“Sudah, Pa. Papa tidak usah banyak pikiran dulu,” pinta Za. Namun, Hendro menggeleng.
“Papa berjanji pada kalian, untuk memperbaiki semua ini.”
“Bagaimana caranya?” tanya Albany dengan nada yang masih ketus.
“Mas …!” Za meremas jemari suaminya, mengingatkan agar tak bersikap kasar pada sang ayah.
“Tidak apa-apa, Za. Papa akui, semua ini memang salah Papa. Papa akan mencoba memperbaikinya. Saat Ken sembuh nanti, Papa akan menarik semua fasilitas yang sudah Papa kasih ke dia. Papa akan menyuruhnya bekerja jika ingin uang. Dan satu lagi, Papa akan menyuruh dia menikah.”
“Menikah? Dengan siapa?” pekik Albany kaget.
“Papa juga belum tau, Al. Papa yakin, kalau sudah menikah Ken akan berubah. Dia akan punya tanggung jawab. Apa lagi kalau langsung punya anak,” jelas Hendro.
“Kalau dia menikah sama pacarnya itu, aku tidak yakin Ken akan berubah. Bisa jadi dia malah tambah parah.” Albany membayangkan dandanan gadis yang pernah dibawa Ken ke rumahnya. Pakaian yang minim dengan dandanan gothic. Dia bahkan tak sungkan mencium Ken padahal ada dia dan Za di ruang makan yang dapat melihat dengan jelas ke ruangan di mana Ken dan gadis itu berada.
“Papa akan carikan. Kalau perlu seorang guru ngaji sekalian,” ujar Hendro dengan wajah serius.
**
Tiga hari dirawat, hendro sudah bisa kembali ke rumah. Kondisinya sudah jauh lebih baik. Selama dia dirawat, Zanna lah yang mengurusi semua urusan kantor. Selama ini pun, Za memang membantu Hendro mengurusi perusahaan, jadi di saat lelaki itu jatuh sakit, ada yang meng-handle semua urusan kantor.
Saat turun dari mobil, Hendro melihat Kinanti yang sedang menyapu halaman. Gadis itu memang diminta menunggui rumah saat Al dan Za sibuk kerja, sementara Ningsih di rumah sakit. Kebetulan sekali seminggu yang lalu ART mereka mengundurkan diri.
“Ibu, Bapak, sudah pulang,” ujar Kinan bergegas membantu Za membawakan tas dari bagasi. Wanita itu yang menjemput Hendro ke rumah sakit karena Albany harus mengontrol pengiriman edamame untuk ekspor.
“Terima kasih,” ujar Za saat Kinan membantunya.
“Tidak apa-apa, Ibu. Semua ini tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan kebaikan Ibu sama Bapak pada saya juga ibu saya,” sahut Kinan. Kemarin dia mendapat kabar dari Albany jika sang ibu sudah pindah ke mess yang ada di perkebunan. Walaupun sederhana, tetapi itu lebih aman agar trehindar dari gangguan Juragan Ganda. Di sana banyak pegawai yang bisa membantu jika Juragan Ganda datang mengganggu.
Za mengulas senyum. Dia lalu mendorong kursi roda yang diduduki Hendro.
Dengan tenaganya yang kuat, Kinan bolak-balik membawa tas-tas itu dengan cepat. Za hanya tersenyum kagum.
“Di kulkas ada apa, Kinan? Saya mau bikin sayur bening buat Papa,” ujar Za setelah mengantarkan Hendro ke kamarnya.
“Ada bayam, Bu. Jagung juga ada,” jawab Kinanti. “Kalau Ibu capek, biar saya yang buatkan.”
“Memangnya kamu bisa?” tanya Za.
“Gampang itu mah, Bu. Saya sering bikin. Tapi … nggak tau enak atau nggak,” sahut Kinan malu-malu.
“Enak, pasti. Nasi goreng yang kamu buat kemarin juga enak, kok,” puji Za. Kinan langsung tersipu.
“Iyakah?” tanyanya memastikan.
“Heem.”
“Jadi, saya buatkan saja sayur beningnya, ya, Bu?” Kinan kembali memastikan.
“Boleh, kalau kamu tidak keberatan,” sahut Za.
“Sama sekali tidak, Bu.” Kinan sigap pergi ke dapur.
Selang satu setengah jam sudah tersaji di meja beberapa hidangan. Bukan hanya sayur bening permintaan Za, tetapi di sana juga sudah ada telor balado, tempe bacem, juga sayur asem.
“Wah, wangi sekali,” ujar Za yang baru keluar dari kamarnya.
“Pa, Bu, ayo kita makan siang dulu. Papa juga harus ada obat yang diminum, kan?” ujar Za pada ayah dan ibu mertuanya. Kebetulan pintu kamar mereka memang terbuka. Za lalu masuk dan membantu mendorong kursi roda.
“Wah, kamu pintar masak juga,” kata Ningsih yang seleranya tergugah saat melihat sayur asem dan tempe bacem.
“Hanya belajar, Bu. Maaf kalau tidak enak,” sahut Kinan.
“Masih belajar aja udah begini,” puji Za. “Ayo duduk di sini, Kinan. Kita makan bersama,” ajaknya kemudian duduk.
“Maaf, Bu. Saya sholat Zuhur dulu. silakan Bapak sama Ibu makan duluan. Saya nanti saja di dapur,” balas Kinan yang tahu diri. Dia kemudian pamit dan menuju kamar tamu.
“Jangan di dapur, kamu makan di sini saja.” Za menjawab.
“Wah, enak juga masakan anak itu,” ujar Ningsih.
“Iya.” Za setuju, begitupun dengan Hendro. Meskipun nafsu makannya belum kembali, tetapi dia masih bisa merasakan enaknya masakan Kinan.
“Dia itu masih muda, tapi gigih dan pekerja keras. Dia sering membantu ibunya kalau lagi bersihin rumput di kebun Mas Al,” ujar Za.
“Dia rela bekerja kasar supaya bisa membayar uang sekolah,” lanjutnya lagi lalu mengunyah.
‘Sepertinya aku sudah menemukan calon yang tepat buat Ken. Dia gadis yang tangguh, pasti bisa membuat anak itu sadar,’ gumam Hendro dalam hatinya.
Hampir satu minggu Ken berada di ruang ICU, akhirnya sadar dan dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Albany dan Za gantian menjaga di sela-sela waktu sibuknya. Kadang, mereka datang berdua jika pekerjaan bisa ditinggalkan. Tidak mungkin Ningsih membantu menjaga Ken karena kondisi Hendro pun sedang tidak baik-baik saja.Hanya dua hari di ruang perawatan, pemuda itu meminta pulang. Meski pihak rumah sakit belum mengizinkan, tetapi Ken memaksa ingin pulang. Dia sama sekali tidak betah dikurung dalam ruangan. Za yang saat itu menjaga tak punya pilihan lain selain mengikuti keinginan sang putra, dari pada anaknya membuat keributan. Perihal pengobatan, Za pikir bisa dilakukan di rumah. Jika perlu, dia akan membayar seorang dokter atau perawat untuk datang.Ningsih dan Hendro merasa kaget saat melihat menantu mereka pulang dibarengi dengan cucunya. Pemuda itu masih tampak lebam-lebam di beberapa bagian. Perban di kepala juga tangan masih terpasang.“Kamu sudah pulang, Nak?” sapa Ningsih deng
Ken kembali membuang muka. Rasanya dia tidak bisa percaya dengan yang diucapkan ibunya. Saat kecil, ayahnya itu jarang sekali di rumah. Sang kakek justru yang lebih banyak meluangkan waktu untuk dirinya. Apalagi saat Za mulai membantu perusahaannya lagi. Semakin banyak waktu juga uang yang bisa dicurahkan Hendro untuk Ken.**Hendro duduk sambil menatap kosong ke area taman di mana Kinan sedang menyapu daun-daun kering. Ken yang sudah mulai pulih mendekati sang kakek dan duduk di kursi di sebelahnya.“Selama aku di sini, Kakek sama sekali belum menyapaku.” Ken mendesah.“Degil!” Hendro melirik sekilas, lalu kembali fokus pada tanaman yang tampak indah. Apalagi setelah ada Kinan, taman itu jauh lebih terawat.“Kakek!” Ken terdengar merajuk. Lelaki yang biasanya sangar dan banyak ditakuti lawan itu saat ini malah terlihat seperti seorang anak kecil dengan rengekannya.“Kakek berulang kali berpikir tentang kata-kata ayahmu, Ken.”“Kata-kata Ayah? Memangnya dia bilang apa?” Ken menoleh d
“Tutup mulutmu! Aku tidak pernah mengajarimu untuk menghina orang seperti itu!” Hendro bahkan sampai bangkit dari tempat duduknya sambil menggebrak meja.“Aku bukan menghina, Kek. Memang kenyataannya seperti itu!” Ken tergagap.“Diam kau! Aku benar-benar kawinkan kau dengan dia!” ancam Hendro naik pitam.“Aku tidak sudi!” desis Ken dengan penekanan yang kuat.“Kalau kau tidak mau. Kakek cabut semua fasilitas yang sudah Kakek berikan padamu. Semuanyaa!” teriak Hendro lalu kembali terjatuh menahan dadanya yang terasa sakit.Melihat itu, Kinan langsung menghambur memburu Hendro.“Bapak!” Kinan menahan tubuh Hendro sambil menepuk-nepuk pipinya pelan. Sementara itu Ken masih berdiri ketakutan. Hal yang dia takutkan, sekarang malah dia sendiri sebagai penyebabnya.“Telepon Ibu!” teriak Kinan pada Ken yang masih terpaku.“Cepat! Apa kau tuli?!” bentak Kinan lagi tanpa sungkan dan membuat Ken semakin melotot.“Beraninya kau!” desis Ken. Namun, Kinan semakin emosi.“Cepat anak manja! Apa kau m
“Tinggalkan kunci motornya!” teriak Hendro sekali lagi.Ken manggut-manggut. “Jadi begitu? Ok. Aku tinggalkan semua ini. Bye!” Ken menaruh kunci motornya di atas buffet yang berada tepat di dekat pintu.“Ken!” panggil Za. Jiwa keibuannya terpanggil. Dia hendak bangkit mengejar. Namun, Albany menahannya.“Biarkan dia belajar. Dulu anak itu baik, selain terlalu dimanja, pergaulan membuat dia jadi seperti itu. Aku yakin, dia bisa berubah. Anak kita sedang tersesat. Dia butuh kita untuk kembali,” ucap Albany lirih.**“Hei! Kok kamu di sini?” Gadis cantik dengan baju tidur minim menatap heran pada Ken yang tampak lusuh.“Aku diusir sama mereka.” Ken mengembus napas kasar lalu mengempaskan dirinya ke sofa.“Mereka?” gadis itu mengerutkan kening.“Orangtuaku. Bahkan kakekku juga sama.” Ken yang terlentang menutupi matanya dengan lengan kanan.“Kakekmu juga? Hmm.” Sang gadis heran.“Eh, kamu naik apa ke sini?” Dia celingak-celinguk ke arah luar rumahnya. Tidak ada motor ataupun mobil yang bi
“Anjing! Dasar orang tua sial!” geramnya sambil menendang mesin ATM. Satu harapan lagi dengan kartu ATM yang diberikan oleh ayahnya. Dia tidak pernah pakai karena nominalnya sedikit. Jauh jika dibandingkan dengan kartu yang diberikan oleh sang kakek.Ken memekik girang karena kartu yang satu ini masih bisa diakses. Namun, pundaknya langsung luruh saat melihat nominal yang tertera tak sampai 30 juta.“Duit segini bisa buat berapa lama?” Ken memutar otak. Namun, gedoran di pintu gerai ATM membuatnya sadar jika di luar sana sedang mengantri.“Oh iya, sebentar,” ucapnya dan langsung menekan pilihan nominal terbesar. Dia kemudian keluar dan melangkah menuju mobil. Langkahnya terhenti. Matanya melotot saat mobil itu tak ada lagi di tempatnya. Ken celingukan, memindai ke sekeliling. Namun tetap saja sedan berwarna merah itu tidak ada di sana.“Shit! Ke mana tu mobil?” Ken mulai cemas. Dia berkeliling ke sana ke mari. Dia berdiri sejenak mengingat-ngingat, lalu merogoh saku celananya dan kunc
Ken tersenyum lega setelah masalahnya diselesaikan oleh sang ibu. Akhirnya dia tak harus menanggung malu karena tak bisa membayar denda karena kerusakan yang dibuatnya.Hanya Za yang datang ke hotel. Albany sama sekali tak mau jika dia malah membuat keributan karena marah sekali pada anaknya.“Seperti siapa, sih, tuh anak,” gerutunya saat Za pamit hendak pergi mengurus sang putra.Za terkekeh seraya mengelus pundak suaminya pelan. “Dia itu anak kita, tentu saja mirip kita, Mas.”“Aku tidak seperti itu,” elak Albany.“Siapa bilang? Kalian sama-sama keras kepala.” Za tertawa kecil dan dijawab dengan dengkusan dari mulut suaminya.Albany kesal, namun tak tega juga jika membiarkan Ken begitu saja.“Aku janji akan mengembalikan Ken kita yang dulu. seperti yang kamu bilang, Mas, kalau Ken butuh kita untuk menemukan jalannya kembali.”“Terima kasih, Bun.” Ucapan Ken membuyarkan lamunan Za yang juga tengah menyetir dalam perjalanan pulang. Wanita itu sontak menoleh.“Eh, iya. Ini memanng udah
Tidak ada sambutan istimewa saat anak itu pulang ke rumah. Albany juga Hendro justru tampak menghindar. Mereka tak mau sampai bertengkar.Ken akhirnya kembali menempati kamar yang sekian lama dia tinggalkan. Posisi setiap barang masih sama. Kamar itu tetap terlihat rapi juga bersih.“Akhirnya aku kembali terkurung di sini. Dengan segala peraturan yang akan membuat kepalaku sakit.” Ken mengempaskan bokongnya di tepian ranjang empuk miliknya.“Perempuan itu. si Kinos. Aku mesti ajakin dia membuat kesepakatan. Dia juga sepertinya tidak setuju dengan pernikahan ini. Tidak akan susah, dia pasti setuju,” gumam Ken.Dan malam ini adalah pertama kalinya Ken makan malam di meja bersama dengan anggota keluarga yang lain. Za bahkan meminta Kinanti untuk ikut makan bersama di meja.Makan malam yang terlihat kaku, karena Hendro dan Albany yang menahan diri untuk tidak mengobrol. Terlebih lagi dengan Kinan. Dia merasa sangat asing di tengah orang-orang yang belum lama dikenalnya.“Pernikahan kalian
Sesuai rencana Ken, pernikahan itu akhirnya bisa dilaksanakan seminggu kemudian. Tidak ada pesta mewah, hanya syukuran kecil-kecilan saja. Bahkan teman Ken tidak ada yang datang. Sebagai aksi dari pihak lelaki Albany meminta Ketua RT dan beberapa tetangga. Lalu, saksi dari pihak Kinan adalah seorang guru ngaji di kampungnya juga beberapa tetangga yang juga bekerja di perkebunan milik Albany.Sebagai wali, tentu saja ayah Kinan yang datang karena permintaan Albany. Lelaki culas itu terperangah saat mengetahui putrinya akan menikah. Dia meminta uang sebesar seratus juta sebagai syarat dia mau menjadi wali. Albany awalnya kesal, tetapi dia turuti juga dengan syarat lelaki itu pergi jauh.Sukardi dengan mudah menerima syarat itu. Dengan uang sebanyak itu dia bisa menikah lagi dengan perempuan yang tengah dekat dengannya.Pernikahan itu dilakukan secara agama, karena Kinan belum cukup umur untuk menikah resmi. Dia baru saja lulus SMA dan ini semakin membuat Ken berada di atas angin. Dia p
“Lina, Ima! Apa Nyonya sudah selesai?” tanya Javier dari luar pintu.“Sudah Bang Jev,” jawab Ima.“Tuan Al sudah menunggu di bawah untuk sarapan,” katanya. Lina dan Ima pun bergegas membereskan peralatannya.“Silakan duluan, Nyonya. Kamarnya biar kami yang bereskan,” ucap Ima. Walaupun merasa tak enak hati, tetapi Kinan tak punya pilihan lain, Aldebaran sudah menunggunya di bawah.Saat pintu terbuka Javier sempat terperangah melihat Kinan yang semakin cantik. Sebagai lelaki normal dia kagum dengan wanita ini.“Silakan,” ujar Javier yang mendadak bersikap begitu sopan.“I-iya,” jawab Kinan terlihat gugup.Dia berjalan pelan menuruni tangga lebar yang melingkar. Di bawah sana Aldebaran yang mendengar bunyi heels pendek dari sepatu yang dikenakan Kinan sontak menoleh ke arah tangga.Matanya terperangah untuk sesaat, sebelum akhirnya dia membuang muka karena Javier melihat padanya.Sangat aneh. Aldebaran sering berurusan dengan wanita berbaju seksi. Dia bahkan sering menikmati wanita tan
Aldebaran menatap tak berkedip pada wanita yang jatuh terlelap karena saking capenya. Kinan bercerita tentang hidupnya sambil menangis tadi. Entah kenapa Aldebaran ingin sekali memeluk dan memberikan bahunya untuk bersandar saat Kinan menangis, tetapi dia tak bisa melakukannya. Wanita itu masih sah menjadi istri orang.Saking lelahnya, Kinan meracau lalu kepalanya terkulai di pinggiran sofa.“Kupikir kisah hidupku yang paling buruk,” gumam Aldebaran sambil menatap dengan rasa kasihan pada Kinan. Dia menunggu hingga Kinan benar-benar terlelap, lalu memindahkannya ke atas kasur miliknya. Setelah yakin jika Kinan tidur dalam keadaan nyaman, dia lalu keluar dan menuju ruang kerjanya untuk tidur di sana.Aldebaran seakan susah untuk memejamkan matanya. Dia masih teringat saat Kinan menceritakan kisahnya dengan sang suami.“Kamu wanita tegar dan berprinsip. Berani meninggalkan suami seperti itu demi sebuah harga diri,” gumamnya, lalu terbayang wajah Kinan yang polos, namun pemberani. Ide-id
Kinan masih fokus memijit kaki Ahmet, sementara Aldebaran mengajaknya untuk cepat-cepat. Dia sudah tidak sabar ingin menginterogasi wanita yang menjadi istri gadungannya ini.“Udah mendingan, kan, Dad?” tanya Aldebaran.Ahmet mendelikan matanya. “Aku lagi enak dipijitin. Ganggu saja kamu ini!” Dia hendak melemparkan lagi sebuah bantal pada anaknya, tetapi Kinan menahannya.“Ssst, jangan ribut.” Kinan menyilangkan telunjuknya di bibir.“Tuh denger! Sana pergi kau!” usir Ahmet mengacungkan tinjunya pada Aldebaran.“Hei, dia itu istriku. Seharusnya aku yang lebih berhak, bukan kau Pak Tua!” sergah Aldebaran.“Kau bisa sepuasnya sama istrimu nanti. Aku hanya sebentar saja. Aku ingin mengobrol dengannya.” Ahmet mengangkat bogemnya.“Aku kasih waktu lima menit lagi. setelah itu aku ajak Kinan pergi tidur. Ini sudah malam. Apa kau tidak mengerti bagaimana rasanya pengantin baru?” kata Aldebaran sambil melirik jam yang melingkar di tangannya.“Ya sudahlah. Pergilah kalian. Kakiku sudah jauh l
Sementara itu Kinan dan Ahmet yang mendengar keributan di luar langsung terbangun. Ahmet terperangah saat melihat ada Kinan di kamarnya.“Ngapain kamu di sini?” tanyanya marah.“Emmh, itu … Kek, aku mau bawakan makan malam, tapi Kakek udah tidur. Jadi aku tunggu di sini,” jawab Kinan sambil menunjuk ke sofa yang tadi didudukinya.“Kakek! Sudah kubilang jangan panggil aku kakek.” Ahmet berteriak dengan keras dan membuat Aldebaran mendengarnya. Dia gegas ke sana untuk melihat.Betapa bahagia rasanya saat melihat ada Kinan di sana yang tadi dia kira kabur.“Kenapa kamu di sini, Sayang?” tanya Aldebaran menghampiri Kinan dan berpura-pura bersikap romantis. Kinan tampak risih saat tangan Aldebaran menyentuh pinggangnya.“Mmh, itu, Tuan. Saya … mau ambilkan makan malam buat Kakek,” jawab Kinan polos. Aldebaran mengedipkan sebelah matanya berulang kali, memberi kode pada Kinan agar tidak menyebutnya tuan.Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Kinan dan berbisik, “Panggil aku sayang jika di de
Aldebaran terbahak mendengar pertanyaan Kinan.“Kau pikir aku akan melakukannya? Yang benar saja. Aku tidak akan pernah mau terikat dalam pernikahan.”Mendengar kalimat dari mulut Aldebaran, Kinan pun merasa lega.“Baguslah. Aku juga tidak mau,” balas Kinan sambil membuang muka. Aldebaran melotot. Belum pernah ada yang berani seperti itu padanya. Biasanya wanita akan tunduk dan merengek agar didekati, yang ini malah sebaliknya.“Kamu!” desisnya. Namun, Kinan malah nyengir kuda. Aldebaran mendengkus pelan.“Cepat pose yang baik, aku akan mengambil gambarmu,” titah Aldebaran sambil menunjuk ke arah tembok untuk memberi kode pada Kinan untuk berdiri di sana.“Ok,” sahut Kinan gegas berdiri di depan tembok berwarna putih.Cekrek.Aldebaran kemudian melihat hasil fotonya. Dia mendesis kesal, karena ternyata Kinan malah menggosok matanya.“Kamu ini, foto aja susah. Tahan dulu sebentar,” ucap Aldebaran sedikit emosi.“Maaf, tadi mataku kelilipan,” jawab Kinan yang masih mengucek matanya. “S
“Pakailah salah satu. Buang saja baju yang kau pakai,” katanya seperti yang kesal. Kinan mendengkus dan kembali ke kamar pas untuk berganti pakaian.Keluar dari kamar pas kali ini sudah dengan baju yang baru dan membuat Aldebaran terpaku sesaat. Namun, dia gegas membuang muka.“Ayo, masih ada tempat lain yang harus kau kunjungi,” katanya sambil berjalan, lalu diikuti oleh Javier.Kinan melongo karena dua lelaki itu malah melenggang tanpa ke kasir dulu. Dia gegas menyusul Javier dan menarik tangan lelaki itu.“Ada apa?” tanya Javier yang kaget saat tangannya ditarik.“Kenapa nggak bayar? Kalian penjahat yang lagi merampok?” tanya Kinan sambil berbisik. Javier langsung terbahak dan membuat Aldebaran berhenti dan menoleh ke belakangnya. Javier langsung berhenti tertawa dan menunduk hormat.“Butik itu punya Tuan Aldebaran,” bisik Javier dan kembali membuat Kinan melongo.“Ayo cepat!” teriak Aldebaran yang kemballi berhenti karena Javier dan Kinan malah mengobrol dan berjalan lambat.“Ini
“Sudah lihat, kan?” tanya Aldebaran membuyarkan lamunan Kinan yang membayangkan bagaimana kesepiannya lelaki tua di dalam sana.“Eh, i-iya, sudah,” jawab Kinan tergagap.“Kenapa dia nggak mau keluar?” tanya Kinan.“Entahlah. Mungkin dia merasa lebih baik jika menyendiri.” Aldebaran menjawab sembari mengedikan bahunya. Namun, Kinan tak menangkapnya seperti itu.“Ya sudah, saya mau pulang dulu,ya, Pak,” ucap Kinan dan menghentikan langkah Aldebaran yang lebar. Dia menoleh ke belakangnya.“Untuk apa?” Keningnya mengerut.“Mmh, ya mau pulang. Mau … ambil baju.” Kinan nyengir kuda.Aldebaran menilik penampilan Kinan dari atas sampai bawah yang tak ada mewah-mewahnya.“Apa baju kamu semua seperti ini?” tanyanya sedikit ragu.“I-iya, memangnya kenapa? Ada yang salah?” Kinan memperhatikan pakaiannya yang memang sangat sederhana.“Kalau begitu. Kamu tidak usah pulang. Nanti biar Javier yang bawa kamu ke toko baju.” Aldebaran kembali berbalik dan melangkah lebar-lebar meninggalkan Kinan yang me
“Iya,” jawabnya sesingkat mungkin. Lelaki di depan sana tampak seperti seorang penjahat yang akan mengeksekusi korbannya. Itu yanng Kinan rasakan.Lelaki itu bergumam dan manggut-manggut.“Saya berterima kasih sama kamu untuk malam itu.”“Bapak nggak usah berterima kasih. Saya ikhlas ngelakuinnya. Kenapa saya mesti ke sini segala? Pake ngancem-ngancem nggak mau bayarin biaya rumah sakit segala. Emangnya siapa yang minta bawa saya ke rumah sakit?” cerocos Kinan tanpa jeda. Keberaniannya mendadak muncul begitu saja.Aldebaran mengerutkan keningnya. “Mengancam? Siapa yang mengancam tidak akan bayar rumah sakit?” tanyanya bingung.Kinan pun langsung nyengir malas. Sepertinya dia sudah dikerjai oleh lelaki bernama Javier itu.“I-itu … emmh, nggak.” Kinan sepertinya merasa kasihan juga dengan Javier. Dia takut jika lelaki itu akan dihukum oleh bosnya ini.“Aku salah paham,” lanjutnya lalu menunduk. Aldebaran mengangkat sebelah alisnya kala menatap wanita itu.“Sekarang Anda sudah bilang ter
Kinan menatap sekeliling yang sudah pasti bukan ruang perawatan biasa. Ini adalah ruang perawatan VIP yang hanya pernah dilihatnya saat mengantarkan pakaian ganti untuk Ken saat Ken menjadi korban penusukan sebelum menikah dengannya.Kinan menghela napas panjang saat mengingat masa-masa bersama dengan lelaki itu. laki-laki yang telah menitipkan benih di rahimnya.Tak terasa air matanya tiba-tiba bergerombol begitu saja. Kinan pun gegas mengusapnya dengan punggung tangan. Dia bersumpah tidak akan lagi menangisi lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta, melambung ke atas langit ketujuh, lalu diempaskan ke dasar bumi yang tergelap.“Kita harus kuat, Sayang, meskipun hidup tanpa ayahmu,” ucapnya pelan seraya mengelus perutnya yang masih rata.Air mata yang sama yang jatuh dari pelupuk Ken saat mengingat Kinan tak lagi di sisinya. Setiap hari dia menuliskan cerita yang dilalui seharian.Dear Cinta dan KenangankuApa kabar kamu hari ini?Apakah kamu baik-baik saja di sana dengan buah cinta