"Sayang, aku mau. Ayo kita lakukan dengan bersemangat," ucap Galih sembari memeluk Citra dari belakang. Sebenarnya dia sedang tidak berharap pada istrinya itu. Sebab hasratnya sudah terpenuhi tadi siang. Tapi gara-gara ketahuan bertemu dengan Rini, dia memaksakan diri untuk melakukannya. Tujuannya untuk menyenangkan Citra karena menurutnya kalau wanita telah dipuaskan, seluruh amarah dan kecurigaan wanita akan sirna. Kalau pun masih ada, hanya tinggal sisa-sisa.
Citra yang belum bisa tidur karena merasa gamang, menjawab. "Maaf, mas. Malam ini aku capek sekali. Lain kali saja ya." Bohong! Dia berbohong. Sebenarnya dia tidak merasa capek. Tapi karena beberapa jam lalu dia melihat foto mesra suaminya itu dengan seorang wanita cantik, kecurigaannya kembali muncul. Hanya saja dia tidak mau jujur dengan rasa kecurigaanya itu karena memiliki alasan. "Kenapa? Apa karena kamu masih memikirkan laporan Usi yang melihat aku bersama seorang wanita tadi? Kamu curiga? Kamu marah? Katanya kamu sudah percaya kalau aku tidak selingkuh?" tanya Galih dengan perasaan ketar ketir. "Sumpah, dia itu istri pelanggan toko kita!" 'Kalau kamu tidak selingkuh, terus siapa wanita yang berfoto mesra denganmu itu, mas? Apa foto itu hanya editan?' sahut Citra dalam hati. "Tidak. Bukan karena itu, mas. Aku memang sedang capek. Bukan karena laporan Usi itu." "Syukurlah kalau memang begitu. Aku khawatir kamu menolak aku karena belum percaya dengan pengakuanku," ucap Galih lega. Tapi dia berjanji ke depannya, dia akan lebih berhati-hati ketika bertemu Rini. Dia tidak mau kejadian terlihat oleh orang lain saat sedang bersama Rini terulang lagi. "Oya, bagaimana kalau besok lusa kita ke mall? Sudah lama kita tidak pacaran berdua ke mall." Citra tak langsung menjawab. Dia justru termenung. Haruskah dia mengiyakan ajakan Galih di saat hatinya sedang kacau seperti ini? Rasanya tidak masalah. Karena kalau dia menjauh atau menjaga jarak, justru dia akan sulit dalam mencari tahu apakah suaminya memang selingkuh atau tidak. "Boleh. Sepertinya aku memang sedang butuh hiburan." "Sip." "Ada lagi? Kalau tidak ada, bolehkah aku sekarang tidur?" "Ya, boleh. Tidurlah. Aku tidak akan mengganggu kamu." Citra pun mengatupkan kedua kelopak matanya meskipun dia tidak tahu apakah bakal bisa tidur atau tidak. *** Hal pertama yang dilakukan oleh Rini ketika membuka mata adalah mengecek ponselnya. Dia ingin melihat apakah Citra membalas pesan foto yang dikirimnya semalam atau tidak. Sebab sejak dia mengirimkan pesan itu, belum mendapat tanggapan dari Citra. Rasanya tidak mungkin kalau Citra diam saja setelah melihat foto mesra dirinya dan Galih tersebut. Minimal wanita itu bertanya siapa dirinya sang pengirim foto. Tapi setelah dia mengecek kolom pesan Citra, Rini menyeringai. "Sial nih cewek. Ternyata dia tidak membalas pesanku?! Memangnya dia tidak penasaran dengan siapa pengirim pesan foto itu?!" Rini geleng-geleng kepala. Nyaris tak percaya. Tapi ini membuatnya sadar kalau Citra bukan wanita bodoh yang mudah tersulut emosinya. Sepertinya dia sedang berhadapan dengan lawan yang berat. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apakah aku harus mengirim video mesum itu saat ini juga? Tidak. Tidak. Meskipun wanita tidak berguna itu tidak membalas pesanku, bisa jadi di sana sudah terjadi perang dunia ketiga karena foto itu. Baiknya aku harus memastikannya dulu." Rini hendak mengirim pesan pada Galih ketika dia mengurungkannya. "Baiknya aku langsung menelponnya saja untuk mengetahui keadaan di sana. Kalau hanya mengobrol via pesan, tidak seru. Sekarang lebih baik aku mandi dulu. Aku akan menelponnya setelahnya." Rini pun beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Satu jam kemudian saat dia sedang merias wajahnya dan berhadapan dengan cermin, barulah dia menelpon Galih dengan mode pengeras suara karena tangannya sibuk dengan alat make up. Satu kali panggilannya tidak ditanggapi. Begitu pun yang kedua kali. Rini tahu kenapa panggilannya tidak juga diterima oleh Galih. Ya karena sudah dibuat perjanjian kalau dia tidak boleh menelpon di waktu-waktu tertentu. Salah satunya adalah di pagi hari saat Galih masih di rumah. Tapi kali ini, dia benar-benar penasaran untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dengan Galih dan Citra. Itu sebabnya, dia melakukan panggilan untuk yang ketiga kalinya. Kali ini diterima oleh Galih meskipun nada suara Galih terdengar tidak senang. "Apa-apaan kamu menelponku Pagi-pagi begini?! Aku kan sudah bilang sama kamu untuk tidak menghubungi dan mengirim pesan padaku di waktu aku sedang di rumah!" Rini tersenyum miring begitu mendengar marah tertahan Galih barusan. "Aduh, jangan marah-marah dong, mas. Ini masih pagi lho." "Bagaimana tidak marah?! Kita kan sudah membuat kesepakatan tentang waktu kamu boleh menelpon dan mengirim pesan padaku!" "Iya iya aku ingat. Tapi entah mengapa aku kangen, mas. Rasanya tidak tertahan lagi. Makanya aku menelpon, mas," ucap Rini bohong. Mana ada dia kangen pada Galih karena yang ada dalam pikiran dan hatinya hanyalah uangnya Galih. "Apapun yang kamu rasa, sekali lagi aku bilang ke kamu untuk tidak menelpon dan mengirim pesan padaku di waktu aku sedang di rumah! Kamu harus pegang teguh perjanjian itu!" "Oke. Tapi ... bagaimana kalau lusa sore kita jalan-jalan ke mall, mas? Sudah lama sekali kita tidak melakukannya." "Tidak bisa! Lusa sore justru aku janjian pacaran ke mall dengan Citra!" Rini terhenyak. Jawaban Galih barusan langsung membuat tangannya berhenti bergerak. Bukan tanpa sebab, jawaban Galih ini menunjukkan kalau hubungan pria itu dan istrinya baik-baik saja atau tanpa masalah. Kalau begitu, apa dampak foto yang telah dia kirim pada Citra? Tidakkah Citra merasa marah setelah melihat foto itu sehingga masih bisa pacaran ke mall dengan Galih? 'Sial! Ternyata wanita itu tangguh juga. Melihat foto mesra suaminya dengan wanita lain masih bisa bersikap tenang dan malah mengajak Mas Galih jalan-jalan ke mall. Atau jangan-jangan dia memang tidak peduli dengan apa yang dilakukan Mas Galih di luar rumah? Yang penting, uang lancar dan bisa hidup nyaman tanpa beban hidup. Berarti dia wanita yang licik juga kalau begitu?' "Kenapa kamu diam saja, Rin? Apa kamu sudah mengerti dengan kesalahan kamu hati ini?" Rini terhenyak dari lamunannya. "Ma-af kalau begitu, mas. Ya sudah, kalau mas memang sudah janjian dengan Citra, apa boleh buat? Aku juga tidak bisa melarang kamu." "Syukurlah kamu mengerti. Tapi ingat, untuk ke depannya jangan lagi kamu menelponku pada saat aku masih di rumah seperti ini. Aku tidak mau Citra mendengar dan kemudian curiga kepadaku." "Iya, mas. Kalau begitu aku sudahi ya mas." Tep. Obrolan terhenti sampai di sini. Rini menyudahi panggilannya. Sementara itu di seberang, Galih berdecak sembari menjauhkan ponsel dari telinganya. "Masak sih doa tidak bisa menahan bertemu denganku? Untung saja Citra tidak tahu." "Tidak tahu apa, mas?" Bersambung.Beberapa saat sebelumnya."Nya, sarapan sudah siap," ucap Sumi di pintu kamar Manisa.Citra yang baru saja selesai merapikan rambut Manisa menoleh. "Iya, bi. Ini kami mau ke meja makan.""Baik, Nya. Tuan mau bibi panggilkan juga?""Biar aku saja, bi. Bibi lanjutkan pekerjaan saja.""Oh, baiklah, Nya. Kalau begitu, bibi kembali ke dapur." Sumi berbalik badan dan kemudian tubuhnya menghilang di balik tembok.Citra menatap Manisa yang sudah selesai dirias. "Kamu ke meja makan sekarang sendirian ya. Mulai sarapan saja. Mama mau memanggil papa dulu."Manisa mengangguk. "Iya, ma."Citra tersenyum. Dia kemudian meninggalkan kamar Manisa menuju kamarnya. Tapi begitu sampai di depan pintu yang sedikit terbuka, langkah Citra terhenti tiba-tiba begitu mendengar suara Galih yang sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya. Suaranya sih lirih. Tapi Citra masih bisa mendengarnya."Apa-apaan kamu menelponku Pagi-pagi begini?! Aku kan sudah bilang sama kamu untuk tidak menghubungi dan mengirim pes
Citra mendengkus pelan. Dia tidak punya jawaban pasti saat ini. Lebih baik dia hentikan obrolan ini mengingat dirinya harus mengantar Manisa pergi ke sekolah. "Aku datang untuk mengajak mas sarapan. Mungkin Manisa sudah di meja makan sekarang," ucap Citra sebelum akhirnya berbalik badan keluar dari dalam kamar itu. "Sial!" hardik Galih pada dirinya sendiri begitu Citra menghilang di balik pintu. "Sepertinya Citra benar-benar curiga. Ini gara-gara Rini. Sudah dibilang jangan menelponku di waktu pagi seperti ini, eh, malah melakukannya. Aku harus menegurnya sebelum dia membuat masalah yang lebih besar." Setelah memasukkan dompet dan ponsel ke saku celana serta mengambil kunci mobil, Galih keluar kamar menuju meja makan. Dia mendapati Citra dan Manisa sedang menikmati sarapan mereka tanpa suara. Citra dan Manisa sempat meliriknya. Tapi hanya sekilas sebelum kembali melanjutkan makan mereka. Galih menipiskan bibir mendapati reaksi Citra itu. Rasanya dia ingin bersumpah sekali lagi ba
Rini memperhatikan Galih yang sedang mengenakan pakaiannya dengan seksama. Laki-laki itu terlihat memesona dengan ketampanannya. Tapi bukan karena itu dia rela menjadi wanita simpanan Galih. Dia tidak peduli seberapa tampan dan gagah seorang laki-laki. Satu-satunya hal yang menjadi perhatiannya adalah seberapa tebal dompet laki-laki. Jika Galih tidak kaya, mana mungkin dia mau dijadikan pelampiasan hawa nafsu tanpa ikatan yang sah.No! Dia bukan wanita bodoh!Dan misinya sekarang adalah ingin merebut status istri sah dari istri Galih. Dia merasa lebih pantas menyandangnya karena selain cantik, dia memiliki pekerjaan meskipun hanya sebagai sales promotion girl (SPG). Tidak seperti istri sah Galih yang hanya seorang wanita pengangguran yang hanya bisa menghabiskan uang suami saja."Baru juga selesai, mas. Langsung pergi saja," ucap Rini dengan suara yang manja. Dia sendiri masih berada di bawah selimut."Aku tidak boleh keluar toko lebih dari satu jam. Nanti khawatir karyawan akan curig
"Maaf sebelumnya ya, Cit. Tapi aku baru saja melihat suami kamu di hotel tempatku berada bersama seorang wanita cantik dan seksi."Bagai tersambar petir Citra mendengar itu. Hatinya tersentak luar biasa. "Ka-kamu jangan bercanda, Rin! Tidak lucu tau!""Kenapa juga aku harus bercanda?" sahut Usi tak kalah. "Memang kenyataannya begitu. Aku melihat Mas Galih di hotel bersama seorang wanita cantik.""Memangnya kamu sekarang berada di hotel? Kok bisa melihat Mas Galih?""Iya. Aku sedang menemui temanku yang datang dari luar kota di hotel ini. Tapi dia sedang berada di kamar mandi sekarang. Makanya aku menelpon kamu tanpa mampu untuk menundanya.""Aku rasa kamu salah lihat, Us. Masak sih Mas Galih di hotel bersama wanita lain.""Entahlah. Tapi aku yakin itu adalah suamimu. Aku kan kenal sekali dengan Mas Galih. Tidak mungkin aku salah lihat.""E... mungkin tidak kalau dia di sana untuk menemui pelanggan?" Citra berusaha untuk berpikir positif walaupun jantungnya sekarang berdegup kencang ti
"Kamu yakin dia istri pelanggan dari luar kota itu? Kamu yakin tidak membohongiku kan, mas? Wanita itu bukan.... selingkuhan kamu kan?"Galih terhenyak. Dia merasa sangat tertohok kali ini. "Ba-bagaimana kamu bisa berpikir seperti itu, Cit? Kamu kan tahu kalau aku sangat menyayangi dan mencintai kamu. Jadi tidak mungkin kalau wanita itu adalah selingkuhanku."Citra tak merespon. Memilih diam sembari terus menatap Galih sebagai jawaban. Dua kali ralatan kebohongan Galih di obrolan ini membuatnya mulai merasa curiga. Galih mengerti maksud dari tatapan Citra. Dia pun mendengkus frustasi. "Ayolah, Cit. Percaya padaku. Pelanggan yang aku temui di hotel itu memang laki-laki dan wanita itu adalah istrinya. Bukan selingkuhanku seperti yang kamu pikirkan. Aku bersumpah tidak berkhianat sama kamu karena aku sangat mencintai kamu dan Manisa."Mendengar sumpah Galih, kecurigaan Citra sedikit menyurut. Biar begitu, hatinya masih tidak tenang."Kalau kamu tidak lagi ada rasa percaya kepadaku, maka
Citra mendengkus pelan. Dia tidak punya jawaban pasti saat ini. Lebih baik dia hentikan obrolan ini mengingat dirinya harus mengantar Manisa pergi ke sekolah. "Aku datang untuk mengajak mas sarapan. Mungkin Manisa sudah di meja makan sekarang," ucap Citra sebelum akhirnya berbalik badan keluar dari dalam kamar itu. "Sial!" hardik Galih pada dirinya sendiri begitu Citra menghilang di balik pintu. "Sepertinya Citra benar-benar curiga. Ini gara-gara Rini. Sudah dibilang jangan menelponku di waktu pagi seperti ini, eh, malah melakukannya. Aku harus menegurnya sebelum dia membuat masalah yang lebih besar." Setelah memasukkan dompet dan ponsel ke saku celana serta mengambil kunci mobil, Galih keluar kamar menuju meja makan. Dia mendapati Citra dan Manisa sedang menikmati sarapan mereka tanpa suara. Citra dan Manisa sempat meliriknya. Tapi hanya sekilas sebelum kembali melanjutkan makan mereka. Galih menipiskan bibir mendapati reaksi Citra itu. Rasanya dia ingin bersumpah sekali lagi ba
Beberapa saat sebelumnya."Nya, sarapan sudah siap," ucap Sumi di pintu kamar Manisa.Citra yang baru saja selesai merapikan rambut Manisa menoleh. "Iya, bi. Ini kami mau ke meja makan.""Baik, Nya. Tuan mau bibi panggilkan juga?""Biar aku saja, bi. Bibi lanjutkan pekerjaan saja.""Oh, baiklah, Nya. Kalau begitu, bibi kembali ke dapur." Sumi berbalik badan dan kemudian tubuhnya menghilang di balik tembok.Citra menatap Manisa yang sudah selesai dirias. "Kamu ke meja makan sekarang sendirian ya. Mulai sarapan saja. Mama mau memanggil papa dulu."Manisa mengangguk. "Iya, ma."Citra tersenyum. Dia kemudian meninggalkan kamar Manisa menuju kamarnya. Tapi begitu sampai di depan pintu yang sedikit terbuka, langkah Citra terhenti tiba-tiba begitu mendengar suara Galih yang sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya. Suaranya sih lirih. Tapi Citra masih bisa mendengarnya."Apa-apaan kamu menelponku Pagi-pagi begini?! Aku kan sudah bilang sama kamu untuk tidak menghubungi dan mengirim pes
"Sayang, aku mau. Ayo kita lakukan dengan bersemangat," ucap Galih sembari memeluk Citra dari belakang. Sebenarnya dia sedang tidak berharap pada istrinya itu. Sebab hasratnya sudah terpenuhi tadi siang. Tapi gara-gara ketahuan bertemu dengan Rini, dia memaksakan diri untuk melakukannya. Tujuannya untuk menyenangkan Citra karena menurutnya kalau wanita telah dipuaskan, seluruh amarah dan kecurigaan wanita akan sirna. Kalau pun masih ada, hanya tinggal sisa-sisa.Citra yang belum bisa tidur karena merasa gamang, menjawab. "Maaf, mas. Malam ini aku capek sekali. Lain kali saja ya." Bohong! Dia berbohong. Sebenarnya dia tidak merasa capek. Tapi karena beberapa jam lalu dia melihat foto mesra suaminya itu dengan seorang wanita cantik, kecurigaannya kembali muncul. Hanya saja dia tidak mau jujur dengan rasa kecurigaanya itu karena memiliki alasan."Kenapa? Apa karena kamu masih memikirkan laporan Usi yang melihat aku bersama seorang wanita tadi? Kamu curiga? Kamu marah? Katanya kamu sudah
"Kamu yakin dia istri pelanggan dari luar kota itu? Kamu yakin tidak membohongiku kan, mas? Wanita itu bukan.... selingkuhan kamu kan?"Galih terhenyak. Dia merasa sangat tertohok kali ini. "Ba-bagaimana kamu bisa berpikir seperti itu, Cit? Kamu kan tahu kalau aku sangat menyayangi dan mencintai kamu. Jadi tidak mungkin kalau wanita itu adalah selingkuhanku."Citra tak merespon. Memilih diam sembari terus menatap Galih sebagai jawaban. Dua kali ralatan kebohongan Galih di obrolan ini membuatnya mulai merasa curiga. Galih mengerti maksud dari tatapan Citra. Dia pun mendengkus frustasi. "Ayolah, Cit. Percaya padaku. Pelanggan yang aku temui di hotel itu memang laki-laki dan wanita itu adalah istrinya. Bukan selingkuhanku seperti yang kamu pikirkan. Aku bersumpah tidak berkhianat sama kamu karena aku sangat mencintai kamu dan Manisa."Mendengar sumpah Galih, kecurigaan Citra sedikit menyurut. Biar begitu, hatinya masih tidak tenang."Kalau kamu tidak lagi ada rasa percaya kepadaku, maka
"Maaf sebelumnya ya, Cit. Tapi aku baru saja melihat suami kamu di hotel tempatku berada bersama seorang wanita cantik dan seksi."Bagai tersambar petir Citra mendengar itu. Hatinya tersentak luar biasa. "Ka-kamu jangan bercanda, Rin! Tidak lucu tau!""Kenapa juga aku harus bercanda?" sahut Usi tak kalah. "Memang kenyataannya begitu. Aku melihat Mas Galih di hotel bersama seorang wanita cantik.""Memangnya kamu sekarang berada di hotel? Kok bisa melihat Mas Galih?""Iya. Aku sedang menemui temanku yang datang dari luar kota di hotel ini. Tapi dia sedang berada di kamar mandi sekarang. Makanya aku menelpon kamu tanpa mampu untuk menundanya.""Aku rasa kamu salah lihat, Us. Masak sih Mas Galih di hotel bersama wanita lain.""Entahlah. Tapi aku yakin itu adalah suamimu. Aku kan kenal sekali dengan Mas Galih. Tidak mungkin aku salah lihat.""E... mungkin tidak kalau dia di sana untuk menemui pelanggan?" Citra berusaha untuk berpikir positif walaupun jantungnya sekarang berdegup kencang ti
Rini memperhatikan Galih yang sedang mengenakan pakaiannya dengan seksama. Laki-laki itu terlihat memesona dengan ketampanannya. Tapi bukan karena itu dia rela menjadi wanita simpanan Galih. Dia tidak peduli seberapa tampan dan gagah seorang laki-laki. Satu-satunya hal yang menjadi perhatiannya adalah seberapa tebal dompet laki-laki. Jika Galih tidak kaya, mana mungkin dia mau dijadikan pelampiasan hawa nafsu tanpa ikatan yang sah.No! Dia bukan wanita bodoh!Dan misinya sekarang adalah ingin merebut status istri sah dari istri Galih. Dia merasa lebih pantas menyandangnya karena selain cantik, dia memiliki pekerjaan meskipun hanya sebagai sales promotion girl (SPG). Tidak seperti istri sah Galih yang hanya seorang wanita pengangguran yang hanya bisa menghabiskan uang suami saja."Baru juga selesai, mas. Langsung pergi saja," ucap Rini dengan suara yang manja. Dia sendiri masih berada di bawah selimut."Aku tidak boleh keluar toko lebih dari satu jam. Nanti khawatir karyawan akan curig