Kinan duduk di kursi teras karena kelelahan, walaupun tadi disambung naik mobil, tetapi tetap saja dia berjalan cukup jauh. Rumah begitu sepi. Sepertinya Ningsih dan Hendro sedang beristirahat. Kinan tak tega untuk mengganggu. Akhirnya dia putuskan untuk istirahat di luar.Dia menggerutu saking kesalnya pada sang suami.“Baru sehari jadi suami, udah kayak gitu. Nyebelin banget jadi orang. Maen tinggal aja. Kulaporin Ibu Za baru tau rasa.”Angin sepoi-sepoi menerpa wajah cantiknya yang polos tak ber-make up. Lama-lama Kinan pun ketiduran dengan posisi duduk bersandar. Untung saja halaman rumah itu teduh karena ada pohon mangga yang cukup tinggi.Entah berapa lama dia tertidur saat sebuah teguran membangunkannya.“Kinan, kenapa kamu malah tidur di sini?” suara itu terdengar lembut, diiringi sentuhan di bahunya. Kinan mengerjapkan matanya. Terlihat wajah Ningsih menatapnya heran. Kinan tersentak kaget karena masih belum sadar sepenuhnya.“Ne-nek?” ucapnya sambil menggosok matanya dengan
“Elu bawa sendiri tas elu. Kuat, kan?” Ken meninggalkan Kinan begitu saja dengan satu tas besar yang teronggok di bagasi.Kinan mendelik kesal. Namun, tangan kurusnya tetap mengambil tas besar itu dan menggeretnya ke dalam rumah. Matanya kembali terpana saat melihat isi rumah yang begitu bagus meski perabotannya masih sedikit. Seumur-umur, dirinya tak pernah bermimpi untuk memiliki rumah semewah ini. Ya, Za bilang rumah ini atas nama Kinan, sedangkan mobil baru diberikan atas nama Ken. Semua ini diberikan sebagai hadiah pernikahan.“Kamar elu yang itu, dan kamar gue yang ini,” tunjuk Ken pada kamar yang berseberangan. Kamar yang ditunjuk sebagai miliknya terlihat jauh lebih besar. Sedangkan kamar yang ditujukan untuk Kinan berukuran lebih kecil.“Rumah ini atas nama aku. Berarti rumah ini adalah milikku. Jadi … aku yang berhak menentukan siapa yang tidur di kamar yang mana,” sergah Kinan tak mau kalah.“Sombong juga, elu.” Ken terlihat kesal.“Orang sombong emang mesti disombongin bal
Miranda menilik rumah itu dengan seksama.“Bagus juga rumah kalian,” ucapnya sinis. Lalu dia makin mendekat pada Kinan. Gadis itu memang tidak menutup kembali gerbang rumahnya setelah membuang sampah.“Ka-mu siapa?” tanya Kinan gugup.“Aku?” Miranda menunjuk hidungnya sendiri. “Apa Ken nggak ngasih tau kamu, kalau dia punya pacar?”Wanita itu merangsek masuk.“Maaf, suami saya sedang tidak di rumah. Mungkin Mbak bisa datang lain kali.” Kinan berusaha menghalangi. Dia kesal juga pada Ken karena seenaknya memberitahu alamat mereka pada wanita di depannya.Miranda tertawa mengejek. “Suami? Hanya suami di atas kertas saja. Kamu jangan terlalu percaya diri. nggak akan lama lagi juga kamu bakalan dibuang.”Kinan mengembus napas kasar.“Atau kalau kamu masih mau deket-deket Ken, kamu boleh ikut kami. Tapi … sebagai pembantu,” cibirnya dengan sinis. Matanya menilik Kinan dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Kamu memang cocok sekali jadi pembokat.”“Silakan pergi, saya sedang sibuk,” usir Kin
Dan seperti yang dikatakan oleh Za, Ken benar-benar diminta untuk pindah ke kota lain di bulan berikutnya. Waktu satu bulan lebih dua minggu waktu yang diberikan Za pada Ken untuk belajar. Pemuda itu memang cerdas, persis seperti ayahnya. Sehingga untuk mempelajari skema bisnis yang diajarkan Za baginya tidaklah sulit. Hal utama yang diajarkan Za pada sang putra adalah strategi marketing. Dan dengan sikap supel Ken tidaklah sulit untuk dia belajar.Waktu yang tepat juga untuk Kinan mencari kampus yang cocok untuknya, karena pendaftaran baru dimulai. Za menyarankan salah satu perguruan tinggi favorit di kota itu. Meskipun swasta, tetapi merupakan salah satu perguruan tinggi terbaik.Ada satu kelegaan dalam hati Kinan, mungkin dengan pindahnya mereka ke kota ini, akan mengurangi intensitas petemuan suaminya dengan sang pacar.“Mungkin Ken belum mencintaimu, tapi lambat laun kebersamaan akan menyatukan kalian. Berjuanglah untuk mendapatkan cintanya. Seperti aku dulu berjuang untuk mendap
Ken selesai meeting dengan beberapa kepala divisi. Dia memang cerdas, jadi tak perlu waktu lama untuk bisa beradaptasi dengan pekerjaannya. Semua karyawan sangat segan dengan Ken, meskipun dia baru di sana, tetapi mereka tahu jika Ken adalah cucu tunggal pemilik perusahaan.Ken tidak pernah mengumumkan pernikahannya, sehingga orang-orang tahunya dia masih singel. Persis seperti sang ayah dulu, Ken menjadi dambaan setiap gadis yang melihatnya. Jika dulu saja Albany yang hanya seorang office boy banyak yang suka, apalagi dengan Ken sebagai pewaris tunggal sang owner.Banyak sorot mata terpesona, juga curi-curi pandang dari gadis pemalu pada Ken, sudah menjadi rahasia umum. Bahkan ada dari mereka yangn secara terang-terangan menunjukan rasa suka. Namun, Ken tetap bersikap acuh.Hari ini, kantor PT. Kens Filament digegerkan dengan kedatangan seorang wanita cantik yang mencari bos mereka. Tak sedikit mata penuh tanya yang memperhatikan penampilan wanita itu dari ujung kaki hingga ujung ra
Beberapa waktu yang lalu, di tempat lain, Kinan menghentikan motornya karena ponselnya terus saja berdering. Dia menepi untuk menerima panggilan itu. Dia takut ada hal penting dari kampus atau yang lain. Saat dia melihat layar ponselnya, dia segera menggulir tanda telepon berwarna hijau.“Halo, Bu?” sapanya.“Kinan? Sebentar lagi saya mau ke kantornya Ken. Saya mau ngecek perkembangan dia, tapi saya masih kejebak macet ini. Saya ada rencana mau makan siang di sana. Apa kamu bisa tolong belikan makanan dan antar ke sana?” pinta Za.“Mmh, itu … saya ….”“Apa kamu sedang sibuk? Sudah mulai kuliah?” tanya Za.“Eh, bu-bukan, Bu. Saya baru pulang dari tes masuk. Saya sama sekali nggak sibuk. Hanya saja saya tidak tau di mana kantor Abang,” jawab Kinan.Za terperangah sejenak, heran karena sepertinya Ken belum pernah mengajak Kinan ke kantornya. Namun, akhirnya dia bisa menguasai diri. “Oh, begitu. Ok, begini saja. Saya nanti kasih kamu alamat lengkapnya dan kamu bisa pakai google map, kan?”
“Kamu sudah di sini, baguslah. Mari kita makan bersama,” ajak Za. Mata Ken terbelalak. Dia tidak mau jika keberadaan Miranda di ruangannya tersendus sang ibu.“Emmh, itu … kita makan di ruang meeting saja.” Ken memberikan saran. Namun, Za menolak.“Tidak, tidak. Bunda ingin melihat ruanganmu, sekalian ngecek kerjaanmu,” jawab Za dan melanjutkan langkah menuju ruangan sang putra.Ken mematung dengan mata melotot pada Kinan. “Elu harus nolongin gue,” ucapnya dengan wajah memucat.“Rasain! Makanya jaga syahwatmu itu,” desis Kinan mendelik lalu mengikuti langkah ibu mertuanya.“Shit! Sial!” Ken mengkus kesal, walau begitu dia menyusul keduanya ke ruangan.“Ini kenapa makanannya kok di sini?” tanya Za yang melihat tas berisi kotak makanan di lantai.“Eh, tadi terjatuh, Bu,” jawab Kinan dan gegas mengambil tas itu.Za langsung duduk di sofa sambil menatap sekeliling. “Ruangan ini Bunda yang design. Persis seperti yang Bunda mau. Semoga kamu suka,” ucapnya pada Ken yang duduk dengan gelisah.
Kinan seperti biasa memasak untuk makan malam. Meski dia masih merasa kesal dengan Ken, tetapi dia tetap melakukan kewajibannya.Ken pulang sudah hampir Isya. Dia tampak kelelahan. Bukan hanya lelah dengan masalah pekerjaan, tetapi hatinya juga.Wangi makanan menguar saat dia mengempaskan dirinya di sofa dan membuka kaus kaki.“Makanan sudah siap,” ujar Kinan sambil mengambil kaus kaki yang terserak di lantai, lalu menyimpannya ke tempat cucian.Ken hanya mengembus napas kasar sambil memperhatikan gerakan istrinya. Kinan memang baik sebagai seorang istri. Setiap pagi selalu menyiapkan sarapan dan juga makan malam. Wanita itu juga mencucikan semua bajunya. Namun, Ken sama sekali tidak berselera saat melihat dirinya. Rasannya seperti melihat makanan yang sudah dingin. Nggak berselera.Dada, pinggul, paha, semuanya rata. Meskipun wajahnya cantik, tetapi di mata Ken Kinan bagai seorang anak kecil saja. Belum pantas untuk dinikmati. Berbeda jauh dengan Miranda yang memiliki tubuh yang sint