"Aku akan tetap menikah dengan pria itu," ujar Irani.
Reynand yang mendengar ucapan Irani tersebut, merasa sangat geram dan emosi. Dia sengaja melakukan perbuatan bejat itu untuk menjerat Irani, tapi ternyata, Irani justru berkata sedemikian rupa bahwa dia akan tetap menikah dengan pria yang telah menolong operasi adiknya."Coba kau ulangi lagi," tuntut Reynand."Aku akan tetap menikah dengan pria itu," ulang Irani.Karena Reynand sudah tidak bisa menahan emosinya, lalu tiba-tiba dia menarik selimut yang menutupi tubuh Irani. Dan dia pun kembali menggagahi Irani secara brutal dan penuh emosi.Emosinya yang sudah menggebu-gebu itu sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Irani berteriak-teriak memohon agar dilepaskan oleh Reynand, tetapi Reynand seakan tuli, dia terus menggagahi Irani dengan ruda paksa."Rey, tolong lepaskan aku, aku mohon!" teriak Irani."Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Irani." Reynand terus menghentak-hentak tubuhnya."Kau bajingan, Rey. Kau biadab. Aku sangat membencimu.""Jangan berdusta, Irani. Aku tahu bahwa kau sangat mencintaiku. Kau tidak pernah membenciku.""Aku benar-benar sangat membencimu, Rey. Dulu aku memang sangat mencintaimu, tetapi setelah kejadian ini, aku benar-benar sangat membencimu." Irani terisak-isak."Kau tidak memiliki perasaan. Kau jahat! Kau kejam! Kau tidak tulus mencintaiku. Kau hanya menginginkan tubuhku saja. Aku sangat membencimu!" Irani terus berteriak dan meronta-ronta seraya terisak.Air mata Irani sudah tidak bisa dibendung lagi, tetapi Reynand benar-benar seperti kerasukan setan dan semakin menggila. Dia terus melakukan penyatuan kepada Irani hingga berulang kali.Irani yang dari semalaman hingga siang itu tidak makan dan minum, membuat tubuhnya lemas dan akhirnya Irani pun tidak sadarkan diri. Reynand menyadari itu dan dia pun langsung mengakhiri penyatuannya.Reynand menatap wajah Irani yang pucat pasi dan dia menatap tubuh polos Irani yang sudah penuh dengan kiss mark hasil karyanya. Lalu, matanya tertuju pada bagian intim Irani yang sudah membengkak.Tanpa terasa, air mata Reynand pun jatuh membasahi pipinya, dia menangis. Dia merasa sangat berdosa dan bersalah atas perbuatannya tersebut. Namun, dia terpaksa melakukan semua itu agar dia bisa tetap menjerat Irani supaya Irani membatalkan pernikahan itu.Reynand memeluk tubuh Irani sembari terisak. "Irani, aku sangat mencintaimu. Maafkan perbuatanku, tetapi aku akan tetap bertanggung jawab atas perbuatanku ini. Menikahlah denganku, Irani. Dan jangan menikah dengan pria itu." ***Ketika sore hari tiba, Irani yang baru siuman itu langsung bangun dan duduk. Dia menatap sekeliling ruangan tersebut. Di saat dia sedang termenung dengan tatapan kosong, tiba-tiba Reynand masuk dengan membawa sebuah nampan yang berisi makanan dan minum."Sayang, kau sudah bangun?" tanya Reynand.Reynand pun meletakkan nampan di atas nakas, sementara Irani langsung mempererat selimut untuk menutupi bagian dadanya. Ia langsung membuang muka. Rasanya ia tidak sudi lagi untuk menatap sang mantan kekasih."Sekarang kau makan dulu agar tubuhmu bertenaga. Kau belum makan dari semalam." Reynand menyuapkan makanan ke mulut Irani.Akan tetapi, Irani menolaknya. "Aku tidak lapar. Aku ingin pulang," ujar Irani dengan suara bergetar.Matanya sudah berkaca-kaca. Reynand menatap tajam Irani, lalu Irani menunduk dan bahunya terlihat terguncang karena tengah menangis.Reynand mengangkat dagu Irani. Irani mendongakkan wajahnya sehingga kini matanya dan mata Reynand saling bertatapan. Air matan terus membasahi pipinya. Hati Reynand merasa sesak melihatnya."Rey, aku ingin pulang. Tolong mengerti aku. Orang tuaku pasti sedang mencariku. Tolong mengerti aku, Rey. Orang tuaku pasti tengah mengkhawatirkanku karena aku sudah satu hari satu malam ini tidak pulang dan tidak ada kabar," mohon Irani.Reynand menatap dalam wajah Irani, wajah wanita yang sangat dicintainya itu. Dia memejamkan mata dan menarik napas dengan berat. Dia berusaha untuk tidak egois."Baiklah, aku akan mengantarmu pulang, tetapi kau harus makan dulu dan setelah makan, kau membersihkan tubuhmu dulu." Reynand menyuapi makanan ke mulut Irani.Irani hanya mengangguk. Lalu, Reynand pun dengan penuh kasih sayang dan penuh kesabaran serta perhatian, terus menyuapi Irani.Hingga tanpa terasa, nasi satu piring itu telah tandas tak tersisa. Setelah selesai makan, Irani membersihkan dirinya di kamar mandi. Setelah itu, ia kembali mengenakan seragam kerjanya. Lalu kemudian, Reynand pun benar-benar mengantarkan Irani pulang.Selama dalam perjalanan pulang, baik Reynand maupun Irani, tidak ada yang membuka suara. Mereka berdua saling berdiam diri dengan pikiran masing-masing.Reynand fokus menyetir mobil, sementara Irani tengah melamun sembari sesekali matanya menatap ke depan. Dan terkadang, ia melihat ke luar kaca mobil.Sesekali Irani terlihat tengah menyusut air matanya yang terus menetes. Ekor mata Reynand yang sedari tadi memperhatikan Irani, melihat semua itu.Dia tahu bahwa Irani sedang menangis, tetapi dia sengaja tidak membuka suara karena jika dia membuka suara maka yang dia takutkan adalah, Irani akan kembali mengatakan bahwa dirinya akan tetap menikah dengan pria tersebut. Reynand tidak ingin mendengarnya kembali. Hingga tanpa terasa, mobil mereka pun telah sampai di depan rumah Irani. Irani yang tengah melamun itu tidak menyadarinya."Sayang, kita sudah sampai. Ayo, turun!" ajak Reynand.Irani yang tengah melamun itu terhenyak mendengarnya. Dia melihat ke depan dan ternyata benar bahwa mereka sudah berada di depan rumahnya.Lalu, Irani pun turun dari mobil. Begitu pula dengan Reynand, dia berjalan di belakang tubuh Irani. Ketika dia sudah masuk ke dalam rumah, Reynand masih berdiri di teras rumahnya hingga telinganya mendengar percakapan antara Irani dengan kedua orang tuanya."Irani, kau dari mana saja, 'Nak? Mengapa kau tidak pulang?" tanya Bu Ina—Ibu Irani."Iya, 'Nak, kami sangat mengkhawatirkanmu. Karena kau tidak menghubungi kami. Ayah menghubungi nomor teleponmu, tetapi tidak aktif," timpal Pak Ahmad—Ayah Irani.Irani menundukkan wajahnya sembari memilin-milin jemari tangannya. Dia bingung harus berkata apa. Tidak mungkin jika dia berkata jujur bahwa dia tidak pulang karena tengah diculik dan dinodai oleh Reynand."Irani, mengapa kau hanya diam saja, 'Nak? Apa yang terjadi?" tanya Bu Ina."Tidak, Bu, tolong maafkan aku. Kemarin aku lembur. Jadi, aku tidak pulang karena aku sangat fokus bekerja lembur. Akhirnya, aku melupakan bahwa ponselku mati, tidak ada baterainya. Dan aku lupa untuk menghubungi kalian. Maafkan aku, Bu, Yah," dusta Irani."Ya sudah, 'Nak, tidak apa-apa," sahut kedua orang tua Irani secara bersamaan."Ingat, 'Nak, kau jangan terlalu lelah bekerja. Dan lebih baik mulai sekarang kau berhenti saja bekerja. Karena sebentar lagi kau akan menikah. Ingatlah, pernikahan kalian yang sebentar lagi akan diselenggarakan. Jadi, kau harus menjaga kesehatanmu," terang Bu Ina."Iya, 'Nak, jangan kecewakan laki-laki itu yang telah banyak membantu keluarga kita. Dia telah menyelamatkan nyawa adikmu. Dan hanya inilah yang bisa kita lakukan untuk membalas budi padanya, yaitu kau menikah dengannya," papar Pak Ahmad.Pembicaraan Irani dengan kedua orang tuanya itu, terdengar dengan jelas di telinga Reynand. Matanya sampai berkaca-kaca mendengarnya. Karena ternyata, ucapan Irani benar bahwa dirinya akan menikah dengan pria asing itu.Reynand tidak mengetahui siapa laki-laki itu yang akan menikah dengan sang kekasih. Dia tidak kuat untuk berdiri lebih lama lagi di teras rumah Irani. Lalu, dia pun berbalik dan pergi. Reynand membawa mobil dengan kecepatan tinggi. Pikirannya semakin kacau.'Walaupun kau jadi menikah dengan pria itu, tetapi kau telah menjadi milikku seutuhnya, Irani. Dan aku yakin, bahwa benih-benih yang telah aku taburkan tadi malam, akan berkembang biak di rahimmu,' batin Reynand.'Walaupun kau menikah dengan pria itu, tapi jika dia mengetahui bahwa kau mengandung benih pria lain, aku yakin bahwa kau akan segera diceraikan oleh laki-laki itu. Dan aku yang akan menikahimu, Irani Sanaya,' Reynand kembali membatin. TO BE CONTINUEDHari-hari pun berlalu, kini saatnya Irani melangsungkan pernikahannya bersama pria yang bernama Raymond Rabbani yang ternyata merupakan kakak kandung dari Reynand Rabbani—sang mantan kekasih. Akan tetapi, Reynand belum mengetahui bahwa Irani akan menikah dengan sang kakak. Begitu pula dengan Irani yang belum mengetahui bahwa Reynand dan Raymond adalah kakak dan adik.Reynand yang mendengar bahwa hari itu Irani akan menikah merasa sangat frustasi. Dia hari itu memilih pergi ke Kota Bandung untuk menenangkan pikirannya yang sedang kacau.Reynand pun menjadi pusat perhatian keluarganya karena di saat hari pernikahan sang kakak, mengapa Reynand justru pergi. Reynand beralasan bahwa dia sedang melakukan perjalanan bisnis yang tidak bisa ditinggalkan.Setelah ijab qobul selesai dan resepsi pernikahan yang sangat mewah itu pun telah usai, kini saatnya Irani diboyong untuk dibawa ke rumah sang suami. Irani berpamitan kepada ayah dan ibunya serta adiknya dengan bercucuran air mata. Dia merasa
Sudah 3 minggu semenjak Reynand mengalami kecelakaan, dia belum sadarkan diri dari koma. Reynand dirawat di ruang ICU agar kondisinya dapat terpantau secara intensif. Tubuhnya dipasang alat bantu napas untuk menjaga laju pernapasannya. Hingga saat ini, tubuh Reynand masih terlentang tak berdaya di brankar rumah sakit. Saat itu, kedua orang tua Reynand, Raymond, dan Irani, sedang berada di ruangan ICU untuk memantau perkembangan Reynand.Papa Rabbani dan Mama Risa, terlihat sangat terpukul melihat keadaan sang putra bungsu mereka yang lemah tak berdaya tersebut. Begitu pula dengan Raymond—sang kakak, dan Irani—sang mantan kekasih sekaligus kakak iparnya, mereka ikut terpuruk dan sangat terpukul sekali melihat kondisi Reynand. "Ma, Pa, lebih baik kalian pulang saja, biarkan aku dan Irani yang akan menjaga Rey," ujar Raymond."Tapi kalian juga butuh istirahat, 'Nak," sahut Mama Risa."Tidak apa, Ma. Mama dan Papa yang perlu beristirahat total.""Baiklah jika begitu, mama dan Papa pulang
"Siapa kau? Siapa mereka? Siapa kalian?" tanya Reynand.Irani, Raymond, Mama Risa, dan Papa Rabbani, sangat terkejut mendengar pertanyaan Reynand tersebut. Mereka langsung berlari menghampirinya."Rey, syukurlah kau sudah sadar, 'Nak," ujar Mama Risa."Iya, 'Nak, kami sangat mengkhawatirkanmu," timpal Papa Rabbani."Terima kasih, Tuhan karena kau telah menyembuhkan adikku," Raymond pun menimpali."Siapa kalian?" tanya Reynand kembali.Deg!Semua orang yang berada di tempat tersebut sangat terkejut mendengarnya. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Bahkan, sejenak mereka melupakan ucapan Irani yang menyatakan bahwa Reynand yang telah menghamilinya. Kini, mereka tengah fokus pada Reynand yang terlihat sangat aneh sekali.Raymond langsung berlari ke luar untuk memanggil dokter. Tidak berapa lama kemudian, dokter pun datang bersama dua orang suster yang mendampinginya, sementara Mama Risa dan Papa Rabbani, terlihat sangat tegang dan cemas. Begitu pula dengan Irani, ia pun tak kalah c
"Irani! Apa yang telah kau lakukan terhadap putraku?!"Irani tersentak tatkala ia mendengar suara teriakan sang ibu mertua. Mama Risa bergegas menghampiri Reynand yang tengah kesakitan."Dasar wanita jalang! Tidak tahu malu! Kau pasti sengaja 'kan ingin menggoda putra bungsuku karena kau sedang mencari tumbal untuk menutupi anak harammu itu!" hardik Mama Risa.Betapa sakit dan hancurnya hati dan perasaan Irani, tatkala mendengar sumpah serapah yang dilontarkan oleh sang ibu mertua. Butiran bening telah membanjiri pipinya yang tirus."Ma, mengapa Mama berbicara seperti itu terhadap Kakak ipar? Bukankah bayi yang dikandungnya merupakan calon cucu Mama? Anak Kak Ray?" tanya Reynand.Mama Risa tidak menjawab pertanyaan Reynand, ia justru mengajak sang putra untuk kembali ke kamarnya. "Sudahlah, 'Nak, lebih baik kau beristirahat saja di kamarmu," ujar Mama Risa untuk mengalihkan pertanyaan Reynand."Iya, Ma," sahut Reynand patuh.Mama Risa membantu Reynand bangkit berdiri, kemudian, mereka
"Sedang apa kalian di dalam kamar mandi berduaan?!"Suara Mama Risa terdengar melengking. Dia tiba-tiba sudah berdiri di pintu kamar mandi. Betapa terkejutnya Irani dan ketakutannya pun semakin terpancar dari wajahnya karena kini dia dipergoki tengah berduaan di dalam kamar mandi bersama Reynand—adik iparnya, yang merupakan mantan kekasihnya itu."Dasar tidak tahu malu kau, ya! Dasar wanita jalang. Apa-apaan kau ini, Irani? Ingat! Bahwa Rey adalah adik iparmu! Jadi, kau tidak pantas jika ingin menggodanya!" teriak Mama Risa.Irani hanya menundukkan wajahnya, air mata pun sudah berlinangan membasahi pipinya. Dia tidak berani untuk mengangkat wajahnya untuk melihat wajah sang ibu mertua. Tubuhnya gemetaran dan keringat dingin pun sudah membanjiri tubuhnya."Kau benar-benar tidak tahu diri, ya! Kau mencari kesempatan dan memanfaatkan putra bungsuku untuk kau jadikan tumbal sebagai ayah biologis dari anak harammu itu!" dada Mama Risa terlihat naik turun karena dia sedang dilanda emosi. "K
Pagi itu, Irani sedang membersihkan halaman belakang rumah. Dia sedang menyapu dedaunan kering yang sangat banyak. Karena di belakang rumah keluarga Rabbani tersebut terdapat kebun buah-buahan.Sebenarnya, di kediaman keluarga Rabbani itu ada banyak asisten rumah tangga dan mereka memiliki peran masing-masing atau tugas masing-masing. Namun, semenjak Irani ketahuan hamil bukan anak Raymond maka sejak saat itu pula, Mama Risa—sang ibu mertua, selalu menghukumnya dan memperlakukannya seperti pembantu.Semua pekerjaan pembantu di rumah tersebut, Irani lah yang harus mengerjakannya, sementara Raymond yang kecewa dan masih marah pada Irani, tidak mempedulikan hal tersebut, dia justru selalu menunjukkan kebenciannya terhadap sang istri.Ketika Irani sedang menyapu di bawah pohon mangga dan sedang berbuah lebat, dia melihat ke atas pohon tersebut. Di atas pohon itu terlihat berjuntaian buah mangga yang masih muda-muda. Irani menelan air liurnya sembari mengusap-usap perutnya. 'Sepertinya ena
"Irani! Apa yang tengah kau lakukan?!"Suara teriakan Mama Risa terdengar melengking. Irani seketika melepaskan dirinya dari tubuh Reynand. Reynand dan Irani langsung bangkit. Mereka melihat kedatangan Mama Risa yang tergesa-gesa dengan wajah yang sudah memerah."Irani, apa yang kau lakukan terhadap putraku?!" Mama Risa kembali berteriak."Ma, a-aku —" "Aku apa?" Mama Risa langsung menyela ucapan Irani."Ma, jangan marah pada kakak ipar, dia tidak bersalah," Reynand menimpali.Seketika Mama Risa menatap Reynand. Matanya terbelalak ketika melihat wajah dan tubuh putra bungsunya itu sudah merah dan dipenuhi bentol. "Ya, Tuhan, Rey, kau kenapa, Nak? Apa yang terjadi padamu?" tanya Mama Risa dengan cemas.Mata Mama Risa melihat ke arah buah mangga yang tergeletak di tanah dan dia melihat tangga yang masih berdiri di pohon mangga tersebut. Mama Risa menatapnya lama, lalu matanya beralih menatap ke arah Irani."Ini pasti perbuatanmu 'kan, wanita jalang? Kau 'kan yang menyuruh putraku untuk
"Rey, Irani, kalian sedang apa duduk berdua di gazebo belakang rumah?!"Reynand dan Irani yang sedang menikmati rujak buah mangga muda tersebut, seketika tersentak mendengar suara Raymond yang tiba-tiba sudah berdiri di dekat gazebo.“Kak Ray,” ucap Reynand.“Mas, kau sudah pulang?” tanya Irani.Raymond menatap Reynand dan Irani dengan tajam karena pada saat itu Reynand masih bertelanjang dada. “Kalian sedang apa? Dan kau, Rey, mengapa kau bertelanjang dada seperti itu? Apa yang terjadi?” tanya Raymond.“Ah … maaf, Kak, tadi Kakak ipar menginginkan mangga muda yang ada di atas pohon. Jadi, aku berinisiatif menolongnya untuk mengambilkan buah mangga muda tersebut,” jawab Reynand, “Tetapi karena di pohon mangga itu banyak serangga sehingga aku digerogoti serangga. Makanya aku membuka bajuku,” imbuhnya.“Oh, begitu!” ucap Raymond dengan ketus.Raymond menatap Irani dengan tatapan yang jijik, sedangkan Irani hanya menundukkan kepalanya. Dia tidak berani untuk membalas tatapan sang suami. R
4 tahun kemudian“Irana, jangan lari ke jalan terus, Nak, banyak kendaraan.” Suara Irani terdengar berteriak seraya berlari mengejar seorang gadis kecil.“Ibu, aku mau ke rumah Ayah Bahri.” Gadis kecil tersebut berbicara seraya berlari.Meskipun usia gadis kecil itu baru 3 tahun lebih, tapi dia sangat pintar sekali. Suaranya pun tidak terdengar cadel seperti kebanyakan anak-anak kecil pada umumnya.Irana, itulah nama gadis kecil tersebut. Anak yang dikandung oleh Irani 4 tahun lalu. Irana memanggil Bahri ayah karena selama ini Bahri lah yang selalu membantu Irani mengurusnya. Jadi, Irana taunya bahwa Bahri merupakan ayahnya.Walaupun Irani sudah Berulang kali menjelaskan pada sang anak, bahwa Bahri bukanlah ayahnya, tetapi Irana tidak mempercayainya. Dia tetap menganggap bahwa Bahri lah ayahnya karena lelaki itulah yang selama ini selalu mengurusnya seperti anak sendiri.Letak rumah Bahri yang tidak begitu jauh dari rumah Irani, membuat Irana begitu mudah untuk pulang pergi sendiri. N
Sementara itu, di kediaman Rabbani. Kini keluarga besar Rabbani dan orang tua Irani tengah berkumpul di ruang keluarga. Mereka sedang bermusyawarah tentang permasalahan rumah tangga anak mereka.“Di mana kita akan mencari Irani? Sedangkan tidak ada akses sedikitpun untuk berhubungan dengannya. Apalagi dia sedang hamil. Aku benar-benar sedih memikirkannya.” Bu Ina terisak-isak.Mama Risa mendekatinya. “Bu Ina, tolong maafkan aku. Semua ini salahku karena aku selalu bersikap buruk pada Irani.” Mama Risa pun terisak.“Maafkan aku juga, Bu, Pak. Karena selama aku menjadi suaminya, aku juga selalu bersikap buruk. Hingga akhirnya kami bercerai.” Raymond berkata dengan mimik wajah yang terlihat murung.Pak Ahmad dan Bu Ina menarik napas dengan berat. Dada mereka bergemuruh setiap kali mendengar pernyataan Mama Risa dan Raymond, yang mengakui dengan jujur tentang sikap buruk mereka pada Irani.Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Semua yang sudah terjadi tidak akan bisa kembali seperti semu
Pak Ahmad terpancing emosi karena Raymond tak kunjung menjawab pertanyaannya tentang keberadaan Irani.Plak! Plak!Bugh! Bugh!Akhirnya, Pak Ahmad menampar dan memukul Reynand serta Raymond secara bergantian. Amarahnya benar-benar sudah memuncak. Wajah kedua kakak beradik itu, kini sudah babak belur.Akan tetapi, mereka menerima semua perlakuan Ayah Irani tersebut karena mereka menyadari dan mengakui kesalahan yang telah mereka perbuat.Mama Risa histeris melihat kedua putranya yang dihajar habis-habisan oleh Pak Ahmad. Dia berusaha untuk memasang badan, dan memohon untuk dihentikan. Namun, Papa Rabbani menahannya.“Pak Ahmad, tolong hentikan. Kasihan kedua putraku!” teriak Mama Risa.“Pa, tolong kedua putra kita. Mengapa Papa hanya diam saja?!” Mama Risa histeris pada sang suami.“Ma, tenanglah. Ini semua hukuman yang pantas untuk kedua putra kita. Karena mereka telah berbuat kesalahan pada Irani.” Papa Rabbani mengelus-elus punggung Mama Risa.“Pa, mengapa kau tega pada putra-putra
Mata Irani membulat mendengar ucapan Bahri. Bagaimana tidak, di saat yang sedang genting seperti ini pun, Bahri masih tetap menyebalkan dan membuatnya kesal.Dengan sekuat tenaga Irani mencubit perut Bahri, hingga membuat lelaki tersebut menjerit karena merasakan perih di kulit perutnya.“Aww, aduh … Maharani, mengapa kau mencubitku? Aiiss, ini sangat sakit dan perih sekali rasanya,” ujar Bahri.“Karena kau selalu saja menyebalkan, Mas Bahri. Di saat aku sedang kesakitan dan kram seperti ini pun, kau masih saja bersikap seperti itu, huh!” Irani mendelikkan mata.“Ehehe … jangan marah-marah, nanti cantikmu hilang.”Ingin rasanya Irani kembali mencubit Bahri, tetapi rasa nyeri kembali menderanya. Akhirnya, dia hanya menurut saja mengikuti Bahri menuju ke arah motor, kemudian Bahri memboncengnya.Bahri menuju ke rumah seorang bidan yang membuka praktek di desa tersebut. Tidak butuh waktu lama, mereka telah sampai. Bahri bergegas menuntun Irani.“Assalamualaikum, Bu Bidan, tolong periksa
Semua orang sangat terkejut mendengar pertanyaan dari sepasang suami istri yang baru saja datang tersebut.Reynand dan Raymond saling melepaskan pelukan karena nama mereka dipanggil. Mereka menatap ke arah sumber suara. Reynand menatap sepasang suami istri paruh baya tersebut, dia mengernyitkan kening karena kebingungan sebab dia tidak mengenal mereka.Sementara Raymond, wajahnya sudah memucat. Dia menatap kedua orang tersebut dengan bibir yang gemetar. “Ayah mertua, Ibu mertua,” gumamnya.Ayunda yang berdiri tepat di sampingnya, bisa mendengar dengan jelas gumaman Raymond tersebut. Entah mengapa, perasaannya semakin tak menentu mendengar Raymond yang memanggil kedua orang tersebut dengan sebutan ayah mertua dan ibu mertua.“Raymond, jawab pertanyaan ibu. Di mana Irani, putriku?” ujar Bu Ina—Ibu Irani.“Iya, Nak Ray, mana Irani?” timpal Pak Ahmad—Ayah Irani.Raymond kehilangan kata-kata. Otaknya benar-benar buntu, sementara kedua orang tuanya menatap Raymond dan besannya secara bergan
Suara teriakan seorang lelaki menghentikan tindakan para pemuda tersebut. Mereka beralih menatap ke arah sumber suara.Ayunda sangat mengenal suara itu. Dia mendongakkan wajah dan menatapnya. “Tuan Raymond,” gumamnya.“Kalian ini juga seorang perempuan, tetapi kalian malah menertawakannya. Di mana hati nurani kalian sebagai sesama perempuan?!” Raymond berteriak pada rombongan gadis yang tadi menertawakan Ayunda.Setelah itu, Raymond pun mulai berkelahi dengan para pemuda itu, sedangkan Edo berlari meminta bantuan para pengunjung lainnya, yang kala itu masih berada di alun-alun tersebut.Tentu saja perkelahian tersebut tidak seimbang. Karena Raymond yang hanya seorang diri, melawan beberapa orang. Dia kewalahan dan menjadi bulan-bulanan. Tubuhnya sudah tergeletak di rerumputan, ditendang oleh mereka. Raymond menutup wajahnya dengan tangan agar wajahnya tidak semakin lebam.Ayunda yang melihat itu berlari ke arah Raymond. Dia memeluk kepalanya dengan erat seraya menangis. Dia tidak teg
Semua orang saling bertatapan, kemudian mereka tertawa terpingkal-pingkal. Irani menatap heran pada mereka karena bukannya menolong, tetapi justru menertawakan.“Ahahaha ….”“K-kenapa k-kalian malah tertawa?” Irani bertanya dengan terbata.“Rani, jadi dari tadi kamu itu berjalan tergesa-gesa karena ketakutan sama laki-laki itu?” Bu Marni bertanya seraya menatapnya.Irani hanya mengangguk. Dia sudah kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan ibu angkatnya itu, sementara lelaki yang sedari tadi mengikutinya malah selengehan. Irani benar-benar merasa sangat geram melihatnya.“Rani, perkenalkan, itu anak ibu yang baru pulang dari kota. Namanya Bahri. Bahri, perkenalkan, ini Rani saudara angkatmu, dia dari Kota Jakarta.” Bu Marni memperkenalkan anak kandung dan anak angkatnya.Irani terperanjat mendengarnya. Dia menatap Bu Marni, kemudian beralih menatap Bahri. “J-jadi, d-dia anak Ibu?”“Iya, Nak. Mungkin usianya tua sedikit darimu. Jadi, kau bisa memanggilnya Mas Bahri.”Irani terseny
Pagi hari pun tiba. Raymond terbangun sambil memegang kepalanya yang masih berdenyut nyeri. Dia duduk dan mengedarkan pandangan. Matanya menatap Ayunda yang masih terlelap di sofa.Kening Raymond mengernyit, matanya menyipit. Dia tengah berpikir, mengapa Ayunda tidur di sofa kamarnya, mengapa bukan tidur di kamar yang tamu. Dia berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Namun, dia tidak bisa mengingatnya sama sekali.Perlahan kaki Raymond turun dari ranjang. Dia berjalan sempoyongan menghampiri Ayunda. Matanya menatap wajah Ayunda yang pucat, dan di keningnya terdapat noda darah yang sudah mengering.Raymond semakin mengernyitkan kening. Dia berusaha sekuat mungkin untuk bisa mengingat kejadian apa yang telah terjadi tadi malam, tetapi dia tetap tidak bisa mengingatnya.“Yunda, bangun. Mengapa kau tidur di sini, dan mengapa keningmu ada noda darah yang sudah mengering?” Raymond mengguncang bahu Ayunda.Ayunda menggeliatkan tubuh. Dia memegang kepalanya yang terasa nyeri. Matanya bersi
Semua orang saling berpandangan ketika mereka mendengar penuturan Irani. Bu Marni mendekati Irani dan melihat uang serta perhiasan tersebut.“Rani, apakah kamu bersungguh-sungguh ingin mempergunakan uang dan perhiasan ini sebagai modal?” tanya Bu Marni.“Iya, Rani, coba kamu pikir-pikir lagi. Karena kamu sedang hamil dan pasti membutuhkan modal untuk biaya persalinan,” timpal Bu Leha.Irani menunduk, kemudian dia mendongak dan menatap Bu Marni serta warga yang lainnya. Matanya sudah berkaca-kaca karena perasaan sedih kini menggelayuti hatinya.“Aku sudah berniat, Bu, Pak. Memang benar jika aku membutuhkan biaya untuk persalinanku nanti, tapi aku juga tidak akan mungkin jika selama kehamilan ini hanya berdiam diri saja.” Irani menghela napas.“Aku ingin mempergunakan uang dan perhiasan ini untuk modal menyewa lahan, dan kebutuhan yang lainnya. Semoga modal ini cukup,” sambungnya.Pak RT Bahrum saling bertatapan dengan sang istri. Mereka saling menganggukkan kepala. Pak Bahrum berjalan