Para murid kelas 1A berhambur keluar dari kelas Herbiologi, mereka kini berbondong-bondong menuju gedung kelas elemen.
Di saat para murid terlihat antusias untuk menunjukkan elemen-elemen mereka, berbeda dengan Airélle yang merasa khawatir dan tidak nyaman. Kareen bahkan Amatera pun turut mencemaskan gadis itu.
“Mungkin Mr. Radolf akan memberitahu bagaimana cara memunculkan elemenmu, Airélle.” ujar Kareen, berusaha menenangkan.
Tapi Airélle tidak mengindahkannya. Pikirnya, ia adalah manusia biasa. Ia berbeda dengan orang-orang di sini. Ia tidak memiliki elemen apapun, tentu saja.
Mereka memasuki ruangan luas, seperti lapangan di dalam ruangan. Terdapat kursi-kursi di tepi ruangan, menyisakan ruang luas di tengah.
“Selamat siang. Silakan duduk terlebih dulu.” pria dewasa yang terlihat masih muda dan bugar itu berbicara di kursi khusus yang melayang di depan ruangan.
Murid-murid pun berhambur untuk mencari kursi mereka. Begitu pun Airélle, Kareen, dan Amatera. Mereka duduk berderetan.
“Pangeran Aaric!” Lyra berseru heboh lalu bergegas duduk bersebelahan dengan Aaric. “Aku mau duduk di sisimu.”
Aaric tidak menanggapi. Ia hanya merotasi mata malas dan menatap lurus datar ke satu titik.
“Bukankah dia mirip benalu?” Kareen yang duduk di antara Airélle dan Amatera berbisik, kalimatnya tentu saja ia tujukan untuk Lyra yang berlaku centil ke Aaric— bahkan saat kelas berlangsung.
“Sudah jadi rahasia umum, 'kan, kalau gadis centil itu tergila-gila dengan Aaric. Cih,” Amatera berdecih.
Sementara Airélle tidak terlalu fokus dengan obrolan kedua teman sekamarnya itu, ia membenarkan tali sepatunya yang melonggar.
“Ekhm. Baiklah, perkenalkan saya adalah Radolf Hemsmith, pengajar elemen di Victorieux Academia.” Mr. Radolf memperkenalkan dirinya. “Seperti yang kalian tahu, ini adalah kelas elemen. Di sinilah kalian akan menguji elemen kalian sendiri. Kalian juga bisa mengetahui jika tingkatan elemen kalian bertambah dengan bantuan papan score otomatis di atas sana.”
Pria itu melayang-layang di udara dengan kursinya. Ia kemudian melayang ke arah meja untuk mengambil sebuah buku yang berisikan daftar murid kelas 1A.
“Sebagai permulaan, hmm...,” manik Mr. Radolf bergerak membaca satu persatu nama murid. “Aaric Casperion. Silakan maju, dan tunjukkan elemenmu.” panggilnya.
Semua murid di dalam kelas itu bersorak. Nyatanya, Aaric Casperion dengan jati dirinya sebagai pangeran dari Kerajaan Orion yang berparas tampan menjadikannya salah satu ‘Most Wanted Boy’ di akademi, tentu banyak gadis yang tertarik dan tergila-gila dengan pesonanya. Meski laki-laki itu selalu bersikap acuh tak acuh.
“Aaric!!” sorakan Lyra yang paling ketara di antara murid perempuan lainnya. “Fighting!”
Aaric berdiri dari kursinya dan berjalan ke tengah-tengah ruangan. Melihat Aaric yang sudah siap di tempat, Mr. Radolf memunculkan sebuah manekin khusus yang dapat mendeteksi tingkat kekuatan yang menyerangnya.
“Silakan.” Mr. Radolf menjauh, memberi ruang lebih agar Aaric merasa lebih leluasa mengeluarkan elemen miliknya.
Tanpa banyak bicara, Aaric langsung memfokuskan pikirannya. Suasana kelas pun mendadak menjadi hening, mereka menanti-nantikan kekuatan dari Aaric. Tak terkecuali Airélle.
Airélle tidak pernah melihat seseorang mengeluarkan elemen dari diri mereka selama ia hidup. Dan sekarang ia akan menyaksikannya!
Suhu ruangan mendadak menurun. Rambut silver itu bergerak-gerak kecil karena hembusan angin yang diakibatkan dari tekanan elemen yang akan ia keluarkan.
𝘞𝘶𝘴𝘩𝘩 !
Dalam sekejap, sesuatu melesat ke arah manekin itu. Airélle dan murid lain mengerjap takjub saat melihat manekin itu telah menjadi patung es dan langsung hancur berkeping-keping.
Suara sorakan dan tepuk tangan memenuhi ruang kelas. Bahkan Mr. Radolf pun terkagum dengan kekuatan Aaric. Ia kembali menggerakkan kursinya melayang mendekati Aaric. Tangannya bergerak menunjuk ke papan score yang menampilkan detail dari elemen beserta tingkatan Aaric.
“Es abadi tingkat 12. Bukankah itu terlalu hebat, Aaric?” Mr. Radolf menepuk bahu pemilik manik silver itu beberapa kali. Ia tahu latar belakang Aaric, tapi sebagai pengajar ia hanya tidak ingin membeda-bedakan muridnya.
“Es abadi? Apa es itu tidak akan bisa mencair?” tanya Airélle berbisik.
“Tidak, kecuali atas kehendak si pemilik elemen sendiri.” jawab Kareen.
“Tapi kudengar api biru bisa mencairkannya.” sambar Amatera. “Yah, meskipun benar, jarang sekali ada pengendali elemen api biru.”
“Kau juga salah satu pengendali elemen langka, Ame,” imbuh Kareen.
Amatera mengangguk, membenarkan. “Ya, begitulah, aku menuruni kakekku.”
Mr. Radolf kembali melihat buku daftar muridnya dengan seksama. “Selanjutnya, Lyra Megalia.”
Gadis itu berdiri dengan semangat. “Aaric! Kau harus melihatku.” katanya.
Airélle menatap Lyra dengan sedikit perasaan aneh. Ternyata di dunia seperti ini bisa juga mencari perhatian laki-laki. Dulu, Airélle dan teman-teman perempuannya suka sekali membicarakan adik kelas yang senang mencari perhatian laki-laki. Apalagi jika ada yang mencari perhatian pada Axton, Chelsea tidak akan tinggal diam dan akan melabrak perempuan itu.
Demi apapun, Airélle merindukan teman-temannya.
“AIRÉLLE, AWAS!”
ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤ〔 TO BE CONTINUE 〕
ㅤ
Airélle terlalu sibuk tenggelam dengan pikirannya sendiri sampai tidak memerhatikan sekitarnya.Semua terjadi begitu cepat begitu saja. Lyra yang seharusnya menyerang manekin buatan Mr. Radolf justru mengarahkan elemen airnya pada gadis dengan rambut light blonde itu, Airélle.Dan secepat itu juga, air Lyra dibekukan seorang pengendali es abadi, tepat di depan mata Airélle yang baru tersadar dari lamunannya.Pluit Mr. Radold berbunyi. Beliau mengendalikan kursinya melayang menghampiri Lyra dan memberinya kartu peringatan.“Ini adalah kelas uji elemen, bukan kelas bertarung. Menyerang murid lain di kelas uji elemen adalah pelanggaran, Lyra.” Mr. Radolf menjelaskan. “Silakan datang ke ruang konseling untuk menerima konsekuensimu.”“Tapi, Mr. Radolf, saya tidak sengaja melakukannya,” Lyra menyahut santai.Kareen yang terlihat sangat emosi, langsung mencetus. “Jelas-jelas kau sengaja
Aaric duduk di rerumputan taman, terdiam dengan tatapan terkunci pada langit cerah hari ini. Meski masih penasaran dengan maksud ucapan Aaric, Airélle urung bertanya lanjut dan justru mengikuti laki-laki itu duduk di rerumputan. Anak rambutnya berkibar kecil karena angin sayup-sayup berhembus. “Kau pangeran, ya?” alih Airélle. “Ya.” Bibir Airélle mengerucut mendapati jawaban singkat dari Aaric. Tidak seru diajak mengobrol, pikirnya. Dalam bayangan Airélle, berlatih dengan Aaric nantinya pasti akan sangat membosankan. Bahkan hasilnya akan sia-sia. Sungguh ironis. Aaric menghela napas. “Aku Aaric Casperion, dari Kerajaan Orion. Salah satu kerajaan yang berdiri di bawah Kerajaan Fantasia.” ralatnya. “Baiklah, salam kenal.” tanggap Airélle. “Giliranmu.” Aaric berkata. Airélle mengernyit. “Aku?” bingungnya, ia menunjuk dirinya sendiri. Kemudian tersadar akan makaud Aaric setelah beberapa sekon. “Aah! Namaku Airélle Panemorfi
“𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑖𝑠𝑎𝑘𝑎𝒉 𝑘𝑎𝑢 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛𝑘𝑢?” “𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘! 𝐾𝑎𝑢 𝒉𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑚𝑎𝑛𝑓𝑎𝑎𝑡𝑘𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎.” “𝑈𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑎𝑝𝑎?!” Airélle memegangi kepalanya yang terus berdenyut, menyebabkan pusing luar biasa. “Airélle?” Amatera mengguncang pelan lengannya. Namun fokus Airélle masih teralih pada pusing di kepalanya. Kepalanya sangat sakit. Sementara itu Kareen dan Amatera bertukar pandang, mereka tentu saja khawatir dengan apa yang terjadi dengan Airélle saat ini. Setelah beberapa menit berlalu, Airélle akhirnya nampak lebih tenang. Pusing dan rasa sakit di kepalanya telah mereda. “Aku akan ke kamar untuk istirahat.” ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ 。 。 。 “Hormat hamba, Yang Mulia.” seorang pria dengan pakaian zirah kerajaan lengkap itu bersimpuh. “Hamba datang setelah berpatroli di perbatasan. Segel di perbatasan antara Fantasia dan Hellger telah melemah.” lapornya.
“Aku ingin ke toilet. Kalian duluan saja, aku akan segera ke kelas.”Kalimat itu Airélle katakan pada dua roommatenya saat di perjalanan menuju kelas alkimia. Oh tentu, Airélle sangat muak dengan satu pelajaran itu. Ditambah lagi dengan pengetahuan dunia asing ini? Memikirkan keadaan otaknya nanti membuat gadis itu meringis.Maka, yang Airélle lakukan hanya berjalan-jalan menyusuri akademi yang maha-luas ini. Benar-benar luas. Airélle harap, ia tidak tersesat nanti.Mau berapa ratus kali pun ia memandang, Airélle tidak bisa membohongi dirinya sendiri tentang nilai estetika bangunan akademi. Sentuhan seni kelas dunia, seni yang ia lihat benar-benar di level yang berbeda!“Butuh berapa lama waktu manusia biasa mengerjakan ornamen seni seindah ini di bangunan maha-luas ini?” monolognya.Di sisi lain ketika dia mengagumi keindahan bangunan akademi, selalu saja pertanyaan demi pertanyaan mengiri
Hantu...?Yang benar saja! Setelah Airélle mengatakan hal itu dan terus menarik Aaric agar pergi dari tanah lapang belakang akademi, mereka berdua akhirnya berteleport ke unit kesehatan.“Kau beralasan agar tidak latihan lagi?” desis Aaric.Airélle terkejut karena suara Aaric yang tiba-tiba memecah hening di antara keduanya. Sejurus kemudian, ia mendengus.“Aku tidak.” sanggahnya.“Hantu apanya? Kau tahu, delapan belas tahun aku hidup, tidak ada yang namanya hantu.” Aaric jengkel.“Bukan tidak ada, kau saja yang belum pernah melihatnya.” balas Airélle.“Hantu apa yang kau maksud?” tanya Aaric, masih jengkel.Airélle tergagu. Tidak langsung menjawab, jujur saja dia masih merinding.Mengingat latar belakangnya, jangan lupa bahwa kedua orangtuanya telah tiada. Tapi, tidak dipungkiri Airélle masih mengingat jelas sosok kedua orangt
Dunia penuh kegelapan. Tidak pernah ada cahaya matahari di wilayah Hellger. Iblis-iblis jaya di bawah kegelapan. Penuh nafsu dan ambisi. “Ada apa?” suara berat dan menyeramkan itu menyapa. Seorang iblis perempuan terkekeh. “Kau tidak pandai berbasa-basi, Paman.” “Kau membunyikan alarm rapat darurat. Jadi ada apa?” iblis tua itu tidak mengindahkan kritikan sang keponakan. “Segel di perbatasan kian hari semakin melemah. Menurut ramalan, ini dikarenakan anak hasil hubungan Devilos dan Eliza telah kembali ke tanah kelahirannya.” Qyne, sepupu Raja Hellger yang memiliki ambisi besar itu memulai. Qyne melanjutkan, “Bukan sebagai Putri, kedudukan anak itu adalah Dewi Kehidupan dan Kematian. Sebagaimana orangtuanya. Darahnya bisa membangkitkan Devilos yang tersegel kekuatan Dewa-Dewi.” “Jadi, kita culik dia untuk mengambil darahnya dan membangkitkan Devilos?” sang adik, Qyre, terlihat menyeringai senang. Qyne memandang adiknya s
Berjalan berjam-jam mengelilingi akademi yang maha-luas beehasil membuat kaki Airélle terasa ingin patah sekarang. Maka, Airélle memutuskan untuk duduk beristirahat di air mancur yang ada di halaman sisi barat akademi. Dari keadaan langitnya, Airélle tahu hari sudah beranjak senja. Embusan angin menerbangkan anak rambut Airélle lembut. Senja, ya? Airélle bukan seorang gadis senja. Yang selalu mengagumi goresan oranye yang membentang luas di cakrawala. Sambil mengenang rindu atau kenangan. Bukan Airélle sekali. Tapi, ada satu momen yang membuatnta mengenang masa lalu. Tentang hari itu, saat senja. Ulang tahunnya yang ke delapan belas. Dirayakan saat senja menyapa, bersama kedua orang tuanya. Ayahnya mengajaknya berdansa, dan sang Ibu bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Hari itu, Airélle berhasil merasakan bagaimana menjadi seorang yang bahagia. Sangat bahagia. Lantas, kenapa kebahagiaan itu tidak berlan
Aaric memutuskan untuk benar - benar pergi dari sekitar air mancur halaman sisi barat akademi ketika melihat Airélle beranjak dari duduknya. Gadis light blonde itu menepuk-nepuk bagian belakangnya yang ia pikir kotor. Aaric membalik badannya, berniat berjalan dengan arah yang berlawanan dengan Airélle. Memberikan waktu sendiri bagi gadis itu. Tentunya, sebelum insting istimewanya menyala. Aaric kembali berbalik, dan melihat Airélle tengah kewalahan menjaga keseimbangannya. Gadis itu tumbang. Hampir jatuh dan merasakan sakit di badannya apabila Aaric tidak segera menangkap tubuhnya. “Airélle? Kau mendengarku? Hey, bangun.” Aaric menepuk - tepuk pelan pipi itu, tetapi Airélle hanya diam menutup mata rapat. Dia pingsan. Dengan segera Aaric mengangkat tubuh Airélle di gendongannya. Membawa Airélle sesegera mungkin ke unit kesehatan. Koridor - koridor akademi nampak sepi. Dan tiba - tiba suara gadis menyerukan namanya. Aaric melihat di depa
“Aku tidak jadi izin ke Mr. Grevin.” putus Airélle.Sontak saja dua sahabatnya itu menoleh padanya.“Kau serius?” Amatera memastikan, dan dijawab dengan anggukan kepala Airélle.“Tidak takut jadi santapan singa itu?” tanya Kareen, sedikit menggoda Airélle. Setidaknya ia harap bisa menggoyahkan Airélle, karena bagaimana pun, dia juga cemas akan keselamatan sahabatnya itu.Menanggapi pertanyaan Kareen, Airélle bergidik. Semoga saja dia tidak benar dijadikan santapan sarapan singa itu.“Itu sihir, ya? Singanya tidak habis-habis.” celetuk Airélle.Kareen di sebelahnya terkekeh. “Iya, itu ilusi mata.”“Menyenangkan....” gumam Airélle.“Bagaimana kau akan membunuh singa itu nantinya?” Amatera bertanya lagi.Airélle mengendikkan bahunya. “Aku tidak berpikir akan membunuhnya.”
Airélle menghadap cermin, menguncir rambutnya dengan sedikit tricky sehingga hasilnya terlihat lebih cantik.“Wow, bagaimana kau menguncirnya seperti itu, Airélle? Lebih tinggi dan cantik.” Kareen berkomentar.“Mau kulakukan juga ke rambutmu?” tawar Airélle. Maka, Kareen tidak akan menyia-nyiakan dengan menolaknya.Airélle meminta Kareen duduk menghadap cermin rias, lalu ia akan mengambil alih rambut coklat dengan sedikit helai berwarna hijau bergelombang itu.Amatera baru selesai dengan seragamnya. Ia mengamati Airélle yang menguncir rambut Kareen. Sedikit lebih menyusahkan dilihat dari caranya, tapi hasil tidak mengkhianati usaha.“Kalian berdua tampak lebih segar dengan bentuk kuncir itu.” Amatera berkomentar tepat setelah Kareen memekik senang atas hasil rambutnya.“Ame!” Kareen berseru, masih senang. “Kau juga harus mencoba ini. Ayolah, kita bertiga
Gadis itu melangkah dengan tergesa - gesa menyusuri rak demi rak buku menjulang yang memadati perpustakaan.Karena ia tidak bisa berteleportasi seperti penduduk Fantasia lainnya, dengan bermodalkan ilmu komunikasinya yang menanyai setiap orang yang ia temui di koridor mengenai keberadaan Pangeran Orion akhirnya membuahkan hasil.Langkah itu semakin cepat ketika melihat punggung familiar di depan sana tengah membolak - balikkan lembar tiap lembar buku usang.“Aaric!” Airélle berseru.Laki-laki itu menoleh. “Ada apa?”Airélle mencebik. “Kau bilang untuk menemuimu—”“—jika kau sadar ada sesuatu yang kau butuhkan. Jadi, apa yang hilang dan kau butuhkan?” sela Aaric dengan wajah tanpa dosanya.Airélle menggeram kecil. “Kalungku hilang! Kalung yang kutunjukkan padamu hari itu. Aku butuh... siapa tahu kalung itu bisa membawaku kembali lagi ke Chicago!&rdqu
“AIRÉLLE!!”Kedua gadis itu, Kareen dan Amatera, berseru bersamaan ketika melihat satu bagian dari mereka menunjukan pergerakan pasti.Kelompak mata itu perlahan terbuka. Maniknya yang segelap malam justru seakan berkilauan diterpa sinar mentari.Airélle kembali mengerjapkan matanya.“Oh Gods! Airélle, akhirnya kau sadar!” Kareen langsung berhambur memeluknya.Amatera dengan sigap menarik Kareen agar melepaskan pelukannya pada Airélle.“Jangan membuatnya sesak napas, Reen.” katanya, sukses mengundang kekehan dari Airélle.“Kau sudah tidak apa-apa?” Amatera bertanya, mengabaikan gerutuan Kareen yang merajuk padanya.“Badanku... terasa lemas.” jawab Airélle pelan.“Serius, Airélle!” Kareen menatap lekat-lekat pada Airélle, memberitahu ia tak ingin dibantah. “Jangan tinggalkan sarapanmu, maka
Azrival akhirnya izin pamit undur diri, dia beralasan akan menemui Panglima Fantasia, meskipun niat sebenarnya adalah memberikan waktu berdua kepada dua orang yang paling dihormati di Fantasi, Raja dan Ratu.Sepeninggal Azrival, Raja Galant berjalan lebih mendekat lagi pada Ratu Eliza. Di jarak dekat, beliau bisa melihat wajah khawatir istrinya yang belum pernah Eliza tunjukkan padanya lagi selama belasan tahun.Raja Galant menyampirkan lengannya pada pundak Ratu Eliza. Mengusapnya, menghantarkan ketenangan di sana.“Kau akan menemuinya?” tanya Raja Galant, pelan dan dalam.Ratu Eliza menggeleng sekali lagi. “Tidak, suamiku. Aku belum siap.”“Berikan dia pengertian perlahan. Kau harus menemuinya, Eliza.” Raja Galant memberitahu.“Aku hanya takut, dia tidak bisa menerimaku sebagai ibunya. Dia sangat menyayangi Giovany dan Federick, dia pasti sulit menerima kenyataan ini.” ungkap Ratu Eliza.
Aaric memutuskan untuk benar - benar pergi dari sekitar air mancur halaman sisi barat akademi ketika melihat Airélle beranjak dari duduknya. Gadis light blonde itu menepuk-nepuk bagian belakangnya yang ia pikir kotor. Aaric membalik badannya, berniat berjalan dengan arah yang berlawanan dengan Airélle. Memberikan waktu sendiri bagi gadis itu. Tentunya, sebelum insting istimewanya menyala. Aaric kembali berbalik, dan melihat Airélle tengah kewalahan menjaga keseimbangannya. Gadis itu tumbang. Hampir jatuh dan merasakan sakit di badannya apabila Aaric tidak segera menangkap tubuhnya. “Airélle? Kau mendengarku? Hey, bangun.” Aaric menepuk - tepuk pelan pipi itu, tetapi Airélle hanya diam menutup mata rapat. Dia pingsan. Dengan segera Aaric mengangkat tubuh Airélle di gendongannya. Membawa Airélle sesegera mungkin ke unit kesehatan. Koridor - koridor akademi nampak sepi. Dan tiba - tiba suara gadis menyerukan namanya. Aaric melihat di depa
Berjalan berjam-jam mengelilingi akademi yang maha-luas beehasil membuat kaki Airélle terasa ingin patah sekarang. Maka, Airélle memutuskan untuk duduk beristirahat di air mancur yang ada di halaman sisi barat akademi. Dari keadaan langitnya, Airélle tahu hari sudah beranjak senja. Embusan angin menerbangkan anak rambut Airélle lembut. Senja, ya? Airélle bukan seorang gadis senja. Yang selalu mengagumi goresan oranye yang membentang luas di cakrawala. Sambil mengenang rindu atau kenangan. Bukan Airélle sekali. Tapi, ada satu momen yang membuatnta mengenang masa lalu. Tentang hari itu, saat senja. Ulang tahunnya yang ke delapan belas. Dirayakan saat senja menyapa, bersama kedua orang tuanya. Ayahnya mengajaknya berdansa, dan sang Ibu bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Hari itu, Airélle berhasil merasakan bagaimana menjadi seorang yang bahagia. Sangat bahagia. Lantas, kenapa kebahagiaan itu tidak berlan
Dunia penuh kegelapan. Tidak pernah ada cahaya matahari di wilayah Hellger. Iblis-iblis jaya di bawah kegelapan. Penuh nafsu dan ambisi. “Ada apa?” suara berat dan menyeramkan itu menyapa. Seorang iblis perempuan terkekeh. “Kau tidak pandai berbasa-basi, Paman.” “Kau membunyikan alarm rapat darurat. Jadi ada apa?” iblis tua itu tidak mengindahkan kritikan sang keponakan. “Segel di perbatasan kian hari semakin melemah. Menurut ramalan, ini dikarenakan anak hasil hubungan Devilos dan Eliza telah kembali ke tanah kelahirannya.” Qyne, sepupu Raja Hellger yang memiliki ambisi besar itu memulai. Qyne melanjutkan, “Bukan sebagai Putri, kedudukan anak itu adalah Dewi Kehidupan dan Kematian. Sebagaimana orangtuanya. Darahnya bisa membangkitkan Devilos yang tersegel kekuatan Dewa-Dewi.” “Jadi, kita culik dia untuk mengambil darahnya dan membangkitkan Devilos?” sang adik, Qyre, terlihat menyeringai senang. Qyne memandang adiknya s
Hantu...?Yang benar saja! Setelah Airélle mengatakan hal itu dan terus menarik Aaric agar pergi dari tanah lapang belakang akademi, mereka berdua akhirnya berteleport ke unit kesehatan.“Kau beralasan agar tidak latihan lagi?” desis Aaric.Airélle terkejut karena suara Aaric yang tiba-tiba memecah hening di antara keduanya. Sejurus kemudian, ia mendengus.“Aku tidak.” sanggahnya.“Hantu apanya? Kau tahu, delapan belas tahun aku hidup, tidak ada yang namanya hantu.” Aaric jengkel.“Bukan tidak ada, kau saja yang belum pernah melihatnya.” balas Airélle.“Hantu apa yang kau maksud?” tanya Aaric, masih jengkel.Airélle tergagu. Tidak langsung menjawab, jujur saja dia masih merinding.Mengingat latar belakangnya, jangan lupa bahwa kedua orangtuanya telah tiada. Tapi, tidak dipungkiri Airélle masih mengingat jelas sosok kedua orangt