl tiba-tiba saja menarik tanganku dari depan lalu melingkarkannya pada tubuh dia yang ramping. “Pegangan,” perintahnya, aku hanya
AUTHOR POVSaya pakai sudut pandang ini agar bisa lebih leluasa menceritakan kisah ini. Gak apa, ya?Dewi tersenyum-senyum seraya memandangi sendiri dari pantulan cermin. Dia merasa dirinya begitu cantik dengan paduan lingerie berwarna ungu muda. Wanita yang sudah berusia matang itu tengah menanti Abidzar di kamar mandi, dia hendak memberi kejutan berharap lelaki itu akan menjamahnya kembali.“Sedang apa kamu di sini?” Suara Abidzar terdengar menggema, lelaki berjambang itu sangat amat terkejut mendapati Dewi berada di kamarnya.“Loh, memangnya kenapa?” Dewi menyahut dengan enteng, bibir berisinya nampak menyunggingkan senyum.Abidzar menghela napas dalam, lalu memijat pelipis karena kelakukan wanita yang kini menjadi istrinya itu sering membuatnya merasa pening.“Tolong, keluar. Aku mau ganti pakaian.” Abidzar memelankan suaranya, dia tidak ingin berteriak karena takut ayah atau tantenya mendengar.“Kenapa harus keluar? Apa kamu tidak lihat aku sedang mengenakan apa?” Dewi berujar se
Suara pintu yang diketuk di depan sana membuat Emmeryl dan Imas refleks menyudahi aktivitas. Saat wajah mereka kembali berjauhan, suasana malah terasa canggung, bahkan Imas sendiri tak berani menatap lelaki bermata bulan sabit itu. Cepat dia turun dari meja mini bar lalu berlari kecil menuju pintu utama rumah berukuran enam kali sembilan tersebut.“Bapak?” ucapnya sedikit kaget saat melihat sosok Misbah di hadapan pintu, lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu lantas menyunggingkan senyum.“Ayo, masuk, Pak. Kenapa Bapak ke sini gak kabarin Imas?” katanya lagi.“Hehe, maaf, Imas. Tadi Bapak habis antar jagung ke pembeli yang ngeborong, sekalian mampir ke sini karena rumahnya dekat.”“Ya Allah, Pak … terima kasih banyak.” Imas berucap sambil menahan haru.Tak lama Emmeryl datang, seperti biasa lelaki itu selalu menunjukkan rasa hormat pada ayah mertuanya.“Kenapa antar jagungnya malam-malam begini, Pak?” tanya Emmeryl.“Iya, Nak. Soalnya tadi siang Bapak sibuk bersihin sa
“Bekalnya, Ryl.” Imas menyodorkan kotak makanan yang tak dijamah suaminya. “Tidak usah,” ucap Emmeryl dengan ketus, tentu Imas merasa terkejut dengan sikap suaminya pagi ini.“Tapi kamu kan−“ Suara Imas tertahan saat Emmeryl melangkah begitu saja. Dari ruangan tamu yang menyatu dengan ruang televisi, Imas menatap lelaki bertubuh tinggi itu menjauh dan menyambar motor di halaman rumah.Dengan wajah dingin Emmeryl memakai helm, kemudian melesat pergi tanpa mengucap kata sedikit pun.Imas menghela napas dalam dengan tangan masih memegangi kotak makan yang tak dibawa suaminya. Dengan langkah gontai Imas pun kembali ke belakang lalu meletakkan benda itu di atas mini bar.Wanita bermata bulat itu terduduk sendirian bersama lamunan panjang. Dia pun tertunduk lesu, menyadari jika sikap dingin Emmeryl adalah sebuah pertanda jika lelaki itu sedang marah. Tentu bukan karena alasan, pemilik mata bulan sabit itu memang terbakar cemburu kala melihat istrinya berada di pelukan orang lain.Setelah m
Abidzar tersedu di atas pusara mendiang ibunya. Setelah wanita itu tiada, dia merasa jika hidup yang dijalaninya teramat begitu pahit dan sulit.“Maafkan Abi, Bu. Maafkan Abi tidak bisa mempertahankan pernikahan sekaligus amanah Ibu.” Tangannya mengusap-usap batu nisan, dadanya begitu sesak mengingat banyaknya orang yang dia cintai pergi meninggalkannya.“Sebenarnya, Abi masih sangat mencintai Imas. Abi ingin kembali bersamanya. Tapi sepertinya semua itu mustahil, Imas sudah memiliki hidup baru, memiliki pendamping baru yang tidak pecundang semacam anakmu ini.”“Abi harus bagaimana, Bu? Abi sungguh tersiksa. Abi tidak bahagia menikah dengan pilihan Ayah, Abi juga sudah tidak nyaman menjalankan profesi yang selama ini Ayah inginkan. Boleh kah Abi pergi, Bu? Boleh kah Abi melepas segalanya?” katanya masih dengan tangis yang sama.Sesak di dadanya kini berkurang setelah lelaki berjambang itu mengeluarkan semua suara-suara kepedihan di dalam hatinya.Dengan langkah berat, Abidzar pun meni
“Dewi, hubungi Abi.” Dengan lemah Johan meminta. Lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu terbaring di ranjang rumah sakit. Dengan setia mantan menantunya itu menemani bersama orang tuanya.“Sepertinya kontak Dewi diblokir, Yah.” Dewi ikutan lemas saat menyadari profil kontak Abidzar menjadi tiada, bahkan setiap kali dia mencoba menghubunginya melalui chat, hanya centang satu yang berada di bawah teks pesannya.“Pergi lah ke rumah Yuni. Abidzar pasti masih ada di sana, Dewi. Beritahu dia jika Ayah tertimpa musibah.” Dewi menggigit bibirnya beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk setuju.“Kalau begitu Dewi akan menelepon Ibu dulu, biar ada yang menemani Ayah di sini,” ucapnya, Johan hanya mengangguk pelan.“Kamu ini apa-apaan, Dewi? Sudah cukup, Nak. Kamu itu bukan lagi istri Abidzar, bukan lagi menantu Pak Johan. Berhenti ikut campur dengan hidup mereka,” ucap sang ibunda dari seberang sana saat Dewi berhasil menghubunginya.Wanita berbibir tebal itu melirik Johan perlah
“Ayo, masuk, Imas.” Azzam menyambut kedatangan sahabat istrinya itu dengan hangat, wanita bermata bulat itu mengangguk lantas masuk ke dalam sebuah rumah kecil yang dikontrak oleh pasutri baru.“Abelnya masih di kamar mandi. Kamu mau minum apa?” tawarnya.“Jangan repot-repot, Pak.” Imas menjawab dengan enteng, Azzam tersenyum lalu menuangkan air putih pada gelas kosong di atas meja.“Tidak repot, Imas.” Tangan Azzam meraih stoples berisi camilan di kolong meja, kemudian menyuguhkannya pada wanita yang sempat bertakhta di hatinya dengan waktu begitu lama.“Bagaimana keadaan Abel sekarang?” tanya Imas seraya melepas tas ranselnya yang berukuran kecil lalu meletakkannya di samping tubuh.“Masih sama seperti kemarin. Belum masuk nasi.”“Loh, terus makan apa, dong?” tanya Imas bingung.“Paling makan buah-buahan atau roti, Imas. Kemarin sih suka minum susu juga, tapi sekarang malah jadi mual katanya kalau nyium bau susu.”“Ya Allah,” tutur Imas khawatir.“Teteh!” Kedua manusia itu menoleh b
Imas POVSelama hidup di dunia, aku mencoba menerapkan prinsip untuk tak membenci siapa pun atau menumbuhkan dendam di dalam hati ini.Aku sudah melalui banyak derita, dan aku tidak mau menambah luka dengan perasaan itu sendiri. Tak pernah kusimpan amarah di dalam jiwa, termasuk pada lelaki yang banyak memberiku nestapa.Iya, hatiku hancur lebur kala waktu itu terasa dibuang begitu saja. Padahal saat itu ada benih dirinya yang tertanam di rahimku, juga cintanya yang mengakar di dalam hatiku. Duniaku seakan runtuh kala dia dengan begitu mudah mengakhiri ikatan rumah tangga kami.Akhirnya aku harus berjuang sendiri, terseok-seok menghadapi satu demi satu kepedihan yang tak ada sudahnya. Sebisa mungkin aku tak membiarkan perasaan dengki menguasai diri.Sampai akhirnya aku tahu, jika dia melakukan ini hanya untuk melindungi, bukan semata-mata karena inginnya sendiri.Pastinya hatiku akan lebih hancur jika sudah telanjur membencinya, karena aku sendiri tidak pantas melakukannya, sebagai m
Emmeryl POV“Emmeryl! Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?” Suara yang tentu tidak asing di telinga itu terdengar menggema, aku hanya bisa menghela napas sambil memegangi erat helm di genggaman.“Kerja, Pa. Dari mana lagi?” sahutku pelan.“Kerja? Jadwalmu di rumah sakit itu hanya sampai jam delapan malam. Jangan membodohi Papamu, Emmeryl!” bentaknya seolah tak bosan.“Kamu pasti habis main motor lagi, ‘kan?” tebaknya. Aku diam karena malas berdebat.“Emmeryl!” pekiknya saat aku hendak melangkah.“Sudah malam, Pa. Lebih baik Papa istirahat,” kataku dengan nada rendah.“Mau jadi apa sebenarnya kamu ini, Emmeryl? Susah sekali diatur! Besok keluarga Pak Anjaya akan datang ke mari bersama calon istrimu. Seharusnya kamu bisa pulang lebih awal untuk mempersiapkan diri karena akan bertemu dengan Salma.”“Emmeryl tidak punya calon istri, Pa.”“Jangan membantah!” bentaknya lagi, aku hanya bisa menelan ludah.Entah sudah berapa belas tahun aku hidup di bawah ketiak seorang lelaki yang tak
Imas POVSelama hidup di dunia, aku mencoba menerapkan prinsip untuk tak membenci siapa pun atau menumbuhkan dendam di dalam hati ini.Aku sudah melalui banyak derita, dan aku tidak mau menambah luka dengan perasaan itu sendiri. Tak pernah kusimpan amarah di dalam jiwa, termasuk pada lelaki yang banyak memberiku nestapa.Iya, hatiku hancur lebur kala waktu itu terasa dibuang begitu saja. Padahal saat itu ada benih dirinya yang tertanam di rahimku, juga cintanya yang mengakar di dalam hatiku. Duniaku seakan runtuh kala dia dengan begitu mudah mengakhiri ikatan rumah tangga kami.Akhirnya aku harus berjuang sendiri, terseok-seok menghadapi satu demi satu kepedihan yang tak ada sudahnya. Sebisa mungkin aku tak membiarkan perasaan dengki menguasai diri.Sampai akhirnya aku tahu, jika dia melakukan ini hanya untuk melindungi, bukan semata-mata karena inginnya sendiri.Pastinya hatiku akan lebih hancur jika sudah telanjur membencinya, karena aku sendiri tidak pantas melakukannya, sebagai m
“Ayo, masuk, Imas.” Azzam menyambut kedatangan sahabat istrinya itu dengan hangat, wanita bermata bulat itu mengangguk lantas masuk ke dalam sebuah rumah kecil yang dikontrak oleh pasutri baru.“Abelnya masih di kamar mandi. Kamu mau minum apa?” tawarnya.“Jangan repot-repot, Pak.” Imas menjawab dengan enteng, Azzam tersenyum lalu menuangkan air putih pada gelas kosong di atas meja.“Tidak repot, Imas.” Tangan Azzam meraih stoples berisi camilan di kolong meja, kemudian menyuguhkannya pada wanita yang sempat bertakhta di hatinya dengan waktu begitu lama.“Bagaimana keadaan Abel sekarang?” tanya Imas seraya melepas tas ranselnya yang berukuran kecil lalu meletakkannya di samping tubuh.“Masih sama seperti kemarin. Belum masuk nasi.”“Loh, terus makan apa, dong?” tanya Imas bingung.“Paling makan buah-buahan atau roti, Imas. Kemarin sih suka minum susu juga, tapi sekarang malah jadi mual katanya kalau nyium bau susu.”“Ya Allah,” tutur Imas khawatir.“Teteh!” Kedua manusia itu menoleh b
“Dewi, hubungi Abi.” Dengan lemah Johan meminta. Lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu terbaring di ranjang rumah sakit. Dengan setia mantan menantunya itu menemani bersama orang tuanya.“Sepertinya kontak Dewi diblokir, Yah.” Dewi ikutan lemas saat menyadari profil kontak Abidzar menjadi tiada, bahkan setiap kali dia mencoba menghubunginya melalui chat, hanya centang satu yang berada di bawah teks pesannya.“Pergi lah ke rumah Yuni. Abidzar pasti masih ada di sana, Dewi. Beritahu dia jika Ayah tertimpa musibah.” Dewi menggigit bibirnya beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk setuju.“Kalau begitu Dewi akan menelepon Ibu dulu, biar ada yang menemani Ayah di sini,” ucapnya, Johan hanya mengangguk pelan.“Kamu ini apa-apaan, Dewi? Sudah cukup, Nak. Kamu itu bukan lagi istri Abidzar, bukan lagi menantu Pak Johan. Berhenti ikut campur dengan hidup mereka,” ucap sang ibunda dari seberang sana saat Dewi berhasil menghubunginya.Wanita berbibir tebal itu melirik Johan perlah
Abidzar tersedu di atas pusara mendiang ibunya. Setelah wanita itu tiada, dia merasa jika hidup yang dijalaninya teramat begitu pahit dan sulit.“Maafkan Abi, Bu. Maafkan Abi tidak bisa mempertahankan pernikahan sekaligus amanah Ibu.” Tangannya mengusap-usap batu nisan, dadanya begitu sesak mengingat banyaknya orang yang dia cintai pergi meninggalkannya.“Sebenarnya, Abi masih sangat mencintai Imas. Abi ingin kembali bersamanya. Tapi sepertinya semua itu mustahil, Imas sudah memiliki hidup baru, memiliki pendamping baru yang tidak pecundang semacam anakmu ini.”“Abi harus bagaimana, Bu? Abi sungguh tersiksa. Abi tidak bahagia menikah dengan pilihan Ayah, Abi juga sudah tidak nyaman menjalankan profesi yang selama ini Ayah inginkan. Boleh kah Abi pergi, Bu? Boleh kah Abi melepas segalanya?” katanya masih dengan tangis yang sama.Sesak di dadanya kini berkurang setelah lelaki berjambang itu mengeluarkan semua suara-suara kepedihan di dalam hatinya.Dengan langkah berat, Abidzar pun meni
“Bekalnya, Ryl.” Imas menyodorkan kotak makanan yang tak dijamah suaminya. “Tidak usah,” ucap Emmeryl dengan ketus, tentu Imas merasa terkejut dengan sikap suaminya pagi ini.“Tapi kamu kan−“ Suara Imas tertahan saat Emmeryl melangkah begitu saja. Dari ruangan tamu yang menyatu dengan ruang televisi, Imas menatap lelaki bertubuh tinggi itu menjauh dan menyambar motor di halaman rumah.Dengan wajah dingin Emmeryl memakai helm, kemudian melesat pergi tanpa mengucap kata sedikit pun.Imas menghela napas dalam dengan tangan masih memegangi kotak makan yang tak dibawa suaminya. Dengan langkah gontai Imas pun kembali ke belakang lalu meletakkan benda itu di atas mini bar.Wanita bermata bulat itu terduduk sendirian bersama lamunan panjang. Dia pun tertunduk lesu, menyadari jika sikap dingin Emmeryl adalah sebuah pertanda jika lelaki itu sedang marah. Tentu bukan karena alasan, pemilik mata bulan sabit itu memang terbakar cemburu kala melihat istrinya berada di pelukan orang lain.Setelah m
Suara pintu yang diketuk di depan sana membuat Emmeryl dan Imas refleks menyudahi aktivitas. Saat wajah mereka kembali berjauhan, suasana malah terasa canggung, bahkan Imas sendiri tak berani menatap lelaki bermata bulan sabit itu. Cepat dia turun dari meja mini bar lalu berlari kecil menuju pintu utama rumah berukuran enam kali sembilan tersebut.“Bapak?” ucapnya sedikit kaget saat melihat sosok Misbah di hadapan pintu, lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu lantas menyunggingkan senyum.“Ayo, masuk, Pak. Kenapa Bapak ke sini gak kabarin Imas?” katanya lagi.“Hehe, maaf, Imas. Tadi Bapak habis antar jagung ke pembeli yang ngeborong, sekalian mampir ke sini karena rumahnya dekat.”“Ya Allah, Pak … terima kasih banyak.” Imas berucap sambil menahan haru.Tak lama Emmeryl datang, seperti biasa lelaki itu selalu menunjukkan rasa hormat pada ayah mertuanya.“Kenapa antar jagungnya malam-malam begini, Pak?” tanya Emmeryl.“Iya, Nak. Soalnya tadi siang Bapak sibuk bersihin sa
AUTHOR POVSaya pakai sudut pandang ini agar bisa lebih leluasa menceritakan kisah ini. Gak apa, ya?Dewi tersenyum-senyum seraya memandangi sendiri dari pantulan cermin. Dia merasa dirinya begitu cantik dengan paduan lingerie berwarna ungu muda. Wanita yang sudah berusia matang itu tengah menanti Abidzar di kamar mandi, dia hendak memberi kejutan berharap lelaki itu akan menjamahnya kembali.“Sedang apa kamu di sini?” Suara Abidzar terdengar menggema, lelaki berjambang itu sangat amat terkejut mendapati Dewi berada di kamarnya.“Loh, memangnya kenapa?” Dewi menyahut dengan enteng, bibir berisinya nampak menyunggingkan senyum.Abidzar menghela napas dalam, lalu memijat pelipis karena kelakukan wanita yang kini menjadi istrinya itu sering membuatnya merasa pening.“Tolong, keluar. Aku mau ganti pakaian.” Abidzar memelankan suaranya, dia tidak ingin berteriak karena takut ayah atau tantenya mendengar.“Kenapa harus keluar? Apa kamu tidak lihat aku sedang mengenakan apa?” Dewi berujar se
Malam-malam aku harus menempuh perjalanan cukup jauh bersama Emmeryl. Sepanjang jalan aku hanya bisa menahan hawa dingin yang terasa menusuk rongga di dalam badan, padahal aku sudah membalut tubuh dengan jaket tebal. Sebenarnya aku khawatir Emmeryl membawa motor dengan kondisi seperti tadi. Perasaannya pasti kacau karena mendengar kabar Ibundanya yang harus dilarikan ke rumah sakit besar di Kota. Ragu aku memegangi ujung jaketnya selama perjalanan, kali ini kecepatan laju kendaraan yang dikendalikan Emmeryl begitu cepat, sehingga tak jarang aku merasa ketakutan. “Aku akan memacu motor lebih cepat,” katanya dari depan dengan suara lumayan nyaring. “Ini ‘kan sudah cepat, Ryl.” Aku mencoba protes, bisa jantungan kalau dia benar-benar akan menambah kecepatan. “Tidak, ini terlalu lambat. Aku ingin segera sampai.” “Tapi, Ryl−“ Kalimatku terputus saat Emmeryl tiba-tiba saja menarik tanganku dari depan lalu melingkarkannya pada tubuh dia yang ramping. “Pegangan,” perintahnya, aku hanya