Setelah diskusi panjang, Kakek Suma mulai membagi tugas. Hans diminta memimpin tim untuk menyampaikan pesan perdamaian ke kerajaan-kerajaan kecil yang masih ragu. Sementara itu, Zidan diberi tanggung jawab baru: belajar memahami seni diplomasi, sesuatu yang sangat berbeda dari latihan bela diri dan alkimia yang selama ini ia jalani.“Asmar, aku butuh kau untuk melatih Zidan bicara dengan para bangsawan. Mereka mungkin tidak akan mempercayai anak muda, kecuali jika ia membawa wibawa,” ujar Kakek Suma.Asmar tersenyum. “Diplomasi adalah seni yang lebih sulit dari membuat pil penyembuh. Tapi aku yakin Zidan bisa.”“Jangan terlalu yakin dulu,” gumam Zidan, yang merasa gugup tapi juga tertantang.Di sisi lain, Hans mempersiapkan timnya untuk pergi ke kerajaan tetangga. “Kita harus bergerak cepat. Jika Arzan mendengar kita mencoba membuat aliansi, mereka pasti akan mengirim ancaman untuk mematahkan semangat para raja itu,” katanya tegas.Hans membawa pesan resmi dari Raja Adrian untuk menaw
Perjalanan menuju Kerajaan Lien bukanlah hal yang mudah. Setelah memutuskan untuk bergerak secara rahasia, Kakek Suma, Zidan, Hans, dan Asmar harus menyusuri jalur-jalur tersembunyi yang penuh risiko. Pasukan Arzan diketahui meronda di berbagai wilayah, menjadikan setiap langkah penuh kehati-hatian.Malam itu, ketika bulan hanya terlihat separuh, mereka melewati hutan lebat yang dikenal sebagai Hutan Awan Hitam. Kabut tebal menyelimuti setiap sudut, membuat pandangan menjadi terbatas. Hans yang memimpin perjalanan memerintahkan mereka untuk memperlambat langkah."Berhati-hatilah," bisiknya sambil memegang pedang di pinggangnya. "Pasukan Arzan sering menggunakan tempat ini sebagai jalur patroli."Zidan, yang mengikuti di belakang, merasa waspada. Meski ia sudah mulai menguasai bela diri di bawah bimbingan Kakek Suma, ia tahu bahwa pengalaman tempurnya masih minim. Kakek Suma, yang tampak tenang, sesekali menepuk pundaknya untuk memberinya rasa percaya diri.Saat mereka hampir mencapai
Setelah beberapa saat, ia akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah, aku akan mengirimkan satu pasukan kecil sebagai tanda niat baik. Tapi jika Arzan mengetahuinya, aku harap kalian punya rencana untuk melindungi kami.”Ketika pertemuan berakhir, Zidan merasa lega meski hanya sedikit. Ia tahu jalan untuk membentuk aliansi masih panjang dan penuh rintangan. Namun, keberhasilan kecil ini membuatnya merasa lebih yakin akan perannya dalam perjuangan ini.“Aku tidak menyangka kau bisa berbicara seperti itu,” puji Asmar saat mereka kembali ke penginapan.Zidan tersenyum kecil. “Aku hanya berkata apa yang kurasa benar. Kita tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan.”Kakek Suma menepuk bahunya. “Kau telah membuat langkah besar, Zidan. Tapi ingat, jalan kita masih panjang. Perjuangan ini membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata. Kau harus terus berlatih, karena musuh yang sebenarnya masih menunggu di depan.”Zidan mengangguk. Ia tahu, ancaman Arzan adalah kenyataan yang tak bisa diabaika
Kakek Suma memandang mereka semua dengan mata tajam. “Kita akan mulai dengan membangun aliansi yang lebih kuat. Tapi sebelum itu, kita harus memastikan benteng ini benar-benar siap menghadapi serangan besar. Kita tidak boleh lengah.”Semua orang mengangguk setuju. Perjuangan mereka baru saja dimulai.Hari-hari berlalu dengan intensitas tinggi di benteng. Zidan terus berlatih keras, sementara Hans memimpin upaya memperkuat pertahanan. Asmar dan Kakek Suma bekerja sama untuk menciptakan rencana yang lebih matang.Di ruang rapat, Kakek Suma membentangkan peta besar di atas meja. Wilayah-wilayah yang telah dikuasai Arzan ditandai dengan tinta merah. “Mereka bergerak cepat,” katanya. “Kerajaan kecil di utara sudah menyerah, dan beberapa wilayah perbatasan lainnya mungkin sudah dikuasai.”“Tapi mereka belum menyerang kita langsung,” kata Hans sambil mengamati peta. “Apa itu berarti mereka masih merencanakan sesuatu?”“Tepat,” jawab Kakek Suma. “Mereka sedang mempersiapkan serangan besar, da
Setelah perjalanan panjang penuh ketegangan, tim berhasil kembali ke benteng. Mereka disambut dengan sorak-sorai para prajurit yang mendengar kabar keberhasilan misi tersebut.“Kakek, kau berhasil!” seru Zidan yang telah menunggu dengan cemas.“Ini hanyalah awal,” jawab Kakek Suma sambil menghela napas. “Kita telah memberi mereka pukulan keras, tapi ini juga akan memancing amarah Arzan. Mereka tidak akan diam saja setelah ini.”Hans berdiri di dekatnya, wajahnya serius meskipun ada kebanggaan yang terpancar. “Mereka kehilangan persenjataan besar. Itu akan memperlambat mereka, tapi kita harus bersiap menghadapi serangan balasan.”Kemenangan kecil ini menjadi pengingat bahwa meskipun Arzan adalah kekuatan besar, mereka bukanlah musuh yang tak terkalahkan. Semangat di benteng meningkat, tetapi semua orang tahu bahwa pertempuran sebenarnya baru saja dimulai.Sementara di benteng, euforia kemenangan masih terasa. Zidan melihat Kakek Suma berdiri di menara pengawas, memandang cakrawala deng
Setelah beberapa menit berlari, tim kecil itu akhirnya berhasil mencapai batas aman. Mereka menunggu di tepi hutan, berharap Kakek Suma akan menyusul. Tak lama kemudian, suara langkah terdengar, dan Kakek Suma muncul, meski dengan beberapa luka di lengannya.“Kau baik-baik saja, Kakek?” tanya Zidan cemas.“Ini hanya luka kecil,” jawab Kakek Suma sambil tersenyum. “Yang penting, misi kita berhasil.”Asmar memeriksa luka-luka Kakek Suma dengan cepat dan memberikan pil penyembuh untuk membantunya pulih. Sementara itu, Hans mengamati kejauhan, memastikan tidak ada lagi musuh yang mengejar mereka.“Mereka akan membutuhkan waktu untuk pulih dari kerugian ini,” kata Hans. “Kita berhasil membuat mereka mundur sementara.”Zidan melihat timnya dengan rasa bangga dan lega. Ini adalah pelajaran penting baginya, bahwa keberanian dan strategi adalah kunci kemenangan. Tetapi ia juga menyadari bahwa pertempuran ini hanyalah awal dari perjuangan panjang melawan Kekaisaran Arzan.Meskipun berhasil melu
Zidan menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke area tes kekuatan. Tempat itu dipenuhi aura tekanan, dengan para peserta yang terlihat tegang menunggu giliran mereka. Di hadapannya berdiri sebuah kristal besar, alat yang digunakan untuk mendeteksi dan mengukur kekuatan energi internal seseorang. Zidan tahu bahwa dia harus menyembunyikan kekuatannya. Dengan pil penekan energi yang diberikan Asmar, energinya akan tampak sangat rendah, hampir tidak terdeteksi.Ketika gilirannya tiba, dia maju dengan percaya diri palsu, menempatkan tangannya di atas kristal. Kilatan cahaya lemah muncul, nyaris tidak menunjukkan tanda kekuatan yang signifikan. Pengawas tes menatapnya dengan tatapan meremehkan."Dasar lemah," gumam salah satu pengawas, mencatat hasilnya di papan. "Kau ditempatkan di bagian dasar. Bergabunglah dengan kelompok pelatihan Kelas E."Zidan hanya tersenyum tipis dan mengangguk, berpura-pura malu. "Bagian dasar," pikirnya. "Justru ini yang kubutuhkan untuk tetap tidak mencolok.
“Kita sama-sama berjuan untuk masa depan, aku suka dengan semangatmu, jadi suatu hari nanti kita bisa bekerjasama, kau dari kerajaan mana?”Zidan terdiam sejenak ia memikirkan jawaban yang tepat, “Lien… iya kerajaan Lien,”Elric menlihat gegat aneh yang tak biasa dari jawab Zidan.“Benarkah? Apa kau tak berbohong?” Elric mengulang pertanyaannya, matanya menyipit menatap Zidan seolah mencoba menangkap kebohongan.Daren langsung bereaksi, melambaikan tangan ke arah Elric dengan ekspresi tidak sabar. “Kau ini bicara apa? Tentu saja dia tidak berbohong! Untuk apa juga Zidan berbohong?”Elric mengangkat bahu, terlihat acuh. “Aku hanya memastikan saja. Tidak ada salahnya berhati-hati, bukan?”Daren mendengus, menatap Elric dengan pandangan menuduh. “Hati-hati? Apa yang perlu dipastikan? Kau malah yang tampak mencurigakan.”Elric terkesiap, ekspresinya berubah sedikit defensif. “Aku? Kau mencurigai aku? Tentang apa?”“Kau tidak pernah menyebutkan asal mu pada kami, bukan?” balas Daren, menyi
Mereka berjalan mengikuti para prajurit dengan hati-hati. Meskipun berhasil lolos dari reruntuhan, Zidan merasa bahwa bahaya yang mengintai mereka belum selesai. Setiap langkah yang mereka ambil semakin terasa berat, seakan ada sesuatu yang menunggu di ujung lorong.Elric melirik ke arah Zidan. “Apa kau yakin mereka tidak mencurigai kita?” bisiknya pelan.Zidan menggeleng tanpa menjawab. Ia tidak bisa memastikan. Para prajurit ini mungkin terlihat netral, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa mereka bukan bagian dari rencana yang lebih besar?Saat mereka semakin dekat dengan pintu keluar, salah satu prajurit berhenti dan menoleh ke arah mereka. “Sebelum kalian pergi, aku harus melaporkan keberadaan kalian kepada atasan. Tidak ada murid yang seharusnya berada di sini.”Kyro mengepalkan tangannya. “Kami hanya tersesat, apakah itu benar-benar perlu?”Prajurit itu menatap Kyro dengan dingin. “Aturan tetap aturan.”Zidan bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat. Jika mereka dilaporkan
Zidan merasakan ketegangan memenuhi udara. Pria berjubah hitam itu, yang entah siapa namanya, berdiri dengan senyum menakutkan. Aura gelap yang mengelilinginya seakan menekan mereka semua, membuat napas menjadi lebih berat."Pergi sekarang!" bisik Zidan lagi, matanya masih terpaku pada lawannya.Namun, sebelum teman-temannya bisa bergerak, pria itu mengangkat satu tangannya. Energi hitam berputar di telapak tangannya, menciptakan pusaran angin yang menyedot udara di sekitar mereka."Kalian tidak akan ke mana-mana."Tiba-tiba, dorongan kekuatan besar menghantam mereka. Daren dan Kyro terhempas ke belakang, menabrak dinding batu dengan keras. Elric nyaris terkena serangan, tetapi ia sempat melompat mundur."Zidan, kita tidak bisa meninggalkanmu sendirian!" teriak Elric."Kalau kalian tetap di sini, kita semua mati!" Zidan berteriak balik. Ia merogoh kantongnya dan menggenggam pil yang telah ia siapkan.Pria berjubah hitam melangkah mendekat, matanya menatap tajam ke arah Zidan. "Aku bis
Ledakan itu semakin mendekat, mengguncang tanah di bawah pondok kecil Kakek Suma. Zidan meraih bahunya yang masih terasa nyeri dari pertarungan sebelumnya."Kakek, apa mereka sudah menemukan kita?" tanya Zidan dengan napas yang mulai tidak teratur.Kakek Suma mengangguk perlahan, wajahnya tegang. "Mereka pasti telah melacak jejak energimu. Waktu kita tidak banyak."Tanpa berpikir panjang, Kakek Suma menarik sebuah tuas yang tersembunyi di lantai kayu pondok. Sebuah lorong gelap terbuka ke bawah, memancarkan udara dingin yang mengalir dari dalamnya."Masuk ke sana, Zidan," kata Kakek Suma tegas. "Aku akan mengulur waktu."Zidan membelalak, menatap Kakek Suma dengan gelisah. "Tidak mungkin! Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian! Harzan tidak akan mengampuni siapa pun yang menghalangi jalannya!"Kakek Suma menepuk bahu Zidan dengan keras, lalu menatapnya dengan sorot mata penuh tekad. "Dengar, bocah. Hidupku sudah lama aku korbankan untuk hal ini. Tapi kau—kau masih memiliki tujuan. Ja
Malam itu, hutan terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin yang berhembus membawa desiran aneh, seolah-olah sesuatu sedang mengintai mereka dari kejauhan.Zidan, Elric, Kyro, dan Daren duduk di sekitar api unggun kecil yang mereka buat untuk menghangatkan diri. Wajah mereka masih dipenuhi debu dan sisa-sisa pertempuran di dalam gua."Aku masih belum percaya kita berhasil keluar," kata Daren sambil menghela napas. "Tempat itu... bukan sesuatu yang seharusnya ada di dunia ini."Elric mengangguk. "Dan kita baru saja menghancurkannya. Harzan pasti tidak akan tinggal diam. Kita harus bersiap."Zidan menggenggam bola kristalnya yang kini bersinar lebih terang dari sebelumnya. Ia tahu bahwa setelah apa yang mereka lakukan, Harzan akan segera bergerak."Aku akan pergi menemui Kakek Suma lagi," kata Zidan tiba-tiba.Kyro menoleh dengan kaget. "Sendirian? Itu terlalu berbahaya!""Aku tidak punya pilihan," jawab Zidan. "Kakek Suma mungkin satu-satunya orang yang bisa memberi kita jawaban tentang a
Malam di hutan itu terasa lebih gelap dari biasanya, meskipun bulan purnama menggantung di langit. Angin dingin berhembus, membawa bisikan samar yang seolah memperingatkan mereka tentang sesuatu yang akan datang. Zidan, Elric, Daren, dan Kyro beristirahat di bawah naungan pohon besar, berusaha memulihkan tenaga mereka setelah pelarian yang mendebarkan dari markas Harzan.Namun, istirahat mereka tidak berlangsung lama."Zidan," bisik Kyro, matanya memandang ke arah gelap di kejauhan. "Kau merasakan itu? Rasanya seperti... ada sesuatu yang mengawasi kita."Zidan mengangguk pelan. "Aku merasakannya. Energi gelap ini... tidak salah lagi. Harzan sudah mulai bergerak."Daren, yang sedang memeriksa luka kecil di lengannya, menoleh dengan cemas. "Kalau begitu, kita tidak punya banyak waktu. Apa rencana kita selanjutnya?"Zidan menggenggam bola kristal yang mereka bawa dengan erat. "Kita harus kembali ke akademi. Kakek Suma mungkin bisa membantu kita memahami kekuatan bola ini. Tapi perjalanan
Zidan, Elric, Kyro, dan Daren berdiri di tengah ruangan besar yang hanya diterangi cahaya redup dari obor yang mereka bawa. Empat jalan di hadapan mereka terasa seperti perangkap, masing-masing membawa ancaman tak terlihat. Suara gema misterius dari dinding batu terus terdengar, seakan menguji nyali mereka.“Kita harus memilih dengan bijak,” kata Zidan sambil memeriksa setiap jalan. “Kakek Suma pernah berkata bahwa ujian di Kuil Bayangan selalu menguji hati seseorang. Ini bukan hanya soal kekuatan.”Kyro menyentuh dinding batu yang dingin. “Bagaimana kita tahu jalan mana yang benar? Semuanya terlihat sama.”Daren, yang lebih peka terhadap energi magis, memejamkan mata. “Aku bisa merasakan sesuatu dari jalan kedua,” katanya. “Ada aura yang menarikku ke sana, tetapi… itu juga terasa berbahaya.”Elric mengamati simbol-simbol di atas masing-masing jalan. “Simbol ini… mereka mewakili empat elemen: tanah, air, api, dan angin. Mungkin ada hubungannya dengan ujian yang akan kita hadapi.”“Kal
Gua pemberontak kini berubah menjadi medan pertempuran yang memanas. Pasukan Harzan menyerang tanpa ampun, menghantam pertahanan dengan kekuatan penuh. Ledakan sihir mengguncang dinding-dinding gua, debu dan pecahan batu beterbangan di udara. Teriakan perintah dan dentingan senjata memenuhi tempat itu, menciptakan suasana yang penuh kepanikan.Zidan memimpin kelompoknya keluar dari ruangan utama, mengarahkan mereka ke koridor belakang. “Kita harus mencari jalur keluar,” katanya sambil menggenggam pedangnya. Wajahnya tegang, tetapi matanya tetap tajam.“Kita tidak bisa membiarkan mereka menyerbu sampai ke inti gua,” kata Elric, menebas salah satu penjaga Harzan yang mencoba mendekati mereka. “Jika pusat pertahanan kita runtuh, semuanya akan berakhir.”Daren menunduk untuk menghindari serangan api yang dilemparkan seorang mage dari pasukan musuh. “Kita harus menghadang mereka di titik sempit. Kalau tidak, jumlah mereka akan membuat kita kewalahan!”Kyro menunjuk ke lorong sempit yang me
Malam itu, setelah pertarungan sengit, desa kecil yang mereka tempati menjadi sunyi. Api dari rumah-rumah yang terbakar telah padam, menyisakan arang dan asap tipis yang melayang di udara. Penduduk desa, meski lelah, mulai membersihkan reruntuhan sambil mengucapkan doa untuk yang terluka dan tewas. Zidan duduk di atas batu besar di pinggir desa, wajahnya dipenuhi keringat dan darah kering yang belum ia bersihkan. Pandangannya kosong, pikirannya terus memutar ulang kejadian yang baru saja berlalu. “Kenapa kau tidak memberitahu kami sebelumnya?” suara Elric memecah keheningan. Ia berjalan mendekati Zidan, diikuti oleh Kyro dan Daren. “Memberitahu apa?” balas Zidan tanpa menoleh. “Elric maksudkan, kenapa kau menyembunyikan kekuatanmu?” kata Kyro dengan nada lembut. “Kami semua melihat apa yang kau lakukan tadi. Kau alkemis, bukan?” Zidan menghela napas panjang, lalu menunduk. “Karena aku tahu ini akan terjadi,” jawabnya akhirnya. “Ketika orang tahu aku seorang alkemis, semuanya
Malam yang sunyi di tempat persembunyian mereka menjadi semakin mencekam. Zidan, Daren, Kyro, dan Elric duduk melingkar di sekitar meja kayu kecil. Dokumen yang mereka ambil dari ruang bawah tanah Harzan tergeletak di tengah, penuh dengan simbol-simbol misterius dan diagram yang tampak seperti rencana besar."Jadi, apa yang sebenarnya sedang direncanakan Harzan?" tanya Kyro, memecah keheningan. Wajahnya yang biasanya santai kini terlihat serius.Elric menghela napas panjang, menunjuk pada salah satu bagian dokumen. "Lihat ini. Harzan sedang mempersiapkan senjata alkemis yang akan menghancurkan tatanan dunia. Jika ini benar, senjata itu tidak hanya bisa memusnahkan pasukan, tapi juga menghancurkan wilayah dalam hitungan detik."Daren menggeram, mengepalkan tangannya. "Orang itu benar-benar gila. Kita harus menghentikannya sebelum terlambat.""Masalahnya," sela Zidan, "kita hanya berempat. Bahkan jika kita tahu rencananya, bagaimana caranya kita bisa menghentikan seseorang sekuat Harzan