Ken selesai meeting dengan beberapa kepala divisi. Dia memang cerdas, jadi tak perlu waktu lama untuk bisa beradaptasi dengan pekerjaannya. Semua karyawan sangat segan dengan Ken, meskipun dia baru di sana, tetapi mereka tahu jika Ken adalah cucu tunggal pemilik perusahaan.Ken tidak pernah mengumumkan pernikahannya, sehingga orang-orang tahunya dia masih singel. Persis seperti sang ayah dulu, Ken menjadi dambaan setiap gadis yang melihatnya. Jika dulu saja Albany yang hanya seorang office boy banyak yang suka, apalagi dengan Ken sebagai pewaris tunggal sang owner.Banyak sorot mata terpesona, juga curi-curi pandang dari gadis pemalu pada Ken, sudah menjadi rahasia umum. Bahkan ada dari mereka yangn secara terang-terangan menunjukan rasa suka. Namun, Ken tetap bersikap acuh.Hari ini, kantor PT. Kens Filament digegerkan dengan kedatangan seorang wanita cantik yang mencari bos mereka. Tak sedikit mata penuh tanya yang memperhatikan penampilan wanita itu dari ujung kaki hingga ujung ra
Beberapa waktu yang lalu, di tempat lain, Kinan menghentikan motornya karena ponselnya terus saja berdering. Dia menepi untuk menerima panggilan itu. Dia takut ada hal penting dari kampus atau yang lain. Saat dia melihat layar ponselnya, dia segera menggulir tanda telepon berwarna hijau.“Halo, Bu?” sapanya.“Kinan? Sebentar lagi saya mau ke kantornya Ken. Saya mau ngecek perkembangan dia, tapi saya masih kejebak macet ini. Saya ada rencana mau makan siang di sana. Apa kamu bisa tolong belikan makanan dan antar ke sana?” pinta Za.“Mmh, itu … saya ….”“Apa kamu sedang sibuk? Sudah mulai kuliah?” tanya Za.“Eh, bu-bukan, Bu. Saya baru pulang dari tes masuk. Saya sama sekali nggak sibuk. Hanya saja saya tidak tau di mana kantor Abang,” jawab Kinan.Za terperangah sejenak, heran karena sepertinya Ken belum pernah mengajak Kinan ke kantornya. Namun, akhirnya dia bisa menguasai diri. “Oh, begitu. Ok, begini saja. Saya nanti kasih kamu alamat lengkapnya dan kamu bisa pakai google map, kan?”
“Kamu sudah di sini, baguslah. Mari kita makan bersama,” ajak Za. Mata Ken terbelalak. Dia tidak mau jika keberadaan Miranda di ruangannya tersendus sang ibu.“Emmh, itu … kita makan di ruang meeting saja.” Ken memberikan saran. Namun, Za menolak.“Tidak, tidak. Bunda ingin melihat ruanganmu, sekalian ngecek kerjaanmu,” jawab Za dan melanjutkan langkah menuju ruangan sang putra.Ken mematung dengan mata melotot pada Kinan. “Elu harus nolongin gue,” ucapnya dengan wajah memucat.“Rasain! Makanya jaga syahwatmu itu,” desis Kinan mendelik lalu mengikuti langkah ibu mertuanya.“Shit! Sial!” Ken mengkus kesal, walau begitu dia menyusul keduanya ke ruangan.“Ini kenapa makanannya kok di sini?” tanya Za yang melihat tas berisi kotak makanan di lantai.“Eh, tadi terjatuh, Bu,” jawab Kinan dan gegas mengambil tas itu.Za langsung duduk di sofa sambil menatap sekeliling. “Ruangan ini Bunda yang design. Persis seperti yang Bunda mau. Semoga kamu suka,” ucapnya pada Ken yang duduk dengan gelisah.
Kinan seperti biasa memasak untuk makan malam. Meski dia masih merasa kesal dengan Ken, tetapi dia tetap melakukan kewajibannya.Ken pulang sudah hampir Isya. Dia tampak kelelahan. Bukan hanya lelah dengan masalah pekerjaan, tetapi hatinya juga.Wangi makanan menguar saat dia mengempaskan dirinya di sofa dan membuka kaus kaki.“Makanan sudah siap,” ujar Kinan sambil mengambil kaus kaki yang terserak di lantai, lalu menyimpannya ke tempat cucian.Ken hanya mengembus napas kasar sambil memperhatikan gerakan istrinya. Kinan memang baik sebagai seorang istri. Setiap pagi selalu menyiapkan sarapan dan juga makan malam. Wanita itu juga mencucikan semua bajunya. Namun, Ken sama sekali tidak berselera saat melihat dirinya. Rasannya seperti melihat makanan yang sudah dingin. Nggak berselera.Dada, pinggul, paha, semuanya rata. Meskipun wajahnya cantik, tetapi di mata Ken Kinan bagai seorang anak kecil saja. Belum pantas untuk dinikmati. Berbeda jauh dengan Miranda yang memiliki tubuh yang sint
Dua minggu sudah Kinan kuliah. Dia mulai sibuk dengan tugas-tugasnya. Tak jarang dia juga pulang malam, hampir Isya. Berbarengan dengan Ken sampai di rumah. Seperti halnya malam ini, Kinan pulang lebih terlambat, karena ada jadwal kuliah jam lima sore. Jadwal dadakan karena dosennya ada keperluan di siang hari.Kinan buru-buru memarkir motor matic-nya di garasi di mana mobil Ken sudah terparkir di sana.“Duh, dia udah pulang, aku belum sempet masak,” gumamnya sambil menaruh helm di rak. Kinan gegas masuk. Matanya memicing saat melihat pemandangan tak senonoh di ruang TV. Ada ken yang duduk bersandar ke sofa, lalu di sebelahnya ada Miranda yang bersandar di pundak Ken sambil memainkan jarinya di dada bidang lelaki itu.Kinan menarik napas panjang. Meski cinta itu belum ada, tetapi tidak bisa juga jika dia melihat pemandangan itu di rumahnya. Rumah yang seharusnya menjadi tempat yang tidak boleh dikotori dengan perbuatan asusila suaminya.Melihat kedatangan Kinan, Miranda langsung menda
Di luar masih terdengar raungan Miranda yang terdengar manja pada Ken, dan Kinan hanya bisa menghela napas gusar. Ucapannya yang kemarin, malah menjadi boomerang yang memantul dan menyerangnya tanpa ampun.Jika Miranda saat ini tengah merasakan sakit di kepala, tangan juga matanya, sedangkan Kinan merasakan sakit di hatinya.“Apa Ibu Za akan senang jika si Bangke itu akhirnya menikah sama si Keong Racun?” gumam Kinan menatap langit-langit kamarnya. Rasa lapar yang tadi meronta minta diisi kini hilang begitu saja.“Apa aku menyerah saja?” desahnya. Namun, Kinan kembali membayangkan ucapan-ucapan sang ibu mertua yang memintanya untuk bersabar.“Perjuanganmu tidak akan mudah.” Dan ternyata itu memang benar adanya.**“Tugas sebanyak ini, nggak akan beres dikerjain sejam dua jam ini,” keluh Sesyl, orang yang cukup bersahabat dengan Kinan.“Aku tinggal setengahnya lagi,” ujar Kinan yang membereskan alat tulisnya dan memasukannya ke dalam tas.“Bantuin gue, dong,” rengek Sesyl si cantik de
“Sini, gue tunjukin!” ujar Sesyl menarik Kinan ke depan cermin.“Lihat diri, lu sendiri, Kinanti. Elu itu cantik. Gue akuin itu. Cuman gaya elu aja yang kurang nendang,” lanjut Sesyl memutari Kinan yang berdiri mematung menatap pantulannya sendiri.“Kurang nendang? Kamu pikir aku ini lagi latihan karate, apa?” balas Kinan heran.“Iiish, bodoh amat, sih, elu. Gemes, deh, gue.” Sesyl melotot pada temannya itu.“Besok, abis pulang kuliah, kita nge-gym. Abis itu kita belanja baju baru buat elu. Yaang buanyaaakk,” saran Sesyl.“Aduh, Syl, aku kan mesti masak buat suamiku. Aku mesti minta izin dulu,” keluh Kinan.“Halaah, kagak usah elu pikirin suami macam gitu. Lagian, dia pergi sama si Keong Racun itu juga nggak minta ijin, kan, sama elu? Dia bawa uler keket itu juga kagak minta ijin, kan? Napa elu mesti repot-repot minta ijin segala?”“Tapi, Syl … aku nanti ….”“Halaah, udaah. Elu mau suami elu itu balik ke jalan yang benar, atau elu mau dia dikuasai sama si Uler Keket itu selamanya?” t
Suara musik menghentak-hentak di ruangan berukuran 6 x 10 meter itu dengan setiap sisinya dilapisi cermin. Kinan mengikuti gerakan aerobic yang diperagakan oleh seorang instruktur di depan sana. gerakan Kinan masih terlihat kaku dan aneh. Namun, dia kembali teringat dengan perkataan temannya.“Elu mau berubah, atau suami elu diembat si Keong Racun selamanya? Walaupun elu nggak cinta, minimal elu bisa balikin rasa sakit hati elu sama dia.”Iya, sepertinya Sesyl memang benar. Lagi pula, diam-diam Kinan memang mulai menyukai Ken.“Badanku berasa remuk,” ucap Kinan selesai latihan aerobic. Dia duduk di sebuah alat fitness di samping Sesyl yang masih asik berlari di atas sebuah treadmill.“Baru sehari. Besok, elu ikut zumba. Lusa elu mulai pake alat-alat di sini. sayang, kan, elu udah jadi member,” ujar Sesyl yang sesekali menyeka keringat yang mengalir dari pelipisnya.“Gila, Syl, sampe kapan?” pekik Kinan merasa keberatan.“Olah raga itu buat kesehatan. Jadi, elu mesti lakuin seumur hidu
“Lina, Ima! Apa Nyonya sudah selesai?” tanya Javier dari luar pintu.“Sudah Bang Jev,” jawab Ima.“Tuan Al sudah menunggu di bawah untuk sarapan,” katanya. Lina dan Ima pun bergegas membereskan peralatannya.“Silakan duluan, Nyonya. Kamarnya biar kami yang bereskan,” ucap Ima. Walaupun merasa tak enak hati, tetapi Kinan tak punya pilihan lain, Aldebaran sudah menunggunya di bawah.Saat pintu terbuka Javier sempat terperangah melihat Kinan yang semakin cantik. Sebagai lelaki normal dia kagum dengan wanita ini.“Silakan,” ujar Javier yang mendadak bersikap begitu sopan.“I-iya,” jawab Kinan terlihat gugup.Dia berjalan pelan menuruni tangga lebar yang melingkar. Di bawah sana Aldebaran yang mendengar bunyi heels pendek dari sepatu yang dikenakan Kinan sontak menoleh ke arah tangga.Matanya terperangah untuk sesaat, sebelum akhirnya dia membuang muka karena Javier melihat padanya.Sangat aneh. Aldebaran sering berurusan dengan wanita berbaju seksi. Dia bahkan sering menikmati wanita tan
Aldebaran menatap tak berkedip pada wanita yang jatuh terlelap karena saking capenya. Kinan bercerita tentang hidupnya sambil menangis tadi. Entah kenapa Aldebaran ingin sekali memeluk dan memberikan bahunya untuk bersandar saat Kinan menangis, tetapi dia tak bisa melakukannya. Wanita itu masih sah menjadi istri orang.Saking lelahnya, Kinan meracau lalu kepalanya terkulai di pinggiran sofa.“Kupikir kisah hidupku yang paling buruk,” gumam Aldebaran sambil menatap dengan rasa kasihan pada Kinan. Dia menunggu hingga Kinan benar-benar terlelap, lalu memindahkannya ke atas kasur miliknya. Setelah yakin jika Kinan tidur dalam keadaan nyaman, dia lalu keluar dan menuju ruang kerjanya untuk tidur di sana.Aldebaran seakan susah untuk memejamkan matanya. Dia masih teringat saat Kinan menceritakan kisahnya dengan sang suami.“Kamu wanita tegar dan berprinsip. Berani meninggalkan suami seperti itu demi sebuah harga diri,” gumamnya, lalu terbayang wajah Kinan yang polos, namun pemberani. Ide-id
Kinan masih fokus memijit kaki Ahmet, sementara Aldebaran mengajaknya untuk cepat-cepat. Dia sudah tidak sabar ingin menginterogasi wanita yang menjadi istri gadungannya ini.“Udah mendingan, kan, Dad?” tanya Aldebaran.Ahmet mendelikan matanya. “Aku lagi enak dipijitin. Ganggu saja kamu ini!” Dia hendak melemparkan lagi sebuah bantal pada anaknya, tetapi Kinan menahannya.“Ssst, jangan ribut.” Kinan menyilangkan telunjuknya di bibir.“Tuh denger! Sana pergi kau!” usir Ahmet mengacungkan tinjunya pada Aldebaran.“Hei, dia itu istriku. Seharusnya aku yang lebih berhak, bukan kau Pak Tua!” sergah Aldebaran.“Kau bisa sepuasnya sama istrimu nanti. Aku hanya sebentar saja. Aku ingin mengobrol dengannya.” Ahmet mengangkat bogemnya.“Aku kasih waktu lima menit lagi. setelah itu aku ajak Kinan pergi tidur. Ini sudah malam. Apa kau tidak mengerti bagaimana rasanya pengantin baru?” kata Aldebaran sambil melirik jam yang melingkar di tangannya.“Ya sudahlah. Pergilah kalian. Kakiku sudah jauh l
Sementara itu Kinan dan Ahmet yang mendengar keributan di luar langsung terbangun. Ahmet terperangah saat melihat ada Kinan di kamarnya.“Ngapain kamu di sini?” tanyanya marah.“Emmh, itu … Kek, aku mau bawakan makan malam, tapi Kakek udah tidur. Jadi aku tunggu di sini,” jawab Kinan sambil menunjuk ke sofa yang tadi didudukinya.“Kakek! Sudah kubilang jangan panggil aku kakek.” Ahmet berteriak dengan keras dan membuat Aldebaran mendengarnya. Dia gegas ke sana untuk melihat.Betapa bahagia rasanya saat melihat ada Kinan di sana yang tadi dia kira kabur.“Kenapa kamu di sini, Sayang?” tanya Aldebaran menghampiri Kinan dan berpura-pura bersikap romantis. Kinan tampak risih saat tangan Aldebaran menyentuh pinggangnya.“Mmh, itu, Tuan. Saya … mau ambilkan makan malam buat Kakek,” jawab Kinan polos. Aldebaran mengedipkan sebelah matanya berulang kali, memberi kode pada Kinan agar tidak menyebutnya tuan.Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Kinan dan berbisik, “Panggil aku sayang jika di de
Aldebaran terbahak mendengar pertanyaan Kinan.“Kau pikir aku akan melakukannya? Yang benar saja. Aku tidak akan pernah mau terikat dalam pernikahan.”Mendengar kalimat dari mulut Aldebaran, Kinan pun merasa lega.“Baguslah. Aku juga tidak mau,” balas Kinan sambil membuang muka. Aldebaran melotot. Belum pernah ada yang berani seperti itu padanya. Biasanya wanita akan tunduk dan merengek agar didekati, yang ini malah sebaliknya.“Kamu!” desisnya. Namun, Kinan malah nyengir kuda. Aldebaran mendengkus pelan.“Cepat pose yang baik, aku akan mengambil gambarmu,” titah Aldebaran sambil menunjuk ke arah tembok untuk memberi kode pada Kinan untuk berdiri di sana.“Ok,” sahut Kinan gegas berdiri di depan tembok berwarna putih.Cekrek.Aldebaran kemudian melihat hasil fotonya. Dia mendesis kesal, karena ternyata Kinan malah menggosok matanya.“Kamu ini, foto aja susah. Tahan dulu sebentar,” ucap Aldebaran sedikit emosi.“Maaf, tadi mataku kelilipan,” jawab Kinan yang masih mengucek matanya. “S
“Pakailah salah satu. Buang saja baju yang kau pakai,” katanya seperti yang kesal. Kinan mendengkus dan kembali ke kamar pas untuk berganti pakaian.Keluar dari kamar pas kali ini sudah dengan baju yang baru dan membuat Aldebaran terpaku sesaat. Namun, dia gegas membuang muka.“Ayo, masih ada tempat lain yang harus kau kunjungi,” katanya sambil berjalan, lalu diikuti oleh Javier.Kinan melongo karena dua lelaki itu malah melenggang tanpa ke kasir dulu. Dia gegas menyusul Javier dan menarik tangan lelaki itu.“Ada apa?” tanya Javier yang kaget saat tangannya ditarik.“Kenapa nggak bayar? Kalian penjahat yang lagi merampok?” tanya Kinan sambil berbisik. Javier langsung terbahak dan membuat Aldebaran berhenti dan menoleh ke belakangnya. Javier langsung berhenti tertawa dan menunduk hormat.“Butik itu punya Tuan Aldebaran,” bisik Javier dan kembali membuat Kinan melongo.“Ayo cepat!” teriak Aldebaran yang kemballi berhenti karena Javier dan Kinan malah mengobrol dan berjalan lambat.“Ini
“Sudah lihat, kan?” tanya Aldebaran membuyarkan lamunan Kinan yang membayangkan bagaimana kesepiannya lelaki tua di dalam sana.“Eh, i-iya, sudah,” jawab Kinan tergagap.“Kenapa dia nggak mau keluar?” tanya Kinan.“Entahlah. Mungkin dia merasa lebih baik jika menyendiri.” Aldebaran menjawab sembari mengedikan bahunya. Namun, Kinan tak menangkapnya seperti itu.“Ya sudah, saya mau pulang dulu,ya, Pak,” ucap Kinan dan menghentikan langkah Aldebaran yang lebar. Dia menoleh ke belakangnya.“Untuk apa?” Keningnya mengerut.“Mmh, ya mau pulang. Mau … ambil baju.” Kinan nyengir kuda.Aldebaran menilik penampilan Kinan dari atas sampai bawah yang tak ada mewah-mewahnya.“Apa baju kamu semua seperti ini?” tanyanya sedikit ragu.“I-iya, memangnya kenapa? Ada yang salah?” Kinan memperhatikan pakaiannya yang memang sangat sederhana.“Kalau begitu. Kamu tidak usah pulang. Nanti biar Javier yang bawa kamu ke toko baju.” Aldebaran kembali berbalik dan melangkah lebar-lebar meninggalkan Kinan yang me
“Iya,” jawabnya sesingkat mungkin. Lelaki di depan sana tampak seperti seorang penjahat yang akan mengeksekusi korbannya. Itu yanng Kinan rasakan.Lelaki itu bergumam dan manggut-manggut.“Saya berterima kasih sama kamu untuk malam itu.”“Bapak nggak usah berterima kasih. Saya ikhlas ngelakuinnya. Kenapa saya mesti ke sini segala? Pake ngancem-ngancem nggak mau bayarin biaya rumah sakit segala. Emangnya siapa yang minta bawa saya ke rumah sakit?” cerocos Kinan tanpa jeda. Keberaniannya mendadak muncul begitu saja.Aldebaran mengerutkan keningnya. “Mengancam? Siapa yang mengancam tidak akan bayar rumah sakit?” tanyanya bingung.Kinan pun langsung nyengir malas. Sepertinya dia sudah dikerjai oleh lelaki bernama Javier itu.“I-itu … emmh, nggak.” Kinan sepertinya merasa kasihan juga dengan Javier. Dia takut jika lelaki itu akan dihukum oleh bosnya ini.“Aku salah paham,” lanjutnya lalu menunduk. Aldebaran mengangkat sebelah alisnya kala menatap wanita itu.“Sekarang Anda sudah bilang ter
Kinan menatap sekeliling yang sudah pasti bukan ruang perawatan biasa. Ini adalah ruang perawatan VIP yang hanya pernah dilihatnya saat mengantarkan pakaian ganti untuk Ken saat Ken menjadi korban penusukan sebelum menikah dengannya.Kinan menghela napas panjang saat mengingat masa-masa bersama dengan lelaki itu. laki-laki yang telah menitipkan benih di rahimnya.Tak terasa air matanya tiba-tiba bergerombol begitu saja. Kinan pun gegas mengusapnya dengan punggung tangan. Dia bersumpah tidak akan lagi menangisi lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta, melambung ke atas langit ketujuh, lalu diempaskan ke dasar bumi yang tergelap.“Kita harus kuat, Sayang, meskipun hidup tanpa ayahmu,” ucapnya pelan seraya mengelus perutnya yang masih rata.Air mata yang sama yang jatuh dari pelupuk Ken saat mengingat Kinan tak lagi di sisinya. Setiap hari dia menuliskan cerita yang dilalui seharian.Dear Cinta dan KenangankuApa kabar kamu hari ini?Apakah kamu baik-baik saja di sana dengan buah cinta