“Terakhir, kau akan mengenali mereka dari cara mereka berbicara,” kata Hans sambil tersenyum. “Alkemis biasanya memiliki cara berpikir yang dalam dan penuh perhitungan. Mereka bisa menganalisis situasi dengan cepat dan sering kali memberikan solusi yang orang lain bahkan tidak terpikirkan.”Zidan terdiam sejenak, merenungi apa yang baru saja ia dengar. Ia mulai menyadari bahwa menjadi seorang alkemis bukan hanya tentang kekuatan atau kemampuan, tapi juga tentang bagaimana mereka membawa diri di tengah dunia yang penuh bahaya.“Tapi,” tambah Hans sambil menatap Zidan dengan serius, “kau juga harus hati-hati. Tidak semua alkemis adalah teman. Beberapa mungkin telah berpihak pada kekaisaran Arzan karena janji kekayaan atau kekuasaan.”Mata Zidan menyipit, rasa penasaran bercampur dengan kekhawatiran. “Jadi, kita tidak bisa mempercayai semua alkemis begitu saja?”“Benar,” kata Hans tegas. “Kau harus belajar mengenali siapa yang benar-benar di pihakmu dan siapa yang hanya berpura-pura. Tap
“Itu sebabnya kami mengandalkan informasi intelijen, seperti dari Kakek Suma. Jika ada tanda-tanda ancaman dari musuh, kita akan mengetahuinya lebih awal,” jawab Hans sambil berjalan lebih jauh ke arah pintu gerbang luar. Mereka berhenti di depan barikade yang tampak kokoh. “Di sinilah titik terakhir sebelum keluar dari lapisan luar benteng,” kata Hans. “Tapi untuk saat ini, kami tidak akan keluar. Aku hanya ingin kau mengerti bagaimana perlindungan di sini bekerja.”Zidan mengangguk. “Aku tidak menyangka bahwa strategi dan keamanan di benteng ini begitu rumit.”Hans tertawa kecil. “Seharusnya memang begitu. Kami tahu siapa yang kami hadapi. Kekaisaran Arzan dan Laskar Hitam tidak akan mudah menyerah. Tapi ingat, sekuat apa pun benteng ini, pada akhirnya, kekuatan individu seperti kau, Asmar, dan Kakek Suma juga sangat penting.”“Kenapa ada prajurit Arzan di sana?” tanya Zidan panik, matanya membulat saat melihat seseorang dengan seragam khas pasukan Arzan sedang berjalan di area lap
Hans sampai di perbatasan antara Kerajaan Arzan dan Arventia saat matahari mulai condong ke barat. Udara terasa tegang, seolah mengetahui betapa pentingnya perbatasan ini dalam menjaga kedamaian rapuh yang tersisa. Pasukan perbatasan Arventia tampak siaga di setiap sudut, memegang senjata mereka dengan erat. Di kejauhan, terlihat penjaga dari pihak Arzan, berdiri tegap dengan sorotan mata dingin dan waspada.Hans melangkah perlahan, memastikan tidak ada gerakan mencurigakan. Ia mendekati salah satu pos penjaga Arventia, seorang perwira dengan seragam kebiruan yang dikenalnya. “Bagaimana situasi di sini, Kapten Rivon?” tanya Hans sambil menatap pemandangan di seberang perbatasan.Kapten Rivon menghela napas panjang sebelum menjawab, “Cukup tenang untuk saat ini, tapi kami tahu ini hanya sementara. Pasukan Arzan telah meningkatkan patroli mereka. Mereka pasti sedang merencanakan sesuatu.”Hans mengangguk pelan. Ia tahu betul bahwa ketenangan di perbatasan ini hanya ilusi—Arzan terkenal
Malam itu, Zidan duduk di tepi jendela kecil di kamarnya. Angin dingin menyusup masuk, membawa suara hutan yang sunyi. Pikirannya dipenuhi gambaran tentang Laskar Hitam, bayangan hitam tanpa wajah yang terus menghantui benaknya. Tidak bisa tidur, dia memutuskan untuk menemui Asmar yang biasanya masih terjaga hingga larut.Saat Zidan mengetuk pintu kamar Asmar, suara lembut tetapi tegas menyambutnya. “Masuklah, Zidan. Aku tahu kau pasti punya banyak pertanyaan.”Zidan tersenyum tipis sebelum duduk di kursi dekat Asmar yang sedang memeriksa ramuan-ramuannya. “Aku tidak bisa berhenti memikirkan Laskar Hitam, Guru. Hans bilang mereka tidak terkalahkan. Bagaimana kita bisa melawan mereka?”Asmar meletakkan botol kaca di tangannya dan menatap Zidan dengan penuh perhatian. “Laskar Hitam adalah pasukan yang memang menakutkan, tapi ingatlah ini, Zidan: tidak ada yang benar-benar tak terkalahkan. Kunci untuk mengalahkan mereka adalah memahami kekuatan dan kelemahan mereka.”“Kelemahan?” Zidan m
Zidan duduk di dalam kamar kecilnya, menatap kosong ke arah meja tempat gulungan peta dan catatan latihan beladirinya tersimpan. Ia merasa tidak berdaya. Semua orang sibuk dengan tugas masing-masing: Hans dengan pengintaian, Asmar dengan racikannya, dan Kakek Suma yang entah sedang menghadapi apa di luar sana. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Hans masuk dengan raut wajah serius.“Zidan, kita perlu bicara,” kata Hans langsung ke intinya.Zidan berdiri, mencoba membaca ekspresi Hans. “Ada apa? Apa ini tentang Kakek Suma?”Hans menggeleng. “Belum ada kabar darinya, tapi aku punya firasat buruk. Pasukan patroli Arzan semakin mendekati batas wilayah kita. Mereka seperti sedang mencari sesuatu… atau seseorang.”Zidan menggigit bibirnya. “Apa kau pikir mereka mencari kita? Atau mungkin Kakek Suma?”“Mungkin keduanya,” jawab Hans dingin. “Kau harus tetap di dalam benteng. Kita tidak bisa mengambil risiko. Apalagi dengan kemampuanmu yang terus berkembang, kau menjadi target yang berharga.”“
Benteng mulai bergema oleh suara pertempuran. Para prajurit bertahan mati-matian melawan serangan brutal dari Laskar Hitam. Panah api menyala di udara, memecah gelapnya malam. Zidan dan Asmar berdiri di belakang Hans, menyaksikan kekacauan yang terjadi.“Asmar, kau harus menjaga Zidan,” ujar Hans sambil menghunus pedangnya. “Aku akan memimpin di garis depan!”Asmar mengangguk. “Jaga dirimu, Hans. Kami akan memastikan bagian ini tetap aman.”Zidan merasa gugup, tetapi ia meneguhkan hatinya. "Guru, apa yang harus aku lakukan?"Asmar menatapnya dengan serius. “Ini bukan waktunya untuk panik. Fokuslah. Ingat teknik yang telah aku ajarkan. Kau bisa membantu dengan energi penyembuhanmu di garis belakang, tapi jangan terlalu dekat dengan pertempuran.”Hans berlari menuju gerbang luar, memimpin pasukan dengan penuh keberanian. Laskar Hitam bukanlah pasukan biasa; mereka terlatih dan kejam, dengan taktik yang terorganisir.“Pertahankan posisi! Jangan biarkan mereka menembus dinding pertama!” t
Saat pagi menjelang dan mereka akhirnya mendapat waktu untuk beristirahat, seekor burung pos terbang rendah menuju benteng. Hans melihatnya dari kejauhan dan segera menangkapnya. Di kaki burung itu terdapat gulungan kecil berisi surat.“Ini dari Kakek Suma,” kata Hans dengan nada serius, langsung menyerahkan surat itu kepada Asmar.Asmar dengan cepat membuka gulungan itu, matanya membaca setiap baris dengan penuh perhatian. Raut wajahnya berubah serius, lalu ia menatap Zidan dan Hans.“Kabar ini penting,” kata Asmar akhirnya. “Kakek Suma berhasil mendapatkan informasi tentang aliansi antara Laskar Hitam dan Kekaisaran Arzan. Mereka benar-benar berencana menyerang benteng ini dengan kekuatan penuh.”Hans mengangguk, ekspresinya semakin tegang. “Aku sudah menduganya. Apa yang Suma katakan? Apa rencananya?”Asmar membaca lebih jauh. “Dia meminta kita bersiap. Kakek Suma akan membawa beberapa orang yang bisa membantu kita, tetapi dia butuh waktu untuk menyusup kembali.”“Berapa lama waktu
Meskipun Laskar Hitam telah berhasil dikalahkan, Kakek Suma tahu bahwa kemenangan ini hanya awal dari konflik yang lebih besar. Kekalahan kelompok bayangan itu pasti akan memancing kemarahan Arzan, dan balasan dari kerajaan tirani itu bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. “Zidan, kau sudah menyadari bahaya yang kita hadapi sekarang, bukan?” tanya Kakek Suma sembari mengamati pemuda itu yang sedang menyiapkan perlengkapan pelatihannya. Zidan mengangguk, raut wajahnya serius. “Ya, Kakek. Aku tahu Laskar Hitam hanya bagian kecil dari kekuatan Arzan. Tapi... aku belum merasa cukup kuat untuk menghadapi yang lebih besar.” Kakek Suma tersenyum tipis, lalu mendekati Zidan dengan tangan bersilang di belakang punggungnya. “Kekuatan fisik dan kemampuan membuat pil saja tidak cukup, Nak. Dunia ini penuh dengan ancaman yang tak bisa selalu dihindari. Mulai hari ini, aku akan melatihmu seni bela diri.” Zidan tertegun. Selama ini, ia merasa kemampuannya sebagai alkemis sudah cukup. Namun,
Mereka berjalan mengikuti para prajurit dengan hati-hati. Meskipun berhasil lolos dari reruntuhan, Zidan merasa bahwa bahaya yang mengintai mereka belum selesai. Setiap langkah yang mereka ambil semakin terasa berat, seakan ada sesuatu yang menunggu di ujung lorong.Elric melirik ke arah Zidan. “Apa kau yakin mereka tidak mencurigai kita?” bisiknya pelan.Zidan menggeleng tanpa menjawab. Ia tidak bisa memastikan. Para prajurit ini mungkin terlihat netral, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa mereka bukan bagian dari rencana yang lebih besar?Saat mereka semakin dekat dengan pintu keluar, salah satu prajurit berhenti dan menoleh ke arah mereka. “Sebelum kalian pergi, aku harus melaporkan keberadaan kalian kepada atasan. Tidak ada murid yang seharusnya berada di sini.”Kyro mengepalkan tangannya. “Kami hanya tersesat, apakah itu benar-benar perlu?”Prajurit itu menatap Kyro dengan dingin. “Aturan tetap aturan.”Zidan bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat. Jika mereka dilaporkan
Zidan merasakan ketegangan memenuhi udara. Pria berjubah hitam itu, yang entah siapa namanya, berdiri dengan senyum menakutkan. Aura gelap yang mengelilinginya seakan menekan mereka semua, membuat napas menjadi lebih berat."Pergi sekarang!" bisik Zidan lagi, matanya masih terpaku pada lawannya.Namun, sebelum teman-temannya bisa bergerak, pria itu mengangkat satu tangannya. Energi hitam berputar di telapak tangannya, menciptakan pusaran angin yang menyedot udara di sekitar mereka."Kalian tidak akan ke mana-mana."Tiba-tiba, dorongan kekuatan besar menghantam mereka. Daren dan Kyro terhempas ke belakang, menabrak dinding batu dengan keras. Elric nyaris terkena serangan, tetapi ia sempat melompat mundur."Zidan, kita tidak bisa meninggalkanmu sendirian!" teriak Elric."Kalau kalian tetap di sini, kita semua mati!" Zidan berteriak balik. Ia merogoh kantongnya dan menggenggam pil yang telah ia siapkan.Pria berjubah hitam melangkah mendekat, matanya menatap tajam ke arah Zidan. "Aku bis
Ledakan itu semakin mendekat, mengguncang tanah di bawah pondok kecil Kakek Suma. Zidan meraih bahunya yang masih terasa nyeri dari pertarungan sebelumnya."Kakek, apa mereka sudah menemukan kita?" tanya Zidan dengan napas yang mulai tidak teratur.Kakek Suma mengangguk perlahan, wajahnya tegang. "Mereka pasti telah melacak jejak energimu. Waktu kita tidak banyak."Tanpa berpikir panjang, Kakek Suma menarik sebuah tuas yang tersembunyi di lantai kayu pondok. Sebuah lorong gelap terbuka ke bawah, memancarkan udara dingin yang mengalir dari dalamnya."Masuk ke sana, Zidan," kata Kakek Suma tegas. "Aku akan mengulur waktu."Zidan membelalak, menatap Kakek Suma dengan gelisah. "Tidak mungkin! Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian! Harzan tidak akan mengampuni siapa pun yang menghalangi jalannya!"Kakek Suma menepuk bahu Zidan dengan keras, lalu menatapnya dengan sorot mata penuh tekad. "Dengar, bocah. Hidupku sudah lama aku korbankan untuk hal ini. Tapi kau—kau masih memiliki tujuan. Ja
Malam itu, hutan terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin yang berhembus membawa desiran aneh, seolah-olah sesuatu sedang mengintai mereka dari kejauhan.Zidan, Elric, Kyro, dan Daren duduk di sekitar api unggun kecil yang mereka buat untuk menghangatkan diri. Wajah mereka masih dipenuhi debu dan sisa-sisa pertempuran di dalam gua."Aku masih belum percaya kita berhasil keluar," kata Daren sambil menghela napas. "Tempat itu... bukan sesuatu yang seharusnya ada di dunia ini."Elric mengangguk. "Dan kita baru saja menghancurkannya. Harzan pasti tidak akan tinggal diam. Kita harus bersiap."Zidan menggenggam bola kristalnya yang kini bersinar lebih terang dari sebelumnya. Ia tahu bahwa setelah apa yang mereka lakukan, Harzan akan segera bergerak."Aku akan pergi menemui Kakek Suma lagi," kata Zidan tiba-tiba.Kyro menoleh dengan kaget. "Sendirian? Itu terlalu berbahaya!""Aku tidak punya pilihan," jawab Zidan. "Kakek Suma mungkin satu-satunya orang yang bisa memberi kita jawaban tentang a
Malam di hutan itu terasa lebih gelap dari biasanya, meskipun bulan purnama menggantung di langit. Angin dingin berhembus, membawa bisikan samar yang seolah memperingatkan mereka tentang sesuatu yang akan datang. Zidan, Elric, Daren, dan Kyro beristirahat di bawah naungan pohon besar, berusaha memulihkan tenaga mereka setelah pelarian yang mendebarkan dari markas Harzan.Namun, istirahat mereka tidak berlangsung lama."Zidan," bisik Kyro, matanya memandang ke arah gelap di kejauhan. "Kau merasakan itu? Rasanya seperti... ada sesuatu yang mengawasi kita."Zidan mengangguk pelan. "Aku merasakannya. Energi gelap ini... tidak salah lagi. Harzan sudah mulai bergerak."Daren, yang sedang memeriksa luka kecil di lengannya, menoleh dengan cemas. "Kalau begitu, kita tidak punya banyak waktu. Apa rencana kita selanjutnya?"Zidan menggenggam bola kristal yang mereka bawa dengan erat. "Kita harus kembali ke akademi. Kakek Suma mungkin bisa membantu kita memahami kekuatan bola ini. Tapi perjalanan
Zidan, Elric, Kyro, dan Daren berdiri di tengah ruangan besar yang hanya diterangi cahaya redup dari obor yang mereka bawa. Empat jalan di hadapan mereka terasa seperti perangkap, masing-masing membawa ancaman tak terlihat. Suara gema misterius dari dinding batu terus terdengar, seakan menguji nyali mereka.“Kita harus memilih dengan bijak,” kata Zidan sambil memeriksa setiap jalan. “Kakek Suma pernah berkata bahwa ujian di Kuil Bayangan selalu menguji hati seseorang. Ini bukan hanya soal kekuatan.”Kyro menyentuh dinding batu yang dingin. “Bagaimana kita tahu jalan mana yang benar? Semuanya terlihat sama.”Daren, yang lebih peka terhadap energi magis, memejamkan mata. “Aku bisa merasakan sesuatu dari jalan kedua,” katanya. “Ada aura yang menarikku ke sana, tetapi… itu juga terasa berbahaya.”Elric mengamati simbol-simbol di atas masing-masing jalan. “Simbol ini… mereka mewakili empat elemen: tanah, air, api, dan angin. Mungkin ada hubungannya dengan ujian yang akan kita hadapi.”“Kal
Gua pemberontak kini berubah menjadi medan pertempuran yang memanas. Pasukan Harzan menyerang tanpa ampun, menghantam pertahanan dengan kekuatan penuh. Ledakan sihir mengguncang dinding-dinding gua, debu dan pecahan batu beterbangan di udara. Teriakan perintah dan dentingan senjata memenuhi tempat itu, menciptakan suasana yang penuh kepanikan.Zidan memimpin kelompoknya keluar dari ruangan utama, mengarahkan mereka ke koridor belakang. “Kita harus mencari jalur keluar,” katanya sambil menggenggam pedangnya. Wajahnya tegang, tetapi matanya tetap tajam.“Kita tidak bisa membiarkan mereka menyerbu sampai ke inti gua,” kata Elric, menebas salah satu penjaga Harzan yang mencoba mendekati mereka. “Jika pusat pertahanan kita runtuh, semuanya akan berakhir.”Daren menunduk untuk menghindari serangan api yang dilemparkan seorang mage dari pasukan musuh. “Kita harus menghadang mereka di titik sempit. Kalau tidak, jumlah mereka akan membuat kita kewalahan!”Kyro menunjuk ke lorong sempit yang me
Malam itu, setelah pertarungan sengit, desa kecil yang mereka tempati menjadi sunyi. Api dari rumah-rumah yang terbakar telah padam, menyisakan arang dan asap tipis yang melayang di udara. Penduduk desa, meski lelah, mulai membersihkan reruntuhan sambil mengucapkan doa untuk yang terluka dan tewas. Zidan duduk di atas batu besar di pinggir desa, wajahnya dipenuhi keringat dan darah kering yang belum ia bersihkan. Pandangannya kosong, pikirannya terus memutar ulang kejadian yang baru saja berlalu. “Kenapa kau tidak memberitahu kami sebelumnya?” suara Elric memecah keheningan. Ia berjalan mendekati Zidan, diikuti oleh Kyro dan Daren. “Memberitahu apa?” balas Zidan tanpa menoleh. “Elric maksudkan, kenapa kau menyembunyikan kekuatanmu?” kata Kyro dengan nada lembut. “Kami semua melihat apa yang kau lakukan tadi. Kau alkemis, bukan?” Zidan menghela napas panjang, lalu menunduk. “Karena aku tahu ini akan terjadi,” jawabnya akhirnya. “Ketika orang tahu aku seorang alkemis, semuanya
Malam yang sunyi di tempat persembunyian mereka menjadi semakin mencekam. Zidan, Daren, Kyro, dan Elric duduk melingkar di sekitar meja kayu kecil. Dokumen yang mereka ambil dari ruang bawah tanah Harzan tergeletak di tengah, penuh dengan simbol-simbol misterius dan diagram yang tampak seperti rencana besar."Jadi, apa yang sebenarnya sedang direncanakan Harzan?" tanya Kyro, memecah keheningan. Wajahnya yang biasanya santai kini terlihat serius.Elric menghela napas panjang, menunjuk pada salah satu bagian dokumen. "Lihat ini. Harzan sedang mempersiapkan senjata alkemis yang akan menghancurkan tatanan dunia. Jika ini benar, senjata itu tidak hanya bisa memusnahkan pasukan, tapi juga menghancurkan wilayah dalam hitungan detik."Daren menggeram, mengepalkan tangannya. "Orang itu benar-benar gila. Kita harus menghentikannya sebelum terlambat.""Masalahnya," sela Zidan, "kita hanya berempat. Bahkan jika kita tahu rencananya, bagaimana caranya kita bisa menghentikan seseorang sekuat Harzan