“Beli sate di mana, Pak?” tanyaku saat melihat Bapak membuka sebuah bungkusan sate yang begitu banyak.“Dari Haji Saedi, Imas. Tadi beliau ke sini, mau ketemu kamu. Tapi kamunya belum pulang.” Terdiam aku mendengar jawaban Bapak. Sepertinya status baruku ini sudah sampai ke mana-mana. Sehingga setiap hari ada saja tamu lelaki yang datang ke rumah. Anehnya, kenapa mereka tidak menemuiku saat masih gadis? Kenapa mereka seolah tertarik dengan status jandaku? Entah lah, pikiran para lelaki itu terlalu rumit untuk kumengerti.“Ayo, makan dulu, Imas. Kamu pasti capek.” Bapak bersuara lagi hingga aku tersadar kembali.“Iya, Nak. Makan dulu, kalau gak mau satenya, Ibu ambilkan menu lain. Tadi Ibu masak ayam serundeng sama semur tahu.” Karena tubuh memang sangat lelah, aku pun tak menolak ajakan mereka.Kami pun makan bersama di depan televisi, Ibu juga mengambilkan masakannya karena beliau tahu aku jarang memakan makanan pemberian lelaki-lelaki yang datang ke rumah.Bukan sok jual mahal, tap
“Selamat, ya, Teteh.” Abel memelukku erat sekali, entah kenapa aku merasakan ketulusan kasih sayang anak ini, padahal kami kenal baru beberapa bulan, tapi aku sudah menganggapnya sebagai adik kandung sendiri.“Ini semua berkat kamu juga, Bel. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku gak akan pernah bisa buka butik ini,” ucapku saat kami melepas pelukan.“Kok berkat aku, sih?” Wajahnya langsung berubah.“Iya, lah. Kalau gak ada kamu, siapa yang mengantarku ke tempat para pelanggan? Tahu sendiri aku gak bisa motor, gak punya juga.” Mendengar ucapanku, Abel malah terkekeh.“Nggak, lah. Semua ini berkat usaha dan kerja keras Teteh. Nah, mendingan nanti Teteh beli motor saja, kalau sewaktu-waktu Abel gak bisa nemenin Teteh ngejob, Teteh bisa pergi dan bawa motor sendiri.”“Kok bicaranya begitu, sih, Bel?”“Ya ‘kan manusia itu gak selamanya gak punya urusan mendadak atau dikasih kesehatan setiap hari. Jaga-jaga itu perlu.”“Iya, sih. Tapi bagaimana mau belajar motor, pakai sepeda saja aku gak bisa
“Benar tidak mau kuantar?” tanya Pak Azzam untuk kesekian kalinya saat aku hendak pulang bersama Ilham. Aku pun menggeleng sembari mencoba melukis senyum.“Ya sudah, kalau begitu hati-hati di jalan, ya?” “Terima kasih,” jawabku singkat. Lelaki bermata bening itu tersenyum.“Ayo, Ilham.” Lekas aku mengajak adik semata wayangku untuk melangkah, aku tidak ingin berlama-lama berada di hadapan Pak Azzam. Selain malu karena tak bisa menahan tangis di hadapannya, aku juga tidak mau orang-orang berasumsi aneh karena melihat kami berdua.“Imas?” panggilnya saat aku baru berjalan. Dengan tangan yang masih berada di kedua pundak Ilham, aku menghentikan langkah, menoleh dan menatapnya kembali.“Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku. Jangan sungkan,” katanya dengan senyuman meneduhkan hati. Bukan senyuman menggoda laksana beberapa lelaki yang setiap malam selalu datang ke rumahku.“Insyaallah,” jawabku, kemudian kembali balik badan dan memerintah Ilham untuk kembali berjalan.Sesak di dada kembali
*BAB 48*Tak hentinya bibir ini tersenyum melihat sepasang calon pengantin yang sedang melakukan fitting baju di butikku. Mereka nampak begitu bahagia dan berkali-kali berkata suka dengan busana hasil rancanganku sendiri.“Buat tanggal berapa tadi?” tanyaku sambil membuka buku catatan.“Tanggal sembilan belas, Teteh.”“Baik. Berarti baju resepsinya dua kali ganti, ya. Yang merah maroon sama lilac,” ucapku lagi, wanita yang usianya mungkin sepantar dengan Sri itu mengangguk tersenyum. Setelah selesai berbincang, mereka memberikanku uang sebagai kesepakatan kerja sama.“Alhamdulillah, Teh. Seminggu ke depan kita full ngejob,” kata Abel sambil menyunggingkan senyum saat dia juga menerima uang pembayaran untuk jasa henna miliknya.“Iya, Bel. Kamu sehat-sehat, ya. Jangan makan seblak terus, makan sayur sama buah, minum vitamin juga, biar kondisi badan kita selalu fit.”“Siap, Bu Komandan! Ih, bentar, ya. Aku mau ke kamar mandi dulu.” Abel langsung berlari kecil, aku hanya bisa tersenyum k
Lelaki bermata bulan sabit itu kembali hadir di dalam mimpi setelah aku melakukan salat istikharah beberapa kali. Sejujurnya, aku masih ingin sendiri, masih ingin menikmati peran seorang wanita dengan kebebasan tanpa harus memikirkan rumitnya sebuah percintaan.Namun di sisi lain, aku selalu terpikir akan perkataan Bapak mengenai banyaknya lelaki yang datang ke rumah untuk mempersuntingku.Kedatangan mereka pasti membuat para tetangga risi, sehingga Bapak dan Ibu juga ikut merasa tak nyaman. Mau tidak mau waktu kami selalu terganggu setiap harinya. Satu-satunya cara agar para lelaki itu berhenti mendatangi rumah ini adalah dengan pernikahanku.Tapi apa iya aku harus menikah dengan Emmeryl? Lelaki yang begitu singkat hadir di hidupku dibanding dengan kaum-kaum adam lain. Bahkan aku sendiri tidak yakin, aku juga tidak mau dipinang hanya karena sebuah alasan bakti. Aku ingin dicintai sepenuh hati, seperti rasa seorang lelaki yang kasihnya masih kurasa sampai kini.Ya, Azzam Faturrahman.
ABIDZAR POV“Sayang, kopinya.” Tak kugubris kehadiran Dewi yang sepertinya kembali membuatkanku kopi. Setiap malam dia memang selalu melakukannya, bukan hanya kopi, berbagai macam minuman telah dia sajikan, namun entah kenapa aku tak pernah berselera menyentuh apa pun karyanya.“Kamu lagi lihatin apa, sih? Serius banget.” Dia kembali bersuara, sementara aku masih enggan menatapnya. Sekarang aku malah beranjak dari sofa dan ikut serta meraih laptop di atas meja.“Abi!” panggilnya membuatku menjeda langkah.“Kamu kenapa, sih? Makin hari, sikapmu itu makin mirip es batu tahu, nggak!” Sepertinya kesabaran Dewi sudah berada di luar batas.“Kamu ini anggap aku apa?” lanjutnya, suaranya terdengar serak.“Kenapa kamu nikahin aku kalau gak bisa memperlakukanku layaknya seorang istri!” Tak bisa kujawab perkataannya, setelah membuang napas yang terasa berat, aku kembali berjalan, menaiki tangga dengan cepat dan tak mempedulikannya walau terus memanggil namaku.Segera kuletakkan laptop dan menutu
IMAS POV“Jadwal ngejob hanya besok sama lusa, Bel?” tanyaku sambil melihat buku catatan yang selalu kubawa setiap hari.“Iya, Teh.” Abel menjawab sambil bermain ponsel.“Tanggal berikutnya?” “Untuk tanggal berikutnya belum ada, Teh. Tapi akhir bulan tanggal dua tujuh sama tiga puluh ‘kan kita ngejob di Pasir Lisung sama Ciherang.” “Eh, iya, kah? Kok belum ada catatannya ya di sini?” ucapku bingung.“Teteh lupa tulis, kali.” Abel menatapku, tangannya masih menggenggam benda pipih itu.“Oh, tanggal dua tujuh itu yang hanya nyewa jasa rias sama henna saja, ya? Gak sama bajunya.”“Iya, Teteh Imas cantik …,” ucapnya membuatku menggeleng-geleng. Abel terkekeh, lalu bangkit dari kursi dan kini berdiri di samping, melihatku mencatat jadwal pekerjaan yang belum sempat kumasukkan ke dalam daftar.“Tumben, sih, Teh? Dari kemarin tanya tanggal ngejob mulu.” Dia bergumam.“Iya, Bel. Kok rasanya akhir-akhir ini yang pakai jasa kita sepi, ya?” tuturku.“Ah, enggak, kok. Memang biasanya begitu, ‘k
“Kamu sendiri masih mencintai Salma, ‘kan?” ucapku karena tak bisa menjawab pertanyaannya dengan jujur.“Salma? Salma siapa?” katanya membuatku tertegun sejenak. Sepertinya aku tidak salah sebut nama, tetapi kenapa Eryl seolah tidak mengenali nama perempuan yang tak lain tak bukan mantan kekasihnya itu?“Ya, Salma. Wanita yang ninggalin kamu itu,” jawabku kemudian.“O-oh, Salma …,” ucapnya membuatku merasa semakin aneh dengan sikapnya yang terkesan gelagapan.“Aku cepat lupa sama masa lalu.” Eryl berujar lantas meminum jus jeruk yang belum habis.“Tapi kalau sama aku kamu gak lupa, tuh!” ucapku mencoba mencairkan suasana, Eryl malah terkekeh.“Iya, soalnya ada bekas luka di tanganku. Jadi setiap lihat bekas luka ini, pasti aku langsung ingat kamu.” Aku berdeham untuk menetralkan perasaan, aku tak mau kegeeran. Aku akan lebih hati-hati dalam menjatuhkan perasaan. Walau sikap Eryl tak sedingin Pak Abi, namun aku tidak mau menganggapnya sebagai isyarat cinta.Apa lagi, Eryl pernah bilang
Emmeryl POV“Emmeryl! Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?” Suara yang tentu tidak asing di telinga itu terdengar menggema, aku hanya bisa menghela napas sambil memegangi erat helm di genggaman.“Kerja, Pa. Dari mana lagi?” sahutku pelan.“Kerja? Jadwalmu di rumah sakit itu hanya sampai jam delapan malam. Jangan membodohi Papamu, Emmeryl!” bentaknya seolah tak bosan.“Kamu pasti habis main motor lagi, ‘kan?” tebaknya. Aku diam karena malas berdebat.“Emmeryl!” pekiknya saat aku hendak melangkah.“Sudah malam, Pa. Lebih baik Papa istirahat,” kataku dengan nada rendah.“Mau jadi apa sebenarnya kamu ini, Emmeryl? Susah sekali diatur! Besok keluarga Pak Anjaya akan datang ke mari bersama calon istrimu. Seharusnya kamu bisa pulang lebih awal untuk mempersiapkan diri karena akan bertemu dengan Salma.”“Emmeryl tidak punya calon istri, Pa.”“Jangan membantah!” bentaknya lagi, aku hanya bisa menelan ludah.Entah sudah berapa belas tahun aku hidup di bawah ketiak seorang lelaki yang tak
Imas POVSelama hidup di dunia, aku mencoba menerapkan prinsip untuk tak membenci siapa pun atau menumbuhkan dendam di dalam hati ini.Aku sudah melalui banyak derita, dan aku tidak mau menambah luka dengan perasaan itu sendiri. Tak pernah kusimpan amarah di dalam jiwa, termasuk pada lelaki yang banyak memberiku nestapa.Iya, hatiku hancur lebur kala waktu itu terasa dibuang begitu saja. Padahal saat itu ada benih dirinya yang tertanam di rahimku, juga cintanya yang mengakar di dalam hatiku. Duniaku seakan runtuh kala dia dengan begitu mudah mengakhiri ikatan rumah tangga kami.Akhirnya aku harus berjuang sendiri, terseok-seok menghadapi satu demi satu kepedihan yang tak ada sudahnya. Sebisa mungkin aku tak membiarkan perasaan dengki menguasai diri.Sampai akhirnya aku tahu, jika dia melakukan ini hanya untuk melindungi, bukan semata-mata karena inginnya sendiri.Pastinya hatiku akan lebih hancur jika sudah telanjur membencinya, karena aku sendiri tidak pantas melakukannya, sebagai m
“Ayo, masuk, Imas.” Azzam menyambut kedatangan sahabat istrinya itu dengan hangat, wanita bermata bulat itu mengangguk lantas masuk ke dalam sebuah rumah kecil yang dikontrak oleh pasutri baru.“Abelnya masih di kamar mandi. Kamu mau minum apa?” tawarnya.“Jangan repot-repot, Pak.” Imas menjawab dengan enteng, Azzam tersenyum lalu menuangkan air putih pada gelas kosong di atas meja.“Tidak repot, Imas.” Tangan Azzam meraih stoples berisi camilan di kolong meja, kemudian menyuguhkannya pada wanita yang sempat bertakhta di hatinya dengan waktu begitu lama.“Bagaimana keadaan Abel sekarang?” tanya Imas seraya melepas tas ranselnya yang berukuran kecil lalu meletakkannya di samping tubuh.“Masih sama seperti kemarin. Belum masuk nasi.”“Loh, terus makan apa, dong?” tanya Imas bingung.“Paling makan buah-buahan atau roti, Imas. Kemarin sih suka minum susu juga, tapi sekarang malah jadi mual katanya kalau nyium bau susu.”“Ya Allah,” tutur Imas khawatir.“Teteh!” Kedua manusia itu menoleh b
“Dewi, hubungi Abi.” Dengan lemah Johan meminta. Lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu terbaring di ranjang rumah sakit. Dengan setia mantan menantunya itu menemani bersama orang tuanya.“Sepertinya kontak Dewi diblokir, Yah.” Dewi ikutan lemas saat menyadari profil kontak Abidzar menjadi tiada, bahkan setiap kali dia mencoba menghubunginya melalui chat, hanya centang satu yang berada di bawah teks pesannya.“Pergi lah ke rumah Yuni. Abidzar pasti masih ada di sana, Dewi. Beritahu dia jika Ayah tertimpa musibah.” Dewi menggigit bibirnya beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk setuju.“Kalau begitu Dewi akan menelepon Ibu dulu, biar ada yang menemani Ayah di sini,” ucapnya, Johan hanya mengangguk pelan.“Kamu ini apa-apaan, Dewi? Sudah cukup, Nak. Kamu itu bukan lagi istri Abidzar, bukan lagi menantu Pak Johan. Berhenti ikut campur dengan hidup mereka,” ucap sang ibunda dari seberang sana saat Dewi berhasil menghubunginya.Wanita berbibir tebal itu melirik Johan perlah
Abidzar tersedu di atas pusara mendiang ibunya. Setelah wanita itu tiada, dia merasa jika hidup yang dijalaninya teramat begitu pahit dan sulit.“Maafkan Abi, Bu. Maafkan Abi tidak bisa mempertahankan pernikahan sekaligus amanah Ibu.” Tangannya mengusap-usap batu nisan, dadanya begitu sesak mengingat banyaknya orang yang dia cintai pergi meninggalkannya.“Sebenarnya, Abi masih sangat mencintai Imas. Abi ingin kembali bersamanya. Tapi sepertinya semua itu mustahil, Imas sudah memiliki hidup baru, memiliki pendamping baru yang tidak pecundang semacam anakmu ini.”“Abi harus bagaimana, Bu? Abi sungguh tersiksa. Abi tidak bahagia menikah dengan pilihan Ayah, Abi juga sudah tidak nyaman menjalankan profesi yang selama ini Ayah inginkan. Boleh kah Abi pergi, Bu? Boleh kah Abi melepas segalanya?” katanya masih dengan tangis yang sama.Sesak di dadanya kini berkurang setelah lelaki berjambang itu mengeluarkan semua suara-suara kepedihan di dalam hatinya.Dengan langkah berat, Abidzar pun meni
“Bekalnya, Ryl.” Imas menyodorkan kotak makanan yang tak dijamah suaminya. “Tidak usah,” ucap Emmeryl dengan ketus, tentu Imas merasa terkejut dengan sikap suaminya pagi ini.“Tapi kamu kan−“ Suara Imas tertahan saat Emmeryl melangkah begitu saja. Dari ruangan tamu yang menyatu dengan ruang televisi, Imas menatap lelaki bertubuh tinggi itu menjauh dan menyambar motor di halaman rumah.Dengan wajah dingin Emmeryl memakai helm, kemudian melesat pergi tanpa mengucap kata sedikit pun.Imas menghela napas dalam dengan tangan masih memegangi kotak makan yang tak dibawa suaminya. Dengan langkah gontai Imas pun kembali ke belakang lalu meletakkan benda itu di atas mini bar.Wanita bermata bulat itu terduduk sendirian bersama lamunan panjang. Dia pun tertunduk lesu, menyadari jika sikap dingin Emmeryl adalah sebuah pertanda jika lelaki itu sedang marah. Tentu bukan karena alasan, pemilik mata bulan sabit itu memang terbakar cemburu kala melihat istrinya berada di pelukan orang lain.Setelah m
Suara pintu yang diketuk di depan sana membuat Emmeryl dan Imas refleks menyudahi aktivitas. Saat wajah mereka kembali berjauhan, suasana malah terasa canggung, bahkan Imas sendiri tak berani menatap lelaki bermata bulan sabit itu. Cepat dia turun dari meja mini bar lalu berlari kecil menuju pintu utama rumah berukuran enam kali sembilan tersebut.“Bapak?” ucapnya sedikit kaget saat melihat sosok Misbah di hadapan pintu, lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu lantas menyunggingkan senyum.“Ayo, masuk, Pak. Kenapa Bapak ke sini gak kabarin Imas?” katanya lagi.“Hehe, maaf, Imas. Tadi Bapak habis antar jagung ke pembeli yang ngeborong, sekalian mampir ke sini karena rumahnya dekat.”“Ya Allah, Pak … terima kasih banyak.” Imas berucap sambil menahan haru.Tak lama Emmeryl datang, seperti biasa lelaki itu selalu menunjukkan rasa hormat pada ayah mertuanya.“Kenapa antar jagungnya malam-malam begini, Pak?” tanya Emmeryl.“Iya, Nak. Soalnya tadi siang Bapak sibuk bersihin sa
AUTHOR POVSaya pakai sudut pandang ini agar bisa lebih leluasa menceritakan kisah ini. Gak apa, ya?Dewi tersenyum-senyum seraya memandangi sendiri dari pantulan cermin. Dia merasa dirinya begitu cantik dengan paduan lingerie berwarna ungu muda. Wanita yang sudah berusia matang itu tengah menanti Abidzar di kamar mandi, dia hendak memberi kejutan berharap lelaki itu akan menjamahnya kembali.“Sedang apa kamu di sini?” Suara Abidzar terdengar menggema, lelaki berjambang itu sangat amat terkejut mendapati Dewi berada di kamarnya.“Loh, memangnya kenapa?” Dewi menyahut dengan enteng, bibir berisinya nampak menyunggingkan senyum.Abidzar menghela napas dalam, lalu memijat pelipis karena kelakukan wanita yang kini menjadi istrinya itu sering membuatnya merasa pening.“Tolong, keluar. Aku mau ganti pakaian.” Abidzar memelankan suaranya, dia tidak ingin berteriak karena takut ayah atau tantenya mendengar.“Kenapa harus keluar? Apa kamu tidak lihat aku sedang mengenakan apa?” Dewi berujar se
Malam-malam aku harus menempuh perjalanan cukup jauh bersama Emmeryl. Sepanjang jalan aku hanya bisa menahan hawa dingin yang terasa menusuk rongga di dalam badan, padahal aku sudah membalut tubuh dengan jaket tebal. Sebenarnya aku khawatir Emmeryl membawa motor dengan kondisi seperti tadi. Perasaannya pasti kacau karena mendengar kabar Ibundanya yang harus dilarikan ke rumah sakit besar di Kota. Ragu aku memegangi ujung jaketnya selama perjalanan, kali ini kecepatan laju kendaraan yang dikendalikan Emmeryl begitu cepat, sehingga tak jarang aku merasa ketakutan. “Aku akan memacu motor lebih cepat,” katanya dari depan dengan suara lumayan nyaring. “Ini ‘kan sudah cepat, Ryl.” Aku mencoba protes, bisa jantungan kalau dia benar-benar akan menambah kecepatan. “Tidak, ini terlalu lambat. Aku ingin segera sampai.” “Tapi, Ryl−“ Kalimatku terputus saat Emmeryl tiba-tiba saja menarik tanganku dari depan lalu melingkarkannya pada tubuh dia yang ramping. “Pegangan,” perintahnya, aku hanya