Aaric duduk di rerumputan taman, terdiam dengan tatapan terkunci pada langit cerah hari ini. Meski masih penasaran dengan maksud ucapan Aaric, Airélle urung bertanya lanjut dan justru mengikuti laki-laki itu duduk di rerumputan.
Anak rambutnya berkibar kecil karena angin sayup-sayup berhembus.
“Kau pangeran, ya?” alih Airélle.
“Ya.”
Bibir Airélle mengerucut mendapati jawaban singkat dari Aaric. Tidak seru diajak mengobrol, pikirnya. Dalam bayangan Airélle, berlatih dengan Aaric nantinya pasti akan sangat membosankan. Bahkan hasilnya akan sia-sia. Sungguh ironis.
Aaric menghela napas. “Aku Aaric Casperion, dari Kerajaan Orion. Salah satu kerajaan yang berdiri di bawah Kerajaan Fantasia.” ralatnya.
“Baiklah, salam kenal.” tanggap Airélle.
“Giliranmu.” Aaric berkata.
Airélle mengernyit. “Aku?” bingungnya, ia menunjuk dirinya sendiri. Kemudian tersadar akan makaud Aaric setelah beberapa sekon. “Aah! Namaku Airélle Panemorfi. Kau tidak akan tahu tempat ini, tapi aku berasal dari Chicago— salah satu kota besar di Amerika Serikat.”
Airélle mengamati mimik wajah Aaric. Sekilas, laki-laki itu tetap berwajah datar dan terkesan tidak peduli. Tetapi jika diperhatikan lagi, keningnya sedikit mengerut, menandakan ia merasa janggal.
“Bagaimana kau bisa ke sini?” pertanyaan itu akhirnya terlontar. Bahkan setelah mengatakannya, Aaric merutuk pada dirinya sendiri. Tidak bisanya, dan bukan sekali dirinya ingin tahu banyak mengenai orang lain seperti ini.
Airélle mengangkat kedua bahunya, tidak tahu. “Awalnya aku pergi ke pantai untuk merayakan ulang tahun sahabatku. Lalu aku pergi sendiri ke sisi lain pantai untuk berswafoto, dan malah mendengar suara kuda dari dalam goa. Dan aku melihat pegasus! Pegasus itu mendorongku masuk ke dalam portal, ah dan tiba-tiba aku berada di negeri ini.” cerita Airélle.
Airélle sempat berpikir untuk menunjukkan bandul kalungnya, tapi ia mengurungkannya. Ia bahkan belum mengenal baik Aaric, dia hanya takut tidak bisa kembali lagi.
“Pegasus?” ulang Aaric.
“Ya, pegasus!” Airélle meyakinkan. “Pernahkah kau melihat hewan itu?”
Aaric mengangguk. “Saat mengunjungi Kerajaan Fantasia, banyak pegasus berwarna putih salju.” ungkapnya, namun tanpa diduga ia melanjutkan. “Seperti rambutmu.”
Airélle menghela napas berat. Ia mengalihkan pandangannya dari Aaric ke gumpalan-gumpalan kapas putih di hamparan langit. “Sebenarnya aku terlahir dengan rambut berwarna hitam. Ah, benar. Sebelumnya beberapa helai rambutku sudah memutih, tapi aku tidak tahu entah kenapa saat sampai di sini warna rambutku berubah seluruhnya.”
Aaric masih memperhatikan Airélle. Baru kali ini ia menemukan banyak kejanggalan dari seseorang. Dan menurutnya, Airélle sudah mencuri perhatiannya saat pertama kali ia melihatnya.
“Sudah waktunya makan siang. Ayo ke kantin.”
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ 。 。 。
Airélle mengatakan akan bergabung dengan dua temannya ketika ia dan Aaric sudah sampai di kantin. Maka Aaric menyetujuinya dan mereka berpisah.
Sebelum itu Aaric mengatakan ia akan memulai latihannya besok setelah semua kelas telah selesai. Meski sudah menolak, Airélle akhirnya setuju. Biarlah Aaric tahu rasa sendiri, dia hanya akan membuang-buang waktu.
“Lihat siapa yang datang,” Kareen berkata dengan nada menggoda. “Bagaimana latihanmu dengan Aaric, Airélle?”
Airélle duduk di kursi yang kosong, kemudian menghela napas lelah. “Tidak ada. Kami hanya berkenalan.”
“Aku mengambilkan pasta itu untukmu. Suka?” alih Amatera, menyodorkan sepiring pasta pada Airélle.
Airélle menerimanya dengan mata berbinar. “Aku suka pasta! Thank you, Ame,” senangnya, Amatera membalasnya dengan anggukan dan kembali melahap pasta miliknya.
“Tadi saat aku ke toilet, beberapa murid perempuan membicarakan tentang Putri Fantasia yang hilang.” Kareen membuka topik baru. “Apa benar menyebutnya hilang? Dengar-dengar, putri itu diasingkan saat penyerangan dari bangsa Hellger.”
“Tapi coba tebak kenapa putri itu tak kunjung kembali? Perbatasan antara Fantasia dan Hellger bahkan sudah diperkuat, dan selama belasan tahun Fantasia tentram saja. Seharusnya putri aman di Fantasia, bukan?” Amatera memasuki topik, mengutarakan isi pikirannya.
Sementara itu, Airélle yang tidak tahu apa-apa hanya menyimak pembicaraan sambil menyantap makan siangnya. Tapi satu persatu pertanyaan mulai bergumul mengisi pikirannya.
“Hellger, aku pernah mendengarnya. Apa itu?” tanya Airélle.
Kareen dan Amatera kontan menoleh padanya.
“Yah, Hellger adalah wilayah bawah yang penuh kegelapan, dihuni oleh bangsa iblis.” Amatera menjelaskan. “Mereka memiliki ambisi untuk menguasai Negeri Fantasia. Setahuku Raja iblis dan kegelapan adalah Elioz Hellrick, tetapi kabarnya ia telah disegel oleh para Dewa dan Dewi. Posisi pemimpin masih diperebutkan oleh bangsa Hellger.”
Airélle membulatkan mulutnya seraya mengangguk-angguk.
“Omong-omong, aku tidak melihat Lyra.” celetuk Kareen.
Mendengar nama itu disebutkan, Amatera berdecih. “Biarkan saja dia. Aku harap akademi memberinya pelajaran yang bisa membuatnya jera.”
Kareen mengangguk setuju, ketara sekali dari raut wajahnya bahwa ia masih menahan kekesalan dengan si ‘Biru’, Lyra. “Aku yakin 101% ia sengaja menyerang Airélle dengan elemennya.” luapnya. “Sebenarnya, apa masalahnya?”
“Mungkin cemburu.” seloroh Amatera.
Kareen terperangah, menatap Amatera tidak percaya. “Cemburu? Apa maksudmu, Ame?”
Amatera menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak tahukah kalian kemana arah pandang Aaric selama kelas berlangsung?”
Semuanya tampak baik-baik saja, hingga sumpit dalam genggaman Airélle terlepas dari tangannya.
Tangannya spontan memegang kepalanya yang berdenyut kuat, menyebabkan rasa sakit dan pening luar biasa.
“ARRGH!”
ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤ〔 TO BE CONTINUE 〕
ㅤ“𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑖𝑠𝑎𝑘𝑎𝒉 𝑘𝑎𝑢 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛𝑘𝑢?” “𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘! 𝐾𝑎𝑢 𝒉𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑚𝑎𝑛𝑓𝑎𝑎𝑡𝑘𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎.” “𝑈𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑎𝑝𝑎?!” Airélle memegangi kepalanya yang terus berdenyut, menyebabkan pusing luar biasa. “Airélle?” Amatera mengguncang pelan lengannya. Namun fokus Airélle masih teralih pada pusing di kepalanya. Kepalanya sangat sakit. Sementara itu Kareen dan Amatera bertukar pandang, mereka tentu saja khawatir dengan apa yang terjadi dengan Airélle saat ini. Setelah beberapa menit berlalu, Airélle akhirnya nampak lebih tenang. Pusing dan rasa sakit di kepalanya telah mereda. “Aku akan ke kamar untuk istirahat.” ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ 。 。 。 “Hormat hamba, Yang Mulia.” seorang pria dengan pakaian zirah kerajaan lengkap itu bersimpuh. “Hamba datang setelah berpatroli di perbatasan. Segel di perbatasan antara Fantasia dan Hellger telah melemah.” lapornya.
“Aku ingin ke toilet. Kalian duluan saja, aku akan segera ke kelas.”Kalimat itu Airélle katakan pada dua roommatenya saat di perjalanan menuju kelas alkimia. Oh tentu, Airélle sangat muak dengan satu pelajaran itu. Ditambah lagi dengan pengetahuan dunia asing ini? Memikirkan keadaan otaknya nanti membuat gadis itu meringis.Maka, yang Airélle lakukan hanya berjalan-jalan menyusuri akademi yang maha-luas ini. Benar-benar luas. Airélle harap, ia tidak tersesat nanti.Mau berapa ratus kali pun ia memandang, Airélle tidak bisa membohongi dirinya sendiri tentang nilai estetika bangunan akademi. Sentuhan seni kelas dunia, seni yang ia lihat benar-benar di level yang berbeda!“Butuh berapa lama waktu manusia biasa mengerjakan ornamen seni seindah ini di bangunan maha-luas ini?” monolognya.Di sisi lain ketika dia mengagumi keindahan bangunan akademi, selalu saja pertanyaan demi pertanyaan mengiri
Hantu...?Yang benar saja! Setelah Airélle mengatakan hal itu dan terus menarik Aaric agar pergi dari tanah lapang belakang akademi, mereka berdua akhirnya berteleport ke unit kesehatan.“Kau beralasan agar tidak latihan lagi?” desis Aaric.Airélle terkejut karena suara Aaric yang tiba-tiba memecah hening di antara keduanya. Sejurus kemudian, ia mendengus.“Aku tidak.” sanggahnya.“Hantu apanya? Kau tahu, delapan belas tahun aku hidup, tidak ada yang namanya hantu.” Aaric jengkel.“Bukan tidak ada, kau saja yang belum pernah melihatnya.” balas Airélle.“Hantu apa yang kau maksud?” tanya Aaric, masih jengkel.Airélle tergagu. Tidak langsung menjawab, jujur saja dia masih merinding.Mengingat latar belakangnya, jangan lupa bahwa kedua orangtuanya telah tiada. Tapi, tidak dipungkiri Airélle masih mengingat jelas sosok kedua orangt
Dunia penuh kegelapan. Tidak pernah ada cahaya matahari di wilayah Hellger. Iblis-iblis jaya di bawah kegelapan. Penuh nafsu dan ambisi. “Ada apa?” suara berat dan menyeramkan itu menyapa. Seorang iblis perempuan terkekeh. “Kau tidak pandai berbasa-basi, Paman.” “Kau membunyikan alarm rapat darurat. Jadi ada apa?” iblis tua itu tidak mengindahkan kritikan sang keponakan. “Segel di perbatasan kian hari semakin melemah. Menurut ramalan, ini dikarenakan anak hasil hubungan Devilos dan Eliza telah kembali ke tanah kelahirannya.” Qyne, sepupu Raja Hellger yang memiliki ambisi besar itu memulai. Qyne melanjutkan, “Bukan sebagai Putri, kedudukan anak itu adalah Dewi Kehidupan dan Kematian. Sebagaimana orangtuanya. Darahnya bisa membangkitkan Devilos yang tersegel kekuatan Dewa-Dewi.” “Jadi, kita culik dia untuk mengambil darahnya dan membangkitkan Devilos?” sang adik, Qyre, terlihat menyeringai senang. Qyne memandang adiknya s
Berjalan berjam-jam mengelilingi akademi yang maha-luas beehasil membuat kaki Airélle terasa ingin patah sekarang. Maka, Airélle memutuskan untuk duduk beristirahat di air mancur yang ada di halaman sisi barat akademi. Dari keadaan langitnya, Airélle tahu hari sudah beranjak senja. Embusan angin menerbangkan anak rambut Airélle lembut. Senja, ya? Airélle bukan seorang gadis senja. Yang selalu mengagumi goresan oranye yang membentang luas di cakrawala. Sambil mengenang rindu atau kenangan. Bukan Airélle sekali. Tapi, ada satu momen yang membuatnta mengenang masa lalu. Tentang hari itu, saat senja. Ulang tahunnya yang ke delapan belas. Dirayakan saat senja menyapa, bersama kedua orang tuanya. Ayahnya mengajaknya berdansa, dan sang Ibu bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Hari itu, Airélle berhasil merasakan bagaimana menjadi seorang yang bahagia. Sangat bahagia. Lantas, kenapa kebahagiaan itu tidak berlan
Aaric memutuskan untuk benar - benar pergi dari sekitar air mancur halaman sisi barat akademi ketika melihat Airélle beranjak dari duduknya. Gadis light blonde itu menepuk-nepuk bagian belakangnya yang ia pikir kotor. Aaric membalik badannya, berniat berjalan dengan arah yang berlawanan dengan Airélle. Memberikan waktu sendiri bagi gadis itu. Tentunya, sebelum insting istimewanya menyala. Aaric kembali berbalik, dan melihat Airélle tengah kewalahan menjaga keseimbangannya. Gadis itu tumbang. Hampir jatuh dan merasakan sakit di badannya apabila Aaric tidak segera menangkap tubuhnya. “Airélle? Kau mendengarku? Hey, bangun.” Aaric menepuk - tepuk pelan pipi itu, tetapi Airélle hanya diam menutup mata rapat. Dia pingsan. Dengan segera Aaric mengangkat tubuh Airélle di gendongannya. Membawa Airélle sesegera mungkin ke unit kesehatan. Koridor - koridor akademi nampak sepi. Dan tiba - tiba suara gadis menyerukan namanya. Aaric melihat di depa
Azrival akhirnya izin pamit undur diri, dia beralasan akan menemui Panglima Fantasia, meskipun niat sebenarnya adalah memberikan waktu berdua kepada dua orang yang paling dihormati di Fantasi, Raja dan Ratu.Sepeninggal Azrival, Raja Galant berjalan lebih mendekat lagi pada Ratu Eliza. Di jarak dekat, beliau bisa melihat wajah khawatir istrinya yang belum pernah Eliza tunjukkan padanya lagi selama belasan tahun.Raja Galant menyampirkan lengannya pada pundak Ratu Eliza. Mengusapnya, menghantarkan ketenangan di sana.“Kau akan menemuinya?” tanya Raja Galant, pelan dan dalam.Ratu Eliza menggeleng sekali lagi. “Tidak, suamiku. Aku belum siap.”“Berikan dia pengertian perlahan. Kau harus menemuinya, Eliza.” Raja Galant memberitahu.“Aku hanya takut, dia tidak bisa menerimaku sebagai ibunya. Dia sangat menyayangi Giovany dan Federick, dia pasti sulit menerima kenyataan ini.” ungkap Ratu Eliza.
“AIRÉLLE!!”Kedua gadis itu, Kareen dan Amatera, berseru bersamaan ketika melihat satu bagian dari mereka menunjukan pergerakan pasti.Kelompak mata itu perlahan terbuka. Maniknya yang segelap malam justru seakan berkilauan diterpa sinar mentari.Airélle kembali mengerjapkan matanya.“Oh Gods! Airélle, akhirnya kau sadar!” Kareen langsung berhambur memeluknya.Amatera dengan sigap menarik Kareen agar melepaskan pelukannya pada Airélle.“Jangan membuatnya sesak napas, Reen.” katanya, sukses mengundang kekehan dari Airélle.“Kau sudah tidak apa-apa?” Amatera bertanya, mengabaikan gerutuan Kareen yang merajuk padanya.“Badanku... terasa lemas.” jawab Airélle pelan.“Serius, Airélle!” Kareen menatap lekat-lekat pada Airélle, memberitahu ia tak ingin dibantah. “Jangan tinggalkan sarapanmu, maka
“Aku tidak jadi izin ke Mr. Grevin.” putus Airélle.Sontak saja dua sahabatnya itu menoleh padanya.“Kau serius?” Amatera memastikan, dan dijawab dengan anggukan kepala Airélle.“Tidak takut jadi santapan singa itu?” tanya Kareen, sedikit menggoda Airélle. Setidaknya ia harap bisa menggoyahkan Airélle, karena bagaimana pun, dia juga cemas akan keselamatan sahabatnya itu.Menanggapi pertanyaan Kareen, Airélle bergidik. Semoga saja dia tidak benar dijadikan santapan sarapan singa itu.“Itu sihir, ya? Singanya tidak habis-habis.” celetuk Airélle.Kareen di sebelahnya terkekeh. “Iya, itu ilusi mata.”“Menyenangkan....” gumam Airélle.“Bagaimana kau akan membunuh singa itu nantinya?” Amatera bertanya lagi.Airélle mengendikkan bahunya. “Aku tidak berpikir akan membunuhnya.”
Airélle menghadap cermin, menguncir rambutnya dengan sedikit tricky sehingga hasilnya terlihat lebih cantik.“Wow, bagaimana kau menguncirnya seperti itu, Airélle? Lebih tinggi dan cantik.” Kareen berkomentar.“Mau kulakukan juga ke rambutmu?” tawar Airélle. Maka, Kareen tidak akan menyia-nyiakan dengan menolaknya.Airélle meminta Kareen duduk menghadap cermin rias, lalu ia akan mengambil alih rambut coklat dengan sedikit helai berwarna hijau bergelombang itu.Amatera baru selesai dengan seragamnya. Ia mengamati Airélle yang menguncir rambut Kareen. Sedikit lebih menyusahkan dilihat dari caranya, tapi hasil tidak mengkhianati usaha.“Kalian berdua tampak lebih segar dengan bentuk kuncir itu.” Amatera berkomentar tepat setelah Kareen memekik senang atas hasil rambutnya.“Ame!” Kareen berseru, masih senang. “Kau juga harus mencoba ini. Ayolah, kita bertiga
Gadis itu melangkah dengan tergesa - gesa menyusuri rak demi rak buku menjulang yang memadati perpustakaan.Karena ia tidak bisa berteleportasi seperti penduduk Fantasia lainnya, dengan bermodalkan ilmu komunikasinya yang menanyai setiap orang yang ia temui di koridor mengenai keberadaan Pangeran Orion akhirnya membuahkan hasil.Langkah itu semakin cepat ketika melihat punggung familiar di depan sana tengah membolak - balikkan lembar tiap lembar buku usang.“Aaric!” Airélle berseru.Laki-laki itu menoleh. “Ada apa?”Airélle mencebik. “Kau bilang untuk menemuimu—”“—jika kau sadar ada sesuatu yang kau butuhkan. Jadi, apa yang hilang dan kau butuhkan?” sela Aaric dengan wajah tanpa dosanya.Airélle menggeram kecil. “Kalungku hilang! Kalung yang kutunjukkan padamu hari itu. Aku butuh... siapa tahu kalung itu bisa membawaku kembali lagi ke Chicago!&rdqu
“AIRÉLLE!!”Kedua gadis itu, Kareen dan Amatera, berseru bersamaan ketika melihat satu bagian dari mereka menunjukan pergerakan pasti.Kelompak mata itu perlahan terbuka. Maniknya yang segelap malam justru seakan berkilauan diterpa sinar mentari.Airélle kembali mengerjapkan matanya.“Oh Gods! Airélle, akhirnya kau sadar!” Kareen langsung berhambur memeluknya.Amatera dengan sigap menarik Kareen agar melepaskan pelukannya pada Airélle.“Jangan membuatnya sesak napas, Reen.” katanya, sukses mengundang kekehan dari Airélle.“Kau sudah tidak apa-apa?” Amatera bertanya, mengabaikan gerutuan Kareen yang merajuk padanya.“Badanku... terasa lemas.” jawab Airélle pelan.“Serius, Airélle!” Kareen menatap lekat-lekat pada Airélle, memberitahu ia tak ingin dibantah. “Jangan tinggalkan sarapanmu, maka
Azrival akhirnya izin pamit undur diri, dia beralasan akan menemui Panglima Fantasia, meskipun niat sebenarnya adalah memberikan waktu berdua kepada dua orang yang paling dihormati di Fantasi, Raja dan Ratu.Sepeninggal Azrival, Raja Galant berjalan lebih mendekat lagi pada Ratu Eliza. Di jarak dekat, beliau bisa melihat wajah khawatir istrinya yang belum pernah Eliza tunjukkan padanya lagi selama belasan tahun.Raja Galant menyampirkan lengannya pada pundak Ratu Eliza. Mengusapnya, menghantarkan ketenangan di sana.“Kau akan menemuinya?” tanya Raja Galant, pelan dan dalam.Ratu Eliza menggeleng sekali lagi. “Tidak, suamiku. Aku belum siap.”“Berikan dia pengertian perlahan. Kau harus menemuinya, Eliza.” Raja Galant memberitahu.“Aku hanya takut, dia tidak bisa menerimaku sebagai ibunya. Dia sangat menyayangi Giovany dan Federick, dia pasti sulit menerima kenyataan ini.” ungkap Ratu Eliza.
Aaric memutuskan untuk benar - benar pergi dari sekitar air mancur halaman sisi barat akademi ketika melihat Airélle beranjak dari duduknya. Gadis light blonde itu menepuk-nepuk bagian belakangnya yang ia pikir kotor. Aaric membalik badannya, berniat berjalan dengan arah yang berlawanan dengan Airélle. Memberikan waktu sendiri bagi gadis itu. Tentunya, sebelum insting istimewanya menyala. Aaric kembali berbalik, dan melihat Airélle tengah kewalahan menjaga keseimbangannya. Gadis itu tumbang. Hampir jatuh dan merasakan sakit di badannya apabila Aaric tidak segera menangkap tubuhnya. “Airélle? Kau mendengarku? Hey, bangun.” Aaric menepuk - tepuk pelan pipi itu, tetapi Airélle hanya diam menutup mata rapat. Dia pingsan. Dengan segera Aaric mengangkat tubuh Airélle di gendongannya. Membawa Airélle sesegera mungkin ke unit kesehatan. Koridor - koridor akademi nampak sepi. Dan tiba - tiba suara gadis menyerukan namanya. Aaric melihat di depa
Berjalan berjam-jam mengelilingi akademi yang maha-luas beehasil membuat kaki Airélle terasa ingin patah sekarang. Maka, Airélle memutuskan untuk duduk beristirahat di air mancur yang ada di halaman sisi barat akademi. Dari keadaan langitnya, Airélle tahu hari sudah beranjak senja. Embusan angin menerbangkan anak rambut Airélle lembut. Senja, ya? Airélle bukan seorang gadis senja. Yang selalu mengagumi goresan oranye yang membentang luas di cakrawala. Sambil mengenang rindu atau kenangan. Bukan Airélle sekali. Tapi, ada satu momen yang membuatnta mengenang masa lalu. Tentang hari itu, saat senja. Ulang tahunnya yang ke delapan belas. Dirayakan saat senja menyapa, bersama kedua orang tuanya. Ayahnya mengajaknya berdansa, dan sang Ibu bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Hari itu, Airélle berhasil merasakan bagaimana menjadi seorang yang bahagia. Sangat bahagia. Lantas, kenapa kebahagiaan itu tidak berlan
Dunia penuh kegelapan. Tidak pernah ada cahaya matahari di wilayah Hellger. Iblis-iblis jaya di bawah kegelapan. Penuh nafsu dan ambisi. “Ada apa?” suara berat dan menyeramkan itu menyapa. Seorang iblis perempuan terkekeh. “Kau tidak pandai berbasa-basi, Paman.” “Kau membunyikan alarm rapat darurat. Jadi ada apa?” iblis tua itu tidak mengindahkan kritikan sang keponakan. “Segel di perbatasan kian hari semakin melemah. Menurut ramalan, ini dikarenakan anak hasil hubungan Devilos dan Eliza telah kembali ke tanah kelahirannya.” Qyne, sepupu Raja Hellger yang memiliki ambisi besar itu memulai. Qyne melanjutkan, “Bukan sebagai Putri, kedudukan anak itu adalah Dewi Kehidupan dan Kematian. Sebagaimana orangtuanya. Darahnya bisa membangkitkan Devilos yang tersegel kekuatan Dewa-Dewi.” “Jadi, kita culik dia untuk mengambil darahnya dan membangkitkan Devilos?” sang adik, Qyre, terlihat menyeringai senang. Qyne memandang adiknya s
Hantu...?Yang benar saja! Setelah Airélle mengatakan hal itu dan terus menarik Aaric agar pergi dari tanah lapang belakang akademi, mereka berdua akhirnya berteleport ke unit kesehatan.“Kau beralasan agar tidak latihan lagi?” desis Aaric.Airélle terkejut karena suara Aaric yang tiba-tiba memecah hening di antara keduanya. Sejurus kemudian, ia mendengus.“Aku tidak.” sanggahnya.“Hantu apanya? Kau tahu, delapan belas tahun aku hidup, tidak ada yang namanya hantu.” Aaric jengkel.“Bukan tidak ada, kau saja yang belum pernah melihatnya.” balas Airélle.“Hantu apa yang kau maksud?” tanya Aaric, masih jengkel.Airélle tergagu. Tidak langsung menjawab, jujur saja dia masih merinding.Mengingat latar belakangnya, jangan lupa bahwa kedua orangtuanya telah tiada. Tapi, tidak dipungkiri Airélle masih mengingat jelas sosok kedua orangt