Apa jadinya kalau elu mesti kawin sama cewek yang masih bocah ingusan? Ribet! Resek! Tapi, gue terpaksa melakukannya demi kakek yang begitu sayang sama gue.
Bayangin, deh, gue mesti kawin sama bocah yang sama sekali bukan tipe gue. Kurus kerempeng. Dada rata. Jilbaban pula. Iyuuh banget pokoknya.
Kalian pernah terpana sama ketampanan bokap gue? Dia bahkan nggak ada apa-apanya kalau dibandingkan sama gue.
Gue, Ken. Dan ini cerita hidup gue.
**
“Kinan, cepet pulang, ibumu didatangi Juragan Ganda.” Seorang wanita paruh baya mendekati gadis yang tengah membersihkan rumput di pinggiran kebun.
Gadis itu mematung sesaat, sebelum akhirnya kembali sadar. “Juragan Ganda?” gumamnya lirih.
“Iya. Ibumu nangis-nangis ketakutan mau ditendang sama anak buahnya Juragan.”
“Astagfirullah.” Mendengar itu Kinan lantas berdiri dan berlari menuju rumahnya. Gerimis mulai membesar dan para pekerja mulai meninggalkan pekerjaannya untuk berteduh. Sudah hampir jam empat, waktu para pekerja untuk pulang.
Masing-masing mereka mulai membereskan peralatan. Namun, sepertinya cuaca semakin tidak bersahabat. Mereka pun terpaksa menunggu hujan agak reda.
Berbeda dengan Kinanti. Dia terus berlari menantang derasnya hujan. Jarak ke rumahnya tak jauh lagi dan dia bisa melihat dua pengawal Juragan Ganda berdiri di luar gubuknya.
“Ibu!” teriak Kinan dengan tubuh dan baju yang basah. Laki-laki berbadan tegap yang berjaga langsung menoleh ke arah suara.
Kinan dengan keberanian yang tersisa dia melewati para pengawal Juragan Ganda. Terlihat Laki-laki uzur itu tengah berdiri dengan pongah di depan sang ibu yang duduk bersimpuh di atas tikar lusuh. Napasnya tersengal dengan wajah ketakutan.
“Kinan?” gumam wanita kurus yang bersimpuh di lantai sana, membuat lelaki bertubuh jangkung yang berdiri pongah itu ikut menoleh ke arah pintu. Bibirnya mengurai senyum yang menjijikan.
“Kinanti,” ucapnya menyebut nama gadis itu dengan mata penuh nafsu.
“Untuk apa lagi kamu ke sini? Carilah laki-laki laknat itu. Jangan ganggu aku dan ibuku.” Kinan berteriak.
Lelaki dengan rambut yang mulai dipenuhi uban itu terbahak sejenak sebelum akhirnya kembali memasang wajah serius lalu manggut-manggut.
“Dia itu bapakmu. Karena dia minggat begitu saja, jadi, kamu … dan … kamu.” Juragan Ganda menunjuk Kinan dan ibunya bergantian. “ Yang berkewajiban melunasi utangnya.”
“Tiga puluh lima juta, bukan uang yang sedikit.” Juragan Ganda berucap sembari menarik cangklong rokok dari bibirnya yang menghitam. Mata Kinan terbelalak.
“Kami tidak punya uang sebanyak itu, Juragan.” Wanita kurus di bawah sana menimpali dengan suara seraknya.
“Itu bukan hutang kami. Carilah laki-laki keparat itu ke neraka!” sergah Kinan. Juragan Ganda kembali terbahak.
“Berani juga kamu, ya.” Tangannya terulur dan jari-jari besar itu menekan rahang Kinan dengan kuat.
“Kamu semakin cantik saja, Kinan. Sepertinya si Sukardi tak perlu membayar utangnya dengan uang. Kamu saja sebagai gantinya. Kamu akan menjadi istriku yang ke sembilan. Bagaimana, Narti?” Juragan Ganda mengalihkan pandangannya pada wanita kurus di bawah sana. wanita bernama Narti itu menatap nanar pada sang putri yang masih dalam cengkeraman lelaki yang terkenal doyan perempuan.
“Aku nggak sudi!” bentak Kinanti dan menyemburkan ludah tepat mengenai hidung besar Juragan Ganda. Lelaki yang berumur lebih dari setengah abad itu langsung memejamkan matanya dan menyeka cairan itu dengan punggung tangan.
“Aku sudah putuskan. Kinanti, hari ini juga aku bawa. Cari dan katakan pada suamimu yang tidak berguna itu. Hutangnya lunas dengan ganti anaknya.” Juragan Ganda menyeringai.
Kinanti memberontak. Tangannya berusaha melepaskan jemari besar yang mencengkeram pipinya kuat. Kakinya menendang, tetapi Juragan Ganda lebih sigap. Dia meminta pengawalnya untuk membantunya menahan kaki dan tangan Kinan.
“Aawww!” Juragan Ganda berteriak karena Kinan menggigit pinggir telapak tangannya yang hendak membekap mulut gadis itu.
“Sialan kamu!” matanya melotot dan sebelah tangannya mengusap tangannya yang digigit Kinan.
“Lepas! Aku tak sudi jadi gundikmu!” teriak Kinan masih memberontak dalam kungkungan dua orang pengawal Juragan. Namun, lelaki dengan wajah penuh bopeng itu malah terbahak.
“Baiklah, kalau begitu … bagaimana kalau aku mencicipi dulu tubuhmu, setelah itu aku jual saja kamu ke tempat pelacuran.” Suara Juragan Ganda diakhiri dengan tawa yang menggelegar.
“Bawa dia!” titah lelaki itu dengan ujung bibir yang bergerak-gerak menyesap rokok di cangklongnya.
“Jangan, Juragan!” Narti berusaha bangkit mengejar, tetapi kaki Juragan Ganda langsung menendangnya hingga wanita kurus itu terjungkal.
“Ibu!” teriak Kinan yang meronta-ronta dalam pegangan dua pengawal.
“Bawa!” teriak Juragan Ganda menggelegar seperti suara petir yang mewarnai hujan besar kali ini.
“Lepaas!” Kinan meronta-ronta, namun tenaganya kalah besar dari pada dua pengawal yang menyeretnya. Mereka terus membawa Kinan menuju mobil Jeep yang ada di pinggir jalan.
**
Beberapa saat yang lalu.
Albany berlari dari bangunan yang menjadi gudang sayur-sayuran menuju mobilnya. Tangan kanannya dia gunakan menutupi kepala karena hujan mulai deras.
“Pak Al, baru pulang?” sapa seorang pekerja yang baru beres mengangkut karung-karung sayuran ke dalam gudang.
“Iya, Pak. Saya duluan, ya,” pamit Albany terlihat sopan. Lelaki yang masih saja tampan di usianya sekarang itu memang selalu ramah pada pekerjanya.
“Mangga, Pak Al, saya juga sebentar lagi mau pulang,” sahut lelaki berbaju kumal itu.
Albany menjalankan mobilnya perlahan. Jalanan licin dan seperti sungai di beberapa bagian karena hujan semakin deras.
Di depan sana ada jalan besar yang menuju ke perkampungan. Mata Albany menajam saat melihat pemandangan yang menarik perhatiannya. Seorang gadis sedang diseret beberapa orang lelaki.
“Apa-apaan ini?” gumamnya dan lekas mempercepat laju mobilnya.
Semakin dekat, terlihat semakin jelas jika gadis itu benar-benar diseret di jalanan aspal berlumpur menuju sebuah mobil. Sementara gadis itu tampak meronta-ronta minta dilepaskan.
Dari sosok gadis itu Albany merasa mengenalnya. Terlebih dari baju lusuh yang sering dipakai gadis itu ketika membersihkan rumput-rumput di kebun miliknya.
“Sepertinya itu Kinan,” gumamnya dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Albany gegas turun dan berlari menuju orang-orang yang berusaha memasukan seorang gadis ke bagian belakang mobil.
“Tunggu! Kalian mau apakan?!” teriaknya menembus guyuran hujan yang semakin membesar.
“Siapa kau?” Juragan Ganda berhenti dengan tatapan nyalang. Sebelah tangannya berkacap pinggang, sementara tangannya yang lain memilin ujung kumis.
“Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku tidak suka jika ada orang yang bersikap buruk pada perempuan,” jawab Albany lantang. Juragan Ganda menarik sebelah ujung bibirnya.
“Aku kira siapa.” Juragan Ganda menyungging senyum sinis.
“Masukan!” teriak Juragan Ganda pada anak buahnya dan dia pun melangkah menuju kursi di balik kemudi.
“Tunggu!” sergah Albany menahan langkah para pengawal yang tinggal menaikan Kinan ke mobil. Dengan langkah kaki lebar-lebar dia menerjang dua pengawal yang memegangi Kinan dengan kaki kanannya. Salah satu dari mereka terjungkal ke belakang. Tinggal satu lagi pengawal yang akhirnya melepaskan Kinan untuk berkelahi dengan Albany.
“Hiiyaa!” Lelaki berkumis itu hendak melesakan tendangannya pada Albany. Namun, lelaki berkuncir itu gegas menghindar, hingga pengawal Juragan Ganda terhuyung ke depan terbawa tenaganya sendiri. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Albany langsung mengejar dan memiting tangan lelaki itu hingga terdengar bunyi gemeretak juga racau kesakitan. Sepertinya tangannya terkilir parah akibat pitingan itu.Pengawal Juragan Ganda yang satunya lagi sudah berdiri dan hendak memukul Albany dengan balok kayu yang tergeletak di pinggir jalan. Beruntung, Kinan berteriak memperingatkan. Albany pun berbalik dan secepat kilat menangkis balok itu dengan tendangan kakinya yang memutar. Balok kayu itu terpental dan tepat mengenai wajah si Pengawal. Dia terdengar lalu terjungkal dengan hidung mengeluarkan darah.Juragan Ganda yang tadi hanya memperhatikan, kini dia turun sambil menggerak-gerakan lehernya. Tangan dan kakinya sudah siap menyerang. Albany tersenyum menyeringai. Jika dua pengawal yang masih muda saja
Belum ada dua jam dari saat Za menyimpan ponselnya lalu tertidur. Benda pipih itu kini berdering nyaring membangunkan kembali pemiliknya.“Siapa?” Za memicingkan matanya lalu mengambil ponsel itu. Di sana terpampang nomor Ken, sang putra kesayangan.“Ken?” Za gegas mengangkatnya.“Kami dari kepolisian, mau mengabarkan jika putra Anda, Kenzie mengalami luka parah dan saat ini berada di rumah sakit Buana Mitra.” Hanya kalimat itu yang terdengar jelas di telinga Za sebelum akhirnya benda itu lepas dari genggamannya.“Ken!” pekiknya dengan hati yang gundah. Dia lalu membangunkan sang suami untuk pergi ke rumah sakit.Keributan yang dibuat Za dan Albany membangunkan Hendro juga Ningsih. Tak ketinggalan Kinanti juga ikut terbangun. Dia diminta menginap oleh Albany juga Za karena takut akan dicari lagi oleh Juragan Ganda setelah perkelahian itu.“Ada apa ini? Mau ke mana kalian?” tanya Hendro yang keluar dari kamarnya diikuti oleh Ningsih.“Ken, Pa,” ujar Za dengan wajah khawatir. Namun, be
“Apa benar yang dikatakan sama Mas Al, Bu? Semua ini karena Papa terlalu memanjakan Ken. Dia jadi berandalan dan susah diatur. Aku sangat menyesal tidak bisa mendidik Ken dengan baik.” Za mulai terisak.Ningsih menghela napas panjang. Dia juga mengakui hal itu. Suaminya terlalu memanjakan sang cucu. Apalagi Ken adalah cucu satu-satunya karena Za tak juga hamil setelah melahirkan putranya. Hendro berpikir, pada siapa lagi dia akan mewariskan hartanya yang banyak jika bukan pada sang cucu, karena Albany sang putra sama sekali tidak mau menerima pemberiannya. Albany sendiri sudah lebih dari cukup dengan usaha sayurannya yang semakin berkembang.“Ya, semua yang terjadi pada Ken memang ada andil kita di sana. Sepertinya kita harus melakukan sesuatu jika dia kembali sehat. Jangan sampai ini terulang lagi,” desah Ningsih dengan tatapan kosong. Za mengangguk setuju.Selama beberapa jam mereka menunggu kabar tentang Ken juga Hendro dengan perasaan cemas. Ketiganya langsung mendongak saat seora
“Sudah, Pa. Papa tidak usah banyak pikiran dulu,” pinta Za. Namun, Hendro menggeleng.“Papa berjanji pada kalian, untuk memperbaiki semua ini.”“Bagaimana caranya?” tanya Albany dengan nada yang masih ketus.“Mas …!” Za meremas jemari suaminya, mengingatkan agar tak bersikap kasar pada sang ayah.“Tidak apa-apa, Za. Papa akui, semua ini memang salah Papa. Papa akan mencoba memperbaikinya. Saat Ken sembuh nanti, Papa akan menarik semua fasilitas yang sudah Papa kasih ke dia. Papa akan menyuruhnya bekerja jika ingin uang. Dan satu lagi, Papa akan menyuruh dia menikah.”“Menikah? Dengan siapa?” pekik Albany kaget.“Papa juga belum tau, Al. Papa yakin, kalau sudah menikah Ken akan berubah. Dia akan punya tanggung jawab. Apa lagi kalau langsung punya anak,” jelas Hendro.“Kalau dia menikah sama pacarnya itu, aku tidak yakin Ken akan berubah. Bisa jadi dia malah tambah parah.” Albany membayangkan dandanan gadis yang pernah dibawa Ken ke rumahnya. Pakaian yang minim dengan dandanan gothic. D
Hampir satu minggu Ken berada di ruang ICU, akhirnya sadar dan dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Albany dan Za gantian menjaga di sela-sela waktu sibuknya. Kadang, mereka datang berdua jika pekerjaan bisa ditinggalkan. Tidak mungkin Ningsih membantu menjaga Ken karena kondisi Hendro pun sedang tidak baik-baik saja.Hanya dua hari di ruang perawatan, pemuda itu meminta pulang. Meski pihak rumah sakit belum mengizinkan, tetapi Ken memaksa ingin pulang. Dia sama sekali tidak betah dikurung dalam ruangan. Za yang saat itu menjaga tak punya pilihan lain selain mengikuti keinginan sang putra, dari pada anaknya membuat keributan. Perihal pengobatan, Za pikir bisa dilakukan di rumah. Jika perlu, dia akan membayar seorang dokter atau perawat untuk datang.Ningsih dan Hendro merasa kaget saat melihat menantu mereka pulang dibarengi dengan cucunya. Pemuda itu masih tampak lebam-lebam di beberapa bagian. Perban di kepala juga tangan masih terpasang.“Kamu sudah pulang, Nak?” sapa Ningsih deng
Ken kembali membuang muka. Rasanya dia tidak bisa percaya dengan yang diucapkan ibunya. Saat kecil, ayahnya itu jarang sekali di rumah. Sang kakek justru yang lebih banyak meluangkan waktu untuk dirinya. Apalagi saat Za mulai membantu perusahaannya lagi. Semakin banyak waktu juga uang yang bisa dicurahkan Hendro untuk Ken.**Hendro duduk sambil menatap kosong ke area taman di mana Kinan sedang menyapu daun-daun kering. Ken yang sudah mulai pulih mendekati sang kakek dan duduk di kursi di sebelahnya.“Selama aku di sini, Kakek sama sekali belum menyapaku.” Ken mendesah.“Degil!” Hendro melirik sekilas, lalu kembali fokus pada tanaman yang tampak indah. Apalagi setelah ada Kinan, taman itu jauh lebih terawat.“Kakek!” Ken terdengar merajuk. Lelaki yang biasanya sangar dan banyak ditakuti lawan itu saat ini malah terlihat seperti seorang anak kecil dengan rengekannya.“Kakek berulang kali berpikir tentang kata-kata ayahmu, Ken.”“Kata-kata Ayah? Memangnya dia bilang apa?” Ken menoleh d
“Tutup mulutmu! Aku tidak pernah mengajarimu untuk menghina orang seperti itu!” Hendro bahkan sampai bangkit dari tempat duduknya sambil menggebrak meja.“Aku bukan menghina, Kek. Memang kenyataannya seperti itu!” Ken tergagap.“Diam kau! Aku benar-benar kawinkan kau dengan dia!” ancam Hendro naik pitam.“Aku tidak sudi!” desis Ken dengan penekanan yang kuat.“Kalau kau tidak mau. Kakek cabut semua fasilitas yang sudah Kakek berikan padamu. Semuanyaa!” teriak Hendro lalu kembali terjatuh menahan dadanya yang terasa sakit.Melihat itu, Kinan langsung menghambur memburu Hendro.“Bapak!” Kinan menahan tubuh Hendro sambil menepuk-nepuk pipinya pelan. Sementara itu Ken masih berdiri ketakutan. Hal yang dia takutkan, sekarang malah dia sendiri sebagai penyebabnya.“Telepon Ibu!” teriak Kinan pada Ken yang masih terpaku.“Cepat! Apa kau tuli?!” bentak Kinan lagi tanpa sungkan dan membuat Ken semakin melotot.“Beraninya kau!” desis Ken. Namun, Kinan semakin emosi.“Cepat anak manja! Apa kau m
“Tinggalkan kunci motornya!” teriak Hendro sekali lagi.Ken manggut-manggut. “Jadi begitu? Ok. Aku tinggalkan semua ini. Bye!” Ken menaruh kunci motornya di atas buffet yang berada tepat di dekat pintu.“Ken!” panggil Za. Jiwa keibuannya terpanggil. Dia hendak bangkit mengejar. Namun, Albany menahannya.“Biarkan dia belajar. Dulu anak itu baik, selain terlalu dimanja, pergaulan membuat dia jadi seperti itu. Aku yakin, dia bisa berubah. Anak kita sedang tersesat. Dia butuh kita untuk kembali,” ucap Albany lirih.**“Hei! Kok kamu di sini?” Gadis cantik dengan baju tidur minim menatap heran pada Ken yang tampak lusuh.“Aku diusir sama mereka.” Ken mengembus napas kasar lalu mengempaskan dirinya ke sofa.“Mereka?” gadis itu mengerutkan kening.“Orangtuaku. Bahkan kakekku juga sama.” Ken yang terlentang menutupi matanya dengan lengan kanan.“Kakekmu juga? Hmm.” Sang gadis heran.“Eh, kamu naik apa ke sini?” Dia celingak-celinguk ke arah luar rumahnya. Tidak ada motor ataupun mobil yang bi
“Lina, Ima! Apa Nyonya sudah selesai?” tanya Javier dari luar pintu.“Sudah Bang Jev,” jawab Ima.“Tuan Al sudah menunggu di bawah untuk sarapan,” katanya. Lina dan Ima pun bergegas membereskan peralatannya.“Silakan duluan, Nyonya. Kamarnya biar kami yang bereskan,” ucap Ima. Walaupun merasa tak enak hati, tetapi Kinan tak punya pilihan lain, Aldebaran sudah menunggunya di bawah.Saat pintu terbuka Javier sempat terperangah melihat Kinan yang semakin cantik. Sebagai lelaki normal dia kagum dengan wanita ini.“Silakan,” ujar Javier yang mendadak bersikap begitu sopan.“I-iya,” jawab Kinan terlihat gugup.Dia berjalan pelan menuruni tangga lebar yang melingkar. Di bawah sana Aldebaran yang mendengar bunyi heels pendek dari sepatu yang dikenakan Kinan sontak menoleh ke arah tangga.Matanya terperangah untuk sesaat, sebelum akhirnya dia membuang muka karena Javier melihat padanya.Sangat aneh. Aldebaran sering berurusan dengan wanita berbaju seksi. Dia bahkan sering menikmati wanita tan
Aldebaran menatap tak berkedip pada wanita yang jatuh terlelap karena saking capenya. Kinan bercerita tentang hidupnya sambil menangis tadi. Entah kenapa Aldebaran ingin sekali memeluk dan memberikan bahunya untuk bersandar saat Kinan menangis, tetapi dia tak bisa melakukannya. Wanita itu masih sah menjadi istri orang.Saking lelahnya, Kinan meracau lalu kepalanya terkulai di pinggiran sofa.“Kupikir kisah hidupku yang paling buruk,” gumam Aldebaran sambil menatap dengan rasa kasihan pada Kinan. Dia menunggu hingga Kinan benar-benar terlelap, lalu memindahkannya ke atas kasur miliknya. Setelah yakin jika Kinan tidur dalam keadaan nyaman, dia lalu keluar dan menuju ruang kerjanya untuk tidur di sana.Aldebaran seakan susah untuk memejamkan matanya. Dia masih teringat saat Kinan menceritakan kisahnya dengan sang suami.“Kamu wanita tegar dan berprinsip. Berani meninggalkan suami seperti itu demi sebuah harga diri,” gumamnya, lalu terbayang wajah Kinan yang polos, namun pemberani. Ide-id
Kinan masih fokus memijit kaki Ahmet, sementara Aldebaran mengajaknya untuk cepat-cepat. Dia sudah tidak sabar ingin menginterogasi wanita yang menjadi istri gadungannya ini.“Udah mendingan, kan, Dad?” tanya Aldebaran.Ahmet mendelikan matanya. “Aku lagi enak dipijitin. Ganggu saja kamu ini!” Dia hendak melemparkan lagi sebuah bantal pada anaknya, tetapi Kinan menahannya.“Ssst, jangan ribut.” Kinan menyilangkan telunjuknya di bibir.“Tuh denger! Sana pergi kau!” usir Ahmet mengacungkan tinjunya pada Aldebaran.“Hei, dia itu istriku. Seharusnya aku yang lebih berhak, bukan kau Pak Tua!” sergah Aldebaran.“Kau bisa sepuasnya sama istrimu nanti. Aku hanya sebentar saja. Aku ingin mengobrol dengannya.” Ahmet mengangkat bogemnya.“Aku kasih waktu lima menit lagi. setelah itu aku ajak Kinan pergi tidur. Ini sudah malam. Apa kau tidak mengerti bagaimana rasanya pengantin baru?” kata Aldebaran sambil melirik jam yang melingkar di tangannya.“Ya sudahlah. Pergilah kalian. Kakiku sudah jauh l
Sementara itu Kinan dan Ahmet yang mendengar keributan di luar langsung terbangun. Ahmet terperangah saat melihat ada Kinan di kamarnya.“Ngapain kamu di sini?” tanyanya marah.“Emmh, itu … Kek, aku mau bawakan makan malam, tapi Kakek udah tidur. Jadi aku tunggu di sini,” jawab Kinan sambil menunjuk ke sofa yang tadi didudukinya.“Kakek! Sudah kubilang jangan panggil aku kakek.” Ahmet berteriak dengan keras dan membuat Aldebaran mendengarnya. Dia gegas ke sana untuk melihat.Betapa bahagia rasanya saat melihat ada Kinan di sana yang tadi dia kira kabur.“Kenapa kamu di sini, Sayang?” tanya Aldebaran menghampiri Kinan dan berpura-pura bersikap romantis. Kinan tampak risih saat tangan Aldebaran menyentuh pinggangnya.“Mmh, itu, Tuan. Saya … mau ambilkan makan malam buat Kakek,” jawab Kinan polos. Aldebaran mengedipkan sebelah matanya berulang kali, memberi kode pada Kinan agar tidak menyebutnya tuan.Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Kinan dan berbisik, “Panggil aku sayang jika di de
Aldebaran terbahak mendengar pertanyaan Kinan.“Kau pikir aku akan melakukannya? Yang benar saja. Aku tidak akan pernah mau terikat dalam pernikahan.”Mendengar kalimat dari mulut Aldebaran, Kinan pun merasa lega.“Baguslah. Aku juga tidak mau,” balas Kinan sambil membuang muka. Aldebaran melotot. Belum pernah ada yang berani seperti itu padanya. Biasanya wanita akan tunduk dan merengek agar didekati, yang ini malah sebaliknya.“Kamu!” desisnya. Namun, Kinan malah nyengir kuda. Aldebaran mendengkus pelan.“Cepat pose yang baik, aku akan mengambil gambarmu,” titah Aldebaran sambil menunjuk ke arah tembok untuk memberi kode pada Kinan untuk berdiri di sana.“Ok,” sahut Kinan gegas berdiri di depan tembok berwarna putih.Cekrek.Aldebaran kemudian melihat hasil fotonya. Dia mendesis kesal, karena ternyata Kinan malah menggosok matanya.“Kamu ini, foto aja susah. Tahan dulu sebentar,” ucap Aldebaran sedikit emosi.“Maaf, tadi mataku kelilipan,” jawab Kinan yang masih mengucek matanya. “S
“Pakailah salah satu. Buang saja baju yang kau pakai,” katanya seperti yang kesal. Kinan mendengkus dan kembali ke kamar pas untuk berganti pakaian.Keluar dari kamar pas kali ini sudah dengan baju yang baru dan membuat Aldebaran terpaku sesaat. Namun, dia gegas membuang muka.“Ayo, masih ada tempat lain yang harus kau kunjungi,” katanya sambil berjalan, lalu diikuti oleh Javier.Kinan melongo karena dua lelaki itu malah melenggang tanpa ke kasir dulu. Dia gegas menyusul Javier dan menarik tangan lelaki itu.“Ada apa?” tanya Javier yang kaget saat tangannya ditarik.“Kenapa nggak bayar? Kalian penjahat yang lagi merampok?” tanya Kinan sambil berbisik. Javier langsung terbahak dan membuat Aldebaran berhenti dan menoleh ke belakangnya. Javier langsung berhenti tertawa dan menunduk hormat.“Butik itu punya Tuan Aldebaran,” bisik Javier dan kembali membuat Kinan melongo.“Ayo cepat!” teriak Aldebaran yang kemballi berhenti karena Javier dan Kinan malah mengobrol dan berjalan lambat.“Ini
“Sudah lihat, kan?” tanya Aldebaran membuyarkan lamunan Kinan yang membayangkan bagaimana kesepiannya lelaki tua di dalam sana.“Eh, i-iya, sudah,” jawab Kinan tergagap.“Kenapa dia nggak mau keluar?” tanya Kinan.“Entahlah. Mungkin dia merasa lebih baik jika menyendiri.” Aldebaran menjawab sembari mengedikan bahunya. Namun, Kinan tak menangkapnya seperti itu.“Ya sudah, saya mau pulang dulu,ya, Pak,” ucap Kinan dan menghentikan langkah Aldebaran yang lebar. Dia menoleh ke belakangnya.“Untuk apa?” Keningnya mengerut.“Mmh, ya mau pulang. Mau … ambil baju.” Kinan nyengir kuda.Aldebaran menilik penampilan Kinan dari atas sampai bawah yang tak ada mewah-mewahnya.“Apa baju kamu semua seperti ini?” tanyanya sedikit ragu.“I-iya, memangnya kenapa? Ada yang salah?” Kinan memperhatikan pakaiannya yang memang sangat sederhana.“Kalau begitu. Kamu tidak usah pulang. Nanti biar Javier yang bawa kamu ke toko baju.” Aldebaran kembali berbalik dan melangkah lebar-lebar meninggalkan Kinan yang me
“Iya,” jawabnya sesingkat mungkin. Lelaki di depan sana tampak seperti seorang penjahat yang akan mengeksekusi korbannya. Itu yanng Kinan rasakan.Lelaki itu bergumam dan manggut-manggut.“Saya berterima kasih sama kamu untuk malam itu.”“Bapak nggak usah berterima kasih. Saya ikhlas ngelakuinnya. Kenapa saya mesti ke sini segala? Pake ngancem-ngancem nggak mau bayarin biaya rumah sakit segala. Emangnya siapa yang minta bawa saya ke rumah sakit?” cerocos Kinan tanpa jeda. Keberaniannya mendadak muncul begitu saja.Aldebaran mengerutkan keningnya. “Mengancam? Siapa yang mengancam tidak akan bayar rumah sakit?” tanyanya bingung.Kinan pun langsung nyengir malas. Sepertinya dia sudah dikerjai oleh lelaki bernama Javier itu.“I-itu … emmh, nggak.” Kinan sepertinya merasa kasihan juga dengan Javier. Dia takut jika lelaki itu akan dihukum oleh bosnya ini.“Aku salah paham,” lanjutnya lalu menunduk. Aldebaran mengangkat sebelah alisnya kala menatap wanita itu.“Sekarang Anda sudah bilang ter
Kinan menatap sekeliling yang sudah pasti bukan ruang perawatan biasa. Ini adalah ruang perawatan VIP yang hanya pernah dilihatnya saat mengantarkan pakaian ganti untuk Ken saat Ken menjadi korban penusukan sebelum menikah dengannya.Kinan menghela napas panjang saat mengingat masa-masa bersama dengan lelaki itu. laki-laki yang telah menitipkan benih di rahimnya.Tak terasa air matanya tiba-tiba bergerombol begitu saja. Kinan pun gegas mengusapnya dengan punggung tangan. Dia bersumpah tidak akan lagi menangisi lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta, melambung ke atas langit ketujuh, lalu diempaskan ke dasar bumi yang tergelap.“Kita harus kuat, Sayang, meskipun hidup tanpa ayahmu,” ucapnya pelan seraya mengelus perutnya yang masih rata.Air mata yang sama yang jatuh dari pelupuk Ken saat mengingat Kinan tak lagi di sisinya. Setiap hari dia menuliskan cerita yang dilalui seharian.Dear Cinta dan KenangankuApa kabar kamu hari ini?Apakah kamu baik-baik saja di sana dengan buah cinta