Mari lupakan fakta bahwa ia terdampar ke dimensi— ah, dunia lain, atau apapun itu. Nyatanya saat ini Airélle sedang sibuk mengamati dan mengagumi setiap inci bangunan dari akademi megah yang dipijakinya.
Pemandangan segar, suasana asri, bangunan megah— tinggi menjulang juga sangat luas, sentuhan ornamen unik yang khas. Airélle tidak pernah menemukan tempat seperti ini di Chicago. Satu-satunya yang ada di bayangannya adalah film adaptasi dari fiksi karangan J. K. Rowling. Oh tunggu, apa dia akan bertemu Harry Potter di sini?
Terlalu asyik melamun membuat Airélle terperanjat kecil saat Mr. Ernest mengetuk sebuah pintu kaca— bukan kaca polos, ah, bagaimana menjelaskannya. Seperti ada pantulan air dari kolam di pintu kaca itu, mengesankan.
Setelah mendengar sahutan dari dalam, Mr. Ernest memberi kode agar Airélle mengikutinya masuk ke dalam ruangan itu.
“Dia memiliki keistimewaan seperti kita, jadi saya berpikir untuk membawanya ke akademi.” ujar Mr. Ernest tanpa basa-basi kepada seorang pria yang tengah sibuk dengan setumpuk kertas di mejanya.
“Dari mana ia berasal?”
Pertanyaan pria itu membuat Airélle mengerjap. Bagaimana ia menjawabnya? Dari Bumi? Oh tunggu, memangnya di planet mana sekarang ia berada? Dari dunia manusia? Tunggu, tunggu! Memangnya mereka bukan manusia? Cukup, Airélle pusing sekarang.
“Dia bilang, dia tersesat.” Mr. Ernest akhirnya menjawab.
Pria itu berhenti berkutik dengan kertas, dan menoleh ke arah Mr. Ernest. “Tersesat? Bagaimana jika dia dari Hellger?”
“Penduduk Hellger...” Mr. Ernest menyahut cepat. “...tidak dapat menemukan akademi.”
“Baiklah.” Pria itu mengangguk dua kali. Kemudian menatap intens pada Airélle. “Elemen apa yang kau punya?”
“Eh?” Airélle spontan tergagu. Elemen? Apanya yang elemen! Dia adalah manusia normal, manusia biasa yang hanya menggunakan energi untuk beraktivitas sehari-hari.
“Itulah, Mr. Vorded, dia... berbeda.”
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ 。 。 。
Airélle turut berhenti saat Mr. Ernest yang memimpin jalannya berhenti melangkah di depan sebuah pintu— tepatnya kamar asrama dengan ukiran angka 912. Sejujurnya ia masih merasa mual karena tadi berteleportasi hingga ke lorong dekat elevator lantai 20.
“Ini adalah kamar asramamu.” pria dewasa itu berujar. “Suatu kebetulan kau datang tepat saat tahun ajaran baru akan dimulai. Semua seragam dan peralatan belajarmu sudah tersedia.”
Airélle bergerak sedikit gelisah, hingga akhirnya kalimat itu ia lontarkan. “Tidak bisakah Anda memulangkanku saja?”
Mr. Ernest mengernyit. “Dimana rumahmu?”
“Di Chicago....” balas Airélle pelan.
“Chi... apa? Dimana itu?”
“Tempat ini yang dimana?” Airélle bertanya dengan sedikit jengkel. Oh Tuhan, bahkan mereka berbicara dengan bahasa Inggris. Kepala Airélle benar-benar ingin meledak setelah mengalami semua ini.
Dia benar-benar seperti terdampar, entah ke dimensi atau dunia lain. Airélle tidak mengerti hal semacam ini. Dia bukan Aurora atau Donna yang tidak pernah tertinggal setiap seri karya dari J. K. Rowling mengenai dunia sihir.
“Ini di Negeri Fantasia, sudah kukatakan bukan?”
Airélle menghela napas berat. “Baiklah, terserah.” dia menyerah. Ia pikir untuk sementara ia bisa tinggal di asrama akademi ini sambil mencari cara agar pegasus di bandul kalungnya kembali berwujud dan harus mengantarkannya pulang ke Chicago. Atau mungkin dengan cara lain apapun itu.
Mr. Ernest tersenyum tipis. Sebenarnya ia juga memiliki banyak pertanyaan tentang asal-usul remaja yang berhadapan dengannya, namun ia urungkan. Selama Airélle tidak memiliki aura kejahatan, pikirnya semua itu tidak masalah.
Lantas Mr. Ernest mengetuk pintu kamar asrama itu beberapa kali. Tidak butuh waktu lama, pintu tersebut terbuka. Seorang gadis berpakaian kasual dengan rambut ikat ekor kuda muncul di balik pintu.
“Oh, selamat malam Mr. Ernest, ada apa?”
“Selamat malam.” Mr. Ernest membalas. “Aku mengantarkan teman sekamar kalian.”
Perhatian gadis itu teralih ke Airélle, seakan baru menyadari eksistensi gadis dengan rambut silver itu. Gadis berkuncir itu tersenyum pada Airélle. Dan dengan sedikit kikuk, Airélle membalas dengan senyuman pula.
Mr. Ernest menoleh pada Airélle. “Jika kau kebingungan atau ingin bertanya, tanyakan pada teman sekamarmu. Mereka akan membimbingmu.” katanya, kemudian ia beralih pada si kuncir kuda. “Aku akan pergi, tolong bimbing dia.”
Tepat setelah Airélle dan gadis berkuncir kuda itu mengangguk mengiyakannya, Mr. Ernest berteleportasi pergi dari sana.
“Hey, ayo masuk.” ajak si kuncir kuda.
Airélle melangkah masuk ke dalam kamar tersebut, bertepatan dengan itu seseorang baru saja keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamar.
Manik oranyenya berbentur tatap dengan manik Airélle. “Siapa dia, Kareen?” tanyanya spontan pada teman sekamarnya.
“Teman sekamar kita. Tadi Mr. Ernest mengantarkannya.” si gadis berkuncir menjawab. Ia mendudukkan dirinya di salah satu meja belajar minimalis di sana. Setelahnya, ia tersenyum bersahabat pada Airélle. “Namaku Kareen Flowxyelle, ah, elemenku Elf. Dan dia Amatera Aurin, pengendali elemen api matahari dan cahaya.”
Airélle mengatupkan bibirnya mendengar perkenalan dari Kareen. Ia berdehem singkat sebelum mulai memperkenalkan dirinya juga. “Aku... Namaku Airélle Panemorfi.”
“Apa elemenmu?” Amatera bertanya sambil mengeringkan rambut pirang keemasannya dengan sedikit kekuatannya.
Airélle menghela napas berat. “Ya, itu masalahnya. Aku ini manusia murni, yang terlahir tanpa elemen.”
ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤ〔 TO BE CONTINUE 〕
ㅤ
Airélle terbangun karena suara jam weker milik teman sekamarnya berbunyi. Ia mengusak matanya, membiasakan cahaya memasuki retina matanya.“Pagi, Airélle!” Kareen menyapa. “Mau mandi duluan?”Dengan keadaan belum sepenuhnya sadar dan masih diliputi kantuk, Airélle pun menganggukkan kepalanya setuju. Dia berjalan sedikit terseok menuju kamar mandi.Beberapa waktu setelah Airélle memasuki kamar mandi, Amatera keluar dari ruangan walk-in closet dengan tubuh yang sudah terbalut seragam lengkap dari akademi.“Oww, kau sangat keren, Ame!” puji Kareen.Amatera tersenyum tipis. “Aku tahu itu.” katanya, lalu ia melangkah ke arah ranjangnya untuk dirapikan.“Ame,” Kareen memanggil. “Apa benar, ya, Airélle tidak memiliki elemen?” seketika suara Kareen memelan.Tangan Amatera berhenti dengan aktivitasnya. Ia juga memikirkan hal mengganjal te
Para murid kelas 1A berhambur keluar dari kelas Herbiologi, mereka kini berbondong-bondong menuju gedung kelas elemen.Di saat para murid terlihat antusias untuk menunjukkan elemen-elemen mereka, berbeda dengan Airélle yang merasa khawatir dan tidak nyaman. Kareen bahkan Amatera pun turut mencemaskan gadis itu.“Mungkin Mr. Radolf akan memberitahu bagaimana cara memunculkan elemenmu, Airélle.” ujar Kareen, berusaha menenangkan.Tapi Airélle tidak mengindahkannya. Pikirnya, ia adalah manusia biasa. Ia berbeda dengan orang-orang di sini. Ia tidak memiliki elemen apapun, tentu saja.Mereka memasuki ruangan luas, seperti lapangan di dalam ruangan. Terdapat kursi-kursi di tepi ruangan, menyisakan ruang luas di tengah.“Selamat siang. Silakan duduk terlebih dulu.” pria dewasa yang terlihat masih muda dan bugar itu berbicara di kursi khusus yang melayang di depan ruangan.Murid-murid pun berhambur untuk
Airélle terlalu sibuk tenggelam dengan pikirannya sendiri sampai tidak memerhatikan sekitarnya.Semua terjadi begitu cepat begitu saja. Lyra yang seharusnya menyerang manekin buatan Mr. Radolf justru mengarahkan elemen airnya pada gadis dengan rambut light blonde itu, Airélle.Dan secepat itu juga, air Lyra dibekukan seorang pengendali es abadi, tepat di depan mata Airélle yang baru tersadar dari lamunannya.Pluit Mr. Radold berbunyi. Beliau mengendalikan kursinya melayang menghampiri Lyra dan memberinya kartu peringatan.“Ini adalah kelas uji elemen, bukan kelas bertarung. Menyerang murid lain di kelas uji elemen adalah pelanggaran, Lyra.” Mr. Radolf menjelaskan. “Silakan datang ke ruang konseling untuk menerima konsekuensimu.”“Tapi, Mr. Radolf, saya tidak sengaja melakukannya,” Lyra menyahut santai.Kareen yang terlihat sangat emosi, langsung mencetus. “Jelas-jelas kau sengaja
Aaric duduk di rerumputan taman, terdiam dengan tatapan terkunci pada langit cerah hari ini. Meski masih penasaran dengan maksud ucapan Aaric, Airélle urung bertanya lanjut dan justru mengikuti laki-laki itu duduk di rerumputan. Anak rambutnya berkibar kecil karena angin sayup-sayup berhembus. “Kau pangeran, ya?” alih Airélle. “Ya.” Bibir Airélle mengerucut mendapati jawaban singkat dari Aaric. Tidak seru diajak mengobrol, pikirnya. Dalam bayangan Airélle, berlatih dengan Aaric nantinya pasti akan sangat membosankan. Bahkan hasilnya akan sia-sia. Sungguh ironis. Aaric menghela napas. “Aku Aaric Casperion, dari Kerajaan Orion. Salah satu kerajaan yang berdiri di bawah Kerajaan Fantasia.” ralatnya. “Baiklah, salam kenal.” tanggap Airélle. “Giliranmu.” Aaric berkata. Airélle mengernyit. “Aku?” bingungnya, ia menunjuk dirinya sendiri. Kemudian tersadar akan makaud Aaric setelah beberapa sekon. “Aah! Namaku Airélle Panemorfi
“𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑖𝑠𝑎𝑘𝑎𝒉 𝑘𝑎𝑢 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛𝑘𝑢?” “𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘! 𝐾𝑎𝑢 𝒉𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑚𝑎𝑛𝑓𝑎𝑎𝑡𝑘𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎.” “𝑈𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑎𝑝𝑎?!” Airélle memegangi kepalanya yang terus berdenyut, menyebabkan pusing luar biasa. “Airélle?” Amatera mengguncang pelan lengannya. Namun fokus Airélle masih teralih pada pusing di kepalanya. Kepalanya sangat sakit. Sementara itu Kareen dan Amatera bertukar pandang, mereka tentu saja khawatir dengan apa yang terjadi dengan Airélle saat ini. Setelah beberapa menit berlalu, Airélle akhirnya nampak lebih tenang. Pusing dan rasa sakit di kepalanya telah mereda. “Aku akan ke kamar untuk istirahat.” ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ 。 。 。 “Hormat hamba, Yang Mulia.” seorang pria dengan pakaian zirah kerajaan lengkap itu bersimpuh. “Hamba datang setelah berpatroli di perbatasan. Segel di perbatasan antara Fantasia dan Hellger telah melemah.” lapornya.
“Aku ingin ke toilet. Kalian duluan saja, aku akan segera ke kelas.”Kalimat itu Airélle katakan pada dua roommatenya saat di perjalanan menuju kelas alkimia. Oh tentu, Airélle sangat muak dengan satu pelajaran itu. Ditambah lagi dengan pengetahuan dunia asing ini? Memikirkan keadaan otaknya nanti membuat gadis itu meringis.Maka, yang Airélle lakukan hanya berjalan-jalan menyusuri akademi yang maha-luas ini. Benar-benar luas. Airélle harap, ia tidak tersesat nanti.Mau berapa ratus kali pun ia memandang, Airélle tidak bisa membohongi dirinya sendiri tentang nilai estetika bangunan akademi. Sentuhan seni kelas dunia, seni yang ia lihat benar-benar di level yang berbeda!“Butuh berapa lama waktu manusia biasa mengerjakan ornamen seni seindah ini di bangunan maha-luas ini?” monolognya.Di sisi lain ketika dia mengagumi keindahan bangunan akademi, selalu saja pertanyaan demi pertanyaan mengiri
Hantu...?Yang benar saja! Setelah Airélle mengatakan hal itu dan terus menarik Aaric agar pergi dari tanah lapang belakang akademi, mereka berdua akhirnya berteleport ke unit kesehatan.“Kau beralasan agar tidak latihan lagi?” desis Aaric.Airélle terkejut karena suara Aaric yang tiba-tiba memecah hening di antara keduanya. Sejurus kemudian, ia mendengus.“Aku tidak.” sanggahnya.“Hantu apanya? Kau tahu, delapan belas tahun aku hidup, tidak ada yang namanya hantu.” Aaric jengkel.“Bukan tidak ada, kau saja yang belum pernah melihatnya.” balas Airélle.“Hantu apa yang kau maksud?” tanya Aaric, masih jengkel.Airélle tergagu. Tidak langsung menjawab, jujur saja dia masih merinding.Mengingat latar belakangnya, jangan lupa bahwa kedua orangtuanya telah tiada. Tapi, tidak dipungkiri Airélle masih mengingat jelas sosok kedua orangt
Dunia penuh kegelapan. Tidak pernah ada cahaya matahari di wilayah Hellger. Iblis-iblis jaya di bawah kegelapan. Penuh nafsu dan ambisi. “Ada apa?” suara berat dan menyeramkan itu menyapa. Seorang iblis perempuan terkekeh. “Kau tidak pandai berbasa-basi, Paman.” “Kau membunyikan alarm rapat darurat. Jadi ada apa?” iblis tua itu tidak mengindahkan kritikan sang keponakan. “Segel di perbatasan kian hari semakin melemah. Menurut ramalan, ini dikarenakan anak hasil hubungan Devilos dan Eliza telah kembali ke tanah kelahirannya.” Qyne, sepupu Raja Hellger yang memiliki ambisi besar itu memulai. Qyne melanjutkan, “Bukan sebagai Putri, kedudukan anak itu adalah Dewi Kehidupan dan Kematian. Sebagaimana orangtuanya. Darahnya bisa membangkitkan Devilos yang tersegel kekuatan Dewa-Dewi.” “Jadi, kita culik dia untuk mengambil darahnya dan membangkitkan Devilos?” sang adik, Qyre, terlihat menyeringai senang. Qyne memandang adiknya s
“Aku tidak jadi izin ke Mr. Grevin.” putus Airélle.Sontak saja dua sahabatnya itu menoleh padanya.“Kau serius?” Amatera memastikan, dan dijawab dengan anggukan kepala Airélle.“Tidak takut jadi santapan singa itu?” tanya Kareen, sedikit menggoda Airélle. Setidaknya ia harap bisa menggoyahkan Airélle, karena bagaimana pun, dia juga cemas akan keselamatan sahabatnya itu.Menanggapi pertanyaan Kareen, Airélle bergidik. Semoga saja dia tidak benar dijadikan santapan sarapan singa itu.“Itu sihir, ya? Singanya tidak habis-habis.” celetuk Airélle.Kareen di sebelahnya terkekeh. “Iya, itu ilusi mata.”“Menyenangkan....” gumam Airélle.“Bagaimana kau akan membunuh singa itu nantinya?” Amatera bertanya lagi.Airélle mengendikkan bahunya. “Aku tidak berpikir akan membunuhnya.”
Airélle menghadap cermin, menguncir rambutnya dengan sedikit tricky sehingga hasilnya terlihat lebih cantik.“Wow, bagaimana kau menguncirnya seperti itu, Airélle? Lebih tinggi dan cantik.” Kareen berkomentar.“Mau kulakukan juga ke rambutmu?” tawar Airélle. Maka, Kareen tidak akan menyia-nyiakan dengan menolaknya.Airélle meminta Kareen duduk menghadap cermin rias, lalu ia akan mengambil alih rambut coklat dengan sedikit helai berwarna hijau bergelombang itu.Amatera baru selesai dengan seragamnya. Ia mengamati Airélle yang menguncir rambut Kareen. Sedikit lebih menyusahkan dilihat dari caranya, tapi hasil tidak mengkhianati usaha.“Kalian berdua tampak lebih segar dengan bentuk kuncir itu.” Amatera berkomentar tepat setelah Kareen memekik senang atas hasil rambutnya.“Ame!” Kareen berseru, masih senang. “Kau juga harus mencoba ini. Ayolah, kita bertiga
Gadis itu melangkah dengan tergesa - gesa menyusuri rak demi rak buku menjulang yang memadati perpustakaan.Karena ia tidak bisa berteleportasi seperti penduduk Fantasia lainnya, dengan bermodalkan ilmu komunikasinya yang menanyai setiap orang yang ia temui di koridor mengenai keberadaan Pangeran Orion akhirnya membuahkan hasil.Langkah itu semakin cepat ketika melihat punggung familiar di depan sana tengah membolak - balikkan lembar tiap lembar buku usang.“Aaric!” Airélle berseru.Laki-laki itu menoleh. “Ada apa?”Airélle mencebik. “Kau bilang untuk menemuimu—”“—jika kau sadar ada sesuatu yang kau butuhkan. Jadi, apa yang hilang dan kau butuhkan?” sela Aaric dengan wajah tanpa dosanya.Airélle menggeram kecil. “Kalungku hilang! Kalung yang kutunjukkan padamu hari itu. Aku butuh... siapa tahu kalung itu bisa membawaku kembali lagi ke Chicago!&rdqu
“AIRÉLLE!!”Kedua gadis itu, Kareen dan Amatera, berseru bersamaan ketika melihat satu bagian dari mereka menunjukan pergerakan pasti.Kelompak mata itu perlahan terbuka. Maniknya yang segelap malam justru seakan berkilauan diterpa sinar mentari.Airélle kembali mengerjapkan matanya.“Oh Gods! Airélle, akhirnya kau sadar!” Kareen langsung berhambur memeluknya.Amatera dengan sigap menarik Kareen agar melepaskan pelukannya pada Airélle.“Jangan membuatnya sesak napas, Reen.” katanya, sukses mengundang kekehan dari Airélle.“Kau sudah tidak apa-apa?” Amatera bertanya, mengabaikan gerutuan Kareen yang merajuk padanya.“Badanku... terasa lemas.” jawab Airélle pelan.“Serius, Airélle!” Kareen menatap lekat-lekat pada Airélle, memberitahu ia tak ingin dibantah. “Jangan tinggalkan sarapanmu, maka
Azrival akhirnya izin pamit undur diri, dia beralasan akan menemui Panglima Fantasia, meskipun niat sebenarnya adalah memberikan waktu berdua kepada dua orang yang paling dihormati di Fantasi, Raja dan Ratu.Sepeninggal Azrival, Raja Galant berjalan lebih mendekat lagi pada Ratu Eliza. Di jarak dekat, beliau bisa melihat wajah khawatir istrinya yang belum pernah Eliza tunjukkan padanya lagi selama belasan tahun.Raja Galant menyampirkan lengannya pada pundak Ratu Eliza. Mengusapnya, menghantarkan ketenangan di sana.“Kau akan menemuinya?” tanya Raja Galant, pelan dan dalam.Ratu Eliza menggeleng sekali lagi. “Tidak, suamiku. Aku belum siap.”“Berikan dia pengertian perlahan. Kau harus menemuinya, Eliza.” Raja Galant memberitahu.“Aku hanya takut, dia tidak bisa menerimaku sebagai ibunya. Dia sangat menyayangi Giovany dan Federick, dia pasti sulit menerima kenyataan ini.” ungkap Ratu Eliza.
Aaric memutuskan untuk benar - benar pergi dari sekitar air mancur halaman sisi barat akademi ketika melihat Airélle beranjak dari duduknya. Gadis light blonde itu menepuk-nepuk bagian belakangnya yang ia pikir kotor. Aaric membalik badannya, berniat berjalan dengan arah yang berlawanan dengan Airélle. Memberikan waktu sendiri bagi gadis itu. Tentunya, sebelum insting istimewanya menyala. Aaric kembali berbalik, dan melihat Airélle tengah kewalahan menjaga keseimbangannya. Gadis itu tumbang. Hampir jatuh dan merasakan sakit di badannya apabila Aaric tidak segera menangkap tubuhnya. “Airélle? Kau mendengarku? Hey, bangun.” Aaric menepuk - tepuk pelan pipi itu, tetapi Airélle hanya diam menutup mata rapat. Dia pingsan. Dengan segera Aaric mengangkat tubuh Airélle di gendongannya. Membawa Airélle sesegera mungkin ke unit kesehatan. Koridor - koridor akademi nampak sepi. Dan tiba - tiba suara gadis menyerukan namanya. Aaric melihat di depa
Berjalan berjam-jam mengelilingi akademi yang maha-luas beehasil membuat kaki Airélle terasa ingin patah sekarang. Maka, Airélle memutuskan untuk duduk beristirahat di air mancur yang ada di halaman sisi barat akademi. Dari keadaan langitnya, Airélle tahu hari sudah beranjak senja. Embusan angin menerbangkan anak rambut Airélle lembut. Senja, ya? Airélle bukan seorang gadis senja. Yang selalu mengagumi goresan oranye yang membentang luas di cakrawala. Sambil mengenang rindu atau kenangan. Bukan Airélle sekali. Tapi, ada satu momen yang membuatnta mengenang masa lalu. Tentang hari itu, saat senja. Ulang tahunnya yang ke delapan belas. Dirayakan saat senja menyapa, bersama kedua orang tuanya. Ayahnya mengajaknya berdansa, dan sang Ibu bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Hari itu, Airélle berhasil merasakan bagaimana menjadi seorang yang bahagia. Sangat bahagia. Lantas, kenapa kebahagiaan itu tidak berlan
Dunia penuh kegelapan. Tidak pernah ada cahaya matahari di wilayah Hellger. Iblis-iblis jaya di bawah kegelapan. Penuh nafsu dan ambisi. “Ada apa?” suara berat dan menyeramkan itu menyapa. Seorang iblis perempuan terkekeh. “Kau tidak pandai berbasa-basi, Paman.” “Kau membunyikan alarm rapat darurat. Jadi ada apa?” iblis tua itu tidak mengindahkan kritikan sang keponakan. “Segel di perbatasan kian hari semakin melemah. Menurut ramalan, ini dikarenakan anak hasil hubungan Devilos dan Eliza telah kembali ke tanah kelahirannya.” Qyne, sepupu Raja Hellger yang memiliki ambisi besar itu memulai. Qyne melanjutkan, “Bukan sebagai Putri, kedudukan anak itu adalah Dewi Kehidupan dan Kematian. Sebagaimana orangtuanya. Darahnya bisa membangkitkan Devilos yang tersegel kekuatan Dewa-Dewi.” “Jadi, kita culik dia untuk mengambil darahnya dan membangkitkan Devilos?” sang adik, Qyre, terlihat menyeringai senang. Qyne memandang adiknya s
Hantu...?Yang benar saja! Setelah Airélle mengatakan hal itu dan terus menarik Aaric agar pergi dari tanah lapang belakang akademi, mereka berdua akhirnya berteleport ke unit kesehatan.“Kau beralasan agar tidak latihan lagi?” desis Aaric.Airélle terkejut karena suara Aaric yang tiba-tiba memecah hening di antara keduanya. Sejurus kemudian, ia mendengus.“Aku tidak.” sanggahnya.“Hantu apanya? Kau tahu, delapan belas tahun aku hidup, tidak ada yang namanya hantu.” Aaric jengkel.“Bukan tidak ada, kau saja yang belum pernah melihatnya.” balas Airélle.“Hantu apa yang kau maksud?” tanya Aaric, masih jengkel.Airélle tergagu. Tidak langsung menjawab, jujur saja dia masih merinding.Mengingat latar belakangnya, jangan lupa bahwa kedua orangtuanya telah tiada. Tapi, tidak dipungkiri Airélle masih mengingat jelas sosok kedua orangt