Kinan gedebak-gedebuk di atas kasur super empuk itu. Dia tak bisa tidur meski Ken pergi sejak tadi. Lelaki itu tak bisa mengendalikan hasratnya yang tadi sempat terpancing. Namun, Ken sama sekali tak berniat untuk menuntaskannya dengan Kinan. Tidak. dia berpikir jangan sampai terikat dengan gadis itu terlalu lama. Apalagi kalau sampai dia hamil. Tidak terbayangkan oleh Ken jika harus menjadi ayah dalam waktu dekat ini.“Gimana kalau dia nanti balik lagi pas aku tidur. Terus … aarggh, jangan sampai dia berbuat yang tidak-tidak.” Kinan bergumam sendiri.“Dia tidak menganggapku sebagai istrinya, jadi … jangan sampai aku kelolosan. Curiga dia nggak akan mau tanggung jawab kalau aku sampai hamil.”“Kenapa nasibku buruk sekali? Lepas dari Juragan Ganda, eh, sekarang malah harus nikah sama cowok kayak gitu.” Kinan terus menggerutu.“Tapi … kalau dilihat secara fisik, sih, mendingan si Telor Asin. Paling nggak dia ganteng dan masih muda. Kalau Juragan Ganda, kan, aki-aki bau tanah. Hhmm.” Kin
“Kamu mau makan apa?” desis Kinan berbisik. Rasanya malas banget jika harus beramah tamah dengan lelaki itu.“Makan elu!” sentak Ken berbisik tepat di telinga sang istri dan sontak membuat bulu kuduk Kinan berdiri. Dia manyun sambil melotot. Untung saja tidak sambil mengangkat tinjunya.“Ayo, kenapa kalian masih diam? Kamu mau makan apa, Ken?” tanya Za memperhatikan anak dan menantunya.“Aku … mau nasi goreng aja. Tolong ambilkan ya, istriku sayang,” goda Ken sengaja sambil menyodorkan piringnya. Kinan langsung melotot. Namun, dia cepat menguasai diri. Kinan menerima piring itu dan mengisinya dengan nasi goreng. Kinan juga sengaja mengambil potongan cabai yang dia potong kecil-kecil.“Ini, Sayangku.” Kinan nyengir kuda dan menaruh piring di depan suaminya.“Kalian sepertinya bisa cepat akrab. Begitu, dong. Kalau suami istri itu mesti mesra,” ujar Hendro terkekeh.“Ayo, makan,” ajaknya lalu menyuap oatmeal dalam mangkuk.Baru suapan pertama, Ken langsung melotot. Beberapa cincangan cab
“Emang harus hari ini, ya?” bahu Kinan meluruh. Hatinya yang tadi tegar kini bagai kapas tertimpa hujan. Kalau di rumah baru, Kinan yakin suaminya itu akan semakin semena-mena. Dia harus bersiap untuk bertahan sekuat karang.“Hari ini!” ujar Ken tegas. “Beresin semua barang elu sekarang juga.”“Minggu depan ajalah,” pinta Kinan memelas.“Kagak! Cepet beresin dulu sana!” Ken melotot.“Besok aja, besok. Gimana?” Kinan nyengir kuda masih memasang wajah memelas. Berharap sang suami akan luluh untuk menunda sesi balas dendam yang akan dia terima sesaat lagi.“Nggak ada besok, nanti, lusa, jaman purba. Gue bilang sekarang ya sekarang!” bentak Ken.“Kamu pindah sendiri aja dah.” Kinan semakin memelas. Ken langsung melotot.“Ya udah, elu bilang sono sama Kakek dan orangtua gue,” usir Ken dan semakin membuat Kinan luruh. Mana bisa dia minta sama mereka untuk tidak ikut dengan suaminya. Suatu permintaan yang mustahil.Kinan menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal.**Ken memasukan tas-t
Belum sempat menjawab, ada orang yang akan keluar juga dari mini market itu dan membuat Ken juga sang wanita minggir. Mereka kemudian duduk berhadapan di kursi yang ada di depan mini market. Kinan berusaha menajamkan pendengaran. Dia ingin tahu siapa wanita yang sedang mengobrol dengan suaminya.“Siapa itu di mobil?” tanya sang wanita memulai lagi obrolan.“Bukan siapa-siapa. Lagian, bukan urusan kamu juga, kan. Kita udah putus, Mir,” jawab Ken.“Aku tebak. Kamu … nurutin permintaan orangtua kamu buat kawinin cewek itu. Iya?”Ken terdiam.“Ternyata dugaanku benar. Jadi dia cewek itu?” Miranda melirik ke arah gadis yang mengeluarkan sebagian kepalanya agar bisa mendengar percakapan di sana. Hanya gadis biasa saja, pikirnya. Sama sekali tidak setara jika dibandingkan dengannya.Ken masih diam.“Kamu cinta?” telisik Miranda.Ken sontak mendongak. “Enggak, lah,” sergahnya. Terlihat wanita cantik itu bernapas lega.“Baguslah. Kamu itu milikku, Ken. Dan akan selalu begitu.” Miranda menyend
Kinan duduk di kursi teras karena kelelahan, walaupun tadi disambung naik mobil, tetapi tetap saja dia berjalan cukup jauh. Rumah begitu sepi. Sepertinya Ningsih dan Hendro sedang beristirahat. Kinan tak tega untuk mengganggu. Akhirnya dia putuskan untuk istirahat di luar.Dia menggerutu saking kesalnya pada sang suami.“Baru sehari jadi suami, udah kayak gitu. Nyebelin banget jadi orang. Maen tinggal aja. Kulaporin Ibu Za baru tau rasa.”Angin sepoi-sepoi menerpa wajah cantiknya yang polos tak ber-make up. Lama-lama Kinan pun ketiduran dengan posisi duduk bersandar. Untung saja halaman rumah itu teduh karena ada pohon mangga yang cukup tinggi.Entah berapa lama dia tertidur saat sebuah teguran membangunkannya.“Kinan, kenapa kamu malah tidur di sini?” suara itu terdengar lembut, diiringi sentuhan di bahunya. Kinan mengerjapkan matanya. Terlihat wajah Ningsih menatapnya heran. Kinan tersentak kaget karena masih belum sadar sepenuhnya.“Ne-nek?” ucapnya sambil menggosok matanya dengan
“Elu bawa sendiri tas elu. Kuat, kan?” Ken meninggalkan Kinan begitu saja dengan satu tas besar yang teronggok di bagasi.Kinan mendelik kesal. Namun, tangan kurusnya tetap mengambil tas besar itu dan menggeretnya ke dalam rumah. Matanya kembali terpana saat melihat isi rumah yang begitu bagus meski perabotannya masih sedikit. Seumur-umur, dirinya tak pernah bermimpi untuk memiliki rumah semewah ini. Ya, Za bilang rumah ini atas nama Kinan, sedangkan mobil baru diberikan atas nama Ken. Semua ini diberikan sebagai hadiah pernikahan.“Kamar elu yang itu, dan kamar gue yang ini,” tunjuk Ken pada kamar yang berseberangan. Kamar yang ditunjuk sebagai miliknya terlihat jauh lebih besar. Sedangkan kamar yang ditujukan untuk Kinan berukuran lebih kecil.“Rumah ini atas nama aku. Berarti rumah ini adalah milikku. Jadi … aku yang berhak menentukan siapa yang tidur di kamar yang mana,” sergah Kinan tak mau kalah.“Sombong juga, elu.” Ken terlihat kesal.“Orang sombong emang mesti disombongin bal
Miranda menilik rumah itu dengan seksama.“Bagus juga rumah kalian,” ucapnya sinis. Lalu dia makin mendekat pada Kinan. Gadis itu memang tidak menutup kembali gerbang rumahnya setelah membuang sampah.“Ka-mu siapa?” tanya Kinan gugup.“Aku?” Miranda menunjuk hidungnya sendiri. “Apa Ken nggak ngasih tau kamu, kalau dia punya pacar?”Wanita itu merangsek masuk.“Maaf, suami saya sedang tidak di rumah. Mungkin Mbak bisa datang lain kali.” Kinan berusaha menghalangi. Dia kesal juga pada Ken karena seenaknya memberitahu alamat mereka pada wanita di depannya.Miranda tertawa mengejek. “Suami? Hanya suami di atas kertas saja. Kamu jangan terlalu percaya diri. nggak akan lama lagi juga kamu bakalan dibuang.”Kinan mengembus napas kasar.“Atau kalau kamu masih mau deket-deket Ken, kamu boleh ikut kami. Tapi … sebagai pembantu,” cibirnya dengan sinis. Matanya menilik Kinan dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Kamu memang cocok sekali jadi pembokat.”“Silakan pergi, saya sedang sibuk,” usir Kin
Dan seperti yang dikatakan oleh Za, Ken benar-benar diminta untuk pindah ke kota lain di bulan berikutnya. Waktu satu bulan lebih dua minggu waktu yang diberikan Za pada Ken untuk belajar. Pemuda itu memang cerdas, persis seperti ayahnya. Sehingga untuk mempelajari skema bisnis yang diajarkan Za baginya tidaklah sulit. Hal utama yang diajarkan Za pada sang putra adalah strategi marketing. Dan dengan sikap supel Ken tidaklah sulit untuk dia belajar.Waktu yang tepat juga untuk Kinan mencari kampus yang cocok untuknya, karena pendaftaran baru dimulai. Za menyarankan salah satu perguruan tinggi favorit di kota itu. Meskipun swasta, tetapi merupakan salah satu perguruan tinggi terbaik.Ada satu kelegaan dalam hati Kinan, mungkin dengan pindahnya mereka ke kota ini, akan mengurangi intensitas petemuan suaminya dengan sang pacar.“Mungkin Ken belum mencintaimu, tapi lambat laun kebersamaan akan menyatukan kalian. Berjuanglah untuk mendapatkan cintanya. Seperti aku dulu berjuang untuk mendap