๐ณ๐๐๐บ๐พ๐ต๐ด๐๐ด ๐ฟ๐๐ด๐๐ด๐ฝ๐๐ธ๐ฝ๐ถ
ใ๏ผก๏ผฆ๏ผด๏ผฅ๏ผฒ๏ผฆ๏ผก๏ผฌ๏ผฌใ
Gadis dengan surai panjang yang dibiarkan tergerai itu turun dari taxi yang ditumpanginya dengan wajah berbinar. Bibirnya yang terpoles lipstick tipis itu terus memperlihatkan senyuman indah yang tak dapat dideskripsikan dengan kata. Langkah tenangnya berjalan memasuki toko bunga kecil di pinggir jalan yang tak terlalu terkenal.
โSelamat pagi, ada yang bisa saya bantu?โ seorang pria yang berjaga di balik meja kasir berdiri tatkala ia mendengar bunyi lonceng pertanda ada seseorang yang masuk ke dalam toko bunganya.
Senyuman gadis itu semakin merekah. Langkah tenangnya kini berubah menjadi larian kecil penuh semangat. โTheo, aku sangat merindukanmu!โ serunya seraya memeluk pria di balik meja kasir itu dengan erat.
Theo yang melihat aksi kekasihnya itu hanya bisa tertawa kecil dan membalas pelukannya dengan tak kalah erat. โAku bahkan baru pergi selama seminggu, Kaline.โ
Pelukan hangat yang berlangsung selama beberapa menit itu terpaksa terlepas. Manik abu-abu milik Kaline menatap manik cokelat terang milik kekasihnya itu dengan penuh rasa rindu. โKau juga tidak menghubungiku selama seminggu, tahu!โ balasnya dengan kesal.
โHahaha!โ tangan Theo terangkat, merapikan surai Kaline yang sedikit berantakan. โAku pergi ke pedalaman desa, tidak mungkin ada sinyal di sana.โ
Tak ada percakapan setelahnya. Dua sejoli itu hanya menatap satu sama lain dengan tatapan penuh kasih sayang. Seminggu tanpa saling bertatap muka dan bercakap bukan hal yang mudah bagi sepasang kekasih yang sudah berpacaran selama lebih dari 5 tahun.
โApa kau lupa hari ini hari apa?โ Kaline kembali membuka percakapan, terus menatap Theo dengan binar penuh semangat.
Theo tersenyum jail, alisnya tertekuk seakan-akan ia tengah berpikir keras. โHari Minggu, bukan?โ ia mengambil beberapa langkah kecil ke belakang, menjauh dari Kaline yang sebentar lagi akan memukulnya karena melupakan hari yang sangat spesial.
โTunggu, apa maksudmu?!โ teriak Kaline kesal, lantas melempar tas selempang berwarna cokelat muda yang dibawanya yang disusul gelak tawa dari Theo yang terdengar sangat puas lantaran berhasil membuat Kaline kesal.
Theo terus menghindar setiap kali Kaline hendak memberinya pukulan-pukulan kecil, membuat keduanya berlarian di dalam toko bunga kecil itu tanpa mempedulikan bunga-bunga yang berjatuhan setiap kali mereka tak sengaja menyenggolnya.
โTada!โ Theo berhenti tepat di ujung ruangan. Tangannya terjulurโentah sejak kapan ia membawa buket bunga mawar putih dengan sedikit bunga edelweis kesukaan Kaline.
Kaline tersenyum penuh haru, kembali memeluk kekasihnya dengan erat. โSepertinya aku orang paling beruntung di dunia,โ ucapnya berusaha menahan tangisan bahagia yang selalu muncul setiap kali Theo memberikan kejutan-kejutan kecil untuknya.
โSudah ... jangan menangis.โ Theo mengelus punggung Kaline dengan pelan, berusaha menenangkan kekasihnya. โBagaimana bisa aku melupakan hari ulang tahunmu, Kaline?โ bisiknya.
Kaline yang sudah merasa lebih tenang itu perlahan-lahan melepaskan pelukannya. Manik abu-abunya memperhatikan buket bunga yang selalu Theo berikan padanya setiap kali ia berkunjung ke toko bunga miliknya. Buket yang selalu samaโmawar putih dan edelweisโnamun entah kenapa buket ini tampak lebih spesial dari yang telah diberikan padanya sebelumnya.
Alis Kaline menyatu. โApa ini?โ tanyanya saat Kaline mendapati surat kecil yang terselip di susuan bunga yang saling berdempetan itu. โKenapa kali ini ada suratnya?โ Kaline menatap Theo heran. Ini kali pertama Theo memberikan surat di dalam buketnya.
Theo mengedikkan bahunya, tak hendak memberikan bocoran sedikit pun.
Kaline menghela napas. Ia lantas membuka surat kecil itu dengan tidak sabaran.
Masih ingat saat pertama kali aku mengajakmu berkencan? Bagaimana kalau kita makan malam bersama di sana?
Kaline tak mampu menahan tawanya. Selama ia mengenal Theo, ini kali pertama pria itu memberikan surat untuknya. โApa kau sedang demam, huh?โ tanya Kaline. Pandangannya tak lepas dari surat kecil itu.
โBagaimana, kau mau?โ tanya Theo dengan kedua alis terangkat, menunggu jawaban Kaline yang terus terpaku memandangi surat pemberiannya.
Kepala Kaline terangkat dengan senyuman lebar, menampilkan barisan giginya yang tersusun dengan rapi. โTentu saja!โ jawab Kaline bersemangat.
***
โSepertinya ini lebih bagus jika diletakkan di ujung sana.โ
Sudah lebih dari 4 jam Theo mondar-mandir membawa berbagai peralatan yang ia gunakan untuk mendekorasi seluruh lantai dua restoran tempat ia pertama kali mengajak Kaline untuk berkencan.
Ia menatap sekeliling ruangan dengan puas. Polaroid-polaroid yang menampilkan potret mereka berdua terpajang di sepanjang dinding dengan bunga-bunga segar yang turut menghiasi. Hanya ada satu meja dengan sepasang kursi yang terletak di tengah-tengah ruangan. Lilin pengganti lampu pijar beserta aroma mawar yang semerbak turut menambah nuansa romantis yang hendak dibagunnya.
Seorang pelayan menghampiri pria beberapa detik setelah Theo melambaikan tangannya. โAda yang bisa saya bantu, Tuan?โ
Theo mengangguk. Tangannya merogoh kocek celana jeans hitam yang ia kenakan, mengeluarkan kotak kecil berwarna merah dari dalam sana. Untuk kesekian kalinya, Theo memandangi kotak yang berisi sebuah cincin perak dengan permata serta ukiran nama โKalineโ di bagian dalamnya.
โTolong simpan ini. Aku akan pulang sebentar untuk berganti pakaian.โ
***
Matahari telah sepenuhnya tenggelam berganti dengan bulan purnama yang tampak amat cerah bersama bintang-bintang yang mengelilinginya. Theo sudah kembali ke restoran itu sekitar 30 menit yang lalu. Ia datang dengan setelan jas berwarna putih dengan dasi kupu-kupu hitam. Setelan yang sama persis dengan saat ia pertama kali bertemu Kaline di pesta kelulusan kakaknya tujuh tahun yang lalu.
Theo menatap sekeliling ruangan yang tampak remang-remang lantaran penerangan yang hanya memakai puluhan lilin itu dengan puas. Ia telah mendekorasi ruangan ini selama berjam-jam dengan hasil yang sangat memuaskan.
โTuan, taxi yang dinaiki Nona Kaline sepertinya telah tiba,โ ucap seorang pelayan yang menghampiri Theo sembari memberikan kotak cincin yang dititipkan kepadanya sebelumnya.
Theo mengangguk. Ia lantas memasukkan kotak cincin itu ke dalam saku jasnya dan berjalan menuju ruangan kecil yang telah ia siapkan untuk tempatnya bersembunyi.
Beberapa menit telah berlalu namun ia tak kunjung terdengar suara langkah kaki seseorang yang menaiki tangga. โApa pelayan itu salah melihat orang?โ pikir Theo yang tampak kebingungan.
โTolong!โ suara teriakan seorang perempuan yang terdengar nyaring dengan sangat jelas bersamaan dengan pintu ruangan kecil tempatnya bersembunyi diketuk dengan kasar membuat Theo terpanjat kaget.
Dengan cepat, Theo membuka pintu itu dan mendapati pelayan yang sama muncul dengan wajah yang pucat pasi serta keringat yang mengucur di sekitar dahinya. โAda apa?โ tanya Thoe kebingungan.
โKe-kekasih Anda ....โ Bahkan belum sempat si pelayan yang terbata-bata itu mengucapkan kalimatnya, Theo sudah terlebih dahulu berlari turun dari tangga.
Ada banyak orang yang berkerumunan di tengah jalan, mengelilingi sesuatu yang tak dapat dilihat Theo dengan jelas. Genangan darah yang mengalir itu membuat langkah Theo melambat. Ia mendekati kerumunan itu dengan ragu-ragu. Matanya yang sudah tak fokus lagi memandangi satu-persatu orang yang ada di kerumunan, berharap ia menemukan Kaline di antara wajah-wajah panik itu.
Langkahnya terhenti saat ia bisa melihat dengan jelas seorang gadis tergeletak di atas aspal dingin dengan gaya yang tidak normal. Dress putih yang ia kenakan telah berganti warna, ternodai dengan warna merah pekat dari darahnya sendiri. Tulang kakinya mencuat ke luar, membuatnya hampir terpisah dengan tubuhnya.
Theo mematung. Satu-satunya yang bergerak hanyalah air mata yang tak lagi dapat ditahannya. Meski wajah gadis itu tak terlihat dengan jelas lantaran darah yang mengenainya, Theo dapat mengenal gadis itu dengan jelas.
Kaline. Gadis yang akan ia lamar hari ini berakhir tragis dengan terbaring kaku di atas aspal dingin. Manik abu-abu yang sangat ia sukai itu tertutup dengan rapat, wajah cantiknya terdapat luka-luka yang menganga dengan lebar.
โKaline ....โ lirihnya yang tak kuasa menahan rasa sedih sekaligus rasa bersalah melihat gadis yang paling ia sayangi itu meninggal dengan cara yang amat menyakitkan. Theo ada di tempat yang sama dengannya, namun ia tak bisa menyelamatkan hidup Kaline.
Ia merasa seperti pria paling bodoh.
ยปโโโโโโโโโโโ
๐ ๐ช๐ฃ๐๐ช๐ฃ๐๐ ๐๐ฃ๐จ๐ฉ๐๐๐ง๐๐ข @๐๐ช๐จ๐ ๐ค๐๐๐ฎ๐ ๐ช๐ฃ๐ฉ๐ช๐ ๐ข๐๐ก๐๐๐๐ฉ ๐๐๐ฉ๐๐๐ก ๐๐๐ง๐๐ฉ๐
๐ณ๐๐๐บ๐พ๐ต๐ด๐๐ด ๐ฟ๐๐ด๐๐ด๐ฝ๐๐ธ๐ฝ๐ถใ๏ผก๏ผฆ๏ผด๏ผฅ๏ผฒ๏ผฆ๏ผก๏ผฌ๏ผฌใTangan gadis itu bergetar hebat. Ia terlihat sangat panik, matanya yang merah lantaran terus mengeluarkan air mata memandangi kerumunan sekelilingnya dengan panik. Ia berusaha memegang mereka namun tak berhasil. Suaranya yang terdengar serak itu terus berteriak, namun semua orang terlalu fokus pada gadis yang terbaring mengenaskan di atas aspal dingin itu.Gadis itu sangat mirip dengan dirinya."Ini saatnya kau pergi, Kaline." Seseorang tiba-tiba bersuara dengan lembut dari belakangnya.Kaline lantas berbalik. Seorang perempuan yang memanggilnya itu tak dapat ia melihat dengan jelas wajahnya. "Si-siapa kau?" tanyanya dengan hati-hati.
๐ณ๐๐๐บ๐พ๐ต๐ด๐๐ด ๐ฟ๐๐ด๐๐ด๐ฝ๐๐ธ๐ฝ๐ถใ๏ผก๏ผฆ๏ผด๏ผฅ๏ผฒ๏ผฆ๏ผก๏ผฌ๏ผฌใ“Apa kau yakin baik-baik saja, Kaline?”Sang Raja yang berdiri duduk di ujung kursi meja makan yang teramat panjang itu bersuara, ia terdengar seperti seorang pemimpin layaknya seorang raja. Suaranya terkesan tegas nan absolut meski Kaline tahu kalau Sang Raja berbicara sebagai seorang ayah, bukan pemimpin kerajaan kepadanya.Kaline mengangguk. “Saya baik-baik saja, Ayah. Tidak perlu khawatir tentangku. Saya minta maaf telah membuat Anda khawatir.” Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, menatap daging panggang yang tersuguh di atas meja jati berwarna cokelat tanpa minat.Kaline bisa mendengar dengan jelas Sang Ratu membuang napasnya dengan kasar dari ujung meja satunya. &ldqu
๐ณ๐๐๐บ๐พ๐ต๐ด๐๐ด ๐ฟ๐๐ด๐๐ด๐ฝ๐๐ธ๐ฝ๐ถใ๏ผก๏ผฆ๏ผด๏ผฅ๏ผฒ๏ผฆ๏ผก๏ผฌ๏ผฌใLangkah Kaline tampak begitu tergesa-gesa sembari menarik lengan Narin yang tampak kesulitan menyamakan langkah gadis di depannya. Pertemuan tadi berlangsung cukup cepat dengan kesimpulan ... akan ada sayembara antar kerajaan dan pemenangnya akan menikahi Putri Ralenia Kaline Gard, penerus satu-satunya tahta Kerajaan Eargard.Tentu saja jauh di dalam hatinya Kaline menolak dengan tegas. Bagaimana ia bisa menikahi makhluk-makhluk aneh itu? Melihat mereka mengeluarkan percikan api, berubah menjadi serigala, atau pun vampir berwajah pucat saja sudah sangat mengerikan. Namun tatkala ia mendengar suara Raja yang tegas nan absolut kembali membungkam mulutnya untuk mengajukan keberatan.“Putri, sebenarnya ada apa?” tanya Narin panik saat pintu
๐ณ๐๐๐บ๐พ๐ต๐ด๐๐ด ๐ฟ๐๐ด๐๐ด๐ฝ๐๐ธ๐ฝ๐ถใ๏ผก๏ผฆ๏ผด๏ผฅ๏ผฒ๏ผฆ๏ผก๏ผฌ๏ผฌใ“Putri, apa Anda serius akan melakukannya?” untuk kesekian kalinya, Narin bertanya dengan pasrah. Ujung jarinya terasa dingin tatkala ia membantu Kaline memakai jubah, pun dengan bibirnya yang memucat lantaran panik.“Tenang saja, aku tidak akan membahayakanmu.” Kaline berusaha menenangkan. “Kau hanya perlu memberitahuku dimana tepatnya Pangeran Cliftone bermalam. Setelahnya, kau boleh pergi. Jika aku tertangkap, aku bersumpah tidak akan menyebut namamu.”Meski masih terlihat skeptis, Narin mengambil secarik kertas dan mulai menggambarkan denah sederhana. “Pangeran dari Voalire ada di istana bagian barat, begitu juga tamu yang lainnya. Jika saya tidak salah, kamarnya adalah satu yang paling ujung, dekat dengan balkon besa
๐ณ๐๐๐บ๐พ๐ต๐ด๐๐ด ๐ฟ๐๐ด๐๐ด๐ฝ๐๐ธ๐ฝ๐ถใ๏ผก๏ผฆ๏ผด๏ผฅ๏ผฒ๏ผฆ๏ผก๏ผฌ๏ผฌใSuara tapak sepatu yang bersatu dengan lantai kasar itu terdengar dengan jelas, perlahan-lahan bergerak menjauh darinya. Benar. Kenapa Kaline tidak memikirkan ini sebelumnya? Bagaimana jika Pangeran dari Voalire menolak untuk berbicara padanya? Pertanyaan sederhana yang belum mendapatkan jawaban itu membawanya ke dalam kegagalan.“Tapi aku adalah tuan rumah di sini, Pangeran.” Kaline berbalik, membuat pintu ganda yang hendak tertutup sempurna itu terhenti pergerakannya.Gadis itu telah berusaha keras untuk menginjakkan kakinya di sini. Ia tidak akan menyerah semudah itu. “Bukankah kau seharusnya memberikan sedikit rasa hormat jika kau memang belajar tata krama?”Pangeran Cliftone melipat kedua
๐ณ๐๐๐บ๐พ๐ต๐ด๐๐ด ๐ฟ๐๐ด๐๐ด๐ฝ๐๐ธ๐ฝ๐ถใ๏ผก๏ผฆ๏ผด๏ผฅ๏ผฒ๏ผฆ๏ผก๏ผฌ๏ผฌใKastil luas itu tampak amat suram. Tidak sedikitpun cahaya fajar dapat masuk melewati gorden-gorden tebal yang terpasang di setiap jendela. Seorang pria dengan jubah hitam yang tak pernah lepas dari tubuh jakungnya itu berdiri tegak menatap betapa kosongnya kastil itu. Udara dingin melilit kulit pucat yang tak pernah mengusik ketenangan pria itu.“Sudah pulang, Pangeran?”Pangeran Cliftone berbalik, mendapati seorang pria jakung akhir 40-an itu menatapnya dengan manik merah menyala. Sudah lebih dari satu dekade Cliftone mengenal pemimpin Voalire itu, namun tak sedikitpun dari wajahnya berubah menua.Pangeran Cliftone menunduk. “Baru saja, Yang Mulia.”
๐ณ๐๐๐บ๐พ๐ต๐ด๐๐ด ๐ฟ๐๐ด๐๐ด๐ฝ๐๐ธ๐ฝ๐ถใ๏ผก๏ผฆ๏ผด๏ผฅ๏ผฒ๏ผฆ๏ผก๏ผฌ๏ผฌใTepat dua hari sebelum pertemuannya dengan Pangeran Cliftone, Kaline masih belum menemukan cara bagaimana ia bisa tiba di Danau Sane tepat waktu. Meski ia sadar maksud Pangeran dari Voalire itu membalas surat hanya untuk mempermainkan Kaline, tapi itu tetap kesempatan emas. Bagaimanapun, ia harus tetap hadir meski melukai harga dirinya sekalipun.“Apa kau sungguh yakin cara ini tidak akan berhasil?” tanya Kaline untuk kesekian kalinya.Narin menghela napasnya. Sudah berjam-jam mereka berdebat soal ini. “Anda adalah seorang penerus tahta Kerajaan Eargard, Putri. Tentu tidak mudah menghilang begitu saja meski hanya dalam satu jam,” jelas Narin dengan sabar.Sejujurnya, ia merasa kas
๐ณ๐๐๐บ๐พ๐ต๐ด๐๐ด ๐ฟ๐๐ด๐๐ด๐ฝ๐๐ธ๐ฝ๐ถ ใ๏ผก๏ผฆ๏ผด๏ผฅ๏ผฒ๏ผฆ๏ผก๏ผฌ๏ผฌใ Kaline menatap Pangeran Cliftone tajam. Ia tak peduli manik merah menyala milik lawannya itu membalas tak kalah tajam. Setelah pertemuan mereka, Pangeran Cliftone langsung membawa Kaline menuju gubuk kecil yang tampak tua. โBeraninya kau membangun tempat persembunyian di wilayahku,โ ucap Kaline penuh penekanan. Bagaimana bisa gubuk ini lolos dari pengawasan para penjaga perbatasan? Jika terus dibiarkan, vampir ini bisa saja masuk ke istana tanpa ketahuan. Pangeran Cliftone tersenyum sinis, tampak sama sekali tak merasa bersalah atas tindakannya. โAndai kau tahu hal kotor yang orang kalian lakukan di wilayahku, Putri. Kau harus berkunjung ke penjara Voalire lain kali.โ Kaline terdiam. Ia telah mende
Setahun setelah musim dingin yang menegangkan. Saat malam gelap lagi-lagi menurunkan hujan gumpalan es pertama yang kali ini disambut dengan penuh kegembiraan.Setahun setelah musim dingin yang menegangkan. Sebuah penikahan akan dilaksanakan.“Cal, apa kau baik-baik saja?” tanya Kaline khawatir, menatap Pangeran Cliftone yang berdiri di sebelahnya sebagai seseorang yang beberapa detik lagi akan dinikahi.“Kau tahu aku telah-”“Aku telah memaafkanmu,” potong Kaline, kembali mengeratkan genggaman tangannya pada jemari Pangeran Cliftone yang sempat melonggar.“Kau bisa membatalkannya sebelum acaranya dimulai,” ucap Pangeran Cliftone untuk yang kesekian kalinya.Lagi-lagi, Kaline menggeleng dengan tegas. “Tidak akan ada yang dibatalkan, Cal. Aku akan menikahimu.”Pangeran Cliftone membuang napasnya dengan kasar. Ada perasaan campur aduk yang sedari tadi hinggap di dalam dir
Kaline membelalak. Tepat sebelum panah yang dilepaskan Zed mengenai tubuh Pangeran Antheo, peri-peri bersayap merah beterbangan secara acak, membakar panah itu hingga tak bersisa.“Sial!” Pangean Rex menggerutu kesal. Maniknya yang kecoklatan seperti madu berubah menjadi kuning terang. Gigi-giginya yang tajam tiba-tiba saja muncul.Gawat. Pangeran Rex akan berubah menjadi serigala.“Pangeran, awas!” seru Kaline, berusaha mengalihkan perhatian Pangeran Antheo yang fokus memerintah para peri itu sehingga tak menyadari Pangeran Rex dengan tubuh serigala yang beringas berdiri tepat di belakangnya.Satu ayunan penuh amarah keluar, seakan mengajak Pangeran Antheo berduet dengannya yang langsung diterima Pangeran Antheo tanpa keberatan.Sementara Kaline yang masih terikat di pohon berseru panik. Ingin sekali ia curi pisau kecil yang terselip di antara celana Zed, namun mustahil karena kini, kuku-kukunya sudah berubah menjadi panjan
Kedua tangan itu menggenggam setir mobil dengan kuat. Nyeri di ulu hatinya sama sekali tak mereda. Meski begitu, tidak akan ada satupun air mata yang membasahi pipinya. Waktunya sudah habis. Gadis yang dicintainya akan bertunangan dengan seseorang. Seseorang yang jauh lebih baik darinya. Seseorang yang bisa menyampaikan perasaannya. Bukan dengan seorang pengecut seperti dirinya yang seumur hidup hanya berani melihatnya dari jauh. Kaline, seorang perempuan yang tinggal di depan rumahnya. Mereka tumbuh bersama. Cal melihat semuanya. Bagaimana lucunya gadis itu saat balita hingga kini tumbuh menjadi seorang perempuan jelita. Selama itu, ia tak melakukan apapun. Bahkan tidak sekalipun ia pernah menyapanya. Cal adalah seorang pengecut. Dulu maupun sekarang. Dalam kecepatan mobil yang tinggi dan terus berjalan, pandangannya terkunci pada sebuah restoran tiga lantai. Disanalah, harapannya akan benar-benar berakhir, kala seorang pria menyematkan cincin indah
Napas Kaline teramat sesak. Dalam kondisi terikat pada pohon besar seperti sekarang, Kaline nyaris tidak dapat melakukan apapun jika saja mulutnya ikut tertutup.“Apa yang kau lakukan?” tanya Kaline penuh amarah saat Pangeran Rex mendekat dengan senyuman memuakkan.Bagaimana bisa pria itu tersenyum setelah hal gila yang ia lakukan?“Ssstt … tidak perlu marah, Putri. Aku hanya ingin membuat namamu abadi. Setelah ini, aku yakin tidak akan ada yang berani melupakanmu,” ucapnya dengan penuh kebanggaan sambil menumpahkan sebotol minyak berbau menyengat tepat di bawah kaki Kaline.Dari ujung mata gadis itu, dapat ditangkap pergerakan Pangeran Antheo dan Cliftone yang mengendap-endap menuju tempat yang saling berlawanan. Langkah Pangeran Antheo perlahan mendekati seorang penyihir tua yang sedang fokus bertapa, sedangkan langkah Pangeran Cliftone menjauhinya.Rencana mereka harus berhasil.“Kau akan menyesali per
“Aku bersumpah aku tidak tahu apapun tentang ini!” seru Pangeran Antheo dengan frustasi.Ini sudah lebih dari dua puluh kali Kaline dan Pangeran Cliftone menanyakan hal yang sama, terus membuat posisinya semakin terpojok.Pangeran Antheo mengatakan hal yang sebenarnya. Dia tidak tahu apapun soal ini. Bahkan hingga saat ini, dirinya masih bertanya-tanya bagaimana bisa peri-peri itu berada di luar kendalinya.“Kau sendiri yang mengatakan bahwa hanya dirimu yang bisa mengendalikan peri-peri itu, Pangeran. Jangan berbohong.” Kaline terus mendesaknya. Meski Pangeran Antheo tidak bisa melihat apapun sekarang, ia yakin kini Kaline sedang memandangnya dengan tajam.“Demi negeriku, Putri. Aku tidak tahu apapun soal ini. Peri-peri itu, aku tidak tahu apapun!” seru Pangeran Antheo sambil menjambak rambutnya untuk mengalihkan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuhnya.“Sudahlah, Putri. Kau tahu dia bukan pelak
Lenguhan ringan beberapa kali keluar dari mulut Kaline. Kepalanya terasa seperti baru saja ditimpa oleh sesuatu yang berat dan memang benar adanya, di dahi gadis itu sekarang, sudah ada benjolan sebesar setengah bola pingpong. Bau busuk asap pertama kali masuk ke dalam indera penciumannya saat gadis itu terbangun. Kedua tangan dan kakinya terikat dengan kencang, membuat gadis itu harus bersusah payah untuk menyandarkan tubuhnya pada dinding di tepi ruangan kecil ini. โAh โฆ akhirnya ada yang terbangun juga.โ Suara ringan itu membuat Kaline kembali was-was. Di dalam kegelapan seperti ini, ia tidak bisa melihat apapun kecuali โฆ dua sinar kecil berwarna merah di ujung ruangan. โCal, apa itu kau?โ tanya Kaline dengan hati-hati. โYa โฆ syukur kau masih mengingatku. Aku pikir kau akan hilang ingatan setelah dipuku oleh bata, Putri,โ jawab pria itu dengan candaan yang sama sekali tidak lucu. Kaline memilih untuk tidak lagi menimpali ucapan pria
Kantung mata yang mulai menghitam itu sama sekali tidak dipedulikan oleh Pangeran Antheo. Sudah seminggu lebih ia hanya tidur selama 2 jam. Malam panjang yang seharusnya digunakan untuk istirahat ia habiskan bersama lima ekor peri nakal yang kini sudah kembali terkurung didalam sangkarnya.Kini, saat samar-samar fajar telah terlihat, Pangeran Antheo akan kembali ke Istana Eargard dengan wajah lelah.Ada jeda waktu lima hari tersisa sebelum sayembara akan kembali dimulai. Lima hari yang harus dimanfaatkannya sebaik mungkin untuk membuat monster-monster kecil di dalam sarang itu patuh padanya. Setelah ia berhasil mengendalikan 5 peri penghancur ini, ia akan kembali mengirimkannya ke penjara bawah laut.Langkah jenjang pria itu perlahan-lahan melambat kala mendengar sesuatu yang mencurigakan.Jelas sekali tadi terdengar beberapa langkah kecil di belakangnya. Meski pendengaran Pangeran Antheo tak begitu tajam, bahkan saat ia sengaja berjalan denga
Sinar bulan purnama malam ini tampak amat terang, seakan-akan cahayanya mampu menerangi 4 orang yang kini sedang bersembunyi diantara semak belukar, membiarkan tubuh mereka menjadi santapan empuk nyamuk yang kelaparan.Kaline terus berdoa dalam hati, harap-harp Narin tidak memasuki kamarnya malam ini agar tidak ada yang tahu bahwa Putri Mahkota Eargard diam-diam menyusup pergi menguntit Pangeran Antheo.Tentu saja, jika aktivitasnya bersama 3 pria ini ketahuan dan beritanya menyebar, merekaa terpaks mendekam di istana selama berbulan-bulan untuk menghindari hujatan masyarakat. Menguntit adalah tindakan yang berbelok dari tata krama. Siapapun bangsawan yang menyalahi tata krama akan dianggap tidak memiliki adab dan dikucilkan oleh masyarakat dan tentu saja itu tak boleh terjadi mengingat posisi Kaline sebagai Putri Mahkota yang seharusnya dihormati.
malam sebelumnya Tatapan penuh permusuhan itu tampak dengan amat jelas di antara kedua tanganya. Meja bundar sebagai penengah itu agaknya terlampau kecil untuk menghalau aura menegangkan diantara keduanya. Tidak, di meja itu tidak hanya ada mereka berdua. Seorang wanita tua dengan punggung yang sudah membungkuk ada di antara keduanya dengan senyuman licik yang tak kunjung pudar. Selain itu, Zed juga dengan setia berdiri di belakang Pangeran Rex. โJadi, seberapa jauh yang kau tahu?โ tanya Pangeran Rex dengan dingin, membuka suara untuk pertama kalinya. Mata menyala yang terus berkilat itu tak gentar membalas tatapan tajam dari manik bak madu milik Pangeran Rex. Jika saja ia bukan seorang vampir, sudah pasti ia akan meminum teh hangat di hadapannya untuk mengulur waktu, bermaksud membuat Pangeran Rex tersulut emosi. โAku tidak bisa mengukur jika tidak tahu batasan ukurannya, Pangeran. Jika kau menginginkan jawabannya, kau harus memberitahuku sej