Hans berjalan mantap di lorong-lorong benteng, sesekali menoleh ke belakang memastikan Zidan tetap mengikutinya. Di sepanjang perjalanan, ia menunjuk ke arah berbagai struktur dan menjelaskan dengan detail yang membuat Zidan terkagum-kagum."Zidan, perhatikan baik-baik," ujar Hans sambil menunjuk pintu baja besar di depan mereka. "Benteng ini memiliki tiga lapisan pertahanan utama. Lapisan pertama adalah gerbang luar. Di sinilah para penjaga kita berjaga sepanjang waktu. Meski terlihat sederhana, sistemnya sangat kuat. Setiap pintu dirancang untuk menahan serangan besar-besaran."Zidan mengangguk sambil mencatat penjelasan itu dalam ingatannya. "Apa yang membuatnya begitu kuat, Hans?"Hans tersenyum kecil, merasa bangga bisa memberikan penjelasan. "Gerbang ini terbuat dari baja hitam yang dilapisi dengan sihir pelindung yang dirancang oleh salah satu alkemis sebelum mereka diburu habis oleh Arzan. Jika musuh mencoba menyerang langsung, mereka akan menghadapi jebakan dan serangan otoma
“Terakhir, kau akan mengenali mereka dari cara mereka berbicara,” kata Hans sambil tersenyum. “Alkemis biasanya memiliki cara berpikir yang dalam dan penuh perhitungan. Mereka bisa menganalisis situasi dengan cepat dan sering kali memberikan solusi yang orang lain bahkan tidak terpikirkan.”Zidan terdiam sejenak, merenungi apa yang baru saja ia dengar. Ia mulai menyadari bahwa menjadi seorang alkemis bukan hanya tentang kekuatan atau kemampuan, tapi juga tentang bagaimana mereka membawa diri di tengah dunia yang penuh bahaya.“Tapi,” tambah Hans sambil menatap Zidan dengan serius, “kau juga harus hati-hati. Tidak semua alkemis adalah teman. Beberapa mungkin telah berpihak pada kekaisaran Arzan karena janji kekayaan atau kekuasaan.”Mata Zidan menyipit, rasa penasaran bercampur dengan kekhawatiran. “Jadi, kita tidak bisa mempercayai semua alkemis begitu saja?”“Benar,” kata Hans tegas. “Kau harus belajar mengenali siapa yang benar-benar di pihakmu dan siapa yang hanya berpura-pura. Tap
“Itu sebabnya kami mengandalkan informasi intelijen, seperti dari Kakek Suma. Jika ada tanda-tanda ancaman dari musuh, kita akan mengetahuinya lebih awal,” jawab Hans sambil berjalan lebih jauh ke arah pintu gerbang luar. Mereka berhenti di depan barikade yang tampak kokoh. “Di sinilah titik terakhir sebelum keluar dari lapisan luar benteng,” kata Hans. “Tapi untuk saat ini, kami tidak akan keluar. Aku hanya ingin kau mengerti bagaimana perlindungan di sini bekerja.”Zidan mengangguk. “Aku tidak menyangka bahwa strategi dan keamanan di benteng ini begitu rumit.”Hans tertawa kecil. “Seharusnya memang begitu. Kami tahu siapa yang kami hadapi. Kekaisaran Arzan dan Laskar Hitam tidak akan mudah menyerah. Tapi ingat, sekuat apa pun benteng ini, pada akhirnya, kekuatan individu seperti kau, Asmar, dan Kakek Suma juga sangat penting.”“Kenapa ada prajurit Arzan di sana?” tanya Zidan panik, matanya membulat saat melihat seseorang dengan seragam khas pasukan Arzan sedang berjalan di area lap
Hans sampai di perbatasan antara Kerajaan Arzan dan Arventia saat matahari mulai condong ke barat. Udara terasa tegang, seolah mengetahui betapa pentingnya perbatasan ini dalam menjaga kedamaian rapuh yang tersisa. Pasukan perbatasan Arventia tampak siaga di setiap sudut, memegang senjata mereka dengan erat. Di kejauhan, terlihat penjaga dari pihak Arzan, berdiri tegap dengan sorotan mata dingin dan waspada.Hans melangkah perlahan, memastikan tidak ada gerakan mencurigakan. Ia mendekati salah satu pos penjaga Arventia, seorang perwira dengan seragam kebiruan yang dikenalnya. “Bagaimana situasi di sini, Kapten Rivon?” tanya Hans sambil menatap pemandangan di seberang perbatasan.Kapten Rivon menghela napas panjang sebelum menjawab, “Cukup tenang untuk saat ini, tapi kami tahu ini hanya sementara. Pasukan Arzan telah meningkatkan patroli mereka. Mereka pasti sedang merencanakan sesuatu.”Hans mengangguk pelan. Ia tahu betul bahwa ketenangan di perbatasan ini hanya ilusi—Arzan terkenal
Malam itu, Zidan duduk di tepi jendela kecil di kamarnya. Angin dingin menyusup masuk, membawa suara hutan yang sunyi. Pikirannya dipenuhi gambaran tentang Laskar Hitam, bayangan hitam tanpa wajah yang terus menghantui benaknya. Tidak bisa tidur, dia memutuskan untuk menemui Asmar yang biasanya masih terjaga hingga larut.Saat Zidan mengetuk pintu kamar Asmar, suara lembut tetapi tegas menyambutnya. “Masuklah, Zidan. Aku tahu kau pasti punya banyak pertanyaan.”Zidan tersenyum tipis sebelum duduk di kursi dekat Asmar yang sedang memeriksa ramuan-ramuannya. “Aku tidak bisa berhenti memikirkan Laskar Hitam, Guru. Hans bilang mereka tidak terkalahkan. Bagaimana kita bisa melawan mereka?”Asmar meletakkan botol kaca di tangannya dan menatap Zidan dengan penuh perhatian. “Laskar Hitam adalah pasukan yang memang menakutkan, tapi ingatlah ini, Zidan: tidak ada yang benar-benar tak terkalahkan. Kunci untuk mengalahkan mereka adalah memahami kekuatan dan kelemahan mereka.”“Kelemahan?” Zidan m
Zidan duduk di dalam kamar kecilnya, menatap kosong ke arah meja tempat gulungan peta dan catatan latihan beladirinya tersimpan. Ia merasa tidak berdaya. Semua orang sibuk dengan tugas masing-masing: Hans dengan pengintaian, Asmar dengan racikannya, dan Kakek Suma yang entah sedang menghadapi apa di luar sana. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Hans masuk dengan raut wajah serius.“Zidan, kita perlu bicara,” kata Hans langsung ke intinya.Zidan berdiri, mencoba membaca ekspresi Hans. “Ada apa? Apa ini tentang Kakek Suma?”Hans menggeleng. “Belum ada kabar darinya, tapi aku punya firasat buruk. Pasukan patroli Arzan semakin mendekati batas wilayah kita. Mereka seperti sedang mencari sesuatu… atau seseorang.”Zidan menggigit bibirnya. “Apa kau pikir mereka mencari kita? Atau mungkin Kakek Suma?”“Mungkin keduanya,” jawab Hans dingin. “Kau harus tetap di dalam benteng. Kita tidak bisa mengambil risiko. Apalagi dengan kemampuanmu yang terus berkembang, kau menjadi target yang berharga.”“
Benteng mulai bergema oleh suara pertempuran. Para prajurit bertahan mati-matian melawan serangan brutal dari Laskar Hitam. Panah api menyala di udara, memecah gelapnya malam. Zidan dan Asmar berdiri di belakang Hans, menyaksikan kekacauan yang terjadi.“Asmar, kau harus menjaga Zidan,” ujar Hans sambil menghunus pedangnya. “Aku akan memimpin di garis depan!”Asmar mengangguk. “Jaga dirimu, Hans. Kami akan memastikan bagian ini tetap aman.”Zidan merasa gugup, tetapi ia meneguhkan hatinya. "Guru, apa yang harus aku lakukan?"Asmar menatapnya dengan serius. “Ini bukan waktunya untuk panik. Fokuslah. Ingat teknik yang telah aku ajarkan. Kau bisa membantu dengan energi penyembuhanmu di garis belakang, tapi jangan terlalu dekat dengan pertempuran.”Hans berlari menuju gerbang luar, memimpin pasukan dengan penuh keberanian. Laskar Hitam bukanlah pasukan biasa; mereka terlatih dan kejam, dengan taktik yang terorganisir.“Pertahankan posisi! Jangan biarkan mereka menembus dinding pertama!” t
Saat pagi menjelang dan mereka akhirnya mendapat waktu untuk beristirahat, seekor burung pos terbang rendah menuju benteng. Hans melihatnya dari kejauhan dan segera menangkapnya. Di kaki burung itu terdapat gulungan kecil berisi surat.“Ini dari Kakek Suma,” kata Hans dengan nada serius, langsung menyerahkan surat itu kepada Asmar.Asmar dengan cepat membuka gulungan itu, matanya membaca setiap baris dengan penuh perhatian. Raut wajahnya berubah serius, lalu ia menatap Zidan dan Hans.“Kabar ini penting,” kata Asmar akhirnya. “Kakek Suma berhasil mendapatkan informasi tentang aliansi antara Laskar Hitam dan Kekaisaran Arzan. Mereka benar-benar berencana menyerang benteng ini dengan kekuatan penuh.”Hans mengangguk, ekspresinya semakin tegang. “Aku sudah menduganya. Apa yang Suma katakan? Apa rencananya?”Asmar membaca lebih jauh. “Dia meminta kita bersiap. Kakek Suma akan membawa beberapa orang yang bisa membantu kita, tetapi dia butuh waktu untuk menyusup kembali.”“Berapa lama waktu
Keesokan harinya, suasana di akademi terasa semakin tegang. Latihan berikutnya adalah duel individu, sebuah kesempatan bagi setiap murid untuk menunjukkan kemampuan mereka di depan para pelatih dan pengawas. Zidan menyadari bahwa ini adalah ujian berat. Dia harus tampil cukup baik untuk tidak dicurigai lemah, tetapi tidak terlalu mencolok sehingga membahayakan penyamarannya. Saat giliran Zidan tiba, dia berdiri di tengah arena dengan napas tertahan. Lawannya adalah seorang murid bernama Rael, salah satu petarung yang dikenal agresif di akademi. Rael tersenyum lebar, menghunus pedang kayu yang terlihat sudah sering digunakan dalam duel. "Aku sudah mendengar desas-desus tentangmu, Zidan," kata Rael dengan nada mengejek. "Katanya kau cukup cerdik dalam taktik. Tapi kali ini, taktik saja tidak akan menyelamatkanmu." Zidan hanya tersenyum tipis, tidak menanggapi. Dia memegang pedang kayunya dengan sikap santai, tetapi matanya mengamati setiap gerakan Rael dengan teliti. Wasit membe
Pada malam yang sunyi, Zidan terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Suara angin yang berhembus pelan dari jendela yang terbuka sedikit memberikan ketenangan, tapi sesuatu yang lebih mengganggu pikirannya. Ia merasa seolah ada yang mengawasi, atau lebih tepatnya, ada sesuatu yang mengintai dalam kegelapan.Zidan bangkit perlahan, mencoba untuk tidak membangunkan teman-temannya yang sedang tidur di ranjang masing-masing. Ketika ia melangkah menuju jendela, ia melihat Elric berdiri di luar, tampak seperti menunggu sesuatu. Zidan merasa ada ketegangan yang tak biasa di antara mereka.Dengan hati-hati, Zidan mendekati Elric yang tampak tidak memperhatikan kedatangannya. "Elric," panggil Zidan pelan.Elric menoleh, terkejut sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Oh, Zidan. Kau terjaga juga?""Kenapa kau di sini?" tanya Zidan, mencoba tidak terdengar terlalu curiga."Aku tidak bisa tidur," jawab Elric dengan nada yang tidak biasa, agak datar. "Ada banyak hal yang aku pikirkan. Tentang kit
Elric berdiri di tepi jendela kamar mereka malam itu, pandangannya menerawang jauh ke luar. Cahaya bulan yang redup memantulkan bayangan murung di wajahnya. Kekejaman yang baru saja disaksikannya di aula utama membuat pikirannya terus bergolak. Ia menggenggam bingkai jendela dengan erat, mencoba menenangkan diri, namun rasa tidak nyaman semakin mencekiknya.“Apa yang mereka lakukan tadi… itu bukan keadilan,” gumam Elric dengan nada rendah, namun cukup keras untuk didengar oleh yang lain.Kyro, yang sedang duduk di tempat tidur, menoleh ke arahnya. "Apa maksudmu? Bukankah mereka bilang itu untuk menjaga keamanan kekaisaran?"Elric berbalik, matanya tajam menatap Kyro. "Keamanan? Itu lebih mirip teror. Membunuh tanpa belas kasihan di depan semua orang. Bagaimana itu bisa disebut sebagai keadilan?"Daren, yang sedang berbaring, mencoba menyela. "Tapi mereka adalah pengkhianat. Mereka melanggar aturan dan mencoba melawan kekaisaran. Kau tahu apa akibatnya jika ada yang mencoba melawan Arz
Malam tiba, dan suasana di asrama terasa lebih hening dari biasanya. Zidan duduk di ranjangnya, berpikir keras tentang langkah selanjutnya. Latihan hari ini jelas membuatnya menonjol, sesuatu yang justru ingin ia hindari. Namun, di sisi lain, kerja sama dengan timnya berjalan lebih baik dari perkiraannya. “Zidan,” suara Elric memecah kesunyian. Ia berdiri di dekat jendela, memandangi bulan yang menggantung di langit. “Aku harus mengakui, rencanamu tadi luar biasa. Tapi... aku masih merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan.”Daren, yang sedang berbaring dengan tangan di belakang kepala, tertawa kecil. “Elric, kau ini terlalu curiga. Zidan itu hanya pintar. Apa salahnya?”“Tapi kepintaran itu tidak sesuai dengan cerita yang ia sampaikan,” balas Elric sambil menatap tajam ke arah Zidan.Kyro, yang sedang asyik menggambar sesuatu di buku catatannya, ikut angkat bicara. “Elric, mungkin kau benar. Tapi, apa pentingnya? Zidan telah membantu kita, itu yang terpenting.”Zidan menarik napas pan
Keesokan harinya, Zidan merasa suasana semakin tegang. Elric tampak semakin intens mengawasi setiap langkahnya, dan Zidan tahu bahwa waktunya untuk tetap tersembunyi semakin sedikit. Ia harus memikirkan strategi untuk tetap menjaga identitasnya, sementara Elric semakin mendekati kebenaran.Saat latihan dimulai, Zidan kembali disertakan dalam tim yang sama dengan Daren, Kyro, dan Elric. Kali ini, mereka dihadapkan dengan simulasi pertahanan yang lebih kompleks, di mana mereka harus melawan tim yang dipimpin oleh instruktur yang lebih berpengalaman.“Zidan, kau akan bertarung melawan instruktur utama dalam simulasi ini,” kata instruktur dengan nada tegas. “Jaga stamina dan gunakan segala kemampuan yang ada.”Zidan menelan ludah, meskipun ia berusaha tetap tenang. Lawan kali ini jauh lebih kuat daripada yang sebelumnya. Instruktur yang akan ia lawan sudah terkenal akan kelihaiannya dalam bertarung, dan meskipun Zidan bisa mengandalkan pilnya untuk menutupi kekuatannya, ia tahu itu tidak
Zidan berdiri tegak di arena, menatap Elric yang masih terbaring di tanah dengan wajah yang penuh rasa ingin tahu. Meskipun ia telah memenangkan pertandingan itu, perasaan cemas mulai menyelinap ke dalam dirinya. Elric tidak bodoh, dan tatapan tajamnya sudah cukup untuk mengingatkan Zidan bahwa ia mungkin sudah mulai mencurigai sesuatu.“Apakah itu cukup untukmu?” Zidan bertanya dengan nada tenang, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.Elric, yang sudah bangkit dan menepuk debu dari pakaiannya, tersenyum samar. “Hanya untuk sekarang, Zidan. Tapi aku rasa kita akan bertemu lagi. Aku penasaran denganmu.”Sesuatu dalam diri Zidan merasakan ketegangan yang lebih dalam, seolah Elric sudah tahu lebih banyak dari yang seharusnya. Meskipun Zidan berusaha tetap tenang, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus menyembunyikan kekuatannya begitu saja. Setiap pertempuran, setiap tes yang ia jalani, semakin memperbesar risiko terungkapnya identitas dan kemampuannya sebagai seorang alkemis.Merek
Keesokan paginya, suasana akademi terlihat lebih sibuk dari biasanya. Para murid bergegas menuju aula utama, tempat semua pengumuman penting disampaikan. Zidan dan teman-temannya ikut berbaur di antara kerumunan, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.“Elric, kau tahu ada apa?” tanya Kyro, sedikit terengah setelah berlari.Elric menggeleng. “Tidak ada yang memberi tahu apa-apa. Tapi biasanya, jika ada pengumuman mendadak seperti ini, pasti sesuatu yang besar.”Ketika mereka sampai di aula, seorang pria tua berwibawa, mengenakan jubah ungu keemasan khas pengawas akademi, berdiri di atas panggung. Suasana hening ketika ia mulai berbicara.“Para murid,” suara pria itu menggema, “hari ini kami mengumumkan ujian kompetensi mendadak yang akan diadakan dalam waktu dua hari. Semua murid, tanpa kecuali, diharapkan untuk berpartisipasi.”Bisik-bisik memenuhi aula. Banyak yang terkejut, termasuk Zidan.“Ujian mendadak?” Daren terlihat panik. “Aku bahkan belum mempersiapkan apa-apa!”“Tena
Latihan pagi itu semakin menantang. Instruktur yang memimpin latihan adalah seorang pendekar senior bernama Varyn, yang terkenal dengan metode pelatihannya yang keras dan tanpa ampun. Varyn mengamati setiap gerakan mereka dengan tajam, seolah mencari celah terkecil dalam kekompakan tim.“Kalian harus lebih dari sekadar kelompok. Dalam medan perang, kalian adalah satu tubuh. Jika satu dari kalian gagal, maka semuanya gagal,” kata Varyn sambil melangkah di sekitar mereka. Suaranya yang dalam dan penuh wibawa membuat suasana semakin tegang.Zidan, Daren, Kyro, dan Elric berdiri dalam formasi. Mereka telah diberi misi sederhana untuk bertahan selama lima menit dari serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh para pengawal. Namun, rintangan yang mereka hadapi jauh dari sederhana.Serangan pertama datang tiba-tiba. Tiga pengawal melompat ke arah mereka, menyerang dengan tongkat kayu yang cukup berat. Zidan langsung bergerak ke samping, menghindari pukulan yang hampir mengenai kepalanya. Kyr
Setelah menyerahkan kristal di pos akhir, tim Zidan dinyatakan sebagai pemenang dari ujian pertama. Para instruktur mengumumkan hasilnya dengan suara lantang, dan murid-murid lain memandang mereka dengan berbagai ekspresi—kagum, iri, bahkan tidak senang.Daren berjalan dengan penuh kebanggaan, sesekali menepuk pundak Zidan. “Aku bilang juga apa? Kita ini tim yang hebat! Hah, lihat wajah mereka yang kalah!” katanya sambil tertawa lebar.Kyro hanya tersenyum tipis. “Kita beruntung bisa menyusun strategi dengan baik,” tambahnya sambil melihat ke arah Elric yang tampak lebih diam dari biasanya. “Bagaimana menurutmu, Elric? Kau juga banyak berkontribusi tadi.”Elric menoleh, pandangannya tetap tertuju pada Zidan seolah berusaha membaca sesuatu dari wajahnya. “Ya, tentu saja. Tapi satu hal menarik, gerakan Zidan tadi cukup… mengesankan. Seperti bukan gerakan seorang murid biasa, bukan?”Zidan merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, tapi ia menutupinya dengan senyum ringan. “Aku hanya b