"Irani! Apa yang telah kau lakukan terhadap putraku?!"Irani tersentak tatkala ia mendengar suara teriakan sang ibu mertua. Mama Risa bergegas menghampiri Reynand yang tengah kesakitan."Dasar wanita jalang! Tidak tahu malu! Kau pasti sengaja 'kan ingin menggoda putra bungsuku karena kau sedang mencari tumbal untuk menutupi anak harammu itu!" hardik Mama Risa.Betapa sakit dan hancurnya hati dan perasaan Irani, tatkala mendengar sumpah serapah yang dilontarkan oleh sang ibu mertua. Butiran bening telah membanjiri pipinya yang tirus."Ma, mengapa Mama berbicara seperti itu terhadap Kakak ipar? Bukankah bayi yang dikandungnya merupakan calon cucu Mama? Anak Kak Ray?" tanya Reynand.Mama Risa tidak menjawab pertanyaan Reynand, ia justru mengajak sang putra untuk kembali ke kamarnya. "Sudahlah, 'Nak, lebih baik kau beristirahat saja di kamarmu," ujar Mama Risa untuk mengalihkan pertanyaan Reynand."Iya, Ma," sahut Reynand patuh.Mama Risa membantu Reynand bangkit berdiri, kemudian, mereka
"Sedang apa kalian di dalam kamar mandi berduaan?!"Suara Mama Risa terdengar melengking. Dia tiba-tiba sudah berdiri di pintu kamar mandi. Betapa terkejutnya Irani dan ketakutannya pun semakin terpancar dari wajahnya karena kini dia dipergoki tengah berduaan di dalam kamar mandi bersama Reynand—adik iparnya, yang merupakan mantan kekasihnya itu."Dasar tidak tahu malu kau, ya! Dasar wanita jalang. Apa-apaan kau ini, Irani? Ingat! Bahwa Rey adalah adik iparmu! Jadi, kau tidak pantas jika ingin menggodanya!" teriak Mama Risa.Irani hanya menundukkan wajahnya, air mata pun sudah berlinangan membasahi pipinya. Dia tidak berani untuk mengangkat wajahnya untuk melihat wajah sang ibu mertua. Tubuhnya gemetaran dan keringat dingin pun sudah membanjiri tubuhnya."Kau benar-benar tidak tahu diri, ya! Kau mencari kesempatan dan memanfaatkan putra bungsuku untuk kau jadikan tumbal sebagai ayah biologis dari anak harammu itu!" dada Mama Risa terlihat naik turun karena dia sedang dilanda emosi. "K
Pagi itu, Irani sedang membersihkan halaman belakang rumah. Dia sedang menyapu dedaunan kering yang sangat banyak. Karena di belakang rumah keluarga Rabbani tersebut terdapat kebun buah-buahan.Sebenarnya, di kediaman keluarga Rabbani itu ada banyak asisten rumah tangga dan mereka memiliki peran masing-masing atau tugas masing-masing. Namun, semenjak Irani ketahuan hamil bukan anak Raymond maka sejak saat itu pula, Mama Risa—sang ibu mertua, selalu menghukumnya dan memperlakukannya seperti pembantu.Semua pekerjaan pembantu di rumah tersebut, Irani lah yang harus mengerjakannya, sementara Raymond yang kecewa dan masih marah pada Irani, tidak mempedulikan hal tersebut, dia justru selalu menunjukkan kebenciannya terhadap sang istri.Ketika Irani sedang menyapu di bawah pohon mangga dan sedang berbuah lebat, dia melihat ke atas pohon tersebut. Di atas pohon itu terlihat berjuntaian buah mangga yang masih muda-muda. Irani menelan air liurnya sembari mengusap-usap perutnya. 'Sepertinya ena
"Irani! Apa yang tengah kau lakukan?!"Suara teriakan Mama Risa terdengar melengking. Irani seketika melepaskan dirinya dari tubuh Reynand. Reynand dan Irani langsung bangkit. Mereka melihat kedatangan Mama Risa yang tergesa-gesa dengan wajah yang sudah memerah."Irani, apa yang kau lakukan terhadap putraku?!" Mama Risa kembali berteriak."Ma, a-aku —" "Aku apa?" Mama Risa langsung menyela ucapan Irani."Ma, jangan marah pada kakak ipar, dia tidak bersalah," Reynand menimpali.Seketika Mama Risa menatap Reynand. Matanya terbelalak ketika melihat wajah dan tubuh putra bungsunya itu sudah merah dan dipenuhi bentol. "Ya, Tuhan, Rey, kau kenapa, Nak? Apa yang terjadi padamu?" tanya Mama Risa dengan cemas.Mata Mama Risa melihat ke arah buah mangga yang tergeletak di tanah dan dia melihat tangga yang masih berdiri di pohon mangga tersebut. Mama Risa menatapnya lama, lalu matanya beralih menatap ke arah Irani."Ini pasti perbuatanmu 'kan, wanita jalang? Kau 'kan yang menyuruh putraku untuk
"Rey, Irani, kalian sedang apa duduk berdua di gazebo belakang rumah?!"Reynand dan Irani yang sedang menikmati rujak buah mangga muda tersebut, seketika tersentak mendengar suara Raymond yang tiba-tiba sudah berdiri di dekat gazebo.“Kak Ray,” ucap Reynand.“Mas, kau sudah pulang?” tanya Irani.Raymond menatap Reynand dan Irani dengan tajam karena pada saat itu Reynand masih bertelanjang dada. “Kalian sedang apa? Dan kau, Rey, mengapa kau bertelanjang dada seperti itu? Apa yang terjadi?” tanya Raymond.“Ah … maaf, Kak, tadi Kakak ipar menginginkan mangga muda yang ada di atas pohon. Jadi, aku berinisiatif menolongnya untuk mengambilkan buah mangga muda tersebut,” jawab Reynand, “Tetapi karena di pohon mangga itu banyak serangga sehingga aku digerogoti serangga. Makanya aku membuka bajuku,” imbuhnya.“Oh, begitu!” ucap Raymond dengan ketus.Raymond menatap Irani dengan tatapan yang jijik, sedangkan Irani hanya menundukkan kepalanya. Dia tidak berani untuk membalas tatapan sang suami. R
Setelah Reynand keluar dari kamar pembantu tersebut, Irani kembali menumpahkan tangisannya. Dia masih membayangkan perempuan yang tadi datang ke rumah bersama Raymond dan bergelayut manja dengan suaminya tersebut. ‘Siapa perempuan itu sebenarnya? Mengapa dia bersikap manja pada Mas Ray. Jika hanya sekretaris, tidak akan mungkin dia bersikap seperti itu,’ batin Irani, ‘Apakah dia tidak tahu bahwa aku adalah istrinya Mas Raymond dan apakah Mas Raymond tidak memberitahu bahwa dia sudah memiliki istri,’ batin Irani kembali.Irani masih sesenggukkan. ‘Ya Tuhan, begitu berat cobaan hamba setelah menikah. Apakah hamba mampu menghadapi ujian ini untuk seterusnya? Bagaimana dengan nasib dan masa depan anakku nanti, Tuhan,’ Irani kembali membatin.“Enak sekali, ya, pagi-pagi begini kau sudah tidur di kamar!”Suara Mama Risa terdengar melengking. Irani yang kala itu sedang membaringkan tubuhnya, seketika terduduk. Dia langsung mengusap air matanya dan langsung berdiri. “Maaf, Ma, aku … aku sedan
“Kakak ipar, apa yang terjadi? Mengapa kau menangis?” tanya Reynand.Irani tidak bisa berkata-kata, dia hanya bisa menangis dengan sesenggukkan. Reynand meraih kepala Irani dan dipeluknya. Dia mengusap punggung Irani dan kepalanya. Ketika Reynand memeluk tubuh sang kakak ipar, tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang tidak asing. Keningnya mengerut, perasaan aneh itu pun tiba-tiba hadir kembali. Dia merasa seperti tidak asing dengan semua ini. Namun, karena kondisi Irani sedang tidak baik-baik saja, dia terpaksa melupakan perasaan anehnya itu.“Kakak ipar, apa yang terjadi padamu? Mengapa kau menangis malam-malam dan mengapa kau berada di kamar pembantu ini lagi? Kau tidur di sini?” Reynand melepaskan pelukannya dan menatap Irani.Irani mengangguk. “Iya, Rey, aku … aku … tidur di sini, aku merasa gerah,” ucap Irani dengan terbata.Reynand mengernyitkan keningnya mendengar jawaban dari kakak iparnya tersebut. Dia menatap mata Irani dengan dalam, tetapi Irani tidak berani untuk membalas tat
“Aku bermimpi —"“Kau bermimpi apa, Rey?” tanya Irani.“Aku setiap malam selalu bermimpi yang sama, Kakak ipar,” jawab Reynand.“Mimpi apa, Rey?” Irani merasa sangat penasaran.“Aku bermimpi … aku memiliki kekasih dan kekasihku itu mengandung benihku, tetapi … aku tidak tahu wajah kekasihku itu seperti apa.” Reynand menjelaskan seraya menatap lekat wajah Irani.Deg!Deg! Deg!Jantung Irani berdetak dengan sangat kencang ketika ia mendengar curahan hati Reynand, yang menceritakan tentang mimpinya itu. Apalagi Reynand bercerita seraya menatapnya dengan lekat. Jantungnya semakin tidak karuan rasanya. Irani pun membalas tatapan Reynand dengan lekat pula.‘Mimpimu itu bukan hanya sekedar mimpi, Rey, itu adalah kenyataan, kisah nyatamu. Dan kekasih yang kau maksud itu adalah aku,’ batin Irani, ‘Ingatlah tentang kita, Rey, ingatlah bahwa aku ini adalah wanita yang kau cintai. Dan bayi yang kukandung ini adalah benihmu. Aku mohon, ingatlah, Rey,’ batin Irani kembali.Mata Irani dan Reynand ma
4 tahun kemudian“Irana, jangan lari ke jalan terus, Nak, banyak kendaraan.” Suara Irani terdengar berteriak seraya berlari mengejar seorang gadis kecil.“Ibu, aku mau ke rumah Ayah Bahri.” Gadis kecil tersebut berbicara seraya berlari.Meskipun usia gadis kecil itu baru 3 tahun lebih, tapi dia sangat pintar sekali. Suaranya pun tidak terdengar cadel seperti kebanyakan anak-anak kecil pada umumnya.Irana, itulah nama gadis kecil tersebut. Anak yang dikandung oleh Irani 4 tahun lalu. Irana memanggil Bahri ayah karena selama ini Bahri lah yang selalu membantu Irani mengurusnya. Jadi, Irana taunya bahwa Bahri merupakan ayahnya.Walaupun Irani sudah Berulang kali menjelaskan pada sang anak, bahwa Bahri bukanlah ayahnya, tetapi Irana tidak mempercayainya. Dia tetap menganggap bahwa Bahri lah ayahnya karena lelaki itulah yang selama ini selalu mengurusnya seperti anak sendiri.Letak rumah Bahri yang tidak begitu jauh dari rumah Irani, membuat Irana begitu mudah untuk pulang pergi sendiri. N
Sementara itu, di kediaman Rabbani. Kini keluarga besar Rabbani dan orang tua Irani tengah berkumpul di ruang keluarga. Mereka sedang bermusyawarah tentang permasalahan rumah tangga anak mereka.“Di mana kita akan mencari Irani? Sedangkan tidak ada akses sedikitpun untuk berhubungan dengannya. Apalagi dia sedang hamil. Aku benar-benar sedih memikirkannya.” Bu Ina terisak-isak.Mama Risa mendekatinya. “Bu Ina, tolong maafkan aku. Semua ini salahku karena aku selalu bersikap buruk pada Irani.” Mama Risa pun terisak.“Maafkan aku juga, Bu, Pak. Karena selama aku menjadi suaminya, aku juga selalu bersikap buruk. Hingga akhirnya kami bercerai.” Raymond berkata dengan mimik wajah yang terlihat murung.Pak Ahmad dan Bu Ina menarik napas dengan berat. Dada mereka bergemuruh setiap kali mendengar pernyataan Mama Risa dan Raymond, yang mengakui dengan jujur tentang sikap buruk mereka pada Irani.Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Semua yang sudah terjadi tidak akan bisa kembali seperti semu
Pak Ahmad terpancing emosi karena Raymond tak kunjung menjawab pertanyaannya tentang keberadaan Irani.Plak! Plak!Bugh! Bugh!Akhirnya, Pak Ahmad menampar dan memukul Reynand serta Raymond secara bergantian. Amarahnya benar-benar sudah memuncak. Wajah kedua kakak beradik itu, kini sudah babak belur.Akan tetapi, mereka menerima semua perlakuan Ayah Irani tersebut karena mereka menyadari dan mengakui kesalahan yang telah mereka perbuat.Mama Risa histeris melihat kedua putranya yang dihajar habis-habisan oleh Pak Ahmad. Dia berusaha untuk memasang badan, dan memohon untuk dihentikan. Namun, Papa Rabbani menahannya.“Pak Ahmad, tolong hentikan. Kasihan kedua putraku!” teriak Mama Risa.“Pa, tolong kedua putra kita. Mengapa Papa hanya diam saja?!” Mama Risa histeris pada sang suami.“Ma, tenanglah. Ini semua hukuman yang pantas untuk kedua putra kita. Karena mereka telah berbuat kesalahan pada Irani.” Papa Rabbani mengelus-elus punggung Mama Risa.“Pa, mengapa kau tega pada putra-putra
Mata Irani membulat mendengar ucapan Bahri. Bagaimana tidak, di saat yang sedang genting seperti ini pun, Bahri masih tetap menyebalkan dan membuatnya kesal.Dengan sekuat tenaga Irani mencubit perut Bahri, hingga membuat lelaki tersebut menjerit karena merasakan perih di kulit perutnya.“Aww, aduh … Maharani, mengapa kau mencubitku? Aiiss, ini sangat sakit dan perih sekali rasanya,” ujar Bahri.“Karena kau selalu saja menyebalkan, Mas Bahri. Di saat aku sedang kesakitan dan kram seperti ini pun, kau masih saja bersikap seperti itu, huh!” Irani mendelikkan mata.“Ehehe … jangan marah-marah, nanti cantikmu hilang.”Ingin rasanya Irani kembali mencubit Bahri, tetapi rasa nyeri kembali menderanya. Akhirnya, dia hanya menurut saja mengikuti Bahri menuju ke arah motor, kemudian Bahri memboncengnya.Bahri menuju ke rumah seorang bidan yang membuka praktek di desa tersebut. Tidak butuh waktu lama, mereka telah sampai. Bahri bergegas menuntun Irani.“Assalamualaikum, Bu Bidan, tolong periksa
Semua orang sangat terkejut mendengar pertanyaan dari sepasang suami istri yang baru saja datang tersebut.Reynand dan Raymond saling melepaskan pelukan karena nama mereka dipanggil. Mereka menatap ke arah sumber suara. Reynand menatap sepasang suami istri paruh baya tersebut, dia mengernyitkan kening karena kebingungan sebab dia tidak mengenal mereka.Sementara Raymond, wajahnya sudah memucat. Dia menatap kedua orang tersebut dengan bibir yang gemetar. “Ayah mertua, Ibu mertua,” gumamnya.Ayunda yang berdiri tepat di sampingnya, bisa mendengar dengan jelas gumaman Raymond tersebut. Entah mengapa, perasaannya semakin tak menentu mendengar Raymond yang memanggil kedua orang tersebut dengan sebutan ayah mertua dan ibu mertua.“Raymond, jawab pertanyaan ibu. Di mana Irani, putriku?” ujar Bu Ina—Ibu Irani.“Iya, Nak Ray, mana Irani?” timpal Pak Ahmad—Ayah Irani.Raymond kehilangan kata-kata. Otaknya benar-benar buntu, sementara kedua orang tuanya menatap Raymond dan besannya secara bergan
Suara teriakan seorang lelaki menghentikan tindakan para pemuda tersebut. Mereka beralih menatap ke arah sumber suara.Ayunda sangat mengenal suara itu. Dia mendongakkan wajah dan menatapnya. “Tuan Raymond,” gumamnya.“Kalian ini juga seorang perempuan, tetapi kalian malah menertawakannya. Di mana hati nurani kalian sebagai sesama perempuan?!” Raymond berteriak pada rombongan gadis yang tadi menertawakan Ayunda.Setelah itu, Raymond pun mulai berkelahi dengan para pemuda itu, sedangkan Edo berlari meminta bantuan para pengunjung lainnya, yang kala itu masih berada di alun-alun tersebut.Tentu saja perkelahian tersebut tidak seimbang. Karena Raymond yang hanya seorang diri, melawan beberapa orang. Dia kewalahan dan menjadi bulan-bulanan. Tubuhnya sudah tergeletak di rerumputan, ditendang oleh mereka. Raymond menutup wajahnya dengan tangan agar wajahnya tidak semakin lebam.Ayunda yang melihat itu berlari ke arah Raymond. Dia memeluk kepalanya dengan erat seraya menangis. Dia tidak teg
Semua orang saling bertatapan, kemudian mereka tertawa terpingkal-pingkal. Irani menatap heran pada mereka karena bukannya menolong, tetapi justru menertawakan.“Ahahaha ….”“K-kenapa k-kalian malah tertawa?” Irani bertanya dengan terbata.“Rani, jadi dari tadi kamu itu berjalan tergesa-gesa karena ketakutan sama laki-laki itu?” Bu Marni bertanya seraya menatapnya.Irani hanya mengangguk. Dia sudah kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan ibu angkatnya itu, sementara lelaki yang sedari tadi mengikutinya malah selengehan. Irani benar-benar merasa sangat geram melihatnya.“Rani, perkenalkan, itu anak ibu yang baru pulang dari kota. Namanya Bahri. Bahri, perkenalkan, ini Rani saudara angkatmu, dia dari Kota Jakarta.” Bu Marni memperkenalkan anak kandung dan anak angkatnya.Irani terperanjat mendengarnya. Dia menatap Bu Marni, kemudian beralih menatap Bahri. “J-jadi, d-dia anak Ibu?”“Iya, Nak. Mungkin usianya tua sedikit darimu. Jadi, kau bisa memanggilnya Mas Bahri.”Irani terseny
Pagi hari pun tiba. Raymond terbangun sambil memegang kepalanya yang masih berdenyut nyeri. Dia duduk dan mengedarkan pandangan. Matanya menatap Ayunda yang masih terlelap di sofa.Kening Raymond mengernyit, matanya menyipit. Dia tengah berpikir, mengapa Ayunda tidur di sofa kamarnya, mengapa bukan tidur di kamar yang tamu. Dia berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Namun, dia tidak bisa mengingatnya sama sekali.Perlahan kaki Raymond turun dari ranjang. Dia berjalan sempoyongan menghampiri Ayunda. Matanya menatap wajah Ayunda yang pucat, dan di keningnya terdapat noda darah yang sudah mengering.Raymond semakin mengernyitkan kening. Dia berusaha sekuat mungkin untuk bisa mengingat kejadian apa yang telah terjadi tadi malam, tetapi dia tetap tidak bisa mengingatnya.“Yunda, bangun. Mengapa kau tidur di sini, dan mengapa keningmu ada noda darah yang sudah mengering?” Raymond mengguncang bahu Ayunda.Ayunda menggeliatkan tubuh. Dia memegang kepalanya yang terasa nyeri. Matanya bersi
Semua orang saling berpandangan ketika mereka mendengar penuturan Irani. Bu Marni mendekati Irani dan melihat uang serta perhiasan tersebut.“Rani, apakah kamu bersungguh-sungguh ingin mempergunakan uang dan perhiasan ini sebagai modal?” tanya Bu Marni.“Iya, Rani, coba kamu pikir-pikir lagi. Karena kamu sedang hamil dan pasti membutuhkan modal untuk biaya persalinan,” timpal Bu Leha.Irani menunduk, kemudian dia mendongak dan menatap Bu Marni serta warga yang lainnya. Matanya sudah berkaca-kaca karena perasaan sedih kini menggelayuti hatinya.“Aku sudah berniat, Bu, Pak. Memang benar jika aku membutuhkan biaya untuk persalinanku nanti, tapi aku juga tidak akan mungkin jika selama kehamilan ini hanya berdiam diri saja.” Irani menghela napas.“Aku ingin mempergunakan uang dan perhiasan ini untuk modal menyewa lahan, dan kebutuhan yang lainnya. Semoga modal ini cukup,” sambungnya.Pak RT Bahrum saling bertatapan dengan sang istri. Mereka saling menganggukkan kepala. Pak Bahrum berjalan