Pak Ahmad terpancing emosi karena Raymond tak kunjung menjawab pertanyaannya tentang keberadaan Irani.Plak! Plak!Bugh! Bugh!Akhirnya, Pak Ahmad menampar dan memukul Reynand serta Raymond secara bergantian. Amarahnya benar-benar sudah memuncak. Wajah kedua kakak beradik itu, kini sudah babak belur.Akan tetapi, mereka menerima semua perlakuan Ayah Irani tersebut karena mereka menyadari dan mengakui kesalahan yang telah mereka perbuat.Mama Risa histeris melihat kedua putranya yang dihajar habis-habisan oleh Pak Ahmad. Dia berusaha untuk memasang badan, dan memohon untuk dihentikan. Namun, Papa Rabbani menahannya.“Pak Ahmad, tolong hentikan. Kasihan kedua putraku!” teriak Mama Risa.“Pa, tolong kedua putra kita. Mengapa Papa hanya diam saja?!” Mama Risa histeris pada sang suami.“Ma, tenanglah. Ini semua hukuman yang pantas untuk kedua putra kita. Karena mereka telah berbuat kesalahan pada Irani.” Papa Rabbani mengelus-elus punggung Mama Risa.“Pa, mengapa kau tega pada putra-putra
Sementara itu, di kediaman Rabbani. Kini keluarga besar Rabbani dan orang tua Irani tengah berkumpul di ruang keluarga. Mereka sedang bermusyawarah tentang permasalahan rumah tangga anak mereka.“Di mana kita akan mencari Irani? Sedangkan tidak ada akses sedikitpun untuk berhubungan dengannya. Apalagi dia sedang hamil. Aku benar-benar sedih memikirkannya.” Bu Ina terisak-isak.Mama Risa mendekatinya. “Bu Ina, tolong maafkan aku. Semua ini salahku karena aku selalu bersikap buruk pada Irani.” Mama Risa pun terisak.“Maafkan aku juga, Bu, Pak. Karena selama aku menjadi suaminya, aku juga selalu bersikap buruk. Hingga akhirnya kami bercerai.” Raymond berkata dengan mimik wajah yang terlihat murung.Pak Ahmad dan Bu Ina menarik napas dengan berat. Dada mereka bergemuruh setiap kali mendengar pernyataan Mama Risa dan Raymond, yang mengakui dengan jujur tentang sikap buruk mereka pada Irani.Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Semua yang sudah terjadi tidak akan bisa kembali seperti semu
4 tahun kemudian“Irana, jangan lari ke jalan terus, Nak, banyak kendaraan.” Suara Irani terdengar berteriak seraya berlari mengejar seorang gadis kecil.“Ibu, aku mau ke rumah Ayah Bahri.” Gadis kecil tersebut berbicara seraya berlari.Meskipun usia gadis kecil itu baru 3 tahun lebih, tapi dia sangat pintar sekali. Suaranya pun tidak terdengar cadel seperti kebanyakan anak-anak kecil pada umumnya.Irana, itulah nama gadis kecil tersebut. Anak yang dikandung oleh Irani 4 tahun lalu. Irana memanggil Bahri ayah karena selama ini Bahri lah yang selalu membantu Irani mengurusnya. Jadi, Irana taunya bahwa Bahri merupakan ayahnya.Walaupun Irani sudah Berulang kali menjelaskan pada sang anak, bahwa Bahri bukanlah ayahnya, tetapi Irana tidak mempercayainya. Dia tetap menganggap bahwa Bahri lah ayahnya karena lelaki itulah yang selama ini selalu mengurusnya seperti anak sendiri.Letak rumah Bahri yang tidak begitu jauh dari rumah Irani, membuat Irana begitu mudah untuk pulang pergi sendiri. N
"Rey, aku ingin mengakhiri hubungan kita," ucap Irani.Reynand Rabbani sangat terkejut mendengar ucapan Irani Sanaya—sang kekasih yang teramat sangat ia cintai. Dan begitu pula dengan Irani, ia pun sangat mencintai Reynand."Atas dasar apa kau ingin mengakhiri hubungan kita, Irani?" tanya Reynand.Irani yang pada saat itu tengah duduk, langsung bangkit. Ia terlihat berjalan kesana-kemari sembari memilin-milin jemari tangannya. Dia terlihat sangat resah dan gelisah. Reynand yang sedari tadi memperhatikan sikap Irani segera menghampirinya. Dia mencekal lengan Irani dan memutar tubuh sang kekasih agar menghadapnya.Mata Irani bersirobok dengan mata Reynand, tetapi dia langsung memutus kontak mata mereka. Dia langsung menundukkan wajahnya. Reynand mengangkat dagu Irani agar menatapnya."Tatap aku, Irani! Dan katakan, apa alasanmu ingin mengakhiri hubungan kita," ulang Reynand."Karena ... a-aku ... aku akan —" Irani tidak meneruskan ucapannya.Reynand semakin dibuat penasaran dengan ucapa
"Aku akan tetap menikah dengan pria itu," ujar Irani.Reynand yang mendengar ucapan Irani tersebut, merasa sangat geram dan emosi. Dia sengaja melakukan perbuatan bejat itu untuk menjerat Irani, tapi ternyata, Irani justru berkata sedemikian rupa bahwa dia akan tetap menikah dengan pria yang telah menolong operasi adiknya."Coba kau ulangi lagi," tuntut Reynand."Aku akan tetap menikah dengan pria itu," ulang Irani.Karena Reynand sudah tidak bisa menahan emosinya, lalu tiba-tiba dia menarik selimut yang menutupi tubuh Irani. Dan dia pun kembali menggagahi Irani secara brutal dan penuh emosi. Emosinya yang sudah menggebu-gebu itu sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Irani berteriak-teriak memohon agar dilepaskan oleh Reynand, tetapi Reynand seakan tuli, dia terus menggagahi Irani dengan ruda paksa."Rey, tolong lepaskan aku, aku mohon!" teriak Irani."Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Irani." Reynand terus menghentak-hentak tubuhnya."Kau bajingan, Rey. Kau biadab. Aku sangat membenc
Hari-hari pun berlalu, kini saatnya Irani melangsungkan pernikahannya bersama pria yang bernama Raymond Rabbani yang ternyata merupakan kakak kandung dari Reynand Rabbani—sang mantan kekasih. Akan tetapi, Reynand belum mengetahui bahwa Irani akan menikah dengan sang kakak. Begitu pula dengan Irani yang belum mengetahui bahwa Reynand dan Raymond adalah kakak dan adik.Reynand yang mendengar bahwa hari itu Irani akan menikah merasa sangat frustasi. Dia hari itu memilih pergi ke Kota Bandung untuk menenangkan pikirannya yang sedang kacau.Reynand pun menjadi pusat perhatian keluarganya karena di saat hari pernikahan sang kakak, mengapa Reynand justru pergi. Reynand beralasan bahwa dia sedang melakukan perjalanan bisnis yang tidak bisa ditinggalkan.Setelah ijab qobul selesai dan resepsi pernikahan yang sangat mewah itu pun telah usai, kini saatnya Irani diboyong untuk dibawa ke rumah sang suami. Irani berpamitan kepada ayah dan ibunya serta adiknya dengan bercucuran air mata. Dia merasa
Sudah 3 minggu semenjak Reynand mengalami kecelakaan, dia belum sadarkan diri dari koma. Reynand dirawat di ruang ICU agar kondisinya dapat terpantau secara intensif. Tubuhnya dipasang alat bantu napas untuk menjaga laju pernapasannya. Hingga saat ini, tubuh Reynand masih terlentang tak berdaya di brankar rumah sakit. Saat itu, kedua orang tua Reynand, Raymond, dan Irani, sedang berada di ruangan ICU untuk memantau perkembangan Reynand.Papa Rabbani dan Mama Risa, terlihat sangat terpukul melihat keadaan sang putra bungsu mereka yang lemah tak berdaya tersebut. Begitu pula dengan Raymond—sang kakak, dan Irani—sang mantan kekasih sekaligus kakak iparnya, mereka ikut terpuruk dan sangat terpukul sekali melihat kondisi Reynand. "Ma, Pa, lebih baik kalian pulang saja, biarkan aku dan Irani yang akan menjaga Rey," ujar Raymond."Tapi kalian juga butuh istirahat, 'Nak," sahut Mama Risa."Tidak apa, Ma. Mama dan Papa yang perlu beristirahat total.""Baiklah jika begitu, mama dan Papa pulang
"Siapa kau? Siapa mereka? Siapa kalian?" tanya Reynand.Irani, Raymond, Mama Risa, dan Papa Rabbani, sangat terkejut mendengar pertanyaan Reynand tersebut. Mereka langsung berlari menghampirinya."Rey, syukurlah kau sudah sadar, 'Nak," ujar Mama Risa."Iya, 'Nak, kami sangat mengkhawatirkanmu," timpal Papa Rabbani."Terima kasih, Tuhan karena kau telah menyembuhkan adikku," Raymond pun menimpali."Siapa kalian?" tanya Reynand kembali.Deg!Semua orang yang berada di tempat tersebut sangat terkejut mendengarnya. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Bahkan, sejenak mereka melupakan ucapan Irani yang menyatakan bahwa Reynand yang telah menghamilinya. Kini, mereka tengah fokus pada Reynand yang terlihat sangat aneh sekali.Raymond langsung berlari ke luar untuk memanggil dokter. Tidak berapa lama kemudian, dokter pun datang bersama dua orang suster yang mendampinginya, sementara Mama Risa dan Papa Rabbani, terlihat sangat tegang dan cemas. Begitu pula dengan Irani, ia pun tak kalah c
4 tahun kemudian“Irana, jangan lari ke jalan terus, Nak, banyak kendaraan.” Suara Irani terdengar berteriak seraya berlari mengejar seorang gadis kecil.“Ibu, aku mau ke rumah Ayah Bahri.” Gadis kecil tersebut berbicara seraya berlari.Meskipun usia gadis kecil itu baru 3 tahun lebih, tapi dia sangat pintar sekali. Suaranya pun tidak terdengar cadel seperti kebanyakan anak-anak kecil pada umumnya.Irana, itulah nama gadis kecil tersebut. Anak yang dikandung oleh Irani 4 tahun lalu. Irana memanggil Bahri ayah karena selama ini Bahri lah yang selalu membantu Irani mengurusnya. Jadi, Irana taunya bahwa Bahri merupakan ayahnya.Walaupun Irani sudah Berulang kali menjelaskan pada sang anak, bahwa Bahri bukanlah ayahnya, tetapi Irana tidak mempercayainya. Dia tetap menganggap bahwa Bahri lah ayahnya karena lelaki itulah yang selama ini selalu mengurusnya seperti anak sendiri.Letak rumah Bahri yang tidak begitu jauh dari rumah Irani, membuat Irana begitu mudah untuk pulang pergi sendiri. N
Sementara itu, di kediaman Rabbani. Kini keluarga besar Rabbani dan orang tua Irani tengah berkumpul di ruang keluarga. Mereka sedang bermusyawarah tentang permasalahan rumah tangga anak mereka.“Di mana kita akan mencari Irani? Sedangkan tidak ada akses sedikitpun untuk berhubungan dengannya. Apalagi dia sedang hamil. Aku benar-benar sedih memikirkannya.” Bu Ina terisak-isak.Mama Risa mendekatinya. “Bu Ina, tolong maafkan aku. Semua ini salahku karena aku selalu bersikap buruk pada Irani.” Mama Risa pun terisak.“Maafkan aku juga, Bu, Pak. Karena selama aku menjadi suaminya, aku juga selalu bersikap buruk. Hingga akhirnya kami bercerai.” Raymond berkata dengan mimik wajah yang terlihat murung.Pak Ahmad dan Bu Ina menarik napas dengan berat. Dada mereka bergemuruh setiap kali mendengar pernyataan Mama Risa dan Raymond, yang mengakui dengan jujur tentang sikap buruk mereka pada Irani.Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Semua yang sudah terjadi tidak akan bisa kembali seperti semu
Pak Ahmad terpancing emosi karena Raymond tak kunjung menjawab pertanyaannya tentang keberadaan Irani.Plak! Plak!Bugh! Bugh!Akhirnya, Pak Ahmad menampar dan memukul Reynand serta Raymond secara bergantian. Amarahnya benar-benar sudah memuncak. Wajah kedua kakak beradik itu, kini sudah babak belur.Akan tetapi, mereka menerima semua perlakuan Ayah Irani tersebut karena mereka menyadari dan mengakui kesalahan yang telah mereka perbuat.Mama Risa histeris melihat kedua putranya yang dihajar habis-habisan oleh Pak Ahmad. Dia berusaha untuk memasang badan, dan memohon untuk dihentikan. Namun, Papa Rabbani menahannya.“Pak Ahmad, tolong hentikan. Kasihan kedua putraku!” teriak Mama Risa.“Pa, tolong kedua putra kita. Mengapa Papa hanya diam saja?!” Mama Risa histeris pada sang suami.“Ma, tenanglah. Ini semua hukuman yang pantas untuk kedua putra kita. Karena mereka telah berbuat kesalahan pada Irani.” Papa Rabbani mengelus-elus punggung Mama Risa.“Pa, mengapa kau tega pada putra-putra
Mata Irani membulat mendengar ucapan Bahri. Bagaimana tidak, di saat yang sedang genting seperti ini pun, Bahri masih tetap menyebalkan dan membuatnya kesal.Dengan sekuat tenaga Irani mencubit perut Bahri, hingga membuat lelaki tersebut menjerit karena merasakan perih di kulit perutnya.“Aww, aduh … Maharani, mengapa kau mencubitku? Aiiss, ini sangat sakit dan perih sekali rasanya,” ujar Bahri.“Karena kau selalu saja menyebalkan, Mas Bahri. Di saat aku sedang kesakitan dan kram seperti ini pun, kau masih saja bersikap seperti itu, huh!” Irani mendelikkan mata.“Ehehe … jangan marah-marah, nanti cantikmu hilang.”Ingin rasanya Irani kembali mencubit Bahri, tetapi rasa nyeri kembali menderanya. Akhirnya, dia hanya menurut saja mengikuti Bahri menuju ke arah motor, kemudian Bahri memboncengnya.Bahri menuju ke rumah seorang bidan yang membuka praktek di desa tersebut. Tidak butuh waktu lama, mereka telah sampai. Bahri bergegas menuntun Irani.“Assalamualaikum, Bu Bidan, tolong periksa
Semua orang sangat terkejut mendengar pertanyaan dari sepasang suami istri yang baru saja datang tersebut.Reynand dan Raymond saling melepaskan pelukan karena nama mereka dipanggil. Mereka menatap ke arah sumber suara. Reynand menatap sepasang suami istri paruh baya tersebut, dia mengernyitkan kening karena kebingungan sebab dia tidak mengenal mereka.Sementara Raymond, wajahnya sudah memucat. Dia menatap kedua orang tersebut dengan bibir yang gemetar. “Ayah mertua, Ibu mertua,” gumamnya.Ayunda yang berdiri tepat di sampingnya, bisa mendengar dengan jelas gumaman Raymond tersebut. Entah mengapa, perasaannya semakin tak menentu mendengar Raymond yang memanggil kedua orang tersebut dengan sebutan ayah mertua dan ibu mertua.“Raymond, jawab pertanyaan ibu. Di mana Irani, putriku?” ujar Bu Ina—Ibu Irani.“Iya, Nak Ray, mana Irani?” timpal Pak Ahmad—Ayah Irani.Raymond kehilangan kata-kata. Otaknya benar-benar buntu, sementara kedua orang tuanya menatap Raymond dan besannya secara bergan
Suara teriakan seorang lelaki menghentikan tindakan para pemuda tersebut. Mereka beralih menatap ke arah sumber suara.Ayunda sangat mengenal suara itu. Dia mendongakkan wajah dan menatapnya. “Tuan Raymond,” gumamnya.“Kalian ini juga seorang perempuan, tetapi kalian malah menertawakannya. Di mana hati nurani kalian sebagai sesama perempuan?!” Raymond berteriak pada rombongan gadis yang tadi menertawakan Ayunda.Setelah itu, Raymond pun mulai berkelahi dengan para pemuda itu, sedangkan Edo berlari meminta bantuan para pengunjung lainnya, yang kala itu masih berada di alun-alun tersebut.Tentu saja perkelahian tersebut tidak seimbang. Karena Raymond yang hanya seorang diri, melawan beberapa orang. Dia kewalahan dan menjadi bulan-bulanan. Tubuhnya sudah tergeletak di rerumputan, ditendang oleh mereka. Raymond menutup wajahnya dengan tangan agar wajahnya tidak semakin lebam.Ayunda yang melihat itu berlari ke arah Raymond. Dia memeluk kepalanya dengan erat seraya menangis. Dia tidak teg
Semua orang saling bertatapan, kemudian mereka tertawa terpingkal-pingkal. Irani menatap heran pada mereka karena bukannya menolong, tetapi justru menertawakan.“Ahahaha ….”“K-kenapa k-kalian malah tertawa?” Irani bertanya dengan terbata.“Rani, jadi dari tadi kamu itu berjalan tergesa-gesa karena ketakutan sama laki-laki itu?” Bu Marni bertanya seraya menatapnya.Irani hanya mengangguk. Dia sudah kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan ibu angkatnya itu, sementara lelaki yang sedari tadi mengikutinya malah selengehan. Irani benar-benar merasa sangat geram melihatnya.“Rani, perkenalkan, itu anak ibu yang baru pulang dari kota. Namanya Bahri. Bahri, perkenalkan, ini Rani saudara angkatmu, dia dari Kota Jakarta.” Bu Marni memperkenalkan anak kandung dan anak angkatnya.Irani terperanjat mendengarnya. Dia menatap Bu Marni, kemudian beralih menatap Bahri. “J-jadi, d-dia anak Ibu?”“Iya, Nak. Mungkin usianya tua sedikit darimu. Jadi, kau bisa memanggilnya Mas Bahri.”Irani terseny
Pagi hari pun tiba. Raymond terbangun sambil memegang kepalanya yang masih berdenyut nyeri. Dia duduk dan mengedarkan pandangan. Matanya menatap Ayunda yang masih terlelap di sofa.Kening Raymond mengernyit, matanya menyipit. Dia tengah berpikir, mengapa Ayunda tidur di sofa kamarnya, mengapa bukan tidur di kamar yang tamu. Dia berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Namun, dia tidak bisa mengingatnya sama sekali.Perlahan kaki Raymond turun dari ranjang. Dia berjalan sempoyongan menghampiri Ayunda. Matanya menatap wajah Ayunda yang pucat, dan di keningnya terdapat noda darah yang sudah mengering.Raymond semakin mengernyitkan kening. Dia berusaha sekuat mungkin untuk bisa mengingat kejadian apa yang telah terjadi tadi malam, tetapi dia tetap tidak bisa mengingatnya.“Yunda, bangun. Mengapa kau tidur di sini, dan mengapa keningmu ada noda darah yang sudah mengering?” Raymond mengguncang bahu Ayunda.Ayunda menggeliatkan tubuh. Dia memegang kepalanya yang terasa nyeri. Matanya bersi
Semua orang saling berpandangan ketika mereka mendengar penuturan Irani. Bu Marni mendekati Irani dan melihat uang serta perhiasan tersebut.“Rani, apakah kamu bersungguh-sungguh ingin mempergunakan uang dan perhiasan ini sebagai modal?” tanya Bu Marni.“Iya, Rani, coba kamu pikir-pikir lagi. Karena kamu sedang hamil dan pasti membutuhkan modal untuk biaya persalinan,” timpal Bu Leha.Irani menunduk, kemudian dia mendongak dan menatap Bu Marni serta warga yang lainnya. Matanya sudah berkaca-kaca karena perasaan sedih kini menggelayuti hatinya.“Aku sudah berniat, Bu, Pak. Memang benar jika aku membutuhkan biaya untuk persalinanku nanti, tapi aku juga tidak akan mungkin jika selama kehamilan ini hanya berdiam diri saja.” Irani menghela napas.“Aku ingin mempergunakan uang dan perhiasan ini untuk modal menyewa lahan, dan kebutuhan yang lainnya. Semoga modal ini cukup,” sambungnya.Pak RT Bahrum saling bertatapan dengan sang istri. Mereka saling menganggukkan kepala. Pak Bahrum berjalan