Citra mendengkus pelan. Dia tidak punya jawaban pasti saat ini. Lebih baik dia hentikan obrolan ini mengingat dirinya harus mengantar Manisa pergi ke sekolah.
"Aku datang untuk mengajak mas sarapan. Mungkin Manisa sudah di meja makan sekarang," ucap Citra sebelum akhirnya berbalik badan keluar dari dalam kamar itu. "Sial!" hardik Galih pada dirinya sendiri begitu Citra menghilang di balik pintu. "Sepertinya Citra benar-benar curiga. Ini gara-gara Rini. Sudah dibilang jangan menelponku di waktu pagi seperti ini, eh, malah melakukannya. Aku harus menegurnya sebelum dia membuat masalah yang lebih besar." Setelah memasukkan dompet dan ponsel ke saku celana serta mengambil kunci mobil, Galih keluar kamar menuju meja makan. Dia mendapati Citra dan Manisa sedang menikmati sarapan mereka tanpa suara. Citra dan Manisa sempat meliriknya. Tapi hanya sekilas sebelum kembali melanjutkan makan mereka. Galih menipiskan bibir mendapati reaksi Citra itu. Rasanya dia ingin bersumpah sekali lagi bahwa dia tidak selingkuh walaupun kenyataannya memang selingkuh. Tapi karena ada Manisa, dia mengurungkan keinginan itu. Akhirnya dia hanya mengambil duduk di kursi yang ada di sebelah kursi yang ditempati oleh Citra dan menikmati sarapannya dengan perasaan yang kurang nyaman. Ya, bagaimana tidak, Citra bersikap dingin kepadanya. Hal yang tidak pernah dia dapati selama pernikahan mereka. "Ma, aku sudah sarapannya." Tiba-tiba Manisa berdiri dari duduknya. "Ayo antar aku sekolah." Manisa yang juga telah selesai dengan sarapannya, tersenyum. "Oh, oke. Kita berangkat sekarang." Manisa menoleh pada Galih. "Aku duluan ya, mas." Galih mengangguk cepat. "Oh, i-iya. Hati-hati di jalan." Setelah Manisa menyalami Galih, ibu dan anak itu pun meninggalkan ruang makan. Tinggallah Galih sendiri menikmati sarapannya. Tapi karena kejadian tadi, dimana Citra memergokinya sedang mengobrol dengan Rini, selera makan Galih hilang. Akhirnya, Galih pun memilih untuk berangkat ke toko saja. Di perjalanan, Galih menelpon Rini. "Ya, mas?" tanya Rini yang berada di seberang setelah menerima panggilan dari Galih. "Aku hanya mau memperingatkan kamu sekali lagi untuk tidak menelponku di waktu-waktu yang sudah kita sepakati. Karena ulahmu pagi ini, Citra berubah sikap kepadaku." Mata Rini melebar mendengar pengakuan Galih barusan. "Oya? Kok bisa?" "Kok bisa! Kok bisa! Ya bisa!" balas Galih jengkel. "Waktu kita mengobrol di telpon tadi, rupanya Citra ada di belakangku! Untung saja dia tidak bisa mendengar suara kamu karena aku tidak menyalakan mode pengeras suara! Tapi kan dia mendengar apa yang aku katakan! Dan itu membuatnya curiga!" "Jadi tadi kalian bertengkar?" tanya Rini dengan antusias. "Untungnya aku bisa ngeles dengan mengatakan kalau yang menelponku bukan selingkuhanku melainkan teman kuliah yang bernama Rino. Jadi tidak jadi bertengkar." Pundak Rini langsung turun mendengar itu. Padahal dia berharap Citra memergoki Galih punya selingkuhan sehingga pasangan suami istri itu bertengkar hebat lalu memutuskan segera bercerai. "O, jadi kalian tidak bertengkar?" "Tidak. Tapi sepertinya Citra mulai curiga. Tugasku sekarang adalah meyakinkannya bahwa aku tidak selingkuh. Makanya, aku meminta kepadamu untuk tidak gegabah seperti tadi pagi. Aku tidak segan-segan untuk mengakhiri hubungan kita jika hubungan kita sampai ketahuan oleh Citra. Kamu mengerti?!" Bola mata Rini berputar ke atas. Tidak terlihat raut ketakutan sedikit pun di wajahnya mendapat ancaman itu. "Iya. Iya, aku paham. Ya sudah. Aku mau siap-siap berangkat kerja." Lalu dia mematikan panggilan Galih tanpa pikir dua kali. Selanjutnya dia tersenyum miring penuh kelicikan. "Kamu tidak akan bisa melepaskan aku, Mas. Lihat saja, bukannya berakhir, hubungan kita justru akan menjadi lebih serius. Aku yang kemudian akan menjadi istri kamu." Rini menggerakkan jari di atas ponsel lagi. "Bagaimana jika aku mempercepat hancurnya pernikahanmu dengan istri tercintamu itu, mas?" Lalu dia mengirimkan sebuah video ke nomer Citra. Sementara itu, Citra yang baru saja melepas Manisa berlari ke halaman sekolah, masuk ke dalam mobil ketika dia menerima sebuah pesan di ponselnya. Dia segera mengecek benda pipihnya itu dengan antusias. Tapi wajahnya seketika berubah begitu mendapati kalau itu adalah pesan video dari nomer asing yang mengirimkan foto mesra Galih dengan seorang wanita asing semalam. "Nomer ini lagi. Dia mengirim video apa kali ini? Tidak mungkin kan video mesum antara Mas Galih dengan wanita yang ada di foto tadi malam itu?" tanya Citra pada dirinya sendiri. Tapi seketika dadanya berdebar-debar. Dia sangat takut kalau video itu adalah video mesum suaminya dengan wanita lain. "Dibuka tidak ya? Bagaimana kalau isinya ternyata ada Mas Galihnya? Atau... tidak usah aku buka saja?" Citra kian bimbang. Inginnya dia tidak melihat isi dari video itu. Akan tetapi, dia sangat penasaran. "Aku harus melihatnya. Apapun isinya, aku harus tahu. Hanya orang bodoh yang takut untuk sakit hati dan tak mau menghadapi kenyataan. Tapi Mudah-mudahan isinya tidak seperti yang aku pikirkan." Dengan jantung yang berdegup kencang, Citra membuka kolom pesan dari nomer asing itu dan memutar video yang ada di dalamnya. Wajahnya seketika pucat pasi dan tubuhnya gemetar begitu melihatnya. Ternyata isi video itu seperti dugaannya. Yaitu berisi adegan mesum antara Galih dengan seorang wanita yang tidak dia kenal. "Astaga... apa ini? Ya Tuhan... Mas Galih.... Ternyata kamu seperti ini di belakangku...." Tangis Citra pecah. Dunia seakan runtuh saat ini juga. Dia tidak menyangka kalau suami yang terkesan sangat mencintainya ternyata adalah seorang pengkhianat. Citra menyudahi menonton video itu. Dia tidak sanggup untuk melihat lanjutannya. Hanya melihat sedikit saja, hatinya sakit sekali seperti dicabik-cabik. Apalagi melihat lebih jauh. Akhirnya, dia menelpon Usi. "Halo, Cit?" tanya Uci di seberang. "Ka-kamu a-ada di bu-butik kan sekarang?" "Iya, aku di butik. Kenapa suara kamu gemetar begitu? Kamu baik-baik saja kan?" "A-aku a-akan cerita nanti. Ka-kalau ka-kamu tidak sedang si-sibuk, aku mau ke sa-sana sekarang." "Aku tidak sedang sibuk kok. Iya, kamu ke sini saja sekarang. Tapi kamu baik-baik saja kan? Bisa menyetir mobil dengan baik kan? Kalau tidak bisa, biar aku yang jemput." "A-aku bisa kok. A-aku baik-baik saja." "Baiklah kalau kamu yakin. Tapi pelan-pelan saja ya. Hubungi aku segera jika terjadi sesuatu dengan dirimu." "I-iya. Sudah ya. Aku mau berangkat sekarang." "Oke. Hati-hati ya. Aku tunggu kamu di sini." "Iya." Citra segera mematikan panggilannya. Dengan airmata yang mengalir dan hati yang luar biasa sakit, dia melajukan mobilnya menuju butiknya Uci. Karena letaknya tak jauh, dalam waktu kurang dari 10 menit, dia sudah sampai. Dan Usi menyambutnya dengan wajah lega. "Syukurlah kamu sampai dengan selamat. Memangnya apa yang membuat kamu gemetaran seperti ini?" Tak langsung menjawab, Citra justru memeluk Usi. "Katakan padaku kalau ini hanya mimpi, Us. Katakan padaku kalau ini hanya mimpi." Bersambung.Rini memperhatikan Galih yang sedang mengenakan pakaiannya dengan seksama. Laki-laki itu terlihat memesona dengan ketampanannya. Tapi bukan karena itu dia rela menjadi wanita simpanan Galih. Dia tidak peduli seberapa tampan dan gagah seorang laki-laki. Satu-satunya hal yang menjadi perhatiannya adalah seberapa tebal dompet laki-laki. Jika Galih tidak kaya, mana mungkin dia mau dijadikan pelampiasan hawa nafsu tanpa ikatan yang sah.No! Dia bukan wanita bodoh!Dan misinya sekarang adalah ingin merebut status istri sah dari istri Galih. Dia merasa lebih pantas menyandangnya karena selain cantik, dia memiliki pekerjaan meskipun hanya sebagai sales promotion girl (SPG). Tidak seperti istri sah Galih yang hanya seorang wanita pengangguran yang hanya bisa menghabiskan uang suami saja."Baru juga selesai, mas. Langsung pergi saja," ucap Rini dengan suara yang manja. Dia sendiri masih berada di bawah selimut."Aku tidak boleh keluar toko lebih dari satu jam. Nanti khawatir karyawan akan curig
"Maaf sebelumnya ya, Cit. Tapi aku baru saja melihat suami kamu di hotel tempatku berada bersama seorang wanita cantik dan seksi."Bagai tersambar petir Citra mendengar itu. Hatinya tersentak luar biasa. "Ka-kamu jangan bercanda, Rin! Tidak lucu tau!""Kenapa juga aku harus bercanda?" sahut Usi tak kalah. "Memang kenyataannya begitu. Aku melihat Mas Galih di hotel bersama seorang wanita cantik.""Memangnya kamu sekarang berada di hotel? Kok bisa melihat Mas Galih?""Iya. Aku sedang menemui temanku yang datang dari luar kota di hotel ini. Tapi dia sedang berada di kamar mandi sekarang. Makanya aku menelpon kamu tanpa mampu untuk menundanya.""Aku rasa kamu salah lihat, Us. Masak sih Mas Galih di hotel bersama wanita lain.""Entahlah. Tapi aku yakin itu adalah suamimu. Aku kan kenal sekali dengan Mas Galih. Tidak mungkin aku salah lihat.""E... mungkin tidak kalau dia di sana untuk menemui pelanggan?" Citra berusaha untuk berpikir positif walaupun jantungnya sekarang berdegup kencang ti
"Kamu yakin dia istri pelanggan dari luar kota itu? Kamu yakin tidak membohongiku kan, mas? Wanita itu bukan.... selingkuhan kamu kan?"Galih terhenyak. Dia merasa sangat tertohok kali ini. "Ba-bagaimana kamu bisa berpikir seperti itu, Cit? Kamu kan tahu kalau aku sangat menyayangi dan mencintai kamu. Jadi tidak mungkin kalau wanita itu adalah selingkuhanku."Citra tak merespon. Memilih diam sembari terus menatap Galih sebagai jawaban. Dua kali ralatan kebohongan Galih di obrolan ini membuatnya mulai merasa curiga. Galih mengerti maksud dari tatapan Citra. Dia pun mendengkus frustasi. "Ayolah, Cit. Percaya padaku. Pelanggan yang aku temui di hotel itu memang laki-laki dan wanita itu adalah istrinya. Bukan selingkuhanku seperti yang kamu pikirkan. Aku bersumpah tidak berkhianat sama kamu karena aku sangat mencintai kamu dan Manisa."Mendengar sumpah Galih, kecurigaan Citra sedikit menyurut. Biar begitu, hatinya masih tidak tenang."Kalau kamu tidak lagi ada rasa percaya kepadaku, maka
"Sayang, aku mau. Ayo kita lakukan dengan bersemangat," ucap Galih sembari memeluk Citra dari belakang. Sebenarnya dia sedang tidak berharap pada istrinya itu. Sebab hasratnya sudah terpenuhi tadi siang. Tapi gara-gara ketahuan bertemu dengan Rini, dia memaksakan diri untuk melakukannya. Tujuannya untuk menyenangkan Citra karena menurutnya kalau wanita telah dipuaskan, seluruh amarah dan kecurigaan wanita akan sirna. Kalau pun masih ada, hanya tinggal sisa-sisa.Citra yang belum bisa tidur karena merasa gamang, menjawab. "Maaf, mas. Malam ini aku capek sekali. Lain kali saja ya." Bohong! Dia berbohong. Sebenarnya dia tidak merasa capek. Tapi karena beberapa jam lalu dia melihat foto mesra suaminya itu dengan seorang wanita cantik, kecurigaannya kembali muncul. Hanya saja dia tidak mau jujur dengan rasa kecurigaanya itu karena memiliki alasan."Kenapa? Apa karena kamu masih memikirkan laporan Usi yang melihat aku bersama seorang wanita tadi? Kamu curiga? Kamu marah? Katanya kamu sudah
Beberapa saat sebelumnya."Nya, sarapan sudah siap," ucap Sumi di pintu kamar Manisa.Citra yang baru saja selesai merapikan rambut Manisa menoleh. "Iya, bi. Ini kami mau ke meja makan.""Baik, Nya. Tuan mau bibi panggilkan juga?""Biar aku saja, bi. Bibi lanjutkan pekerjaan saja.""Oh, baiklah, Nya. Kalau begitu, bibi kembali ke dapur." Sumi berbalik badan dan kemudian tubuhnya menghilang di balik tembok.Citra menatap Manisa yang sudah selesai dirias. "Kamu ke meja makan sekarang sendirian ya. Mulai sarapan saja. Mama mau memanggil papa dulu."Manisa mengangguk. "Iya, ma."Citra tersenyum. Dia kemudian meninggalkan kamar Manisa menuju kamarnya. Tapi begitu sampai di depan pintu yang sedikit terbuka, langkah Citra terhenti tiba-tiba begitu mendengar suara Galih yang sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya. Suaranya sih lirih. Tapi Citra masih bisa mendengarnya."Apa-apaan kamu menelponku Pagi-pagi begini?! Aku kan sudah bilang sama kamu untuk tidak menghubungi dan mengirim pes
Citra mendengkus pelan. Dia tidak punya jawaban pasti saat ini. Lebih baik dia hentikan obrolan ini mengingat dirinya harus mengantar Manisa pergi ke sekolah. "Aku datang untuk mengajak mas sarapan. Mungkin Manisa sudah di meja makan sekarang," ucap Citra sebelum akhirnya berbalik badan keluar dari dalam kamar itu. "Sial!" hardik Galih pada dirinya sendiri begitu Citra menghilang di balik pintu. "Sepertinya Citra benar-benar curiga. Ini gara-gara Rini. Sudah dibilang jangan menelponku di waktu pagi seperti ini, eh, malah melakukannya. Aku harus menegurnya sebelum dia membuat masalah yang lebih besar." Setelah memasukkan dompet dan ponsel ke saku celana serta mengambil kunci mobil, Galih keluar kamar menuju meja makan. Dia mendapati Citra dan Manisa sedang menikmati sarapan mereka tanpa suara. Citra dan Manisa sempat meliriknya. Tapi hanya sekilas sebelum kembali melanjutkan makan mereka. Galih menipiskan bibir mendapati reaksi Citra itu. Rasanya dia ingin bersumpah sekali lagi ba
Beberapa saat sebelumnya."Nya, sarapan sudah siap," ucap Sumi di pintu kamar Manisa.Citra yang baru saja selesai merapikan rambut Manisa menoleh. "Iya, bi. Ini kami mau ke meja makan.""Baik, Nya. Tuan mau bibi panggilkan juga?""Biar aku saja, bi. Bibi lanjutkan pekerjaan saja.""Oh, baiklah, Nya. Kalau begitu, bibi kembali ke dapur." Sumi berbalik badan dan kemudian tubuhnya menghilang di balik tembok.Citra menatap Manisa yang sudah selesai dirias. "Kamu ke meja makan sekarang sendirian ya. Mulai sarapan saja. Mama mau memanggil papa dulu."Manisa mengangguk. "Iya, ma."Citra tersenyum. Dia kemudian meninggalkan kamar Manisa menuju kamarnya. Tapi begitu sampai di depan pintu yang sedikit terbuka, langkah Citra terhenti tiba-tiba begitu mendengar suara Galih yang sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya. Suaranya sih lirih. Tapi Citra masih bisa mendengarnya."Apa-apaan kamu menelponku Pagi-pagi begini?! Aku kan sudah bilang sama kamu untuk tidak menghubungi dan mengirim pes
"Sayang, aku mau. Ayo kita lakukan dengan bersemangat," ucap Galih sembari memeluk Citra dari belakang. Sebenarnya dia sedang tidak berharap pada istrinya itu. Sebab hasratnya sudah terpenuhi tadi siang. Tapi gara-gara ketahuan bertemu dengan Rini, dia memaksakan diri untuk melakukannya. Tujuannya untuk menyenangkan Citra karena menurutnya kalau wanita telah dipuaskan, seluruh amarah dan kecurigaan wanita akan sirna. Kalau pun masih ada, hanya tinggal sisa-sisa.Citra yang belum bisa tidur karena merasa gamang, menjawab. "Maaf, mas. Malam ini aku capek sekali. Lain kali saja ya." Bohong! Dia berbohong. Sebenarnya dia tidak merasa capek. Tapi karena beberapa jam lalu dia melihat foto mesra suaminya itu dengan seorang wanita cantik, kecurigaannya kembali muncul. Hanya saja dia tidak mau jujur dengan rasa kecurigaanya itu karena memiliki alasan."Kenapa? Apa karena kamu masih memikirkan laporan Usi yang melihat aku bersama seorang wanita tadi? Kamu curiga? Kamu marah? Katanya kamu sudah
"Kamu yakin dia istri pelanggan dari luar kota itu? Kamu yakin tidak membohongiku kan, mas? Wanita itu bukan.... selingkuhan kamu kan?"Galih terhenyak. Dia merasa sangat tertohok kali ini. "Ba-bagaimana kamu bisa berpikir seperti itu, Cit? Kamu kan tahu kalau aku sangat menyayangi dan mencintai kamu. Jadi tidak mungkin kalau wanita itu adalah selingkuhanku."Citra tak merespon. Memilih diam sembari terus menatap Galih sebagai jawaban. Dua kali ralatan kebohongan Galih di obrolan ini membuatnya mulai merasa curiga. Galih mengerti maksud dari tatapan Citra. Dia pun mendengkus frustasi. "Ayolah, Cit. Percaya padaku. Pelanggan yang aku temui di hotel itu memang laki-laki dan wanita itu adalah istrinya. Bukan selingkuhanku seperti yang kamu pikirkan. Aku bersumpah tidak berkhianat sama kamu karena aku sangat mencintai kamu dan Manisa."Mendengar sumpah Galih, kecurigaan Citra sedikit menyurut. Biar begitu, hatinya masih tidak tenang."Kalau kamu tidak lagi ada rasa percaya kepadaku, maka
"Maaf sebelumnya ya, Cit. Tapi aku baru saja melihat suami kamu di hotel tempatku berada bersama seorang wanita cantik dan seksi."Bagai tersambar petir Citra mendengar itu. Hatinya tersentak luar biasa. "Ka-kamu jangan bercanda, Rin! Tidak lucu tau!""Kenapa juga aku harus bercanda?" sahut Usi tak kalah. "Memang kenyataannya begitu. Aku melihat Mas Galih di hotel bersama seorang wanita cantik.""Memangnya kamu sekarang berada di hotel? Kok bisa melihat Mas Galih?""Iya. Aku sedang menemui temanku yang datang dari luar kota di hotel ini. Tapi dia sedang berada di kamar mandi sekarang. Makanya aku menelpon kamu tanpa mampu untuk menundanya.""Aku rasa kamu salah lihat, Us. Masak sih Mas Galih di hotel bersama wanita lain.""Entahlah. Tapi aku yakin itu adalah suamimu. Aku kan kenal sekali dengan Mas Galih. Tidak mungkin aku salah lihat.""E... mungkin tidak kalau dia di sana untuk menemui pelanggan?" Citra berusaha untuk berpikir positif walaupun jantungnya sekarang berdegup kencang ti
Rini memperhatikan Galih yang sedang mengenakan pakaiannya dengan seksama. Laki-laki itu terlihat memesona dengan ketampanannya. Tapi bukan karena itu dia rela menjadi wanita simpanan Galih. Dia tidak peduli seberapa tampan dan gagah seorang laki-laki. Satu-satunya hal yang menjadi perhatiannya adalah seberapa tebal dompet laki-laki. Jika Galih tidak kaya, mana mungkin dia mau dijadikan pelampiasan hawa nafsu tanpa ikatan yang sah.No! Dia bukan wanita bodoh!Dan misinya sekarang adalah ingin merebut status istri sah dari istri Galih. Dia merasa lebih pantas menyandangnya karena selain cantik, dia memiliki pekerjaan meskipun hanya sebagai sales promotion girl (SPG). Tidak seperti istri sah Galih yang hanya seorang wanita pengangguran yang hanya bisa menghabiskan uang suami saja."Baru juga selesai, mas. Langsung pergi saja," ucap Rini dengan suara yang manja. Dia sendiri masih berada di bawah selimut."Aku tidak boleh keluar toko lebih dari satu jam. Nanti khawatir karyawan akan curig