𝙳𝚄𝚂𝙺𝙾𝙵𝙴𝚈𝙴 𝙿𝚁𝙴𝚂𝙴𝙽𝚃𝙸𝙽𝙶
【AFTERFALL】
“Apa kau yakin baik-baik saja, Kaline?”
Sang Raja yang berdiri duduk di ujung kursi meja makan yang teramat panjang itu bersuara, ia terdengar seperti seorang pemimpin layaknya seorang raja. Suaranya terkesan tegas nan absolut meski Kaline tahu kalau Sang Raja berbicara sebagai seorang ayah, bukan pemimpin kerajaan kepadanya.
Kaline mengangguk. “Saya baik-baik saja, Ayah. Tidak perlu khawatir tentangku. Saya minta maaf telah membuat Anda khawatir.” Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, menatap daging panggang yang tersuguh di atas meja jati berwarna cokelat tanpa minat.
Kaline bisa mendengar dengan jelas Sang Ratu membuang napasnya dengan kasar dari ujung meja satunya. “Bagaimana bisa kami tidak khawatir, lady-in-waiting yang selalu bersamamu berkata sebaliknya. Ia mengatakan kau tampak sangat kesakitan dan melupakan segalanya,” ucap Ratu dengan suara getir.
“Saya baik-baik saja sekarang, Ibu.” Bibir Kaline terangkat, membentuk senyuman kecil guna meyakinkan keduanya.
“Ingatlah, Kaline. Kau satu-satunya penerus kerajaan ini. Jangan membahayakan dirimu secara terus menerus. Jika tidak ka-“
Suara dentingan pisau dan garpu mengenai piring porselen terdengar sangat nyaring, memotong ucapan Ratu dengan sepihak. “Sudah kukatakan untuk tidak membawa masalah kerajaan dalam waktu makan, Ratuku. Kita bertiga di sini sebagai keluarga.” Meski suara berat Raja terdengar sangat ringan dan tenang, Kaline merasa sesak yang teramat. Bahkan hanya dengan perkataannya, Kaline tahu kalau Raja adalah sosok yang berbahaya.
Ratu menundukkan kepalanya, melepaskan pisau dan garpu yang ada di tangannya dengan tenang. “Maafkan saya, Yang Mulia.”
Mata abu-abu Raja yang meski terlihat sudah renta, masih saja mengeluarkan aura mencekam itu kini beralih paa Kaline, membuatnya tercekat untuk beberapa saat. “Jika kau merasa baik-baik saja, datanglah ke pertemuan antar kerajaan saat matahari terbenam. Kami akan membuat keputusan besar, dan aku ingin kau turut andil di dalamnya.”
***
2 orang penjaga yang mengenakan baju zirah lengkap bersama pedang panjang yang menyangkut di pinggang mereka itu membukakan dua bilah pintu ganda dari jati dengan ukiran singa—lambang kerajaan Eargard—di atasnya mempersilakan Kaline beserta Narin yang selalu setia berjalan di belakangnya.
Ruangan pertemuan itu tampak amat besar dengan meja bundar beserta kursi-kursi yang berjajar mengelilinginya. Jika dikira-kira, ruangan ini bisa memuat 100 orang dan masih bisa bertambah mengingat masih banyak ruang kosong yang ada di dalamnya.
Raja dan Ratu Eargard duduk di sebuah kursi dengan bentuk yang paling rumit di antara semuanya. Bantalannya berwarna merah terang, sedangkan sangganya berwarna emas. Tentu tidak ada maksud lain selain mengingatkan siapa yang berkuasa di sini.
“Yang Mulia.” Kaline menundukkan badannya serta kepalanya dalam-dalam. Raja yang menggunakan mahkota berat di atas kepalanya beserta jubah panjang kini tampak lebih berbahaya daripada apapun.
“Silakan duduk di kursimu, Putri.”
Narin melangkah terlebih dahulu, menarik kursi serupa seperti milik Raja dan Ratu namun lebih kecil. Selepas memastikan Kaline duduk dengan nyaman, ia lantas pergi ke pojok ruangan, berkumpul bersama lady-in-waiting lainnya yang tampak berdiri siaga.
Kaline memperhatikan kursi-kursi kosong di sekelilingnya gelisah, jauh berbeda dengan pemimpin kerajaan yang berada di sampingnya yang tampak tenang.
Seorang petugas yang mengenakan baju zirah berjalan dengan gagah, menghampiri kursi mereka lalu menunduk dengan hormat. “Perwakilan dari Kerajaan Lyvora telah tiba, Yang Mulia.”
Raja mengangguk sekilas. “Persilakan mereka masuk.”
Tak lama kemudian, pintu ganda itu kembali terbuka, menampilkan 5 orang pria dengan baju seragam berwarna hijau tua masuk, mengikuti jalur karpet merah yang terbentang di lantai.
Mata abu-abu Kaline mengerjap beberapa saat, memastikan penglihatannya tidak salah. Kelima pria dari Kerajaan Lyvora itu mengeluarkan percikan api saat sepatu hitam mengkilap yang mereka kenakan menyentuh lantai.
“Yang Mulia, perkenalkan saya Albert utusan Raja Alvinka V.” Seorang pria yang tampak paling tua di antara mereka memperkenalkan diri, tak lupa menundukkan punggungnya.
“Mengejutkan saat mengetahui Rajamu tidak turut hadir, Albert,” komentar Raja dengan nada datar, namun semua orang di dalam ruangan ini tahu pasti, kalau ia sedang menyindir secara tersirat.
Albert tersenyum sungkan, menampilan kerutan yang memenuhi wajahnya, tampak serasi dengan rambut yang sudah memutih. “Awalnya Raja Alvinka V akan hadir, Yang Mulia. Namun ada permasalahan di kota yang membuatnya berhalangan,” jawabnya.
Raja mengangguk pelan lalu mengayunkan tangannya, memberi aba-aba Albert beserta 4 orang yang berdiri di belakangnya untuk duduk.
Jemari Raja mengetuk-ngetuk meja jati dengan pelan, menjadi satu-satunya suara yang mengusir hening namun membuat atmosfer di dalam ruangan semakin mencekam.
Tak berselang lama, petugas yang sama kembali menghampiri. “Raja Varine X dari Elavrine dan 4 perwakilannya sudah tiba, Yang Mulia.”
Setelah diberi izin masuk, pintu ganda itu kembali terbuka, seorang pria yang mengenakan mahkota bertahtakan berlian beserta jubah besar berwarna biru bersama ... empat ekor serigala yang mengikutinya dari belakang.
“Setelah sekian lama, senang akhirnya bisa bertemu denganmu lagi, El.” Pria itu sama sekali tak menunduk, bahkan dengan berani menyebut sang Raja tanpa pangkat.
“Menjadi setengah hewan bukan berarti kau bisa melupakan adab sebagai tamu, Raja Varine X.” Tidak seperti Raja dari Kerajaan Elavrine itu, Raja El—pemimpin Eargard—membalas sapaan dengan dingin.
Raja Varine X tertawa hambar, lalu memberi aba-aba pada 4 ekor serigala di belakangnya. Dalam sekejap, serigala itu berubah menjadi 4 pria gagah yang mengenakan seragam serupa.
Kaline terlihat semakin gelisah. Dunia ini benar-benar gila. Dia baru saja melihat serigala yang berubah menjadi manusia di depan mata, persis seperti film Twilight. Bedanya, ia tidak merasa para manusia serigala itu keren layaknya di layar kaca. Mereka mengerikan. Bertemu dengan dua kelompok yang bisa berubah menjadi hewan dan memercikkan api benar-benar tidak masuk akal.
Matanya melirik ke arah Ratu yang sedari tadi duduk dengan tenang, tampak tak terganggu dengan kenyataan bahwa tamu-tamu mereka jelas bukan manusia biasa. Begitupun Raja dan para lady-in-waiting yang menunggu di pojok ruangan.
“Yang Mulia, bukankah kita sudah lama menunggu? Tidak ada tanda-tanda kehadiran bangsa Voalire. Haruskah kita mulai sekarang?” Albert berdiri, mengucapkan setiap patah katanya dengan hati-hati.
“Dia benar,” timpal Raja Varine X. “Seharusnya kau tahu vampir sialan itu tidak pernah serius dengan ucapannya. Mereka pasti mengolok-olok kita.”
Raja El hendak membuka mulut, namun petugas yang sama kembali datang membuat suasana kembali kondusif. “Pangeran Sirius Cliftone Alorine dari Kerajaan Voalire telah tiba, Yang Mulia.”
Raja mengangguk. “Suruh dia masuk.”
Pintu kembali terbuka, selaras dengan udara yang tiba-tiba terasa dingin dan mencekam. Lilin-lilin yang menggantung meredup, membuat ruangan menjadi remang-remang. Seorang pria dengan jubah hitam yang menutupi seluruh tubuhnya melangkah masuk dengan tenang. Tidak seperti kerajaan lainnya, pria itu dengan percaya diri berjalan sendirian di atas karpet merah yang membentang.
“Terima kasih telah mengizinkan saya menginjak tanahmu, Yang Mulia Raja Nathan El Gard,” ucapnya datar, masih enggan membuka jubah yang turut menutupi bagian kepalanya, membuat wajah pria itu sukar untuk dilihat.
Meski wajahnya tertutup jubah, Kaline masih bisa melihat sedikit kulit pucat serta bibirnya yang semerah darah. Dua gigi taring tampak begitu jelas tatkala ia berbicara. Raja Varine X benar, pria ini adalah vampir.
“Kau membuat kami menunggu, Pangeran.”
Ia melepas penutup kepalanya, memperlihatkan rambut hitam legam beserta mata merah menyalanya, menatap Raja Varine X beserta rombongannya dengan tajam. “Mohon maaf, Yang Mulia. Para serigala sedikit mengganggu perjalanan saya.” Mata menyalanya itu melirik meja di mana perwakilan Kerajaan Elvarine sekilas.
Raja El mengangguk. “Aku tidak punya banyak waktu. Duduklah, Pangeran.”
Pangeran itu mengangguk singkat lalu berjalan menuju kursi yang paling jauh, membuatnya seperti bayang-bayang yang sukar dilihat jika saja kulitnya tidak terlalu pucat atau mata merahnya itu tidak menyala-nyala.
Kaline menghembuskan napasnya. Meski udara di dalam ruangan teramat dingin. Pelipisnya tidak henti mengeluarkan keringat. Tanpa perlu dilihat dengan jelas, ia bisa merasakan mata merah tajam Pangeran dari Voalire itu tak luput darinya meski Raja El tengah berbicara dengan lantang.
“Pangeran Cliftone dari Voalire, apa kau mendengarku?” suara instruksi Raja El yang terdengar teramat absolut dan berwibawa terdengar begitu lantang, membuat semua pandangan menatap ke arah Pangeran yang hampir saja dilupakan kehadirannya.
Untuk pertama kalinya, ia tersenyum menampilkan dua gigi taring dengan terang-terangan. “Tentu saja, Yang Mulia.”
“Apa yang akan kau berikan pada kerajaan ini jika kau memenangkan turnamen?”
Kaline mengerutkan dahinya bingung. Mereka tidak pernah membahas turnamen sebelumnya, Sepanjang pertemuan, Raja El dan perwakilan kerajaan lainnya hanya membahas tentang hubungan timbal balik antar kerajaan beserta mekanisme politik.
Pangeran Clifton berdiri, membuat wajah putihnya terlihat dengan jelas untuk yang pertama kalinya. “Bukankah pemberian terbesar dari pernikahan adalah cinta, Yang Mulia?” mata merah menyalanya melirik ke arah Kaline, membuat gadis itu terpanjat kaget. “Saya akan dengan senang hati memberikan cinta saya pada Putri Ralenia Kaline Gard sepanjang kehidupan abadi saya.”
Kaline terpaku. Mata abu-abunya menatap Pangeran Clifton dengan kosong. Bukan, bukan karena perkataannya barusan tapi wajahnya. Kaline amat familiar dengan wajah itu. Cal. Benar namanya Cal. Mereka sudah saling kenal dari kecil—di kehidupan gadis itu sebelumnya—meski begitu, Kaline sama sekali tak mengenalnya selain nama pria itu karena ia sangat tertutup.
Bagaimana bisa dia ada di sini sebagai seorang pangeran?
»—————————–✄
𝙠𝙪𝙣𝙟𝙪𝙣𝙜𝙞 𝙄𝙣𝙨𝙩𝙖𝙜𝙧𝙖𝙢 @𝙙𝙪𝙨𝙠𝙤𝙛𝙚𝙮𝙚 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙢𝙚𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩 𝙙𝙚𝙩𝙖𝙞𝙡 𝙘𝙚𝙧𝙞𝙩𝙖
𝙳𝚄𝚂𝙺𝙾𝙵𝙴𝚈𝙴 𝙿𝚁𝙴𝚂𝙴𝙽𝚃𝙸𝙽𝙶【AFTERFALL】Langkah Kaline tampak begitu tergesa-gesa sembari menarik lengan Narin yang tampak kesulitan menyamakan langkah gadis di depannya. Pertemuan tadi berlangsung cukup cepat dengan kesimpulan ... akan ada sayembara antar kerajaan dan pemenangnya akan menikahi Putri Ralenia Kaline Gard, penerus satu-satunya tahta Kerajaan Eargard.Tentu saja jauh di dalam hatinya Kaline menolak dengan tegas. Bagaimana ia bisa menikahi makhluk-makhluk aneh itu? Melihat mereka mengeluarkan percikan api, berubah menjadi serigala, atau pun vampir berwajah pucat saja sudah sangat mengerikan. Namun tatkala ia mendengar suara Raja yang tegas nan absolut kembali membungkam mulutnya untuk mengajukan keberatan.“Putri, sebenarnya ada apa?” tanya Narin panik saat pintu
𝙳𝚄𝚂𝙺𝙾𝙵𝙴𝚈𝙴 𝙿𝚁𝙴𝚂𝙴𝙽𝚃𝙸𝙽𝙶【AFTERFALL】“Putri, apa Anda serius akan melakukannya?” untuk kesekian kalinya, Narin bertanya dengan pasrah. Ujung jarinya terasa dingin tatkala ia membantu Kaline memakai jubah, pun dengan bibirnya yang memucat lantaran panik.“Tenang saja, aku tidak akan membahayakanmu.” Kaline berusaha menenangkan. “Kau hanya perlu memberitahuku dimana tepatnya Pangeran Cliftone bermalam. Setelahnya, kau boleh pergi. Jika aku tertangkap, aku bersumpah tidak akan menyebut namamu.”Meski masih terlihat skeptis, Narin mengambil secarik kertas dan mulai menggambarkan denah sederhana. “Pangeran dari Voalire ada di istana bagian barat, begitu juga tamu yang lainnya. Jika saya tidak salah, kamarnya adalah satu yang paling ujung, dekat dengan balkon besa
𝙳𝚄𝚂𝙺𝙾𝙵𝙴𝚈𝙴 𝙿𝚁𝙴𝚂𝙴𝙽𝚃𝙸𝙽𝙶【AFTERFALL】Suara tapak sepatu yang bersatu dengan lantai kasar itu terdengar dengan jelas, perlahan-lahan bergerak menjauh darinya. Benar. Kenapa Kaline tidak memikirkan ini sebelumnya? Bagaimana jika Pangeran dari Voalire menolak untuk berbicara padanya? Pertanyaan sederhana yang belum mendapatkan jawaban itu membawanya ke dalam kegagalan.“Tapi aku adalah tuan rumah di sini, Pangeran.” Kaline berbalik, membuat pintu ganda yang hendak tertutup sempurna itu terhenti pergerakannya.Gadis itu telah berusaha keras untuk menginjakkan kakinya di sini. Ia tidak akan menyerah semudah itu. “Bukankah kau seharusnya memberikan sedikit rasa hormat jika kau memang belajar tata krama?”Pangeran Cliftone melipat kedua
𝙳𝚄𝚂𝙺𝙾𝙵𝙴𝚈𝙴 𝙿𝚁𝙴𝚂𝙴𝙽𝚃𝙸𝙽𝙶【AFTERFALL】Kastil luas itu tampak amat suram. Tidak sedikitpun cahaya fajar dapat masuk melewati gorden-gorden tebal yang terpasang di setiap jendela. Seorang pria dengan jubah hitam yang tak pernah lepas dari tubuh jakungnya itu berdiri tegak menatap betapa kosongnya kastil itu. Udara dingin melilit kulit pucat yang tak pernah mengusik ketenangan pria itu.“Sudah pulang, Pangeran?”Pangeran Cliftone berbalik, mendapati seorang pria jakung akhir 40-an itu menatapnya dengan manik merah menyala. Sudah lebih dari satu dekade Cliftone mengenal pemimpin Voalire itu, namun tak sedikitpun dari wajahnya berubah menua.Pangeran Cliftone menunduk. “Baru saja, Yang Mulia.”
𝙳𝚄𝚂𝙺𝙾𝙵𝙴𝚈𝙴 𝙿𝚁𝙴𝚂𝙴𝙽𝚃𝙸𝙽𝙶【AFTERFALL】Tepat dua hari sebelum pertemuannya dengan Pangeran Cliftone, Kaline masih belum menemukan cara bagaimana ia bisa tiba di Danau Sane tepat waktu. Meski ia sadar maksud Pangeran dari Voalire itu membalas surat hanya untuk mempermainkan Kaline, tapi itu tetap kesempatan emas. Bagaimanapun, ia harus tetap hadir meski melukai harga dirinya sekalipun.“Apa kau sungguh yakin cara ini tidak akan berhasil?” tanya Kaline untuk kesekian kalinya.Narin menghela napasnya. Sudah berjam-jam mereka berdebat soal ini. “Anda adalah seorang penerus tahta Kerajaan Eargard, Putri. Tentu tidak mudah menghilang begitu saja meski hanya dalam satu jam,” jelas Narin dengan sabar.Sejujurnya, ia merasa kas
𝙳𝚄𝚂𝙺𝙾𝙵𝙴𝚈𝙴 𝙿𝚁𝙴𝚂𝙴𝙽𝚃𝙸𝙽𝙶 【AFTERFALL】 Kaline menatap Pangeran Cliftone tajam. Ia tak peduli manik merah menyala milik lawannya itu membalas tak kalah tajam. Setelah pertemuan mereka, Pangeran Cliftone langsung membawa Kaline menuju gubuk kecil yang tampak tua. “Beraninya kau membangun tempat persembunyian di wilayahku,” ucap Kaline penuh penekanan. Bagaimana bisa gubuk ini lolos dari pengawasan para penjaga perbatasan? Jika terus dibiarkan, vampir ini bisa saja masuk ke istana tanpa ketahuan. Pangeran Cliftone tersenyum sinis, tampak sama sekali tak merasa bersalah atas tindakannya. “Andai kau tahu hal kotor yang orang kalian lakukan di wilayahku, Putri. Kau harus berkunjung ke penjara Voalire lain kali.” Kaline terdiam. Ia telah mende
𝙳𝚄𝚂𝙺𝙾𝙵𝙴𝚈𝙴 𝙿𝚁𝙴𝚂𝙴𝙽𝚃𝙸𝙽𝙶 【AFTERFALL】 Rumor hubungan spesial antara Putri Kaline dan Pangeran Cliftone menyebar dengan cepat. Seluruh penjuru negeri sudah mengetahui rumor tersebut hanya dalam satu malam. Banyak rakyat yang tidak setuju dan meminta penjelasan dari pihak kerajaan. Beberapa bahkan setia menunggu di depan istana sedari malam. “Jawab aku, Putri. Apa kau benar berhubungan dengan Pangeran Cliftone?” tanya Raja El sekali lagi dengan suara datar yang terdengar amat dalam. Kaline menundukkan kepalanya gelisah. Ruangan raja yang dikelilingi dengan rak buku itu tak ia sangka dapat menjadi amat menakutkan. Ratu Faline yang berdiri di samping kursi raja itu mengelus pundak suaminya perlahan, berusaha membuatnya tenang. “Kau tahu ap
𝙳𝚄𝚂𝙺𝙾𝙵𝙴𝚈𝙴 𝙿𝚁𝙴𝚂𝙴𝙽𝚃𝙸𝙽𝙶 【AFTERFALL】 Udara dingin yang menusuk kulit tak mengurangi antusiasme rakyat dari empat kerajaan besar terutama Eargard. Lampion serta obor di jalan dinyalakan dengan terang, menghiasi jalanan Eargard yang sudah mulai gelap. Gerbang istana yang biasanya ditutup dengan rapat kini terbuka dengan lebar, mempersilakan semua kalangan masuk tanpa memandang kasta. Para bangsawan dengan kereta kuda serta setelan yang tampak anggun membentuk kelompok-kelompok kecil berdasarkan kasta sosial. Berbincang-bincang sekaligus mencari celah untuk merendahkan satu sama lain. Beberapa dari mereka turut memperhatikan rakyat biasa yang tampak histeris melihat keindahan bangunan istana dengan tatapan risih. “Aku tak percaya pihak istana turut mengundang rakyat bawahan itu,” bisik salah satuny
Setahun setelah musim dingin yang menegangkan. Saat malam gelap lagi-lagi menurunkan hujan gumpalan es pertama yang kali ini disambut dengan penuh kegembiraan.Setahun setelah musim dingin yang menegangkan. Sebuah penikahan akan dilaksanakan.“Cal, apa kau baik-baik saja?” tanya Kaline khawatir, menatap Pangeran Cliftone yang berdiri di sebelahnya sebagai seseorang yang beberapa detik lagi akan dinikahi.“Kau tahu aku telah-”“Aku telah memaafkanmu,” potong Kaline, kembali mengeratkan genggaman tangannya pada jemari Pangeran Cliftone yang sempat melonggar.“Kau bisa membatalkannya sebelum acaranya dimulai,” ucap Pangeran Cliftone untuk yang kesekian kalinya.Lagi-lagi, Kaline menggeleng dengan tegas. “Tidak akan ada yang dibatalkan, Cal. Aku akan menikahimu.”Pangeran Cliftone membuang napasnya dengan kasar. Ada perasaan campur aduk yang sedari tadi hinggap di dalam dir
Kaline membelalak. Tepat sebelum panah yang dilepaskan Zed mengenai tubuh Pangeran Antheo, peri-peri bersayap merah beterbangan secara acak, membakar panah itu hingga tak bersisa.“Sial!” Pangean Rex menggerutu kesal. Maniknya yang kecoklatan seperti madu berubah menjadi kuning terang. Gigi-giginya yang tajam tiba-tiba saja muncul.Gawat. Pangeran Rex akan berubah menjadi serigala.“Pangeran, awas!” seru Kaline, berusaha mengalihkan perhatian Pangeran Antheo yang fokus memerintah para peri itu sehingga tak menyadari Pangeran Rex dengan tubuh serigala yang beringas berdiri tepat di belakangnya.Satu ayunan penuh amarah keluar, seakan mengajak Pangeran Antheo berduet dengannya yang langsung diterima Pangeran Antheo tanpa keberatan.Sementara Kaline yang masih terikat di pohon berseru panik. Ingin sekali ia curi pisau kecil yang terselip di antara celana Zed, namun mustahil karena kini, kuku-kukunya sudah berubah menjadi panjan
Kedua tangan itu menggenggam setir mobil dengan kuat. Nyeri di ulu hatinya sama sekali tak mereda. Meski begitu, tidak akan ada satupun air mata yang membasahi pipinya. Waktunya sudah habis. Gadis yang dicintainya akan bertunangan dengan seseorang. Seseorang yang jauh lebih baik darinya. Seseorang yang bisa menyampaikan perasaannya. Bukan dengan seorang pengecut seperti dirinya yang seumur hidup hanya berani melihatnya dari jauh. Kaline, seorang perempuan yang tinggal di depan rumahnya. Mereka tumbuh bersama. Cal melihat semuanya. Bagaimana lucunya gadis itu saat balita hingga kini tumbuh menjadi seorang perempuan jelita. Selama itu, ia tak melakukan apapun. Bahkan tidak sekalipun ia pernah menyapanya. Cal adalah seorang pengecut. Dulu maupun sekarang. Dalam kecepatan mobil yang tinggi dan terus berjalan, pandangannya terkunci pada sebuah restoran tiga lantai. Disanalah, harapannya akan benar-benar berakhir, kala seorang pria menyematkan cincin indah
Napas Kaline teramat sesak. Dalam kondisi terikat pada pohon besar seperti sekarang, Kaline nyaris tidak dapat melakukan apapun jika saja mulutnya ikut tertutup.“Apa yang kau lakukan?” tanya Kaline penuh amarah saat Pangeran Rex mendekat dengan senyuman memuakkan.Bagaimana bisa pria itu tersenyum setelah hal gila yang ia lakukan?“Ssstt … tidak perlu marah, Putri. Aku hanya ingin membuat namamu abadi. Setelah ini, aku yakin tidak akan ada yang berani melupakanmu,” ucapnya dengan penuh kebanggaan sambil menumpahkan sebotol minyak berbau menyengat tepat di bawah kaki Kaline.Dari ujung mata gadis itu, dapat ditangkap pergerakan Pangeran Antheo dan Cliftone yang mengendap-endap menuju tempat yang saling berlawanan. Langkah Pangeran Antheo perlahan mendekati seorang penyihir tua yang sedang fokus bertapa, sedangkan langkah Pangeran Cliftone menjauhinya.Rencana mereka harus berhasil.“Kau akan menyesali per
“Aku bersumpah aku tidak tahu apapun tentang ini!” seru Pangeran Antheo dengan frustasi.Ini sudah lebih dari dua puluh kali Kaline dan Pangeran Cliftone menanyakan hal yang sama, terus membuat posisinya semakin terpojok.Pangeran Antheo mengatakan hal yang sebenarnya. Dia tidak tahu apapun soal ini. Bahkan hingga saat ini, dirinya masih bertanya-tanya bagaimana bisa peri-peri itu berada di luar kendalinya.“Kau sendiri yang mengatakan bahwa hanya dirimu yang bisa mengendalikan peri-peri itu, Pangeran. Jangan berbohong.” Kaline terus mendesaknya. Meski Pangeran Antheo tidak bisa melihat apapun sekarang, ia yakin kini Kaline sedang memandangnya dengan tajam.“Demi negeriku, Putri. Aku tidak tahu apapun soal ini. Peri-peri itu, aku tidak tahu apapun!” seru Pangeran Antheo sambil menjambak rambutnya untuk mengalihkan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuhnya.“Sudahlah, Putri. Kau tahu dia bukan pelak
Lenguhan ringan beberapa kali keluar dari mulut Kaline. Kepalanya terasa seperti baru saja ditimpa oleh sesuatu yang berat dan memang benar adanya, di dahi gadis itu sekarang, sudah ada benjolan sebesar setengah bola pingpong. Bau busuk asap pertama kali masuk ke dalam indera penciumannya saat gadis itu terbangun. Kedua tangan dan kakinya terikat dengan kencang, membuat gadis itu harus bersusah payah untuk menyandarkan tubuhnya pada dinding di tepi ruangan kecil ini. “Ah … akhirnya ada yang terbangun juga.” Suara ringan itu membuat Kaline kembali was-was. Di dalam kegelapan seperti ini, ia tidak bisa melihat apapun kecuali … dua sinar kecil berwarna merah di ujung ruangan. “Cal, apa itu kau?” tanya Kaline dengan hati-hati. “Ya … syukur kau masih mengingatku. Aku pikir kau akan hilang ingatan setelah dipuku oleh bata, Putri,” jawab pria itu dengan candaan yang sama sekali tidak lucu. Kaline memilih untuk tidak lagi menimpali ucapan pria
Kantung mata yang mulai menghitam itu sama sekali tidak dipedulikan oleh Pangeran Antheo. Sudah seminggu lebih ia hanya tidur selama 2 jam. Malam panjang yang seharusnya digunakan untuk istirahat ia habiskan bersama lima ekor peri nakal yang kini sudah kembali terkurung didalam sangkarnya.Kini, saat samar-samar fajar telah terlihat, Pangeran Antheo akan kembali ke Istana Eargard dengan wajah lelah.Ada jeda waktu lima hari tersisa sebelum sayembara akan kembali dimulai. Lima hari yang harus dimanfaatkannya sebaik mungkin untuk membuat monster-monster kecil di dalam sarang itu patuh padanya. Setelah ia berhasil mengendalikan 5 peri penghancur ini, ia akan kembali mengirimkannya ke penjara bawah laut.Langkah jenjang pria itu perlahan-lahan melambat kala mendengar sesuatu yang mencurigakan.Jelas sekali tadi terdengar beberapa langkah kecil di belakangnya. Meski pendengaran Pangeran Antheo tak begitu tajam, bahkan saat ia sengaja berjalan denga
Sinar bulan purnama malam ini tampak amat terang, seakan-akan cahayanya mampu menerangi 4 orang yang kini sedang bersembunyi diantara semak belukar, membiarkan tubuh mereka menjadi santapan empuk nyamuk yang kelaparan.Kaline terus berdoa dalam hati, harap-harp Narin tidak memasuki kamarnya malam ini agar tidak ada yang tahu bahwa Putri Mahkota Eargard diam-diam menyusup pergi menguntit Pangeran Antheo.Tentu saja, jika aktivitasnya bersama 3 pria ini ketahuan dan beritanya menyebar, merekaa terpaks mendekam di istana selama berbulan-bulan untuk menghindari hujatan masyarakat. Menguntit adalah tindakan yang berbelok dari tata krama. Siapapun bangsawan yang menyalahi tata krama akan dianggap tidak memiliki adab dan dikucilkan oleh masyarakat dan tentu saja itu tak boleh terjadi mengingat posisi Kaline sebagai Putri Mahkota yang seharusnya dihormati.
malam sebelumnya Tatapan penuh permusuhan itu tampak dengan amat jelas di antara kedua tanganya. Meja bundar sebagai penengah itu agaknya terlampau kecil untuk menghalau aura menegangkan diantara keduanya. Tidak, di meja itu tidak hanya ada mereka berdua. Seorang wanita tua dengan punggung yang sudah membungkuk ada di antara keduanya dengan senyuman licik yang tak kunjung pudar. Selain itu, Zed juga dengan setia berdiri di belakang Pangeran Rex. “Jadi, seberapa jauh yang kau tahu?” tanya Pangeran Rex dengan dingin, membuka suara untuk pertama kalinya. Mata menyala yang terus berkilat itu tak gentar membalas tatapan tajam dari manik bak madu milik Pangeran Rex. Jika saja ia bukan seorang vampir, sudah pasti ia akan meminum teh hangat di hadapannya untuk mengulur waktu, bermaksud membuat Pangeran Rex tersulut emosi. “Aku tidak bisa mengukur jika tidak tahu batasan ukurannya, Pangeran. Jika kau menginginkan jawabannya, kau harus memberitahuku sej