Meskipun Laskar Hitam telah berhasil dikalahkan, Kakek Suma tahu bahwa kemenangan ini hanya awal dari konflik yang lebih besar. Kekalahan kelompok bayangan itu pasti akan memancing kemarahan Arzan, dan balasan dari kerajaan tirani itu bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. “Zidan, kau sudah menyadari bahaya yang kita hadapi sekarang, bukan?” tanya Kakek Suma sembari mengamati pemuda itu yang sedang menyiapkan perlengkapan pelatihannya. Zidan mengangguk, raut wajahnya serius. “Ya, Kakek. Aku tahu Laskar Hitam hanya bagian kecil dari kekuatan Arzan. Tapi... aku belum merasa cukup kuat untuk menghadapi yang lebih besar.” Kakek Suma tersenyum tipis, lalu mendekati Zidan dengan tangan bersilang di belakang punggungnya. “Kekuatan fisik dan kemampuan membuat pil saja tidak cukup, Nak. Dunia ini penuh dengan ancaman yang tak bisa selalu dihindari. Mulai hari ini, aku akan melatihmu seni bela diri.” Zidan tertegun. Selama ini, ia merasa kemampuannya sebagai alkemis sudah cukup. Namun,
Setelah diskusi panjang, Kakek Suma mulai membagi tugas. Hans diminta memimpin tim untuk menyampaikan pesan perdamaian ke kerajaan-kerajaan kecil yang masih ragu. Sementara itu, Zidan diberi tanggung jawab baru: belajar memahami seni diplomasi, sesuatu yang sangat berbeda dari latihan bela diri dan alkimia yang selama ini ia jalani.“Asmar, aku butuh kau untuk melatih Zidan bicara dengan para bangsawan. Mereka mungkin tidak akan mempercayai anak muda, kecuali jika ia membawa wibawa,” ujar Kakek Suma.Asmar tersenyum. “Diplomasi adalah seni yang lebih sulit dari membuat pil penyembuh. Tapi aku yakin Zidan bisa.”“Jangan terlalu yakin dulu,” gumam Zidan, yang merasa gugup tapi juga tertantang.Di sisi lain, Hans mempersiapkan timnya untuk pergi ke kerajaan tetangga. “Kita harus bergerak cepat. Jika Arzan mendengar kita mencoba membuat aliansi, mereka pasti akan mengirim ancaman untuk mematahkan semangat para raja itu,” katanya tegas.Hans membawa pesan resmi dari Raja Adrian untuk menaw
Perjalanan menuju Kerajaan Lien bukanlah hal yang mudah. Setelah memutuskan untuk bergerak secara rahasia, Kakek Suma, Zidan, Hans, dan Asmar harus menyusuri jalur-jalur tersembunyi yang penuh risiko. Pasukan Arzan diketahui meronda di berbagai wilayah, menjadikan setiap langkah penuh kehati-hatian.Malam itu, ketika bulan hanya terlihat separuh, mereka melewati hutan lebat yang dikenal sebagai Hutan Awan Hitam. Kabut tebal menyelimuti setiap sudut, membuat pandangan menjadi terbatas. Hans yang memimpin perjalanan memerintahkan mereka untuk memperlambat langkah."Berhati-hatilah," bisiknya sambil memegang pedang di pinggangnya. "Pasukan Arzan sering menggunakan tempat ini sebagai jalur patroli."Zidan, yang mengikuti di belakang, merasa waspada. Meski ia sudah mulai menguasai bela diri di bawah bimbingan Kakek Suma, ia tahu bahwa pengalaman tempurnya masih minim. Kakek Suma, yang tampak tenang, sesekali menepuk pundaknya untuk memberinya rasa percaya diri.Saat mereka hampir mencapai
Setelah beberapa saat, ia akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah, aku akan mengirimkan satu pasukan kecil sebagai tanda niat baik. Tapi jika Arzan mengetahuinya, aku harap kalian punya rencana untuk melindungi kami.”Ketika pertemuan berakhir, Zidan merasa lega meski hanya sedikit. Ia tahu jalan untuk membentuk aliansi masih panjang dan penuh rintangan. Namun, keberhasilan kecil ini membuatnya merasa lebih yakin akan perannya dalam perjuangan ini.“Aku tidak menyangka kau bisa berbicara seperti itu,” puji Asmar saat mereka kembali ke penginapan.Zidan tersenyum kecil. “Aku hanya berkata apa yang kurasa benar. Kita tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan.”Kakek Suma menepuk bahunya. “Kau telah membuat langkah besar, Zidan. Tapi ingat, jalan kita masih panjang. Perjuangan ini membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata. Kau harus terus berlatih, karena musuh yang sebenarnya masih menunggu di depan.”Zidan mengangguk. Ia tahu, ancaman Arzan adalah kenyataan yang tak bisa diabaika
Kakek Suma memandang mereka semua dengan mata tajam. “Kita akan mulai dengan membangun aliansi yang lebih kuat. Tapi sebelum itu, kita harus memastikan benteng ini benar-benar siap menghadapi serangan besar. Kita tidak boleh lengah.”Semua orang mengangguk setuju. Perjuangan mereka baru saja dimulai.Hari-hari berlalu dengan intensitas tinggi di benteng. Zidan terus berlatih keras, sementara Hans memimpin upaya memperkuat pertahanan. Asmar dan Kakek Suma bekerja sama untuk menciptakan rencana yang lebih matang.Di ruang rapat, Kakek Suma membentangkan peta besar di atas meja. Wilayah-wilayah yang telah dikuasai Arzan ditandai dengan tinta merah. “Mereka bergerak cepat,” katanya. “Kerajaan kecil di utara sudah menyerah, dan beberapa wilayah perbatasan lainnya mungkin sudah dikuasai.”“Tapi mereka belum menyerang kita langsung,” kata Hans sambil mengamati peta. “Apa itu berarti mereka masih merencanakan sesuatu?”“Tepat,” jawab Kakek Suma. “Mereka sedang mempersiapkan serangan besar, da
Setelah perjalanan panjang penuh ketegangan, tim berhasil kembali ke benteng. Mereka disambut dengan sorak-sorai para prajurit yang mendengar kabar keberhasilan misi tersebut.“Kakek, kau berhasil!” seru Zidan yang telah menunggu dengan cemas.“Ini hanyalah awal,” jawab Kakek Suma sambil menghela napas. “Kita telah memberi mereka pukulan keras, tapi ini juga akan memancing amarah Arzan. Mereka tidak akan diam saja setelah ini.”Hans berdiri di dekatnya, wajahnya serius meskipun ada kebanggaan yang terpancar. “Mereka kehilangan persenjataan besar. Itu akan memperlambat mereka, tapi kita harus bersiap menghadapi serangan balasan.”Kemenangan kecil ini menjadi pengingat bahwa meskipun Arzan adalah kekuatan besar, mereka bukanlah musuh yang tak terkalahkan. Semangat di benteng meningkat, tetapi semua orang tahu bahwa pertempuran sebenarnya baru saja dimulai.Sementara di benteng, euforia kemenangan masih terasa. Zidan melihat Kakek Suma berdiri di menara pengawas, memandang cakrawala deng
Setelah beberapa menit berlari, tim kecil itu akhirnya berhasil mencapai batas aman. Mereka menunggu di tepi hutan, berharap Kakek Suma akan menyusul. Tak lama kemudian, suara langkah terdengar, dan Kakek Suma muncul, meski dengan beberapa luka di lengannya.“Kau baik-baik saja, Kakek?” tanya Zidan cemas.“Ini hanya luka kecil,” jawab Kakek Suma sambil tersenyum. “Yang penting, misi kita berhasil.”Asmar memeriksa luka-luka Kakek Suma dengan cepat dan memberikan pil penyembuh untuk membantunya pulih. Sementara itu, Hans mengamati kejauhan, memastikan tidak ada lagi musuh yang mengejar mereka.“Mereka akan membutuhkan waktu untuk pulih dari kerugian ini,” kata Hans. “Kita berhasil membuat mereka mundur sementara.”Zidan melihat timnya dengan rasa bangga dan lega. Ini adalah pelajaran penting baginya, bahwa keberanian dan strategi adalah kunci kemenangan. Tetapi ia juga menyadari bahwa pertempuran ini hanyalah awal dari perjuangan panjang melawan Kekaisaran Arzan.Meskipun berhasil melu
Zidan menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke area tes kekuatan. Tempat itu dipenuhi aura tekanan, dengan para peserta yang terlihat tegang menunggu giliran mereka. Di hadapannya berdiri sebuah kristal besar, alat yang digunakan untuk mendeteksi dan mengukur kekuatan energi internal seseorang. Zidan tahu bahwa dia harus menyembunyikan kekuatannya. Dengan pil penekan energi yang diberikan Asmar, energinya akan tampak sangat rendah, hampir tidak terdeteksi.Ketika gilirannya tiba, dia maju dengan percaya diri palsu, menempatkan tangannya di atas kristal. Kilatan cahaya lemah muncul, nyaris tidak menunjukkan tanda kekuatan yang signifikan. Pengawas tes menatapnya dengan tatapan meremehkan."Dasar lemah," gumam salah satu pengawas, mencatat hasilnya di papan. "Kau ditempatkan di bagian dasar. Bergabunglah dengan kelompok pelatihan Kelas E."Zidan hanya tersenyum tipis dan mengangguk, berpura-pura malu. "Bagian dasar," pikirnya. "Justru ini yang kubutuhkan untuk tetap tidak mencolok.
Keesokan harinya, suasana di akademi terasa semakin tegang. Latihan berikutnya adalah duel individu, sebuah kesempatan bagi setiap murid untuk menunjukkan kemampuan mereka di depan para pelatih dan pengawas. Zidan menyadari bahwa ini adalah ujian berat. Dia harus tampil cukup baik untuk tidak dicurigai lemah, tetapi tidak terlalu mencolok sehingga membahayakan penyamarannya. Saat giliran Zidan tiba, dia berdiri di tengah arena dengan napas tertahan. Lawannya adalah seorang murid bernama Rael, salah satu petarung yang dikenal agresif di akademi. Rael tersenyum lebar, menghunus pedang kayu yang terlihat sudah sering digunakan dalam duel. "Aku sudah mendengar desas-desus tentangmu, Zidan," kata Rael dengan nada mengejek. "Katanya kau cukup cerdik dalam taktik. Tapi kali ini, taktik saja tidak akan menyelamatkanmu." Zidan hanya tersenyum tipis, tidak menanggapi. Dia memegang pedang kayunya dengan sikap santai, tetapi matanya mengamati setiap gerakan Rael dengan teliti. Wasit membe
Pada malam yang sunyi, Zidan terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Suara angin yang berhembus pelan dari jendela yang terbuka sedikit memberikan ketenangan, tapi sesuatu yang lebih mengganggu pikirannya. Ia merasa seolah ada yang mengawasi, atau lebih tepatnya, ada sesuatu yang mengintai dalam kegelapan.Zidan bangkit perlahan, mencoba untuk tidak membangunkan teman-temannya yang sedang tidur di ranjang masing-masing. Ketika ia melangkah menuju jendela, ia melihat Elric berdiri di luar, tampak seperti menunggu sesuatu. Zidan merasa ada ketegangan yang tak biasa di antara mereka.Dengan hati-hati, Zidan mendekati Elric yang tampak tidak memperhatikan kedatangannya. "Elric," panggil Zidan pelan.Elric menoleh, terkejut sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Oh, Zidan. Kau terjaga juga?""Kenapa kau di sini?" tanya Zidan, mencoba tidak terdengar terlalu curiga."Aku tidak bisa tidur," jawab Elric dengan nada yang tidak biasa, agak datar. "Ada banyak hal yang aku pikirkan. Tentang kit
Elric berdiri di tepi jendela kamar mereka malam itu, pandangannya menerawang jauh ke luar. Cahaya bulan yang redup memantulkan bayangan murung di wajahnya. Kekejaman yang baru saja disaksikannya di aula utama membuat pikirannya terus bergolak. Ia menggenggam bingkai jendela dengan erat, mencoba menenangkan diri, namun rasa tidak nyaman semakin mencekiknya.“Apa yang mereka lakukan tadi… itu bukan keadilan,” gumam Elric dengan nada rendah, namun cukup keras untuk didengar oleh yang lain.Kyro, yang sedang duduk di tempat tidur, menoleh ke arahnya. "Apa maksudmu? Bukankah mereka bilang itu untuk menjaga keamanan kekaisaran?"Elric berbalik, matanya tajam menatap Kyro. "Keamanan? Itu lebih mirip teror. Membunuh tanpa belas kasihan di depan semua orang. Bagaimana itu bisa disebut sebagai keadilan?"Daren, yang sedang berbaring, mencoba menyela. "Tapi mereka adalah pengkhianat. Mereka melanggar aturan dan mencoba melawan kekaisaran. Kau tahu apa akibatnya jika ada yang mencoba melawan Arz
Malam tiba, dan suasana di asrama terasa lebih hening dari biasanya. Zidan duduk di ranjangnya, berpikir keras tentang langkah selanjutnya. Latihan hari ini jelas membuatnya menonjol, sesuatu yang justru ingin ia hindari. Namun, di sisi lain, kerja sama dengan timnya berjalan lebih baik dari perkiraannya. “Zidan,” suara Elric memecah kesunyian. Ia berdiri di dekat jendela, memandangi bulan yang menggantung di langit. “Aku harus mengakui, rencanamu tadi luar biasa. Tapi... aku masih merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan.”Daren, yang sedang berbaring dengan tangan di belakang kepala, tertawa kecil. “Elric, kau ini terlalu curiga. Zidan itu hanya pintar. Apa salahnya?”“Tapi kepintaran itu tidak sesuai dengan cerita yang ia sampaikan,” balas Elric sambil menatap tajam ke arah Zidan.Kyro, yang sedang asyik menggambar sesuatu di buku catatannya, ikut angkat bicara. “Elric, mungkin kau benar. Tapi, apa pentingnya? Zidan telah membantu kita, itu yang terpenting.”Zidan menarik napas pan
Keesokan harinya, Zidan merasa suasana semakin tegang. Elric tampak semakin intens mengawasi setiap langkahnya, dan Zidan tahu bahwa waktunya untuk tetap tersembunyi semakin sedikit. Ia harus memikirkan strategi untuk tetap menjaga identitasnya, sementara Elric semakin mendekati kebenaran.Saat latihan dimulai, Zidan kembali disertakan dalam tim yang sama dengan Daren, Kyro, dan Elric. Kali ini, mereka dihadapkan dengan simulasi pertahanan yang lebih kompleks, di mana mereka harus melawan tim yang dipimpin oleh instruktur yang lebih berpengalaman.“Zidan, kau akan bertarung melawan instruktur utama dalam simulasi ini,” kata instruktur dengan nada tegas. “Jaga stamina dan gunakan segala kemampuan yang ada.”Zidan menelan ludah, meskipun ia berusaha tetap tenang. Lawan kali ini jauh lebih kuat daripada yang sebelumnya. Instruktur yang akan ia lawan sudah terkenal akan kelihaiannya dalam bertarung, dan meskipun Zidan bisa mengandalkan pilnya untuk menutupi kekuatannya, ia tahu itu tidak
Zidan berdiri tegak di arena, menatap Elric yang masih terbaring di tanah dengan wajah yang penuh rasa ingin tahu. Meskipun ia telah memenangkan pertandingan itu, perasaan cemas mulai menyelinap ke dalam dirinya. Elric tidak bodoh, dan tatapan tajamnya sudah cukup untuk mengingatkan Zidan bahwa ia mungkin sudah mulai mencurigai sesuatu.“Apakah itu cukup untukmu?” Zidan bertanya dengan nada tenang, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.Elric, yang sudah bangkit dan menepuk debu dari pakaiannya, tersenyum samar. “Hanya untuk sekarang, Zidan. Tapi aku rasa kita akan bertemu lagi. Aku penasaran denganmu.”Sesuatu dalam diri Zidan merasakan ketegangan yang lebih dalam, seolah Elric sudah tahu lebih banyak dari yang seharusnya. Meskipun Zidan berusaha tetap tenang, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus menyembunyikan kekuatannya begitu saja. Setiap pertempuran, setiap tes yang ia jalani, semakin memperbesar risiko terungkapnya identitas dan kemampuannya sebagai seorang alkemis.Merek
Keesokan paginya, suasana akademi terlihat lebih sibuk dari biasanya. Para murid bergegas menuju aula utama, tempat semua pengumuman penting disampaikan. Zidan dan teman-temannya ikut berbaur di antara kerumunan, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.“Elric, kau tahu ada apa?” tanya Kyro, sedikit terengah setelah berlari.Elric menggeleng. “Tidak ada yang memberi tahu apa-apa. Tapi biasanya, jika ada pengumuman mendadak seperti ini, pasti sesuatu yang besar.”Ketika mereka sampai di aula, seorang pria tua berwibawa, mengenakan jubah ungu keemasan khas pengawas akademi, berdiri di atas panggung. Suasana hening ketika ia mulai berbicara.“Para murid,” suara pria itu menggema, “hari ini kami mengumumkan ujian kompetensi mendadak yang akan diadakan dalam waktu dua hari. Semua murid, tanpa kecuali, diharapkan untuk berpartisipasi.”Bisik-bisik memenuhi aula. Banyak yang terkejut, termasuk Zidan.“Ujian mendadak?” Daren terlihat panik. “Aku bahkan belum mempersiapkan apa-apa!”“Tena
Latihan pagi itu semakin menantang. Instruktur yang memimpin latihan adalah seorang pendekar senior bernama Varyn, yang terkenal dengan metode pelatihannya yang keras dan tanpa ampun. Varyn mengamati setiap gerakan mereka dengan tajam, seolah mencari celah terkecil dalam kekompakan tim.“Kalian harus lebih dari sekadar kelompok. Dalam medan perang, kalian adalah satu tubuh. Jika satu dari kalian gagal, maka semuanya gagal,” kata Varyn sambil melangkah di sekitar mereka. Suaranya yang dalam dan penuh wibawa membuat suasana semakin tegang.Zidan, Daren, Kyro, dan Elric berdiri dalam formasi. Mereka telah diberi misi sederhana untuk bertahan selama lima menit dari serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh para pengawal. Namun, rintangan yang mereka hadapi jauh dari sederhana.Serangan pertama datang tiba-tiba. Tiga pengawal melompat ke arah mereka, menyerang dengan tongkat kayu yang cukup berat. Zidan langsung bergerak ke samping, menghindari pukulan yang hampir mengenai kepalanya. Kyr
Setelah menyerahkan kristal di pos akhir, tim Zidan dinyatakan sebagai pemenang dari ujian pertama. Para instruktur mengumumkan hasilnya dengan suara lantang, dan murid-murid lain memandang mereka dengan berbagai ekspresi—kagum, iri, bahkan tidak senang.Daren berjalan dengan penuh kebanggaan, sesekali menepuk pundak Zidan. “Aku bilang juga apa? Kita ini tim yang hebat! Hah, lihat wajah mereka yang kalah!” katanya sambil tertawa lebar.Kyro hanya tersenyum tipis. “Kita beruntung bisa menyusun strategi dengan baik,” tambahnya sambil melihat ke arah Elric yang tampak lebih diam dari biasanya. “Bagaimana menurutmu, Elric? Kau juga banyak berkontribusi tadi.”Elric menoleh, pandangannya tetap tertuju pada Zidan seolah berusaha membaca sesuatu dari wajahnya. “Ya, tentu saja. Tapi satu hal menarik, gerakan Zidan tadi cukup… mengesankan. Seperti bukan gerakan seorang murid biasa, bukan?”Zidan merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, tapi ia menutupinya dengan senyum ringan. “Aku hanya b