“Apaan, sih? Ogah!” sergah Kinan dan mendorong tubuh tegap di depannya. Tubuh yang jauh lebih tinggi darinya. Jika Kinan bertumbuh langsing dengan tinggi 165 senti meter, sementara Ken bertubuh tegap dengan tinggi 185 senti meter.Lelaki itu tertawa meledek. Dia tahu jika Kinan merasa canggung dan ketakutan.“Umur elu baru 18 tahun ?” tanyanya dengan alis naik sebelah. Tangannya yang memegang handuk kembali mengeringkan rambut.“Emangnya kenapa kalau aku masih 18 tahun?” Kinan mendelik.“Apa elu masih perawan?” selidik Ken dengan senyum menyeringai. Wajah Kinan sontak memerah saat mendengar pertanyaan seperti itu. Matanya pun melotot. Kata masih perawan benar-benar telah menohoknya. Jangankan masalah itu, Kinan bahkan belum pernah berciuman.“Muka lu berubah jadi tomat.” Ken terbahak. “Malu karena memang masih perawan, atau malu karena jutru … nggak?”Mata Kinan semakin melotot. Dia benar-benar tersinggung dengan perkataan lelaki yang baru hari ini menjadi suaminya.“Kagak lucu!” sent
“Diapain? Masa, sih, kalian nggak ngerti bakal diapain saat malam pertama?” Za terkikik.“Emangnya aku, cuman dianggurin saat malam pertama.” Za yang sudah selesai dengan skin care-nya lalu bangkit dan menyusul Albany ke tempat tidur.Lelaki itu mengembus napas kasar. Jujur, dia merasa ditarik untuk kembali ke masa lalu. Masa di mana hatinya sakit karena harus menerima getah dari perbuatan orang.“Bukannya malam pertama kamu itu dengan Rico?” sindir Albany yang tiba-tiba merasa cemburu pada sang adik yang telah mendahuluinya.Za langsung terperangah mendengar pertanyaan dari suaminya. Sudah lama Albany tak pernah sefrontal itu kepadanya.“Apa kamu sedang menyindirku, Mas?” Za tampak tersinggung.“Menyindir? Bukankah itu fakta?” Albany memejamkan matanya untuk menetralisir rasa cemburu yang mulai menggebu.Za manggut-manggut. “Jadi, kamu lagi ngingetin aku, kalau aku ini sampah? Barang bekas, saat nikah sama kamu?” ucapnya penuh emosi.Albany sontak membuka kelopak matanya dan menoleh
Kinan gedebak-gedebuk di atas kasur super empuk itu. Dia tak bisa tidur meski Ken pergi sejak tadi. Lelaki itu tak bisa mengendalikan hasratnya yang tadi sempat terpancing. Namun, Ken sama sekali tak berniat untuk menuntaskannya dengan Kinan. Tidak. dia berpikir jangan sampai terikat dengan gadis itu terlalu lama. Apalagi kalau sampai dia hamil. Tidak terbayangkan oleh Ken jika harus menjadi ayah dalam waktu dekat ini.“Gimana kalau dia nanti balik lagi pas aku tidur. Terus … aarggh, jangan sampai dia berbuat yang tidak-tidak.” Kinan bergumam sendiri.“Dia tidak menganggapku sebagai istrinya, jadi … jangan sampai aku kelolosan. Curiga dia nggak akan mau tanggung jawab kalau aku sampai hamil.”“Kenapa nasibku buruk sekali? Lepas dari Juragan Ganda, eh, sekarang malah harus nikah sama cowok kayak gitu.” Kinan terus menggerutu.“Tapi … kalau dilihat secara fisik, sih, mendingan si Telor Asin. Paling nggak dia ganteng dan masih muda. Kalau Juragan Ganda, kan, aki-aki bau tanah. Hhmm.” Kin
“Kamu mau makan apa?” desis Kinan berbisik. Rasanya malas banget jika harus beramah tamah dengan lelaki itu.“Makan elu!” sentak Ken berbisik tepat di telinga sang istri dan sontak membuat bulu kuduk Kinan berdiri. Dia manyun sambil melotot. Untung saja tidak sambil mengangkat tinjunya.“Ayo, kenapa kalian masih diam? Kamu mau makan apa, Ken?” tanya Za memperhatikan anak dan menantunya.“Aku … mau nasi goreng aja. Tolong ambilkan ya, istriku sayang,” goda Ken sengaja sambil menyodorkan piringnya. Kinan langsung melotot. Namun, dia cepat menguasai diri. Kinan menerima piring itu dan mengisinya dengan nasi goreng. Kinan juga sengaja mengambil potongan cabai yang dia potong kecil-kecil.“Ini, Sayangku.” Kinan nyengir kuda dan menaruh piring di depan suaminya.“Kalian sepertinya bisa cepat akrab. Begitu, dong. Kalau suami istri itu mesti mesra,” ujar Hendro terkekeh.“Ayo, makan,” ajaknya lalu menyuap oatmeal dalam mangkuk.Baru suapan pertama, Ken langsung melotot. Beberapa cincangan cab
“Emang harus hari ini, ya?” bahu Kinan meluruh. Hatinya yang tadi tegar kini bagai kapas tertimpa hujan. Kalau di rumah baru, Kinan yakin suaminya itu akan semakin semena-mena. Dia harus bersiap untuk bertahan sekuat karang.“Hari ini!” ujar Ken tegas. “Beresin semua barang elu sekarang juga.”“Minggu depan ajalah,” pinta Kinan memelas.“Kagak! Cepet beresin dulu sana!” Ken melotot.“Besok aja, besok. Gimana?” Kinan nyengir kuda masih memasang wajah memelas. Berharap sang suami akan luluh untuk menunda sesi balas dendam yang akan dia terima sesaat lagi.“Nggak ada besok, nanti, lusa, jaman purba. Gue bilang sekarang ya sekarang!” bentak Ken.“Kamu pindah sendiri aja dah.” Kinan semakin memelas. Ken langsung melotot.“Ya udah, elu bilang sono sama Kakek dan orangtua gue,” usir Ken dan semakin membuat Kinan luruh. Mana bisa dia minta sama mereka untuk tidak ikut dengan suaminya. Suatu permintaan yang mustahil.Kinan menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal.**Ken memasukan tas-t
Belum sempat menjawab, ada orang yang akan keluar juga dari mini market itu dan membuat Ken juga sang wanita minggir. Mereka kemudian duduk berhadapan di kursi yang ada di depan mini market. Kinan berusaha menajamkan pendengaran. Dia ingin tahu siapa wanita yang sedang mengobrol dengan suaminya.“Siapa itu di mobil?” tanya sang wanita memulai lagi obrolan.“Bukan siapa-siapa. Lagian, bukan urusan kamu juga, kan. Kita udah putus, Mir,” jawab Ken.“Aku tebak. Kamu … nurutin permintaan orangtua kamu buat kawinin cewek itu. Iya?”Ken terdiam.“Ternyata dugaanku benar. Jadi dia cewek itu?” Miranda melirik ke arah gadis yang mengeluarkan sebagian kepalanya agar bisa mendengar percakapan di sana. Hanya gadis biasa saja, pikirnya. Sama sekali tidak setara jika dibandingkan dengannya.Ken masih diam.“Kamu cinta?” telisik Miranda.Ken sontak mendongak. “Enggak, lah,” sergahnya. Terlihat wanita cantik itu bernapas lega.“Baguslah. Kamu itu milikku, Ken. Dan akan selalu begitu.” Miranda menyend
Kinan duduk di kursi teras karena kelelahan, walaupun tadi disambung naik mobil, tetapi tetap saja dia berjalan cukup jauh. Rumah begitu sepi. Sepertinya Ningsih dan Hendro sedang beristirahat. Kinan tak tega untuk mengganggu. Akhirnya dia putuskan untuk istirahat di luar.Dia menggerutu saking kesalnya pada sang suami.“Baru sehari jadi suami, udah kayak gitu. Nyebelin banget jadi orang. Maen tinggal aja. Kulaporin Ibu Za baru tau rasa.”Angin sepoi-sepoi menerpa wajah cantiknya yang polos tak ber-make up. Lama-lama Kinan pun ketiduran dengan posisi duduk bersandar. Untung saja halaman rumah itu teduh karena ada pohon mangga yang cukup tinggi.Entah berapa lama dia tertidur saat sebuah teguran membangunkannya.“Kinan, kenapa kamu malah tidur di sini?” suara itu terdengar lembut, diiringi sentuhan di bahunya. Kinan mengerjapkan matanya. Terlihat wajah Ningsih menatapnya heran. Kinan tersentak kaget karena masih belum sadar sepenuhnya.“Ne-nek?” ucapnya sambil menggosok matanya dengan
“Elu bawa sendiri tas elu. Kuat, kan?” Ken meninggalkan Kinan begitu saja dengan satu tas besar yang teronggok di bagasi.Kinan mendelik kesal. Namun, tangan kurusnya tetap mengambil tas besar itu dan menggeretnya ke dalam rumah. Matanya kembali terpana saat melihat isi rumah yang begitu bagus meski perabotannya masih sedikit. Seumur-umur, dirinya tak pernah bermimpi untuk memiliki rumah semewah ini. Ya, Za bilang rumah ini atas nama Kinan, sedangkan mobil baru diberikan atas nama Ken. Semua ini diberikan sebagai hadiah pernikahan.“Kamar elu yang itu, dan kamar gue yang ini,” tunjuk Ken pada kamar yang berseberangan. Kamar yang ditunjuk sebagai miliknya terlihat jauh lebih besar. Sedangkan kamar yang ditujukan untuk Kinan berukuran lebih kecil.“Rumah ini atas nama aku. Berarti rumah ini adalah milikku. Jadi … aku yang berhak menentukan siapa yang tidur di kamar yang mana,” sergah Kinan tak mau kalah.“Sombong juga, elu.” Ken terlihat kesal.“Orang sombong emang mesti disombongin bal
“Lina, Ima! Apa Nyonya sudah selesai?” tanya Javier dari luar pintu.“Sudah Bang Jev,” jawab Ima.“Tuan Al sudah menunggu di bawah untuk sarapan,” katanya. Lina dan Ima pun bergegas membereskan peralatannya.“Silakan duluan, Nyonya. Kamarnya biar kami yang bereskan,” ucap Ima. Walaupun merasa tak enak hati, tetapi Kinan tak punya pilihan lain, Aldebaran sudah menunggunya di bawah.Saat pintu terbuka Javier sempat terperangah melihat Kinan yang semakin cantik. Sebagai lelaki normal dia kagum dengan wanita ini.“Silakan,” ujar Javier yang mendadak bersikap begitu sopan.“I-iya,” jawab Kinan terlihat gugup.Dia berjalan pelan menuruni tangga lebar yang melingkar. Di bawah sana Aldebaran yang mendengar bunyi heels pendek dari sepatu yang dikenakan Kinan sontak menoleh ke arah tangga.Matanya terperangah untuk sesaat, sebelum akhirnya dia membuang muka karena Javier melihat padanya.Sangat aneh. Aldebaran sering berurusan dengan wanita berbaju seksi. Dia bahkan sering menikmati wanita tan
Aldebaran menatap tak berkedip pada wanita yang jatuh terlelap karena saking capenya. Kinan bercerita tentang hidupnya sambil menangis tadi. Entah kenapa Aldebaran ingin sekali memeluk dan memberikan bahunya untuk bersandar saat Kinan menangis, tetapi dia tak bisa melakukannya. Wanita itu masih sah menjadi istri orang.Saking lelahnya, Kinan meracau lalu kepalanya terkulai di pinggiran sofa.“Kupikir kisah hidupku yang paling buruk,” gumam Aldebaran sambil menatap dengan rasa kasihan pada Kinan. Dia menunggu hingga Kinan benar-benar terlelap, lalu memindahkannya ke atas kasur miliknya. Setelah yakin jika Kinan tidur dalam keadaan nyaman, dia lalu keluar dan menuju ruang kerjanya untuk tidur di sana.Aldebaran seakan susah untuk memejamkan matanya. Dia masih teringat saat Kinan menceritakan kisahnya dengan sang suami.“Kamu wanita tegar dan berprinsip. Berani meninggalkan suami seperti itu demi sebuah harga diri,” gumamnya, lalu terbayang wajah Kinan yang polos, namun pemberani. Ide-id
Kinan masih fokus memijit kaki Ahmet, sementara Aldebaran mengajaknya untuk cepat-cepat. Dia sudah tidak sabar ingin menginterogasi wanita yang menjadi istri gadungannya ini.“Udah mendingan, kan, Dad?” tanya Aldebaran.Ahmet mendelikan matanya. “Aku lagi enak dipijitin. Ganggu saja kamu ini!” Dia hendak melemparkan lagi sebuah bantal pada anaknya, tetapi Kinan menahannya.“Ssst, jangan ribut.” Kinan menyilangkan telunjuknya di bibir.“Tuh denger! Sana pergi kau!” usir Ahmet mengacungkan tinjunya pada Aldebaran.“Hei, dia itu istriku. Seharusnya aku yang lebih berhak, bukan kau Pak Tua!” sergah Aldebaran.“Kau bisa sepuasnya sama istrimu nanti. Aku hanya sebentar saja. Aku ingin mengobrol dengannya.” Ahmet mengangkat bogemnya.“Aku kasih waktu lima menit lagi. setelah itu aku ajak Kinan pergi tidur. Ini sudah malam. Apa kau tidak mengerti bagaimana rasanya pengantin baru?” kata Aldebaran sambil melirik jam yang melingkar di tangannya.“Ya sudahlah. Pergilah kalian. Kakiku sudah jauh l
Sementara itu Kinan dan Ahmet yang mendengar keributan di luar langsung terbangun. Ahmet terperangah saat melihat ada Kinan di kamarnya.“Ngapain kamu di sini?” tanyanya marah.“Emmh, itu … Kek, aku mau bawakan makan malam, tapi Kakek udah tidur. Jadi aku tunggu di sini,” jawab Kinan sambil menunjuk ke sofa yang tadi didudukinya.“Kakek! Sudah kubilang jangan panggil aku kakek.” Ahmet berteriak dengan keras dan membuat Aldebaran mendengarnya. Dia gegas ke sana untuk melihat.Betapa bahagia rasanya saat melihat ada Kinan di sana yang tadi dia kira kabur.“Kenapa kamu di sini, Sayang?” tanya Aldebaran menghampiri Kinan dan berpura-pura bersikap romantis. Kinan tampak risih saat tangan Aldebaran menyentuh pinggangnya.“Mmh, itu, Tuan. Saya … mau ambilkan makan malam buat Kakek,” jawab Kinan polos. Aldebaran mengedipkan sebelah matanya berulang kali, memberi kode pada Kinan agar tidak menyebutnya tuan.Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Kinan dan berbisik, “Panggil aku sayang jika di de
Aldebaran terbahak mendengar pertanyaan Kinan.“Kau pikir aku akan melakukannya? Yang benar saja. Aku tidak akan pernah mau terikat dalam pernikahan.”Mendengar kalimat dari mulut Aldebaran, Kinan pun merasa lega.“Baguslah. Aku juga tidak mau,” balas Kinan sambil membuang muka. Aldebaran melotot. Belum pernah ada yang berani seperti itu padanya. Biasanya wanita akan tunduk dan merengek agar didekati, yang ini malah sebaliknya.“Kamu!” desisnya. Namun, Kinan malah nyengir kuda. Aldebaran mendengkus pelan.“Cepat pose yang baik, aku akan mengambil gambarmu,” titah Aldebaran sambil menunjuk ke arah tembok untuk memberi kode pada Kinan untuk berdiri di sana.“Ok,” sahut Kinan gegas berdiri di depan tembok berwarna putih.Cekrek.Aldebaran kemudian melihat hasil fotonya. Dia mendesis kesal, karena ternyata Kinan malah menggosok matanya.“Kamu ini, foto aja susah. Tahan dulu sebentar,” ucap Aldebaran sedikit emosi.“Maaf, tadi mataku kelilipan,” jawab Kinan yang masih mengucek matanya. “S
“Pakailah salah satu. Buang saja baju yang kau pakai,” katanya seperti yang kesal. Kinan mendengkus dan kembali ke kamar pas untuk berganti pakaian.Keluar dari kamar pas kali ini sudah dengan baju yang baru dan membuat Aldebaran terpaku sesaat. Namun, dia gegas membuang muka.“Ayo, masih ada tempat lain yang harus kau kunjungi,” katanya sambil berjalan, lalu diikuti oleh Javier.Kinan melongo karena dua lelaki itu malah melenggang tanpa ke kasir dulu. Dia gegas menyusul Javier dan menarik tangan lelaki itu.“Ada apa?” tanya Javier yang kaget saat tangannya ditarik.“Kenapa nggak bayar? Kalian penjahat yang lagi merampok?” tanya Kinan sambil berbisik. Javier langsung terbahak dan membuat Aldebaran berhenti dan menoleh ke belakangnya. Javier langsung berhenti tertawa dan menunduk hormat.“Butik itu punya Tuan Aldebaran,” bisik Javier dan kembali membuat Kinan melongo.“Ayo cepat!” teriak Aldebaran yang kemballi berhenti karena Javier dan Kinan malah mengobrol dan berjalan lambat.“Ini
“Sudah lihat, kan?” tanya Aldebaran membuyarkan lamunan Kinan yang membayangkan bagaimana kesepiannya lelaki tua di dalam sana.“Eh, i-iya, sudah,” jawab Kinan tergagap.“Kenapa dia nggak mau keluar?” tanya Kinan.“Entahlah. Mungkin dia merasa lebih baik jika menyendiri.” Aldebaran menjawab sembari mengedikan bahunya. Namun, Kinan tak menangkapnya seperti itu.“Ya sudah, saya mau pulang dulu,ya, Pak,” ucap Kinan dan menghentikan langkah Aldebaran yang lebar. Dia menoleh ke belakangnya.“Untuk apa?” Keningnya mengerut.“Mmh, ya mau pulang. Mau … ambil baju.” Kinan nyengir kuda.Aldebaran menilik penampilan Kinan dari atas sampai bawah yang tak ada mewah-mewahnya.“Apa baju kamu semua seperti ini?” tanyanya sedikit ragu.“I-iya, memangnya kenapa? Ada yang salah?” Kinan memperhatikan pakaiannya yang memang sangat sederhana.“Kalau begitu. Kamu tidak usah pulang. Nanti biar Javier yang bawa kamu ke toko baju.” Aldebaran kembali berbalik dan melangkah lebar-lebar meninggalkan Kinan yang me
“Iya,” jawabnya sesingkat mungkin. Lelaki di depan sana tampak seperti seorang penjahat yang akan mengeksekusi korbannya. Itu yanng Kinan rasakan.Lelaki itu bergumam dan manggut-manggut.“Saya berterima kasih sama kamu untuk malam itu.”“Bapak nggak usah berterima kasih. Saya ikhlas ngelakuinnya. Kenapa saya mesti ke sini segala? Pake ngancem-ngancem nggak mau bayarin biaya rumah sakit segala. Emangnya siapa yang minta bawa saya ke rumah sakit?” cerocos Kinan tanpa jeda. Keberaniannya mendadak muncul begitu saja.Aldebaran mengerutkan keningnya. “Mengancam? Siapa yang mengancam tidak akan bayar rumah sakit?” tanyanya bingung.Kinan pun langsung nyengir malas. Sepertinya dia sudah dikerjai oleh lelaki bernama Javier itu.“I-itu … emmh, nggak.” Kinan sepertinya merasa kasihan juga dengan Javier. Dia takut jika lelaki itu akan dihukum oleh bosnya ini.“Aku salah paham,” lanjutnya lalu menunduk. Aldebaran mengangkat sebelah alisnya kala menatap wanita itu.“Sekarang Anda sudah bilang ter
Kinan menatap sekeliling yang sudah pasti bukan ruang perawatan biasa. Ini adalah ruang perawatan VIP yang hanya pernah dilihatnya saat mengantarkan pakaian ganti untuk Ken saat Ken menjadi korban penusukan sebelum menikah dengannya.Kinan menghela napas panjang saat mengingat masa-masa bersama dengan lelaki itu. laki-laki yang telah menitipkan benih di rahimnya.Tak terasa air matanya tiba-tiba bergerombol begitu saja. Kinan pun gegas mengusapnya dengan punggung tangan. Dia bersumpah tidak akan lagi menangisi lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta, melambung ke atas langit ketujuh, lalu diempaskan ke dasar bumi yang tergelap.“Kita harus kuat, Sayang, meskipun hidup tanpa ayahmu,” ucapnya pelan seraya mengelus perutnya yang masih rata.Air mata yang sama yang jatuh dari pelupuk Ken saat mengingat Kinan tak lagi di sisinya. Setiap hari dia menuliskan cerita yang dilalui seharian.Dear Cinta dan KenangankuApa kabar kamu hari ini?Apakah kamu baik-baik saja di sana dengan buah cinta