"Tidak, apa yang anda akan lakukan pada saya, Pak Rama?" rengek Rinaldi. Namun dua orang lelaki itu langsung memegang lengannya dan menariknya hingga berdiri. Tangan Rinaldi kemudian dicekal dan dikunci dengan borgol plastik. "Ini barang buktinya, Mas." Tara menyerahkan dokumen merah, Mas Rama membuka dan ia langsung tersenyum. "Transfer uang perusahaan senilai 1,3 milyar ke sejumlah orang yang dilaporkan sebagai client, tapi nyatanya client fiktif. proyek fiktif, pesanan fiktif. Ini jelas kasus pencucian uang, suadara Rinaldi!" "A-apa? Dari mana anda tahu?" "Ah, jangan bodoh Rinaldi. Aku? Hal seperti ini saja tidak tahu?" Mas Rama menunjuk dirinya sendiri, lalu menghempaskan map itu ke atas meja. "Si*lan kamu Rama! Kamu pura-pura miskin dan jadi orang lain hanya untuk mencari tahu semua ini, 'kan?" "Memang sih." Aku menjawab, sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. "Ini semua rencana Mas Rama." Rinaldi tak berkutik dalam penjagaan dua anak buah Mas Rama. Matanya menatap taja
Aku terjebak dalam ruangan dekan genit, buaya cap kelinci hutan yang sudah diujung syah**tnya saat menatapku. Jantungku berdegup tiada hentinya setelah kulayangkan tamparan sekeras padanya. Ia meringis sebentar, tapi kemudian matanya nyalang dan bengis.Tuhan, apa yang akan ia perbuat padaku? Selamatkan aku, Tuhan. Tanganku perlahan meraih ponsel untuk menelepon Mas Rama. Namun tangan Pak Dekan langsung menyambar ponsel yang kukeluarkan dari tas. Aku menarik tangan sehingga sambarannya tak mengenai ponselku."Mau hubungi siapa, hah?" Lelaki berambut tipis itu menyeringai."Kamu cuma saya minta pegangan tangan gak mau, kalau begitu sekarang saya terpaksa memaksa kamu untuk ciu-"" terusnya."Sadar, Pak! Bapak orang terhormat." "Hahaha. Kita nikmati saja."Tok tok tok. Suara pintu diketuk.Tok tok tok! Lebih keras.Semoga seseorang masuk dan aku selamat. Semoga. Tuhan, kirimkan orang lain untuk mengeluarkanku dari sarang buaya ini.Tok tok tok! Sekali kagi. "Kamu masih beruntung, Cinta
"Lov!?" panggil Mas Rama.Jangan cuma panggil Mas. Nggak bakal aku toleh sampai suaramu kering pun. Kejar, Mas, kejar aku.Mas Rama mengejarku yang sudah lima meter di depannya. Seiring terus berjalan, mobil putih berlogo Honda itu pun berlalu, dan Ulya sempat menyapa Mas Rama pula dari dalam mobil."Lov? Kamu marah ya?"Aku diam saja dan terus berjalan di trotoar. Mas Rama meraih tanganku, kutepis. Aku duduk di sebuah bangku pinggir trotoar tepat dibawah pohon yang agak rindang. Beberapa kendaraan berseliweran di depanku.Mas Rama menghampiriku dan mencoba memegang tanganku lagi. Kutarik tanganku yang tadi kuletakkan di atas paha.Pandang kubuang jauh menerawang. Bibit kugigit."Hei, cewek?" goda Mas Rama sambio tersenyum. Rupanya ia sudah mengambil setangkai bunga yang mungkin ditanam di samping trotoar. Bunga daisy. Aku masih tak acuh pada Mas Rama. Kesalku bertalu-talu riuh dalam dada. Liar seperti genderang perang bangsa Troy melawan Spartan."Ya udah kalau gitu aku nyanyi," kat
"Ada apa lagi, Cinta?" tanya Ibu seperti sinis saat aku datang ke rumahnya. Ibu tak beranjak dari sofa saat aku masuk."Menjenguk Mbak Kasih, Bu. Sekalian silaturahim. Ini Cinta bawa makanan untuk buka." Aku mengangkat plastik berisi makanan takjil, dan lauk-pauk dari rumah makan padang paling terkenal.Sebelum sempat kemari, kami sengaja membeli makanan di toko kue dan mampir ke rumah makan Padang favorit Mas Rama. Mas Rama yang memintaku untuk membelikan banyak makanan agar bisa jadi santapan buka di rumah Ibu."Iya gitu dong, kalau kesini itu bawa makanan," lugas Ibu. Aku meraih tangan Ibu dan ia tak menepis seperti sebelumnya. Ia biarkan tangannya kucium."Rama, sebenarnya kamu kerja di mana sih? Kok penampilannya rapi sekarang, terus bawa mobil bagus lagi." Ibu melirik mobil Mercedes Mas Rama yang terparkir di samping mobilnya."Di kantor, Bu. Baru mau bekerja di Lovamedia." Mas Rama"Ooh, syukurlah kalau begitu. Jadi kamu nggak harus menyusahkan anak saya, Cinta.""Saya tidak ak
Robert menarik tanganku lalu menodongkan pistol itu tepat di kepalaku."Jangan macam-macam, Rama! Atau dia kutembak."Aku berteriak namun Robert lekas membentakku untuk diam. Seketika aku meredam suaraku karena ketakutan."Jangan sakiti Cinta kalau anda tidak mau menyesal seumur hidup.""Kalau begitu biarkan saya pergi. Jika tidak, malam ini anda tidak akan melihat istri anda lagi.""Perintahkan anak buah anda di depan untuk tidak melakukan tindakan apapun terhadapku kalau Cinta mau selamat," ancam Robert lagi."Licik anda!""Anda baru tahu ternyata. Jangan harap anda dapat mengalahkan kami. Ayah anda saja kami habisi. Apalagi anda yang masih bau kencur.""A-apa? Jadi kalian lah yang menyebabkan Papa kecelakaan?""Hahaha. Rama, Rama. Jangan terlalu polos, mana ada kecelakaan seperti itu tak sengaja. Semua sudah direncanakan oleh bos kami."Mata Mas Rama berubah nyalang dan tangannya menggenggam erat. Nafas Mas Rama kembang kempis, ada emosi super besar yang keluar dari auranya.Jantun
"Anti yang kuat, pasti Mas Rama nggak kenapa-kenapa. Habis teraweh ana sama Mas Zaky insyaAllah ke rumah sakit ya.""Syukran, Ai.""Ya udah, jangan banyak nangis. Nanti ana hubungi lagi. Assalamu'alaikum."Sedekah? Benar kata Aidhan. Bukankah sedekah dapat memperlambat ajal? Bukankah ada haditsnya tentang seorang pemuda yang akan dicabut nyawanya, namun malaikat Izrail menundanya hingga puluhan tahun ke depan, hanya karena orang itu bersedekah.Kubuka rekening, kutransfer tiga ratus juta ke rekening pesantren yatim piatu Al-Mahabbah. Beberapa ratus juta lainnya juga kutransfer ke yayasan lain. Rekeningku terkuras. Semoga dapat menjadi wasilah kesembuhan Mas Rama.Aku kembali ke depan ruang IGD dimana Bunda, Tara dan Rendra masih menunggu. Lima belas menit kemudian, seorang perawat menyeru."Keluarga Bapak Panorama Angkasa?"Bunda dan aku segera mendekati perawat itu."Saya istrinya, Sus.""Bapak Panorama akan segera dipindahkan ke ruang perawatan, silakan bagi keluarga untuk mengurus
Aku masuk."Selamat pagi, Bu Cinta," seru seseorang mengenaliku membuat aku menoleh seketika. Perempuan berpakaian biru muda senada dengan suasana kantor, dengan bawahan hitam dan high heels itu langsung menghampiriku.Sepintas aku ingat, memang sepertinya aku pernah bertemu dengannya, tapi aku lupa dimana. Setelah melihat nametag di dadanya baru aku sepenuhnya tahu kalau ia adalah Clara, resepsionis di Rama Corps. Aku bertemu dengannya seminggu lalu saat aku dicekoki Brian dan Mei."Clara, apa kamu dipindah ke sini?" tanyaku."Benar, Bu. Karena ini perusahaan di bawah Rama Corps juga dan saya dimutasi. Ibu datang dengan Pak Rama?" "Clara, jangan bilang ke siapa pun kalau saya istri Pak Rama. Saya mau ngelamar kerja di sini. Hari ini mau wawancara dengan HRD."Mendengar permintaanku, kening Clara langsung mengernyit. "Maksudnya apa, Bu?""Saya mau, tidak ada karyawan yang memperlakukan saya berbeda. Saya mau belajar bekerja profesional, itu saja, Clara. Tolong ya."Clara mengangguk d
Cletak! Ponselku terpelanting ke lantai ketika ditabrak seorang wanita muda. Dari nametag yang tertulis di dadanya, aku tahu namanya adalah Dewi.Suara ketukan sepatu mendekatiku dan Dewi. Saat aku menolah ke belakang, rupanya Mas Rama yang datang dan memungut ponselku. Ia kemudian membantuku berdiri dan memberikan ponsel itu padaku."Lain kali hati-hati," ujar Mas Rama seraya meletakkan ponsel di tanganku. Ia kemudian berjalan menjauhi kami tampa sepatah kata lain.Ada perasaan aneh yang menyelimuti kalbuku saat melihat sikap dingin Mas Rama, karena selama ini ia selalu hangat dan romantis. Tak apa, ini semua ia lakukan karena di kantor aki tak mau dikenal sebagai istrinya. Tetaplah begitu, Mas."Pak Rama," tutur Dewi, "saya minta maaf."Mas Rama menoleh dan tersenyum tipis sekali. Lalu kembali berjalan menjauhi kami. Beberapa orang berlalu lalang ketika Dewi memunguti kertas yang masih berserakan."Ini semua gara-gara kamu. Saya jadi terlihat payah di depan direktur." Dewi berbicara
PEMUKIMAN itu rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing yang terlanjur menjadi arang dan abu. Asap masih mengepul di beberapa bagian pagi itu. Katanya, kebakaran dimulai sejak semalam hingga pagi ini baru bisa dipadamkan.Lima belas unit mobil pemadam kebakaran tak cukup, dikerahkan lagi tujuh bantuan pemadam. Itu pun petugas dibantu warga masih kewalahan dalam bertarung dengan si jago merah. Susahnya akses masuk mobil jadi sebab utama. Pun rumah yang berdempetan membuat api tertawa ria mengejek dari jauh, membesar sesuka hati.Aku terpaku saat turun dari mobil.“Rumahnya, ludes.” Ruki bergumam.Aku hanya menggeleng pelan, tak dapat mengucap sepatah kata pun. Mas Rama pun hanya terdiam, menatap sendu.Nun di sebelah sana, ratusan pasang mata hanya dapat menyaksikan rumah mereka dilalap api. Pasrah tak dapat menyelamatkannya. Barangkali hanya satu-dua barang yang bisa diamankan, termasuk baju yang terpakai di badan.Tak banyak yang dapat disaksikan selain isak tangis dari ibu-
“TOTAL biaya tanggungan utang warga kampung Tanjung Kawan sebesar 1,7 milyar, Pak. Terlalu besar untuk dana CSR, atau mungkin kalau Bapak sendiri yang ingin membiayai dulu.” Rendra menyerahkan hitungan utang pemukiman yang berbentuk sebundel laporan itu.“Terlalu besar, Mas.” Tara menimpali.“Tapi gimana, Ra? Kasihan mereka.”“Yah, memang sebenarnya bukan tanggung jawab kita. Itu murni kesalahan mereka sendiri yang sudah berani berutang. Tapi, aku tahu kalau Mbak Cinta sudah niat bergerak ya mau gimana lagi. Aku siap support aja.”Siang itu kami kaman bersama di sebuah café tak jauh dari Aurora Corporation. Bosan makan di dapur umum kantor, kami ingin mencari suasana baru. Café bernuansa alam di jalan Ahmad Yani itu tak terlalu ramai, masih nyaman untuk dikunjungi.Mas Rama masih berpikir. “Mungkin kalau semua CSR dari perusahaan client dikumpulkan, bisa membantu setidaknya.”“CSR perusahan client?” tanyaku tertarik.“Eh, Sayang, makan dulu pastanya. Kamu lagi hamil nanti calon bayiny
“PAK Rama jemput?” tanya Fresha di dalam mobil. Hari sudah mulai sore. Aku dan Mas Rama berjanji untuk bertemu di suatu tempat dan kami akan menuju dokter kandungan. Dokter Meity.“Iya. Sebentar lagi sampai.” Aku sibuk memainkan ponsel, tak menatap pada Fresha.Sudah lima menit aku menuggu Mas Rama di tempat yang disepakati. Pukul 16.05 di arlojiku.Lima menit kemudian, sebuah mobil Mercedes hitam sampai di tempat itu. Melihat mobil Mas Rama itu aku berpamitan pada Fresha dan Dennis. Mas Rama membukakan pintu mobil seperti biasa.“Telat sepuluh menit. Eh, sebelas.” Aku menatap arloji.Mas Rama malah mencubit pipiku dan menariknya.“Auu.”“Shalat ashar dulu, Sayang.”“Iya. Cepetan ke praktek Bunda Meity.”Mas Rama tancap gas. Di perjalanan ia memandangiku dengan tatapan aneh. Alisnya sering terangkat dua kali seperti menggoda. Tapi aku tak tahu maksudnya apa. Entahlah, lelaki kadang memang tak dapat dimengerti. Makhluk aneh.“Jadi mual dan muntah tadi?”“Hmm.”“Kenapa?” Mas Rama malah
SUASANA rumah Bejo mendadak tegang ketika aku mulai tak senang dengan aturan yang ia terapkan semena-mena. Betapa tidak, utang yang awalnya hanya lima juta meranak-pinak jadi 10 juta dalam tiga bulan.Bukan hanya itu, utang itu pun mengganda ketika yang membayar bukan orang yang bersangkutan.“Ini buktinya. Silakan periksa saja. Semua jelas tertulis di perjanjian utang-piutang itu.” Bejo tersenyum mnyeringai. Bibirnya terangkat sebelah tanda ia merasa menang telak.Kuraih kertas yang Bejo letakkan di atas meja. Nama Marsudi tertera sebagai salah satu pihak penanda tangan kontrak. Kubaca lekat-lekat agar tiada satu kata pun terlewat. Sampai ujung tanda-tangannya kubaca, perkataan Bejo ternyata memang benar adanya. Perjanjian itu ditandatangani di atas materai. Kubaca dengan seksama tiap kata dan kupahami maksudnya betul-betul. Tapi mungkin Fresha sebagai sekretaris lebih paham apa isinya. Maka kusodorkan padanya.Fresha meneliti surat perjanjian itu beberapa detik.“Benar, Bu Cinta. Di
“Kali ini biarkan aku mengurus ini, Mas. Aku nggak mau terus-terusan bergantung sama kamu. Aku mau mandiri.”Mas Rama malah berdecak kesal. “Kamu mau hadapin si Joko itu sendiri?”“Kana da Dennis, Setya, Anzu sama Rizal yang aku bawa. Kalau keamanan kamu gak usah khawatir. Kamu fokus aja sama kerjaan. Lagian perusahaan ‘kan lagi berkembang sekarang. Kasihan kamunya kalau pecah fokus.”“Yah mau gimana lagi.”“Boleh Mas ya?”“Boleh,” jawab Mas Rama pelan. “Proposal untuk CSR renovasi rumahnya udah selesai?”“Udah.” Aku mengeluarkan sebundel kertas dan menyodorkan di atas meja kerja Mas Rama. Ia kemudian membuka proposal itu dan membacanya sekilas tiap lampirannya. Suara pintu diketuk. Mas Rama mempersilakan seseorang yang mengetuk pintu itu untuk masuk. Dennis dengan jas abu-abu dan tampilan yang klimis pun beranjak ke ruangan itu.“Saya hari ini menemani Bu Cinta untuk menyelesaikan masalah kemarin, Pak.” Dennis melapor di depan Mas Rama. Mas Rama meletakkan proposal yang dibacanya di
BRAK! Suara sesuatu ditendang keras. Aku dan Sonar yang terkejut serentak menoleh ke luar pintu. Seorang lelaki bertubuh besar tinggi, dengant tato di lengan atas, berbaju tanpa lengan, bercelana jeans, datang dengan wajah bengis.“Pak Tua! Sampai kapan mau nunggak utang!” lanjutnya.Kakek yang sibuk membantu istrinya duduk pun terkesiap. Ia berjalan mendekati pintu dimana lelaki itu berada.“Maaf, Mas Joko, saya belum punya uang.” Suara rintih itu terdengar sangat memelas.“Halah, aku gak peduli ya!” bentak lelaki bernama Joko itu.“Tapi saya harus bayar pakai apa?” Kakek memohon.“Apa aja. Mana sertifikat tanah ini?”“Jangan, Mas Joko. Kami tidak punya apa-apa lagi.”“Aku gak peduli. Utangmu udah sepuluh juta!”Joko mendorong tubuh Kakek hingga ia termundur beberapa langkah. Kakek yang tubuhnya masih terluka itu memegangi perut karena merasa sakit. Ia tersentak kaget.“Ini siapa?” tanya Joko menunjuk ke arah kami. “Wanita cantik ini anakmu?” lanjutnya.“Bu-bukan. Mereka cuma tamu.”
RUKI ternganga melihat aku membawa setumpuk sisa penjualan korannya tadi pagi. Apa lagi kuletakkan selembar uang seratus ribu, barangkali ia tak menyangka. Orang yang ia sakiti membalasnya dengan kebaikan.“Cinta!” panggilnya sambil berdiri dari kursi pajang pinggir jalan itu.“Iya?” Aku berhenti. Tanpa balik kanan menoleh padanya.“Terima kasih.” Matanya berkaca-kaca.“Aku tunggu di Lovamedia.” Kujawab sambil tersenyum, membuat matanya yang kian basah tak mampu membendung air mata yang titik setetes. Senyumnya terkembang di ujung bibir.Aku pun beranjak melewati trotoar hingga sampai di seberang minimarket. Setelah menyeberang dengan hati-hati aku masuk ke mobil dan Setya menjalankan mobil kembali.“Untuk apa bawa setumpuk koran?” tanya Mas Rama yang heran ketika kubawa tumpukan koran itu masuk ke mobil.“Nanti pasti ada gunanya. Mungkin bagi kita sampah, tapi bagi orang lain bisa jadi berkah.”Mas Rama menggeleng sambil tersenyum tipis.Mungkin sekitar lima belas menit kemudian kami
KETIKA sedang menghirup udara segar pagi itu di jalanan kota Lombok, perkataan Mas Rama mengingatkanku pada sesuatu. Barangkali wanita yang hilang itu berada di dalam kasur!Mengapa kupikir demikian?Pertama, saat aku berbaring di atas kasur di kamar itu rasanya keras dan tak nyaman sama sekali. Kedua, barang-barang yang kutemukan di sudut ruangan yang merupakan segulung tali seperti benang dan jarum yang tertancap di tanaman hias. Alat untuk menjahit.Sementara potongan kain yang kudapatkan di dalam tong sampah tak lain adalah isi dari kasur yang dikeluarkan. Yang berkemungkinan pula sebagian besar isinya itu telah dimasukkan ke koper bersama pakaian kotor.“Mungkin aja sih, Lov. Boleh juga insting detektif kamu.” Jawaban Mas Rama saat kuberi tahu pendapatku tentang hilangnya wanita itu. “Kasih tahu polisi yang jaga.”“Kembali lagi ke hotel?”“Iya.”“Ya udah, ayo.”Kami yang kembali lagi ke hotel. Mas Rama menunggu di depan pintu masuk hotel sementara aku menuju lobi dimana dua orang
RUANGAN lobi jadi tempat berkumpul semua penghuni hotel. Sementara meja salah satu ruang di lantai bawah dijadikan ruang interogasi oleh para polisi. Pertama, lelaki yang berhubungan dengan si wanita yang hilang itu diberondong pertanyaan.“Maaf, saya dengar Ibu langsung berkontak dengan lelaki itu.” Seorang lelaki berpakain polisi menegurku ramah. “Bolehkah kami mewawancarai di ruangan sana?”Aku yang berdiri sambil menyilangkan tangan menjawab, “Ya.”Kemudian aku mengekor di belakang lelaki itu dan ikut masuk ke dalam ruang interogasi.“Sejak jam berapa anda di hotel ini?” pertanyaan pertama setelah nama da nasal.“Sejak pukul lima kira-kira.”Mungkin yang bertanya itu adalah seorang detektif. Cepat ia mencatat jawabanku sambil mengangguk pelan.“Bersama siapa?”“Suami.”“Jadi anda berada di kamar 304?”“Ya.”“Malamnya anda sempat pergi keluar, lalu saat kembali anda sempat berkomunikasi dengan pria ini?” Detektif itu menunjukkan sebuah foto yang tak lain dan tak bukan adalah pria y