“Bapak! Bapak!” Dengan tubuh gemetar aku memanggilnya, lututku terasa begitu lemas, cemas menunggu kedatangan Bapak yang tak kunjung muncul.“Ada apa, Imas?” Bapak nampak datang dari arah kamar, sepertinya beliau habis salat.“Nenek, Pak! Nenek ….” Aku tak kuasa melanjutkan kalimat.“Tenang, Imas. Tenang.” Bapak mengusap-usap sebelah bahuku. Cepat aku menarik napas dalam, walau netra ini masih berderai air mata.“Ayo, Pak.” Bergegas aku menarik lengan Bapak, tak ingin memberitahunya sekarang. Biar lah beliau yang melihat langsung keadaan Ibunya itu.Setelah masuk ke rumah, kami sama-sama berjalan dengan cepat menuju ruangan yang televisi. Aku kaget bukan main saat melihat Ibu tengah memberikan minum pada Nenek dengan sebuah sendok. Loh, bukannya beliau sudah tiada?“Ya Allah. Ibu makin parah, Is?” Bapak langsung duduk di samping Ibu, tangannya menyentuh lengan atas Nenek.“Ibu. Bukannya ….” Aku yang masih kaget dan berdiri hendak ikut bertanya. Ibu menggeleng.“Astagfirullah,” ucapku
“Imas, kamu lagi apa? Ada Bu Yuni ke sini, Nak.” Suara lembut Ibu dari balik pintu membuatku segera menghapus air mata.Semenjak ditalak oleh Pak Abi aku sering menghabiskan waktu di kamar. Entah untuk menenangkan diri, atau menangis sampai terlelap. Ya, aku pun memutuskan untuk memanggilnya dengan sebutan itu kembali.“Sebentar, Bu.” Walau merasa malas, aku pun bangkit dari pembaringan, mendekat ke arah lemari plastik yang baru dibeli Ibu beberapa hari lalu, katanya dia punya uang dari sang menantu kebanggaannya itu.Ah … entah bagaimana perasaan Ibu juga Bapak kalau mereka tahu tentang kabar menyakitkan ini. sungguh, aku belum siap memberitahu mereka. Hati kecilku berharap, Pak Abi akan menarik perkataannya sebelum orang tuaku benar-benar tahu.Setelah berganti pakaian, aku menggapai bedak untuk menutupi mata yang sembab. Setidaknya dengan menggunakan make up, wajah sedihku tak terlalu kentara.Kuhela napas dalam-dalam sebelum keluar kamar. Merasa sudah siap, aku pun menekan dan men
ABIDZAR POV“Mau Tante yang berangkat atau kamu saja, Bi?” “Biar aku saja. Titip Syifa, ya, Tan.” Aku menoleh pada pintu ICU. Di dalam ada ayah yang menunggu buah hatiku yang sudah terbaring beberapa lama.“Ya sudah, hati-hati, ya. Jangan banyak pikiran.” Tante mengingatkan. Aku hanya mengangguk.Sebenarnya berat meninggalkan Syifa walau hanya beberapa jam saja, aku juga sudah tidak semangat bekerja semenjak beberapa musibah menimpa.Ya, aku tahu jika manusia pasti selalu memiliki ujian. Namun kali ini, aku merasa ujian dariNYA sangat lah berat. Setelah kehilangan cinta pertamaku beberapa tahun ke belakang, aku juga harus dihadapkan dengan kepahitan lain. Merasa seperti disambar petir di siang bolong, tiba-tiba saja makhluk yang melahirkanku ke dunia ini dihinggapi sebuah penyakit lalu pergi begitu cepat.Sungguh seperti mimpi, jika Ibu akan meninggalkanku di saat kondisi seperti ini. Padahal aku belum bisa membahagiakannya, belum bisa sempurna membuat dia tersenyum.Lalu sekarang,
IMAS POVSetiap hari, aku selalu mencoba bangkit, terus berusaha berjalan walau tertatih-tatih. Ujian datang yang bertubi-tubi rasanya berhasil menghantam jiwa raga ini.Kehilangan mertua yang kucinta, kandasnya rumah tangga, lalu ditinggal pergi janin di dalam perut ini. Andai saja aku tak meletakkan iman di dada, mustahil diri ini masih menjadi orang normal seperti biasa.“Imas, mau berangkat?” tanya Ibu saat Subuh ini aku hendak bersiap ke tempat mempelai wanita yang hendak kudandani.“Iya, Ibu. Sebentar lagi jemputan datang,” jawabku seraya mengemasi beberapa barang yang hendak kubawa.Satu bulan ini, jadwalku sebagai perias pengantin cukup padat. Aku memang sudah memiliki sertifikat lulus dari tempat kursus Teh Santi, dan kini aku sering mendapatkan job sebagai MUA resmi, bersama Abel yang selalu mengantarku ke mana-mana sekaligus menjadi jasa pembuat henna.“Temui dulu Nenekmu, Imas. Sepertinya dia menunggumu.” Aku langsung terdiam saat mendengar perkataan Ibu. Tanganku yang ten
“Kamu jadi MUA ya, sekarang?” tanya Ridwan, di hadapannya aku hanya bisa mengangguk singkat.Suasana teramat begitu canggung. Walau dulu kami satu kelas saat di Madrasah Aliyah, tapi aku tidak pernah bertukar kalimat dengan lelaki berkulit putih itu. Selama mengenyam pendidikan, aku memang tak pernah bergaul dengan siapa pun, entah itu murid perempuan, apa lagi murid laki-laki. Padahal, ternyata mereka begitu menerimaku dengan baik saat acara reuni beberapa bulan lalu.Untuk mengalihkan perasaan tak menentu, aku celingukkan mencari Ibu. Padahal tadi beliau sudah bilang, hendak ke rumah Nenek kembali karena masih ada banyak petakziah yang datang.“Aku ganggu, ya?” katanya lagi membuatku terpaksa menatapnya, kupaksakan bibir ini untuk tersenyum lalu menggeleng.“Sebenarnya, aku ke sini sama Kakek, tapi beliau masih di rumah almarhum Nenekmu.”“Oh …,” jawabku datar, bingung harus berkata apa. Sekarang aku tahu, dia ke sini memang untuk bertakziah.“Kakekmu kenal dengan Nenekku?” Giliran
“Beli sate di mana, Pak?” tanyaku saat melihat Bapak membuka sebuah bungkusan sate yang begitu banyak.“Dari Haji Saedi, Imas. Tadi beliau ke sini, mau ketemu kamu. Tapi kamunya belum pulang.” Terdiam aku mendengar jawaban Bapak. Sepertinya status baruku ini sudah sampai ke mana-mana. Sehingga setiap hari ada saja tamu lelaki yang datang ke rumah. Anehnya, kenapa mereka tidak menemuiku saat masih gadis? Kenapa mereka seolah tertarik dengan status jandaku? Entah lah, pikiran para lelaki itu terlalu rumit untuk kumengerti.“Ayo, makan dulu, Imas. Kamu pasti capek.” Bapak bersuara lagi hingga aku tersadar kembali.“Iya, Nak. Makan dulu, kalau gak mau satenya, Ibu ambilkan menu lain. Tadi Ibu masak ayam serundeng sama semur tahu.” Karena tubuh memang sangat lelah, aku pun tak menolak ajakan mereka.Kami pun makan bersama di depan televisi, Ibu juga mengambilkan masakannya karena beliau tahu aku jarang memakan makanan pemberian lelaki-lelaki yang datang ke rumah.Bukan sok jual mahal, tap
“Selamat, ya, Teteh.” Abel memelukku erat sekali, entah kenapa aku merasakan ketulusan kasih sayang anak ini, padahal kami kenal baru beberapa bulan, tapi aku sudah menganggapnya sebagai adik kandung sendiri.“Ini semua berkat kamu juga, Bel. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku gak akan pernah bisa buka butik ini,” ucapku saat kami melepas pelukan.“Kok berkat aku, sih?” Wajahnya langsung berubah.“Iya, lah. Kalau gak ada kamu, siapa yang mengantarku ke tempat para pelanggan? Tahu sendiri aku gak bisa motor, gak punya juga.” Mendengar ucapanku, Abel malah terkekeh.“Nggak, lah. Semua ini berkat usaha dan kerja keras Teteh. Nah, mendingan nanti Teteh beli motor saja, kalau sewaktu-waktu Abel gak bisa nemenin Teteh ngejob, Teteh bisa pergi dan bawa motor sendiri.”“Kok bicaranya begitu, sih, Bel?”“Ya ‘kan manusia itu gak selamanya gak punya urusan mendadak atau dikasih kesehatan setiap hari. Jaga-jaga itu perlu.”“Iya, sih. Tapi bagaimana mau belajar motor, pakai sepeda saja aku gak bisa
“Benar tidak mau kuantar?” tanya Pak Azzam untuk kesekian kalinya saat aku hendak pulang bersama Ilham. Aku pun menggeleng sembari mencoba melukis senyum.“Ya sudah, kalau begitu hati-hati di jalan, ya?” “Terima kasih,” jawabku singkat. Lelaki bermata bening itu tersenyum.“Ayo, Ilham.” Lekas aku mengajak adik semata wayangku untuk melangkah, aku tidak ingin berlama-lama berada di hadapan Pak Azzam. Selain malu karena tak bisa menahan tangis di hadapannya, aku juga tidak mau orang-orang berasumsi aneh karena melihat kami berdua.“Imas?” panggilnya saat aku baru berjalan. Dengan tangan yang masih berada di kedua pundak Ilham, aku menghentikan langkah, menoleh dan menatapnya kembali.“Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku. Jangan sungkan,” katanya dengan senyuman meneduhkan hati. Bukan senyuman menggoda laksana beberapa lelaki yang setiap malam selalu datang ke rumahku.“Insyaallah,” jawabku, kemudian kembali balik badan dan memerintah Ilham untuk kembali berjalan.Sesak di dada kembali