Friska sama sekali tidak pernah mengira Franz akan datang dengan membawa kabar menyakitkan ini. Pikirannya hanya menebak hal-hal menyenangkan yang akan mereka lalui setelah berbaikan, seperti biasanya.
Namun, dengan hadirnya Franz bersama perempuan lain. Friska sadar, sore ini hanyalah awal bagi kepahitan yang akan melandanya. Sambil berusaha menahan emosi, ia berbicara pada Franz senormal mungkin.
“Dan kamu kayak enggak peduli sama apa yang terjadi sama kita saat terakhir bertemu. Malah dengan entengnya datang bawa kabar ini.”
“Aku benar-benar minta maaf.” Terlihat keseriusan terpancar dari mata Franz.
Friska benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ia marah, kesal, dan emosi melihat Franz datang membawa kabar bahwa dirinya telah bertunangan.
“Kamu udah lama kenal sama dia?” tanya Friska lagi.
“Sebulan yang lalu, saat aku ada tugas kantor ke Bandung,” balas Franz.
Sebulan yang lalu? Mulut Friska menganga lebar, itu berarti Franz masih berpacaran dengannya. Saat hubungan mereka baik-baik saja tanpa ada masalah apa pun dan Franz bermain-main di belakangnya? Mata Friska semakin memerah menandakan kekesalan yang menumpuk di dalam hati.
“Terus kenapa kamu lakuin ini ke aku, Franz? Kenapa kamu tega ngelakuin hal seperti ini?”
“Franz udah cerita tentang kamu ke aku, Fris.” Setelah dari tadi hanya diam mendengar percakapan Franz dan Friska, Jessi akhirnya ikut bersuara. “Aku tahu kamu pasti terkejut dengan kabar ini. Tapi kamu juga harus paham. Setelah dengar cerita Franz, aku ngerti kenapa Franz—“
Belum selesai Jessi bicara, Friska langsung memotong, “Apa yang lo ngerti!” sergahnya sampai membuat pengunjung kafe yang lain serempak menoleh padanya. “Lo enggak ngerti apa-apa!”
Wajah Jessi tampak kaget begitu mendengar Friska berkata demikian. Ia kembali diam, tidak berniat melanjutkan perkataannya karena menyadari tatapan Friska yang menatapnya tak suka.
“Aku pengen kasih tahu hal ini ke kamu secara langsung. Enggak lewat pesan, enggak lewat telepon. Supaya kamu bisa ngerti.” Franz memejamkan mata, berusaha berekspresi seserius mungkin demi meyakinkan Friska.
“Ngerti apa, Franz?” Friska mengentakkan tangan ke meja sedikit keras.
Tangan Franz bergerak, merangkul Jessi di sebelahnya. “Supaya kamu ngerti kalau aku benar-benar serius sama Jessi.”
Perkataan Franz menancap tepat di hati Friska. Perempuan itu merasa seperti tertusuk tombak yang sangat tajam. Perih. Namun, ia hanya bisa menampilkan raut wajah nelangsa.
“Aku capek, Fris. Capek.” Franz kembali berbicara. “Aku sudah muak dengan tingkah kamu yang sedikit-sedikit ngambek, sedikit-sediki ingin ini, ingin itu. Cemburuan. Aku gak boleh gini, aku gak boleh gitu. Kamu sadar? Dari dulu aku selalu berusaha sabar sama sikap kamu. Karena aku percaya seiring berjalannya waktu kamu bisa mulai berubah. Tapi rupanya aku salah.”
Akhirnya pertahanan Friska untuk menahan tangis tidak terbendung saat Franz berkata demikian. Air matanya mulai mengalir deras membasahi pipi. Ia terisak, tangannya kembali mengusap-usap matanya mengharap berhenti menangis.
“Sampai akhirnya aku bertemu Jessi, aku melihat sosok wanita yang aku inginkan pada diri Jessi. Bukan kamu, Fris.”
Friska tersenyum masygul, hatinya terasa tercabik-cabik melihat kenyataan yang sedang dihadapinya. Ia tidak habis pikir dengan Franz yang memiliki pemikiran seperti itu. Ia pikir selama ini hubungannya baik-baik saja. Memang sering ada pertengkaran yang hadir di antara mereka. Namun, bukankah masalah seperti itu memang selayaknya akan ada dalam sebuah hubungan?
Lalu, apa Franz semudah itu berkata demikian kepada Friska yang sudah menemaninya selama tujuh tahun? Hanya untuk perempuan yang baru dikenalnya tidak lebih dari sebulan.
“Terus, kamu dengan entengnya ajak aku ke sini dan berharap aku bilang, ‘Oh gitu. Selamat, ya, atas tunangan kalian. Semoga lancar sampai menikah nanti.’ Begitu?” Friska menatap Franz tajam. “Baik, Franz, baik.”
Friska menghela napas sejenak, lalu mengembuskannya secara perlahan. Detik selanjutnya, ia bangkit dari duduknya, mengambil gelas minuman yang sama sekali belum ia minum. Tanpa basa-basi ia menyiramkan air minuman itu tepat mengenai wajah Franz, lalu mengentakkan gelas ke meja dengan keras.
“Keterlaluan! Kamu benar-benar keterlaluan! Aku harap kamu mati saja, dasar cowok berengsek!” teriak Friska lantang.
Semua pengunjung yang ada di kafe menoleh ke meja paling sudut, karena sedari tadi memang tempat itu terdengar berisik. Sampai akhirnya mereka kembali terpancing oleh suara Friska. Mereka terheran-heran saat melihat Friska menyiramkan air minumannya ke wajah Franz. Salah seorang pelayan yang berdiri tidak jauh dari meja mereka sampai terdiam, berdiri di tempat tanpa melakukan apa pun.
Friska mengambil tas kecilnya, lalu pergi meninggalkan Franz yang terdiam seribu bahasa dengan air mengalir di wajah. Jessi menyimpan kedua tangan di mulut, tak menyangka Friska akan bereaksi seperti itu.
Tanpa memedulikan banyak pasang mata yang mengarah padanya, Friska berjalan cepat keluar kafe dengan perasaan hancur berkeping-keping. Ia sangat sakit hati dengan Franz. Ia benar-benar tidak menyangka lelaki yang sudah menjadi kekasihnya selama hampir tujuh tahun itu tega melakukan hal menjijikan seperti ini padanya.
Memang benar selama ini Friska akui sering bersikap terlalu manja dan memaksakan egonya terhadap Franz. Namun, bukankah Franz juga sama saja sepertinya? Mereka bisa saling menerima satu sama lain tanpa ada rasa terpaksa, meski sempat putus beberapa kali, tetapi akhirnya bisa kembali bersama.
Lalu sekarang, Franz secara tiba-tiba berkata muak terhadapnya? Friska benar-benar tidak habis pikir. Terlebih, ketika lelaki itu memutuskan semuanya secara sepihak tanpa bilang apa-apa terlebih dulu padanya. Friska merasa Franz sudah memperlakukan ia seenaknya.
Belum jauh Friska melangkah meninggalkan kafe, ia tiba-tiba berhenti, menepuk jidat sambil meracau tak karuan. Detik selanjutnya ia memutar badan, kembali masuk ke kafe dan berjalan menuju kasir. Orang-orang yang ada di sana jelas heran melihat Friska.
Perempuan itu membuka tas, mengambil dompet, mengeluarkan uang selembar seratus ribu dan menyerahkannya pada petugas kasir.
“Maaf, tadi saya lupa belum bayar. Enggak usah kasih kembalian,” tutur Friska hendak pergi lagi.
Ia sempat melirik Franz yang sedang duduk berdua dengan Jessi. Franz juga menatap Friska. Mereka saling bertatapan untuk beberapa saat.
Wajah Friska semakin memerah menggambarkan perasaan marah dan malu yang bercampur. Jika saja ia tidak ingin punya utang apa pun, ia tidak akan kembali membayar pesanannya, biar Franz yang mengurus. Namun, karena harga diri, ia tidak ingin berutang apa pun padanya. Bahkan, ia berpikir akan mengembalikan semua barang pemberian Franz.
Friska melangkah cepat meninggalkan kafe, hingga akhirnya sampai di halte bus. Ia berdiri di pinggir jalan, mengeluarkan ponsel hendak memesan ojek online. Ia ingin cepat-cepat sampai ke rumah dan menangis sepuasnya di kamar.
Langit sore itu cukup cerah, matahari tidak terlalu menyengat. Angin bertiup sejuk. Friska mendongak, menatap angkasa biru berbalut awan putih. Meski sebisa mungkin ia menahan air matanya untuk tidak menetes, tetapi rasa sakit dalam dadanya bukan main-main.
Seharusnya ini menjadi sore yang indah. Saat ia berbaikan dengan Franz. Saat ia bisa bercengkerama kembali dengan kekasihnya itu. Jalan-jalan keliling kota, atau menghabiskan waktu dengan menonton film. Namun, semua itu hanya ada dalam angannya.
“Mbak Angeline Friska?”
Friska menoleh ke samping kiri, dilihatnya ojek online yang dipesannya sudah sampai. Ia mengangguk pelan.
“Kenapa, Mbak? Kok nangis?” tanya tukang ojek itu heran, tangannya mengulurkan helm.
Friska mengambil helm itu tanpa menjawab pertanyaan, lalu memakainya. Ia segera naik ke motor sembari bertitah, “Yang ngebut, ya, Mas.”
Tukang ojek itu hanya mengangguk, mulai melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.
Sepanjang perjalanan, pikiran Friska tidak karuan. Bayangan tentang Franz bergelayut dalam kepalanya. Ia benar-benar tidak paham kenapa Franz tega melakukan itu terhadapnya. Sungguh, ia sangat tidak terima seolah-olah hubungan mereka selama ini tidak berarti apa-apa.
Tak sadar air mata Friska semakin mengalir deras. Ia sesenggukan. Perasaannya terasa amat perih hingga membuatnya tak mampu lagi menahan diri. Ia meraih bagian sisi jaket tukang ojek itu dan meremasnya kuat-kuat.
“Aduh sakit, Mbak.” Tukang ojek itu meringis, rupanya remasan Friska sampai mengenai kulit.
Beberapa saat kemudian akhirnya sampai di tujuan. Driver itu menghentikan kendaraan di depan rumah berwarna biru. Friska turun dari motor, melepas helm dan memberikannya lagi, lalu membayar ongkos. Setelahnya, ia buru-buru berjalan memasuki rumah dengan kepala yang mulai terasa pusing.
Ia sampai tidak menyadari kehadiran Dito, teman baiknya yang sedang duduk di teras rumah.
Melihat kedatangan Friska, Dito gegas berdiri menyambut teman masa kecilnya itu dengan senyuman. Namun, senyumnya seketika memudar ketika dilihatnya Friska menangis. Ia segera menghampiri Friska dengan wajah heran.
“Kamu kenapa, Fris?”
Suara Dito tidak terdengar di telinga Friska. Ia tetap berjalan cepat sampai melewati Dito, seolah-olah ia tidak merasakan kehadiran cowok itu.
“Fris!” Dito meraih tangan mungil Friska, menggenggamnya erat. “Ada sesuatu yang nyakitin kamu?”
Friska menyibakkan tangan Dito kasar, sampai tidak menyadari buku diary miliknya terjatuh dari tas yang tidak tertutup rapat. Setelah itu, Friska langsung memasuki rumah dan menutup pintu cukup keras sampai membuat Dito kaget.
Dito mengembuskan napas pelan, menatap nanar pintu rumah yang kini tertutup. Pandangannya lalu tertuju pada buku yang tergeletak di tanah. Ia mengambil buku bersampul merah muda itu dan membukanya, melihat-lihat apa isinya.
Senyumnya mengembang begitu menyadari itu buku diary milik Friska.
Sementara itu Friska yang sudah berada di kamar langsung menjatuhkan tubuh ke ranjang. Ia membenamkan wajah ke bantal, kedua tangannya memukul-mukul tidak tertahan. Sambil menangis, ia terus meracau tentang Franz.
Empat hari sudah berlalu sejak saat itu. Friska masih terbelenggu dengan rasa sakitnya. Ia terus mengurung diri di kamar, keluar hanya untuk buang air atau jika ia merasa lapar. Matanya sedikit bengkak lantaran terlalu banyak menangis. Hampir setiap malam terdengar tangisan dari dalam kamar Friska.Ayah dan Ibu sampai khawatir pada anak semata-wayangnya. Awalnya mereka kira kesedihan Friska sudah biasa karena mereka sering mendapati putrinya itu bertengkar dengan Franz. Menyangka semua akan baik-baik saja dalam satu hari. Namun, saat melihat Friska masih bermurung mereka mulai khawatir. Terlebih pada kesehatannya yang selalu berada di kamar tertutup rapat. Gorden jendela pun tidak dibuka. Keadaan di dalam kamarnya sangat pengap.Berulang kali mereka menyuruh Friska agar keluar kamar, kembali menjalani hari seperti biasa. Namun, selalu berakhir penolakan oleh perempuan itu yang masih terkungkung dalam kesedihan.“Gimana ini, Pah? Mamah takut Friska kenapa-k
Angin sore bertiup lembut. Berulang-ulang Friska menghirup udara sejuk setelah beberapa hari ini terkungkung di dalam kamar. Ia tidak menyangka begitu senang bisa menghirup udara segar, seolah-olah suatu hal yang jarang didapatkannya.Dengan memakai kaus casual dengan bawahan celana hitam panjang, Friska berjalan santai bersama Astrid mengelilingi kompleks perumahan. Mereka hendak menuju taman dengan berjalan kaki.“Pak Bos pasti marah, ya? Gue gak masuk kerja enggak bilang-bilang,” ujar Friska sambil meregangkan tangan. “Tapi bodo amatlah, mau dia ngamuk kek, ngamik kek. Gue gak peduli.”“Berterima kasihlah, gue udah bilang lo sakit,” sahut Astrid.“Sakit apaan? Emang alasan itu bisa diterima?”“Ya, gue bilang aja lo sakit hati, itu juga termasuk sakit tahu. Apalagi luka dalam hati itu terasa lebih menyakitkan daripada luka fisik.” Astrid kembali berceloteh sambil menepuk-nepuk dadanya.
Seperti yang sudah direncanakan, Friska akan mengembalikan semua barang pemberian Franz sejak awal mereka pacaran. Hari itu, pagi-pagi sekali, terdengar suara gaduh di kamar Friska yang sedang mengemasi barang-barang ke dalam dus.Seluruh tempat penyimpanan ia geledah, mulai dari lemari, kolong ranjang, sampai ke tiap sudut kamar. Pokoknya jangan sampai ada hal yang berkaitan dengan Franz tersisa di kamarnya. Bu Laura yang melihat kegiatan putrinya lantas masuk kamar, lalu menghampiri Friska yang tengah menumpuk barang di dus agar muat.“Kamu yakin mau kembaliin semua ini ke Franz?” Bu Laura duduk di samping Friska.“Friska harus lakuin ini, Mah. Kalau benda-benda ini masih Friska simpan, Friska enggak akan bisa move on dari dia,” balas Friska dengan suara getir.Bu Laura menyayangkan apa yang terjadi pada hubungan Friska dan Franz. Ia tahu bagaimana putrinya itu sangat menyayangi Franz. Pun sebaliknya. Ia rasa Franz juga
Friska menggosok pipinya yang terasa panas berulang-ulang. Sejak ia masuk ke mobil dan duduk menyender pada jok. Perasaannya berdebar-debar karena perkataan Dito tadi masih terngiang dalam kepala. Ia menampar pipi cukup keras, berusaha menyadarkan diri agar tidak terlalu terbawa oleh ucapan Dito.Hari ini, ia mulai masuk kerja setelah membolos beberapa hari. Sudah cukup rasanya ia berlarut dalam kesedihan. Lagi pula, ia juga tidak enak pada bosnya di kantor. Biarlah perkara tentang Franz berjalan seperti sewajarnya. Ia telah bertekad untuk siap menghadapi lelaki itu saat bertemu nanti.Namun, ini merupakan awal yang cukup buruk bagi Friska di pagi harinya. Ia tidak pernah menduga akan mengalami hal yang baru saja terjadi beberapa menit lalu. Dito, teman masa kecilnya, tiba-tiba datang dan menyatakan cinta padanya.Pandangannya menatap jalanan di depan dengan tatapan kosong. Ia lalu berusaha mengikuti lirik dari lagu yang diputar. Mencoba menyibukkan otaknya agar
Alunan lagu yang diputar di kafe saat itu begitu nyaman terdengar di telinga Friska. Sesekali ia ikut melantunkan lirik dari lagu berjudul Terlalu Cinta milik Rossa. Sebuah lagu yang menjadi favoritnya sejak masa sekolah. Perempuan itu duduk di sudut kafe seorang diri, menanti kehadiran kekasihnya. Ia mengaduk-aduk strawberry milkshake miliknya sambil sesekali pandangannya mengarah pada pintu masuk, berharap Franz segera datang. “Aku mau ketemu. Kamu bisa datang ke kafe favorit kita jam empat sore?” Friska senang bukan main saat membaca pesan yang dikirim Franz tadi pagi. Hatinya mengembang penuh kemenangan, karena akhirnya sang kekasih yang pertama kali menghubungi setelah pertengkaran mereka saat terakhir bertemu. Ia sudah menjalin hubungan dengan Franz sejak lama, ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Sempat putus nyambung berkali-kali. Namun, kisah cintanya dengan Franz cukup awet hingga sekarang mereka memasuki dunia kerja.
Friska menggosok pipinya yang terasa panas berulang-ulang. Sejak ia masuk ke mobil dan duduk menyender pada jok. Perasaannya berdebar-debar karena perkataan Dito tadi masih terngiang dalam kepala. Ia menampar pipi cukup keras, berusaha menyadarkan diri agar tidak terlalu terbawa oleh ucapan Dito.Hari ini, ia mulai masuk kerja setelah membolos beberapa hari. Sudah cukup rasanya ia berlarut dalam kesedihan. Lagi pula, ia juga tidak enak pada bosnya di kantor. Biarlah perkara tentang Franz berjalan seperti sewajarnya. Ia telah bertekad untuk siap menghadapi lelaki itu saat bertemu nanti.Namun, ini merupakan awal yang cukup buruk bagi Friska di pagi harinya. Ia tidak pernah menduga akan mengalami hal yang baru saja terjadi beberapa menit lalu. Dito, teman masa kecilnya, tiba-tiba datang dan menyatakan cinta padanya.Pandangannya menatap jalanan di depan dengan tatapan kosong. Ia lalu berusaha mengikuti lirik dari lagu yang diputar. Mencoba menyibukkan otaknya agar
Seperti yang sudah direncanakan, Friska akan mengembalikan semua barang pemberian Franz sejak awal mereka pacaran. Hari itu, pagi-pagi sekali, terdengar suara gaduh di kamar Friska yang sedang mengemasi barang-barang ke dalam dus.Seluruh tempat penyimpanan ia geledah, mulai dari lemari, kolong ranjang, sampai ke tiap sudut kamar. Pokoknya jangan sampai ada hal yang berkaitan dengan Franz tersisa di kamarnya. Bu Laura yang melihat kegiatan putrinya lantas masuk kamar, lalu menghampiri Friska yang tengah menumpuk barang di dus agar muat.“Kamu yakin mau kembaliin semua ini ke Franz?” Bu Laura duduk di samping Friska.“Friska harus lakuin ini, Mah. Kalau benda-benda ini masih Friska simpan, Friska enggak akan bisa move on dari dia,” balas Friska dengan suara getir.Bu Laura menyayangkan apa yang terjadi pada hubungan Friska dan Franz. Ia tahu bagaimana putrinya itu sangat menyayangi Franz. Pun sebaliknya. Ia rasa Franz juga
Angin sore bertiup lembut. Berulang-ulang Friska menghirup udara sejuk setelah beberapa hari ini terkungkung di dalam kamar. Ia tidak menyangka begitu senang bisa menghirup udara segar, seolah-olah suatu hal yang jarang didapatkannya.Dengan memakai kaus casual dengan bawahan celana hitam panjang, Friska berjalan santai bersama Astrid mengelilingi kompleks perumahan. Mereka hendak menuju taman dengan berjalan kaki.“Pak Bos pasti marah, ya? Gue gak masuk kerja enggak bilang-bilang,” ujar Friska sambil meregangkan tangan. “Tapi bodo amatlah, mau dia ngamuk kek, ngamik kek. Gue gak peduli.”“Berterima kasihlah, gue udah bilang lo sakit,” sahut Astrid.“Sakit apaan? Emang alasan itu bisa diterima?”“Ya, gue bilang aja lo sakit hati, itu juga termasuk sakit tahu. Apalagi luka dalam hati itu terasa lebih menyakitkan daripada luka fisik.” Astrid kembali berceloteh sambil menepuk-nepuk dadanya.
Empat hari sudah berlalu sejak saat itu. Friska masih terbelenggu dengan rasa sakitnya. Ia terus mengurung diri di kamar, keluar hanya untuk buang air atau jika ia merasa lapar. Matanya sedikit bengkak lantaran terlalu banyak menangis. Hampir setiap malam terdengar tangisan dari dalam kamar Friska.Ayah dan Ibu sampai khawatir pada anak semata-wayangnya. Awalnya mereka kira kesedihan Friska sudah biasa karena mereka sering mendapati putrinya itu bertengkar dengan Franz. Menyangka semua akan baik-baik saja dalam satu hari. Namun, saat melihat Friska masih bermurung mereka mulai khawatir. Terlebih pada kesehatannya yang selalu berada di kamar tertutup rapat. Gorden jendela pun tidak dibuka. Keadaan di dalam kamarnya sangat pengap.Berulang kali mereka menyuruh Friska agar keluar kamar, kembali menjalani hari seperti biasa. Namun, selalu berakhir penolakan oleh perempuan itu yang masih terkungkung dalam kesedihan.“Gimana ini, Pah? Mamah takut Friska kenapa-k
Friska sama sekali tidak pernah mengira Franz akan datang dengan membawa kabar menyakitkan ini. Pikirannya hanya menebak hal-hal menyenangkan yang akan mereka lalui setelah berbaikan, seperti biasanya.Namun, dengan hadirnya Franz bersama perempuan lain. Friska sadar, sore ini hanyalah awal bagi kepahitan yang akan melandanya. Sambil berusaha menahan emosi, ia berbicara pada Franz senormal mungkin.“Dan kamu kayak enggak peduli sama apa yang terjadi sama kita saat terakhir bertemu. Malah dengan entengnya datang bawa kabar ini.”“Aku benar-benar minta maaf.” Terlihat keseriusan terpancar dari mata Franz.Friska benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ia marah, kesal, dan emosi melihat Franz datang membawa kabar bahwa dirinya telah bertunangan.“Kamu udah lama kenal sama dia?” tanya Friska lagi.“Sebulan yang lalu, saat aku ada tugas kantor ke Bandung,” balas Franz.Sebulan yang lalu? Mu
Alunan lagu yang diputar di kafe saat itu begitu nyaman terdengar di telinga Friska. Sesekali ia ikut melantunkan lirik dari lagu berjudul Terlalu Cinta milik Rossa. Sebuah lagu yang menjadi favoritnya sejak masa sekolah. Perempuan itu duduk di sudut kafe seorang diri, menanti kehadiran kekasihnya. Ia mengaduk-aduk strawberry milkshake miliknya sambil sesekali pandangannya mengarah pada pintu masuk, berharap Franz segera datang. “Aku mau ketemu. Kamu bisa datang ke kafe favorit kita jam empat sore?” Friska senang bukan main saat membaca pesan yang dikirim Franz tadi pagi. Hatinya mengembang penuh kemenangan, karena akhirnya sang kekasih yang pertama kali menghubungi setelah pertengkaran mereka saat terakhir bertemu. Ia sudah menjalin hubungan dengan Franz sejak lama, ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Sempat putus nyambung berkali-kali. Namun, kisah cintanya dengan Franz cukup awet hingga sekarang mereka memasuki dunia kerja.